LAPORAN DAN EKSAMINASI PSIKOLOGI HUKUM



Keterlibatan dari pakar ilmu mengenai perilaku dalam proses hukum biasanya dimulai dan diakhiri dengan  sebuah laporan, baik ditujukan untuk pihak lawan atau, mungkin lebih sering, kepada pihak pengadilan  pada tahap awal. Laporan psikolegal sangat penting  dan dapat mempengaruhi hasil secara substansial dari tindakan hukum. Beberapa elemen y...ang seharusnya ada dalam persiapan membuat laporan tersebut:
  1. Pemahaman pemeriksa mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum yang akan ditanyaikan.
  2. Pemahaman mengenai situasi-situasi yang berhubungan dengan tindakan hukum, termasuk pihak yang mana pemeriksa berpihak ketika melakukan penilaian.
  3. Mengumpulkan dan mereview dokumen-dokumen medis dan legal yang relevan, terutama jika sebelumnya pernah di rawat inap.
  4. Sejarah masa lalu yang adekuat
  5. Melakukan pemeriksaan status mental yang adekuat, dengan focus terutama pada area-area kemampuan atau ketidakmampuan yang relevan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum yang diajukan.
  6. Deskripsi mengenai level ketidakmampuan psikis, yang berhubungan dengan pertanyaan hukum, bersamaan dengan drajat kepercayaan (degree of confidence) medicolegal dari pendapat yang diberikan oleh pemeriksa.
Elemen terakhir merupakan hal penting karena berkaitan dengan drajat kepercayaan medicolegal dari pendapat yang diberikan oleh pemeriksa. Seorang pakar yang kompeten akan memberikan pendapatnya dengan drajat kepercayaan yang didukung oleh data yang ia peroleh. Untuk membentuk suatu opini, pakar membutuhkan waktu yang cukup untuk mengumpulkan data.Hal ini menunjukkan bahwa pakar yang terlibat dalam pemeriksaan psikolegal benar-benar memikul tugas berat, khususnya pada pelayanan umum.
[Read More...]


KEKUASAAN DAN DEKONSTRUKSI HUKUM



 KEKUASAAN DAN DEKONSTRUKSI HUKUM

Dunia hukum kini dijungkirbalikkan oleh kuasa dan makna kebiasan teks-teks hukum. Hukum adalah produk kekuasaan. Hukum adalah teks-teks yang sengaja dibiaskan oleh penulis teks (baca: undang-undang) yakni melalui konformitas lagislatif dan eksekutif sebagaimana telah diberikan wewenang oleh undang-undang kepada DPR dan Presiden untuk bargaining position dalam mencapai kepentingan. Kepentingan yang dituju adalah kepentingan golongan, kepentingan partai, kepentingan ekonomi, dan kepentingan kekuasaan.
            Tengok saja perkara Gayus yang berlarut-larut dalam prosedur hukum yang semakin sulit di pahami. Belum selesai satu perkara suap menyuap antara perusahaan dan Gayus sebagai pegawai di Dirjen Perpajakan. Satgas dan Kepolisian mengobral kehebatan dengan menampilkan keplesiran Gayus melancong ke mana-mana. Melancong ke Bali, melancong ke Singapura, melancong ke Malaysia.
Pertanyaannya bagi kita semua dalam kapasitas sebagai penonton Gayus yang mengobok-obok institusi hukum.  Apa yang penting di balik jalan-jalan si Gayus ke tiap kota dan negara padahal ia sudah ditahan? Bukankah sekarang sudah jelas ia tidak melarikan diri dan rutin mengahadiri persidangan,
            Apa yang penting untuk diketahui oleh publik?, penegakan hukum atau pengungkapan kejahatan semata. Benarkah kekuasaan menjadi kendali atas semua institusi hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan)? Oleh karena selalu mengharap instruksi dari presiden.
Penegakan hukum yang tidak otonom. Pertama, dalam hal ini dipengaruhi oleh faktor kekuasaan yang menyeret presiden sebagai aktor. Kedua, partai politik yang dikendalikan oleh mayoritas DPR dari partai demokrat juga menampilkan kelihaian membahas kasus Gayus. Padahal sudah jelas kasus korupsi Gayus bukan kasus politik. Bukan perkara yang dapat dijadikan sebagai hak angket untuk diajukan ke Presiden. Ketiga, kelompok pengusaha jangan dilupakan sebagai pemain di belakang layar. Pemegang kendali penegakan hukum. Tidakkah hari ini SBY terpilih kembali, di back up oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan pemilik modal besar.
            Big fish. Terminology ini yang santer menggetarkan jantung kekuasaan. Sehingga opini meyelesaikan kasus gayus, seolah-olah kita ditawarkan kehancuran negara. Pameo tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh, meskipun esok akan kiamat. Nyatanya dilupakan oleh  penyebar opini tersebut.
            Kekuasaan adalah barang lama buat hukum. Hukum adalah kekerasan. Hukum akan melindungi seorang yang memiliki kuasa. Hukum bahkan terus-menerus melanggengkan kekuasaan melalui eksploitasi pada yang minoritas.
            Karena itu, memang hukum tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan, dimana teks hukum menjadi tidak bermakna atau dari awal pembentukannya sudah memihak kepada pihak yang kuat.
            Selain itu, dalam penerapannya teks hukum ditafsirkan sesuai selera penafsirnya yang juga merupakan golongan yang kuat dalam masyarakat. Teks hukum ditafsirkan sesuai selera dan kepentingan hakim yang menafsirkan teks tersebut. Biang keladi dari multitafsir tersebut adalah hakim mengerti benar dengan  permainan bahasa (language game) ala Wittgenstein. Maka jadilah penerapan hukum yang banyak bopengnya.
            Kekuasaan pula yang mempertontonkan diskriminasi hukum (Donal Black) atau disparitas (Bringham). Campur baur antara kekuasan dan bahasa hukum menghasilkan output putusan yang disparitas.
            Tomy Soeharto dengan sangat cepat menghirup udara bebas setelah mendapat remisi beberapa kali. Kasus century yang tak jelas siapa pelaku tindak pidananya, karena masalah administrasi dan kebijakan negara (beleidsregel)  maka harus melalui cara politik dengan pembentukan pansus yang tak ada ujung dan artinya. Ada pemakzulan, beranikah ?.
            Akhir-akhir ini banyak kasus di mana orang miskin di adili. Jika dibandingkan dengan kasus Century tak ada apa-apanya.
Pertama, Tengok saja nasib Minah, seorang nenek berusia 55 tahun harus diadili hanya gara-gara mengambil tiga buah kakao dan diputus hukuman 1 bulan 15 hari penjara. Ironinya di saat hakim membaca putusan tersebut sembari menangis tersedu-sedu.
Kedua,  peristiwa yang di alami Minah juga dialami Basar dan Kholik, ia pernah dikurung oleh Polisi dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara gara-gara mencuri semangka. Begitupun peristiwa yang menimpah Manisih dan Sri Sutami gara-gara mengambil kapas sebanyak 2 kilogram. Lebih konyol lagi beberapa bocah penyemir sepatu di bandara Soekarno Hatta di adili karena dituduh berjudi. Tidak sampai disitu saja, bagaimana dengan surat elektronik yang mengantar Prita Mulyasari ke penjara.
Hukum di negeri ini betul-betuk konyol. Hukum bagai di negeri srimulat. Orang-orang miskin dipenjara, para koruptor dibiarkan bebas berkeliaran. Dalam kurun waktu lima tahun sejak 2005 hingga semester pertama 2009, terdapat 68,92 % atau 812 terdakwa korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan.
Pedang hukum yang di bawah oleh Dewi Themis keadilan hanya mengarah pada leher orang-orang miskin. Hukum di Indonesia benar-benar telah roboh.
Dekonstruksi hukum
            Jalan keluarnya atas dominasi kekuasaas dan bahasa terhadap hukum. adalah “dekonstruksi hukum”. Menurut Derrida dekonstruksi adalah suatau cara memabaca teks  secara interpretatif. Suatu cara memahamai teks dengan hermeneutic secara radikal/ hermenutik dalam  (deep hermeneutic).
            Hal ini jelas berbeda dengan hermeneutika yang dibicarakan oleh Heidegger dengan mencoba menafsirkan atau menghadirkan makna teks itu sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya dalam konteks masa kini.
            Olek karena penulis saja yang tidak bisa mengontrol makna teksnya. Maka dalam menafsirkan teks tidak dapat menghindarkan dari kesalahpahaman. Makna teks tidak tergantung pada konteks penulisan, namun tergantung pada konteks pembacaan yang selalu berubah-ubah.
            Maka untuk melintasi batas interpretasi, Derrida menciptakan neologisme yang disebut difference. Menurut Engelmann (1990: 76-113) bahwa difference mengandung kata kerja perancis “differer” yang berarti menunda, menangguhkan, berlainan, tidak identik. Jadi difference secara semantic berarti “momen suspensi”, “penundaan”, “penangguhan.” Dalam arti yang sederhana dekonstruktivisme selalu saja menunda makna, kriteria, penilaian, dan keputusan.
            Dengan analogi dekonstruksi. Untuk mengatasi hukum yang disparitas. Hukum yang memihak. Hukum yang karut-marut. Maka di coba untuk dipersandingkan antara hukum dan keadilan.
            Pertama, konsep keadilan sesuai dengan hukum. Kedua, ide keadilan berada di luar tatanan hukum. Dan ketiga adalah keadilan bukan  kesesuaian dengan hukum dan juga bukan sesuatu yang berada di luar hukum.
            Keadilan tidak lagi berada dalam undang-undang, keadilan tidak berada dalam keadilan ilahi karena otoritas religius telah kehilngan daya pengikatnya, keadilan tidak berada dalam keadilan akal budi (Kant), atau seperti keadilan yang dibayangkan oleh Rawls  dan Habermas pada praksis komonikasi demokrasi tanpa kekerasan, juga tidak ada dalam batas-batas dekonstruksi hukum.
            Sebagai kesimpulan bahwa dengan memakai dekonstruksi hukum, keadilan tidak mungkin direduksi dalam tatanan, baik tatanan hukum atau prinsip akal budi. Melainkan penangguhan penentuan makna dan memutus kontinuitas interpretasi hukum yang ada. Secara tepat Menke menyebut politik dekonstruksi sebagai “politik rehat” yakni interpretasi dekonstruktif atas hukum berarti menghentikan sifat umum dari hukum  dan memunculkan kelainan dari orang lain serta ‘bahasa dari yang lain”.

*penulis adalah peneliti psycho-legal (fakultas hukum Unhas)
Nomor hp: 082188142188
[Read More...]


MUATAN DASAR PSIKOLOGI HUKUM



MUATAN DASAR
PSIKOLOGI HUKUM

A. Pengertian, Ruang Lingkup, Krakteristik dan Manfaat Psikologi Hukum
1. Pengertian Psikologi Hukum
Sebelum diuraikan pengertian psikologi hukum, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan terminologi tersebut secara terpisah, mengingat metode kajian disiplin ilmu tersebut yang berbeda.
Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi. Dalam perjalanan sejarah yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau sebab tingkah laku manusia yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses perilaku dan proses mental.
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
1. Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
2. William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan sebagainya.
3. James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok permasalahannya.
4. John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
5. Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
6. Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
7. Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
8. Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.
9. Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.

Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup (anima), tingkah laku pada manusia menurut Aristoteles memperlihatkan tingkatan sebagai berikut (Dirgagunarsa dalam Alex Sobur, 2003; Edy Yusuf, 2000)
1. Anima vegetative: yang terdapat pada tumbuhan, yang merupakan kemauan untuk makan, minum, dan berkembang biak.
2. Anima sensitive: yang ada pada hewan, berupa kemampuan yang sama dengan tumbuhan ditambah kemampuan berpindah tempat, nafsu, mengingat, makan, dan merasakan.
3. Anima intelektiva: yang ada pada manusia, selain merupakan kemampuan yang sama pada tumbuhan dan hewan, juga memiliki kemampuan berpikir dan kemauan atau kehendak.

Manusia yang memiliki kemampuan anima vegetative dan anima sensitive, sebagai kekuatan atau pergolakan jiwa juga dipegaruhi aktivitas yang melibatkan alam bawah sadar (Sigmund Freud, 1856-1939). Tegasnya menurut freud, justru kegiatan dan tingkah laku manusia sehari-hari dipengaruhi oleh alam bawah sadar. Secara kiasan, jiwa manusia digambarkan bagai gunung es di tengah-tengah samudera dan yang nampak di permukaan laut hanyalah sepersepuluh saja, sedang sembilan persepuluhnya berada di dalam samudera bawah sadar, proses kejiwaan itu bersumber kepada id, ego, dan superego.
(a) Id, merupakan unsur landasan dasar dan merupakan sumber energi psikis yang berasal dari instink-instink biologis manusia. Yang terpenting dari semua instink tersebut adalah instink seksual dan agresivitas, kedua instink ini yang mempengaruhi dan membimbing tingkah laku manusia. id mewakili segi-segi instinktual, primitif dan irasional dan menjadi reservoir dari dorongan-dorongan yang tidak disadari (das unbewuszte). Oleh karena itu proses-proses mental dari anak akan mengkostitusikan aktivitas mental dari anak-anak pada tahap awal kehidupannya;
(b)Ego, merupakan proses jiwani yang logis dan mempunyai fungsi untuk mempermudah transaksi/perbuatan manusia dalam menguasai alam lingkungannya. Ego itu mencakup kemampuan untuk merencanakan, memecahkan masalah dan menciptakan tekhnik untuk menguasai dunia di sekitarnya. Ego diperlengkapi dengan kemampuan untuk mengendalikan impuls-impuls manusia, karena ekspresi hiperaktif dari impuls seksual dan dorongan agresivitas bila tidak mampu dikendalikan akan mencelakakan manusia, jadi tugas ego adalah mengekang dan mengontrol kekuatan-kekuatan dari id (ego sebagai alam sadar/das bewuszte) dan menjamin kelancaran interaksi individu dengan dunia sekelilingnya;
(c) Superego, adalah fungsi mental yang disebut sebagai hati nurani. Superego merupakan konsep yang melambangkan internalisasi dari nilai-nilai orang tua pada diri anak. Yaitu nilai yang ditanamkan dengan sanksi hukuman jikalau anak melanggar, dan akan mendapat hadiah jikalau nilai-nilai tersebut ditaati. Norma-norma moral tersebut, yang menjelaskan arti tabu, kesalahan/dosa dan kebenaran. Jadi superego merupakan alat keseimbangan mencakup das bewuszte dan unbewuszte.
Setelah di atas diuraikan beberapa pengertian psikologi, selanjutnya akan diuraikan pengertian “hukum” untuk memperoleh keterpaduan antara psikologi dan hukum.
Karya filsuf Aritoteles (384-322 SM) telah mempopulerkan konsep negara demokrasi yang dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang merosot dan menurutnya (dalam aliran hukum alam oleh Friedman: 1990) sebuah negara mestinya pemerintahannya berdasarkan hukum, karena filsuf sulit ditemukan untuk untuk menjadi pemerintah yang bajik, tetapi yang jelasnya Aristoteles telah menaruh harapan dengan penekanan konsep keadillan distributif, keadilan kumulatif, dan keadilan remedialnya (Aristoteles, 2007 dalam La Politica; Faturochman dalam Keadilan Perspektif Psikologi, 2002; Rawls,2000 dalam Teori Keadilan dan Teitel, 2004 dalam Keadilan Transisional). Menurut Achmad Ali (2002: 259) ”formulasi dari hukum alam adalah problem esensial dari keadilan”. Esensi dari keadilan tersebut menjadi renungan filsafat hukum untuk menelorkan beberapa defenisi hukum.
Adanya hukum senantiasa menggerakan daya pikir manusia, sehingga timbul pertanyaan: apa arti hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli hukum akan memberikan defenisi tentang hukum. Akan tetapi belum pernah terdapat defenisi hukum yang memuaskan. Apa yang ditulis Kant lebih dari 150 tahun yang lalu ‘Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht” masih tetap berlaku, karena hukum bukanlah gunung atau kuda yang setelah didefenisikan kita dapat melihatnya. Demikian juga Van Apeldoorn (1973:13) “berpendapat bahwa defenisi hukum itu sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakan sesuai dengan kenyataan”.
Meskipun demikian atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono Soekanto, sebagaimana dikemukakan oleh Wawan Tanggul Alam (2004:10-12) mengidentifikasi paling sedikit sepuluh arti hukum yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku yang pantas dan diharapkan.
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk tertulis.
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum.
6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi.
7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
8. Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur.
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
10. Hukum sebagai seni.
Secara umum, hukum adalah seperangkat aturan baik yang tertulis (dibuat oleh negara yaitu antara presiden dan DPR) maupun yang tidak tertulis (living law: hukum yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat) yang dijalankan oleh yang mengatur maupun yang diatur dan masing-masing mengakui daya keberlakuan dan mengikatnya aturan tersebut.
Dari pengertian-pengertian psikologi dan hukum yang telah disebutkan di atas, penulis berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya adalah keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney menyatakan “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis, ilmu psikologi menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan keadilan”.
Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut”.
Karena hukum dibentuk oleh jiwa manusia seperti putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan, menandakan bahwa psikologi merupakan krakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Aliran pemikiran hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (2002: 274) “bahwa G. Puchta, murid Friedrich Carl Von Savigny (1779 - 1861) menamai hukum volkgeist yaitu hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat”.
Hukum modern yang cenderung penggunaannya sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki telah memasuki bidang psikologi, seorang ahli filsafat hukum Leon Petrazycki (1867-1931) menggarap unsur psikologi dalam hukum dengan meletakkannya sebagai unsur utama. “Petrazycki berpendapat, bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode interospeksi” (Bodenheimer, 1947: 107). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri. Ia memandang hak-hak dan kewajiban sebagai “phantasmata” yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya.
Penulis berikutnya yang menganalisis hukum dari sudut psikoanalisis adalah Jerome Frank dalam law and modern Mind. Frank dalam ajaran hukum tradisional, melihat adanya keinginan akan kepastian yang ia samakan dengan kebutuhan bayi yang sangat akan kekuasaan yang sempurna (rasa kebapakan). Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget. Secara sistematis ia menjelaskan sebagai berikut:
a. Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesepakatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak;
b. Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita-cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian yang sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh yang penuh kepastian, dan bisa dikontrol;
c. Si anak mendapat kepuasannya akan kerinduannya itu, pada umumnya melalui kepercayaan dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan selalu berhasil;
d. Sekalipun orang semakin menjadi dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “ketergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri;
e. Hukum bisa dengan muda dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan yang penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab secara fungsional tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai hakim;
f. Ayah sebagai hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi dibelakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasitas dan prediktibilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya bahwa sang ayah telah meletakkan itu semua di dalam hukum;
g. Dari sinilahlah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah atau bisa dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan.
Pada tahun 1971, juga muncul karya Albert A. Ehrenzweigh, guru besar di universitas California Psychoanalytic Jurisprudence. Tesis yang dikemukakan dalam buku tersebut diringkas dalam kata-katanya “zaman plato telah digantikan oleh zaman freud” (Ehrenzweigh: 1971, 35). Bagian pertama dari bukunya adalah penceritaan kembali suatu daftar panjang dari teori-teori dan pemikiran dalam hukum. Ehrenzweigh menjadikan Freud sebagai titik pusat untuk mengupas semua pemikiran tentang hukum, Freud diterimanya sebagai seorang yang telah mampu menelanjangi apa yang sebetulnya selama ini diperdebatkan di kalangan para teoritisi, sehingga menghasilkan berbagai jenis aliran dan pendekatan dalam ilmu hukum, dengan menggunakan psycoanalysis, mengaitkan dengan persoalan superego, ego, Ehrenzweigh mengupas soal keadilan, kesalahan dalam hukum perdata dan pemidanaan.
Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam berbagai literatur, yaitu:
1. Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono Soekanto,1989; Achmad Ali,1990; R. Ridwan Syahrai,1999; Bernard Arief Sidharta, 2000; Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
2. Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputi Psycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
3. Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
4. Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt R. Bartol:1983)
5. Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa, korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana). (Achmad Ali, 2008: 9-10).
6. psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh Edward E. Jones: 1996)
7. Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
8. Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
9. psychology and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized broadly, the field encompases diverse approaches to psychology. Each of major psychologycal subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive (e.g. eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g., jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the polygraph), and industrial organizational psychology (e.g, sexual harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)
10. legal psychology involves empirical, psychology research of the law, legal institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them to issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making, investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only recently come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology. (Wikipedia, The Free Encyclopedia)
2. Ruang Lingkup Psikologi Hukum
Lapangan atau riset psikologi hukum, hanya dapat dikemukakan, setelah kita meninjau studi atau objek tinjauan dari psikologi. Olehnya itu akan diuraikan beberapa orientasi lapangan psikologi dari berbagai macam sudut pandang:
Menurut Abdul Jamali (1884: 18-19) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
1. Pandangan masyarakat yaitu bidang kehidupan masyarakat secara umum yang memberikan pandangan terhadap psikologi dalam arti luas, meliputi:
a. Psikologi perusahaan, mempelajari tingkah laku manusia di dalam perusahaan mengenai seleksi calon karyawan, penempatan, pendidikan, dan latihan, penilaian personil dan masalah organisasi.
b. Psikologi sekolah, mempelajari masalah sekolah yang meliputi tentang tingkah laku manusia di sekolah dari sejak seleksi penerimaan calon, cara-cara pendidikan yang baik, mengusahakan cara-cara evaluasi yang obyektif, memberikan bimbingan dan konseling.
c. Psikologi militer, mempelajari tentang tugas-tugas militer.
d. Psikologi kedokteran, mempelajari jabatan kedokteran.
e. Psikologi pastorial, mempelajari jabatan pastor.
f. Psikologi seni.
g. Psikologi musik.
2. Pandangan teori psikologi
Menurut tujuan utama penelitian yang digunakan, terdiri dari:
a. psikologi umum, kalau tujuan penelitian diutamakan untuk menemukan hukum-hukum psikologi yang berlaku bagi semua orang.
b. Psikologi diferensial, kalau tujuan penelitian diutamakan untuk melakukan hukum-hukum psikologi yang menyangkut mengenai perbedaan antar manusia.
Secara teoritis pembagian psikologi terdiri dari:
a) psikologi tingkah laku, termasuk psikologi sosial.
b) Psikologi fungsi, termasuk psikologi eksprimen, psikologi pengamatan, psikologi belajar, dan psikologi berpikir.
c) Psikologi perkembangan.
d) Psikologi kepribadian.
e) Psikologi ajaran metode.
3. Pandangan menurut aliran dalam psikologi
Berdasarkan pandangan ini psikologi dibagi:
a. Psikologi dalam, mempelajari tantang dunia tidak sadar (psikoanalisis, behaviourism, ganzheitspsychologie, psikologi fenomenologi)
b. Psikologi terapan, mempelajari masalah psikologi tanpa ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Gerungan (2004: 19-22) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
1. Psikologi teoritis
a) Psikologi umum, menguraikan dan menyelidiki kegiatan psikis pada manusia dewasa yang normal, termasuk kegiatan pengamatan, pemikiran, intelegensi, perasaan, kehendak, motif-motif dan attitude.
b) Psikologi khusus, menguraikan dan menyelidiki segi-segi khusus pada kegiatan psikis manusia, segi-segi khusus ini antara lain:
a. Psikologi perkembangan (psikologi genetic), menguraikan perkembangan kegiatan psiko manusia sejak kecil sampai dewasa dan selanjutnya psikologi perkembangan ini terbagi-bagi kedalam: psikologi anak, psikologi pemuda, psikologi orang dewasa, dan psikologi orang tua.
b. Psikologi kepribadian dan tipologi, menguraikan struktur kepribadian manusia sebagai suatu keseluruhan, serta mengenai jenis-jenis atau tipe-tipe kepribadian.
c. Psikologi sosial, menguraikan kegiatan-kegiatan dalam hubungannya dengan situasi sosial, seperti situasi kelompok dan situasi masa.
d. Psikologi pendidikan, menguraikan dan menyelidiki kegiatan-kegitan manusia dalam situasi pendidikan, dan situasi belajar.
e. Psikologi diferensial dan psikodiagnostik, menguraikan perbedaan-perbedaan antar individu dalam kecakapan-kecakapan, intelegensi, ciri-ciri kepribadian dan mengenai cara-cara untuk menentukan perbedaan tersebut.
f. Psikopatologi, yang menguraikan kegiatan-kegiatan manusia yang berjiwa abnormal.
2. Psikologi terapan
a. Psikodiagnostik, dengan menggunakan interview, observasi, dan tes psikologi dapat menentukan struktur kepribadian seseorang antara lain struktur intelegensinya, perkembangan bakat, kemampuan dan kecakapannya.
b. Psikologi klinis, bimbingan psikologi untuk menolong orang-orang yang menderita kesulitan psikis yang beragam bentuknya.
c. Psikologi perusahaan, membantu kesulitan yang terjadi di dalam perusahaan, seperti psikologi kepemimpinan, seleksi pegawai dalam perusahaan, menemukan cara-cara pendidikan yang terbaik untuk tenaga terlatih, memperbaiki lingkungan kerja pegawai, menyelesaikan kesulitan-kesulitan (benturan) pegawai, bimbingan dan penyuluhan, usaha meningkatkan produksi.
d. Psikologi pendidikan, berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dalam dunia pendidikan, seperti seleksi dan penyaluran calon-calon, menyelidiki cara-cara pendidikan yang sebaik-baiknya.
e. Mengusahakan cara-cara evaluasi yang objektif, bimbingan dan penyuluhan pelajar dan mahasiswa.
Menurut Rita L. Atkinson Dkk, (1983) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
a. Psikologi perkembangan, membicarakan perkembangan psyche manusia dari kecil sampai tua, mencakup psikologi anak, psikologi puber, psikologi orang dewasa, psikologi lansia.
b. Psikologi sosial, menguraikan tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku.
c. Psikologi kepribadian, mempelajari cara pengelompokan individu untuk tujuan praktis dan mempelajari kualitas setiap individu yang unik.
d. Psikologi sekolah dan pendididikan, menguraikan kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan dan sekolah, seperti memberikan dan menafsirkan hasil intelegensi, tes hasil belajar, tes kepribadian dan bagaimana cara menarik perhatian agar pelajaran dengan mudah dapat diterima.
e. Psikologi industri dan rekayasa, psikologi yang berhubungan dengan soal-soal perusahaan dan bagaimana membuat hubungan antara manusia dengan mesin sebaik mungkin, seperti menyusun program pelatihan praktik kerja dan keterlibatan psikolog dalam merancang kapsul untuk astronot.
f. Psikologi forensik, bekerja dalam berbagai sistem pengadilan dan sistem rehabilitasi, seperti berkonsultasi dengan instansi kepolisian dan petugas pengadilan dalam meningkatkan pengertian terhadap masalah manusia yang harus mereka tangani, berhadapan dengan narapidana dan keluarga mereka, berperan dalam mengambil keputusan apakah tertuduh cakap bertindak di peradilan, dan menyiapkan laporan psikologis untuk membantu memutuskan tindakan yang paling sesuai bagi terpidana.
g. Ilmu perilaku dan ilmu sosial, studi yang melakukan kajian pada setiap individu dan tata hubungan kelembagaan dalam keluarga, tetangga, dan masyarakat.
Orientasi lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial, tentunya akan melakukan pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum khususnya dalam penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari riset psikologi juga akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:
Menurut Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:
1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.
2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3. Perilaku menyimpang.
4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.

Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi hukum yaitu:
1. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
2. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.
3. Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.

Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S. Clark, 2007; Stephenson, 2007; dan Achmad Ali, 2008: 7) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:
1. Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
2. Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
3. Psikologi hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.
4. Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
5. criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana
6. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.

Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
1. Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak seperti apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?.
2. Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?
3. Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?
4. Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?

Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktifitas psikis manusia.
Berdasarkan hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:
1. Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum.
2. Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.


Menurut Soerjono Soekanto (1989:17-18):
“Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya adalah sebagai berikut:
Neurosis psikhosis
Normal x x abnormal
Pada titik normal, seseorang mematuhi kaedah hukum dalam keadaan tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk melanggar kaedah hukum”.




3. krakteristik dan manfaat psikologi hukum
Ketika seorang menjadi pengendara dalam lalu lintas, banyak keadaan yang menyebabkan sehingga orang taat pada peraturan lalu lintas. Menurut Kelman sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (1998: 193), bahwa orang taat pada hukum dipengaruhi oleh beberapa hal:
(a) Compliance yaitu jika seoarang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut akan sanksi.
(b) Identification yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seorang menjadi rusak.
(c) Internalization yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sudah sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

Penyebab orang taat atau tidak taat pada hukum merupkan kajian hukum yang bersifat empiris, yang mengkaji hukum dalam kenyataan (law in action), yang dapat dikaji melalui sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum.
Psikologi hukum yang melakukan studi terhadap fenomena hukum yang meliputi kenyataan sosial, kultur, perilaku dan lain-lain adalah kajian hukum yang bersifat deskriptif. Menurut Lawrence Wrigstman (dalam Musakkir, 2005: 47), krakteristik dari pendekatan psikologi terhadap hukum adalah
”psychological approach to the law emphasizes the human determinants of the law. So do sociology and anthropology – but the focus in the psychological approach is on individual as the unit analysis. Individuals are seen as responsible for their own conduct and as contributing to its causation. Psychology looks at the impact of the police officer, the victim, the juror, the lawyer, the judge, the defendant, the prison guard, and the parole officer on the legal system. Psychology assumes that the characteristics of these participants in the legal system effect how the system operates. In “characteristics”, include these persons’ abilities, their perspectives, their values, their experience – all the factors that influence the is behavior”.
(pendekatan psikologis terhadap hukum menekankan determinan manusia terhadap hukum. Demikian juga ilmu antropologi dan sosiologi - tetapi fokus di dalam pendekatan psikologi adalah pada individu sebagai unit analisis. Individu dilihat sebagai yang bertanggung jawab untuk tindakan dan akibat dari apa yang diperbuatnya. Psikologi meneliti pada dampak dari pegawai kepolisian, korban, anggota juri, pengacara, hakim, terdakwa, penjaga tahanan, dan pembebasan bersyarat pegawai dalam sistem hukum. Psikologi berasumsi bahwa karakteristik dari partisipan di dalam sistem yang hukum mempengaruhi bagaimana sistem hukum beroperasi. Di dalam "karakteristik", meliputi kemampuan dari pribadi orang tersebut, perspektif mereka, nilai-nilai yang mereka anut, pengalaman mereka - semua faktor yang mempengaruhi perilaku itu"). (terjemahan bebas oleh penulis)

Selanjutnya Musakkir (2005: 47) menguraikan bahwa kajian psikologi hukum menekankan kepada
“Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun kelompok dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana sikap atau perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan? Bagaimana perilaku jaksa di dalam melakukan penyidikan, penahanan, dan penuntutan terhadap tersangka? Bagaimana perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya, maupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya”.
Psikologi yang memasuki ranah hukum bernaung dalam satu bidang kajian yang dinamakan dengan ‘psikologi dan hukum’ (psychology and law). Psikologi dan hukum memayungi beberapa kajian psikologi dalam ranah hukum. Secara garis besarnya ada sejumlah bidang kajian, yakni psikologi penegakan hukum (law enforcement psychology), psikologi untuk menangani narapidana (correctional psychology), psikologi forensik (forensic psychogy), dan psikologi hukum (legal psychology).
Psikolologi penegakan hukum, psikologi narapidana, dan psikologi forensik adalah turunan dari psikologi klinis. Psikologi penegakan hukum memfokuskan penelitiannya pada aktivitas badan penegakan hukum dan menyediakan layanan psikologis untuk badan tersebut. Misalnya tes psikologis untuk calon polisi, promosi jabatan, pemecatan hubungan kerja, dan intervensi untuk polisi yang terlibat masalah. Tidak heran jika ada pula istilah psikologi polisi yang muncul dari hasil-hasil penelitian psikologi penegakan hukum ini. Sedangkan psikologi narapidana itu berfokus pada penanganan narapidana. Layanan yang diberikan misalnya mengajarkan strategi penanggulangan masalah, manajemen kemarahan, dan sebagainya. Sedangkan psikologi forensik membantu bidang hukum dalam melakukan analisis kompetensi seseorang apakah ia dapat mengikuti persidangan dan bertanggung jawab atas tindakan kejahatannya (criminal competence and responsibility), dampak psikologis yang dialami seseorang dalam persidangan, kompetensi mental seseorang pada situasi nonkriminal (mengatur keuangan, keputusan untuk menerima perawatan medis/psikiatris), otopsi psikologis (psychological autopsies) pada seseorang yang sudah meninggal dunia, criminal profiling, dan analisis kelayakan seseorang sebagai orangtua untuk penentuan hak asuh anak. Sedangkan Craig Haney (dalam Curt R. Bartol:1983) membagi pendekatan psikologi yaitu:
”psychology can relate to law in three ways: psychology in the law, psychology and the law, and psychology o the law”.…the psychology in the law relationship is the most frequent application of psychology to the legal system. In this situation, jurits use psychologists and their knowlegde for spesific cases, as by having them testify about a defendant’s mental condition or consult with attorneys regarding jury selection. …. psychology and the law, neither psychology nor law dominates or dictates to the other. …. psychology of the law, concerns itself with law as a determinant of behavior”.
Craig Haney menjelaskan bahwa keterkaitan antara psikologi dan hukum dapat dikaji melalui tiga metode yaitu psikologi dalam hukum, psikologi dan hukum, dan psikologi terhadap hukum. Hubungan Psikologi dalam hukum merupakan aplikasi psikologi yang paling sering terhadap sistem hukum, seperti penggunaan psikolog oleh yuri untuk sebuah kasus dalam memperoleh kesaksian tentang kondisi mental terdakwa dan konsultasi pengacara berkenaan dengan pemilihan yuri. Psikologi dan hukum , baik psikologi maupun hukum tidak mendominasi dan mendikte kepada yang lainnya. Psikologi terhadap hukum, menganggap dirinya dengan hukum sebagai suatu determinan dari perilaku. Berdasarkan uraian di atas krakteristik psikologi hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Krakteristik dari pada psikologi hukum yaitu pada partisipan penegak hukum yang dipengaruhi oleh perspektif mereka (partisipan hukum),, nilai yang dianut (value), pengalaman (exprience), kemampuan (ability) orang/partisipan hukum tersebut.
2. Penekanan psikologi hukum pada faktor internal (pribadi) partisipan hukum, yang melihat pada fakta-fakta yang bersifat istimewa (idiosyncracy fact) tentang psikologi dan kepribadian individual.
3. Merupakan kajian yang bersifat logis, empirik dan analitik yang memusatkan pada isu-isu yang sangat luas.
4. Merupakan kajian yang bersifat deskriptif dan menjelaskan pengalaman dan perilaku manusia melalui logika, metode ilmu dan riset.
5. Menekankan determinan-determinan manusia dari hukum (peraturan perundang-undangan dan putusan hakim).
6. Secara umum objeknya adalah manusia dengan kegiatan-kegiatannya dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu perilaku (behaviour) dan fenomena hukum.
7. Mempelajari hukum sebagai pembentukan hasil jiwa manusia (volkgeist) baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan.
8. Mempelajari faktor-faktor pribadi yang mendorong orang untuk mematuhi kaedah hukum dan melanggar kaidah hukum.
Psikologi hukum sebagai pendekatan psikologi yang bersifat individual terhadap hukum memiliki beberapa manfaat, menurut Soerjono Soekanto (1989: 54) mengemukakan pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum sebagai berikut:
1. Untuk memberikan isi atau penafsiran yang tepat pada kaidah hukum serta pengertiannya, seperti pengertian itikad baik, itikad buruk, tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Untuk menerapkan hukum, dengan mempertimbangkan keadaan psikologis pelaku.
3. Untuk lebih menyerasikan ketertiban dan ketenteraman yang menjadi tujuan utama dari hukum.
4. Untuk sebanyak mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam penegakan hukum.
5. Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih mengenal diri atau ligkungannya.
6. Untuk menentukan batas-batas penggunaan hukum sebagai sarana pemeliharaan dan penciptaan kedamaian.

Demikan halnya Munir Fuady (2007:14-15), mengemukakan mengapa psikologi penting untuk diterapkan dalam ilmu hukum? Antara lain:
1. Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kondisi psikologis dari para penegak dan para penerap hukum.
2. Menurut ilmu psikologi, khususnya psikologi baru (new psychology), berbagai konsep abstrak dari hukum hanyalah merupakan suatu ilusi yang berasal dari kebutuhan akan kepastian (certainty), perdamaian internal (inner pace), dan ilusi terhadap kebutuhan akan kepastian (exactness)
3. Para penegak hukum dengan bantuan ilmu psikologi dapat mengetahui kebohongan dari saksi atau tersangka ketika diperiksa.
4. Bahwa apa yang disebut perasaan hukum, kesadaran hukum dan jiwa bangsa (Volkgeist) tidak lain merupakan ungkapan-ungkapan yang berkonotasi psikologis.
5. Penganut realisme hukum berpendapat bahwa setiap persolan hukum tidak lain hanya proses psikologi.
6. Dengan bantuan ilmu psikologi, para penegak hukum dapat mengetahui keadaan psikologisnya sendiri ketika menegakkan dan menerapkan hukum. Karena itu mestinya seorang penegak hukum paham dengan konsep-konsep psikologis

Oleh karena psikologi sangat penting bagi ilmu hukum dalam mengetahui latar belakng kejiwaan seseorang, maka mempelajari psikologi hukum dapat diperoleh beberapa manfaat antara lain :
1. Dapat melakukan analisis yang tajam antara fenomena hukum dengan hukum itu sendiri.
2. Dengan memahami faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap penegak hukum maka kita dapat mensinkronkan antara hukum dan perilaku penegak hukum.
Dalam kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan ke depan maka penelitian diarahkan pada dua tujuan penting penelitian psikologi dalam bidang hukum sebagaimana dikemukakkan oleh Brigham (1991, Dalam Rahayu: 2000) yaitu:
a) Pemahaman perilaku manusia dalam sistem peradilan akan meningkatkan pemahaman tentang manusia secara umum;
b) Pengetahuan psikologi dalam bidang hukum dapat dipergunakan untuk memperbaiki sistem hukum secara khusus dan menaikkan kualitas keadilan
B. Aplikasi Psikologi Terhadap Ilmu Hukum
1. Pendekatan Psikologi Terhadap Hukum
Jika seorang hakim laki-laki atau perempuan memutus perceraian. yang sama-sama menggunakan dasar dan pertimbangan hukum yang sama dalam perceraian, apakah akan sama putusannya? Bagi penganut hukum normatif yang menjadikan Undang-undang sebagai sebagai sumber peraturan belaka (hakim adalah terompet/corong Undang-undang) maka akan menjawab “sama saja putusannya”, tapi seorang psikolog akan menganalisis dan mengatakan hal yang berbeda dengan jawaban tersebut, karena kemungkinan hakim perempuan lebih mempertimbangkan masa depan seoarang perempuan yang menjanda dan harus menjadi single parent untuk membesarkan anak-anaknya.
Pertimbangan psikolog terhadap pertanyaan tersebut, yaitu dapat dikaji melalui pedekatan psikologi terhadap ilmu hukum. Dalam psikologi dikenal beberapa pendekatan, menurut Rita L. Atkinson (1983: 7-15) pendekatan itu terbagi atas:
a) Pendekatan Neurobiology
Suatu pendekatan terhadap studi manusia, berusaha menghubungkan perilaku dengan hal-hal yang terjadi di dalam tubuh, terutama dalam otak dan sistem saraf. Pendekatan ini mencoba mengkhususkan proses neurobiologi yang mendasari perilaku dan kegiatan mental. Contohnya seorang ahli psikologi yang sedang mendalami pendekatan neurobiologi, menaruh perhatian pada perubahan yang terjadi dalam sistem saraf karena adanya proses belajar mengenai hal yang baru.
b) Pendekatan Perilaku
Pendekatan yang mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya sebagi subyek tunggal. Contohnya seseorang makan pagi, naik sepeda, berbicara, memerah mukanya, tertawa, dan menangis.
c) Pendekatan Kognitif
Studi illmiah mengenai proses mental dari persepsi, ingatan, pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan persoalan, dan merencanakan masa depan.
d) Pendekatan Psikoanalitik
Suatu pendekatan yang melihat perilaku sebagai bagian dari proses yang tidak disadari seperti pemikiran, rasa takut, dan keinginan-keinginan yang tidak disadari seseorang tetapi membawa pengaruh terhadap perilakunya.
e) Pendekatan Fenomenologis
Suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pengertian mengenai kehidupan dalam dan pengertian mengenai pengalaman individu. Contohnya, pengamatan terhadap konsep diri seseorang, perasaan harga diri, dan kesadaran akan diri sendiri (self awareness).
Pendekatan psikologi bertugas menghilangkan kesaksian nilai dengan menetapkan keajegan pernyataan yang telah dibuat mengenai sesuatu yang membentuk dunia ini. Dengan menggunakan metode yang akurat akan melibatkan logika, pengumpulan data untuk memberikan penilaian pembuktian yang obyektif. Hal tersebut menurut Abdul Djamali (1984) dilakukan dengan melalui proses ilmiah yang dibentuk melalui:
1. Laboratory experimentation
Eksperimen tentang tingkah laku dilakukan dalam laboratorium untuk mendapatkan hasil yang optimal. Secara sistematik digunakan variasi dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh kepada tingkah laku yang ditelitinya. Selain itu dimungkinkan untuk menutupi situasi eksperimen dan pengaruh luar seperti gangguan suara, kehadiran orang lain yang tidak diperlukan.
2. Field experimentation
Eksperimen dilakukan dalam lingkungan yang wajar, lazim dan nyata, sehingga hasil penelitian tingkah laku itu berjalan wajar.
3. Controlled naturalistic observation
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan:
a. Mengadakan observasi terhadap tingkah laku dalam bermacam-macam situasi yang dipilih dengan cermat, sehingga mewakili pelbagai kemungkinan situasi yang kegiatan tingkah laku itu dapat terjadi.
b. Mengadakan observasi tanpa diketahui kehadiran observatornya yang dilakukan dengan visual seleksi.
c. Membuat kousiener dan mewawancarai objeknya.
d. Merekam pembicaraan dengan menyembunyikan alat rekamannya.
4. Metode klinis
Menggunakan metode klinis dilakukan dengan:
a. Mengumpulkan secara terperinci sejarah dari masalah.
b. Prosedur wawancara khusus
c. Tes intelegensi minat, kepribadian atau aspek lain dari tingkah laku.
d. Tekhnik analisa impian
Pendekatan klinis ini ditujukan untuk menentukan kualitas penyesuain diri individu kepada lingkungan hidup pada umumnya atau lingkungan hidup tertentu dan untuk menambah pengertian mengenai masalah penyesuaian diri.
Kajian psikologi diutamakan pada tingkah laku individu, tetapi karena manusia sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, maka psikologi tidak dapat melepaskan kajiannya terhadap individu dalam hubungannya dengan situasi massa dan situasi kelompok yang disebut dengan psikologi sosial. Menurut Gerungan (2004:47-51) Keterlibatan psikologi dalam pengkajian massa dan kelompok mengunakan metode antara lain:
1. Metode eksperimen
Wilhelm Wundt pertama kali memakai dan mendasarkan metode ini dengan menetapkan beberapa syarat:
a. Menentukan dengan tepat waktu gejala yang akan diselidiki.
b. Mengukur berlangsungnya gejala yang akan diteliti dari awal hingga akhir dan harus mengamatinya dengan perhatian khusus.
c. Setiap observasi harus dapat diulangi dalam keadaan yang sama.
d. Mengubah-ubah dengan sengaja syarat-syarat keadaan eksperimen.
2. Metode survey
Metode dimana peneliti mengumpulkan keterangan seluas-luasnya mengenai kelompok tertentu yang akan diteliti dengan menggunakan wawancara, observasi dan angket sebagai alat untuk mengumpulkan keterangan.
3. Metode diagnostk psikis
Metode penelitian psikologi dengan meminta responden untuk memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya dengan memperhalus sebuah daftar pertanyaan.
4. Metode sosiometri
Metode penelitian terhadap satu kelompok untuk meminta pernyataannya mengenai sikap anggota kelompok lain terhadap kelompoknya.
5. Metode sosiogram
Hasil penelitian sosiometri untuk mendapatkan hubungan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dan bertujuan untuk memilih siapa yang dapat memimpin beberapa kelompok tersebut.
Psikologi sebagai alat bantu dalam ilmu hukum yang dikenal dengan psikologi khusus yaitu suatu cara untuk mendapatkan kebenaran baik secara eksperimen maupun rasional yang memfokuskan pada perilaku manusia yang berkaitan dengan hukum.
Dalam psikolgi hukum, menurut Charles Pierce (dalam Kerlinger, 1973) sebagaimana dikemukakan oleh Curt Bartol (1984:1) mengambil suatu metode penelitian untuk mengembangkan keyakinan dan pengetahuan antara lain:
1. The Method Of Tenacity
Suatu metode dimana orang berpegang teguh pada keyakinannya terhadap orang lain karena ia selalu meyakini bahwa mereka itu sifatnya true and correct. Keyakinan ini dipegang bahkan ketika diperhadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan karena dia berpendapat bahwa saya tahu, bahwa saya benar tanpa peduli apa yang dikatakan orang lain atau yang ditunjukan oleh bukti-bukti untuk menentukan keyakinannya.
2. The Method of Authority
Suatu dianggap benar karena individu dan pranata-pranata yang mempunyai otoritas mengatakan kebenaran seperti itu. Misalnya apa yang diputus pengadilan melalui hakim, pendapat seorang pakar yang berpengaruh dan pendapatnya selalu disitir atau dikutip sebagai bukti otoritatif.
3. The A Priori Method
Sumber pengetahuan dengan menggunakan pemikiran logis dan penalaran deduksi dimana akan menjadi universal.
4. The Method Of Science
Mencari kebenaran berdasarkan pengamatan dan eksperimen secara sistematik berdasarkan pengujian empiris yang dapat diuji sehingga dapat disimpulkan bahwa psikologi menggali sumber pengetahuan berdasarkan metode otoritatif kelogisan dan scientific dimana untuk memahami perilaku manusia yang dimulai dari pengamatan langsung yang sederhana sampai dengan eksperimental di laboratorium.

5. Metode Eksperimental
Metode dengan pengendalian dan pengaturan yang cermat ke dalam suatu laboratorium, dimana kondisi-kondisi dapat dimanipulasi dengan menggunakan peralatan tertentu, misalnya bagaimana ukuran dewan yuri, bagaimana mengangkat keabsahan dengan menggunakan alat bukti, pengabsahan dari hasil riset yang cermat dan prosedural.
6. Metode Realibitas
Metode untuk mencari bukti yang dapat dipakai oleh para psikolog, misalnya mengkaji efek kecemasan.
2. Kontribusi Psikolog Terhadap Bidang Hukum
Suatu sistem pembuktian dalam praktik peradilan baik itu hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, menggunakan keterangan ahli sebagai dasar pembuktian hakim dalam menjatuhkan keputusan. Psikolog, seringkali digunakan oleh pengacara sebagai salah satu sumber pembuktian, dengan argumentasi yang didasarkan pada keahlian yang teliti dan cermat. Peran yang sering dimainkan menurut Constanzo (2006:21-27) oleh para psikolog dalam bidang hukum antara lain.
a) Psikolog sebagai penasihat
Diantara kasus yang sering masuk di pengadilan seperti permohonan dispensasi perkawinan, permohonan izin poligami dan gugatan/permohonan perceraian, hakim hanya selalu memakai pertimbangan Undang-undang (Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), tanpa pernah meminta tanggapan psikolog untuk menentukan alasan yang patut seorang memperoleh dispensasi perkawinan dan izin poligami. Padahal psikolog dalam kondisi tertentu akan menjadi penasihat dalam perceraian (mediasi perceraian), yang disebabkan oleh perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga. Pecahnya rumah tangga untuk diajukan perceraian di pengadilan, dapat meminta pendapat psikolog, apakah sebuah rumah tangga masih patut dipertahankan?
Di negara Amerika pakar psikolog seringkali disewa oleh pengacara untuk membantu pembuktiannya berdasarkan pengetahuan psikologis dalam bersaksi di pengadilan. Sebagai contoh, seorang psikolog klinis pernah bersaksi kompetensi orang tua untuk mendapat hak asuh anak (Child custody).
b) Psikolog sebagai evaluator
Tanpa disadari seorang hakim yang memutus dengan ketukan palu dalam putusan perceraian, anak-anak dari keluarga yang bercerai akan menjadi anak jalanan, seorang hakim perlu pertimbangan psikologis untuk memutus perceraian, karena putusan cerai adalah sama dengan menghancurkan negara kecil. Olehnya itu psikolog dalam pengadilan perlu mengevaluasi kompetensi orang tua dalam hal hak asuh tunggal, mengenai siapa yang layak untuk mengasuh anak tersebut.
Dalam penjatuhan pidana, apakah dengan hukuman penjara, seorang kriminal, tidak akan jahat lagi setelah keluar dari tahanan? Apakah dengan menangkap preman juga akan mengurangi angka kejahatan? Apakah pengaruh media (televisi, internet, dan handphone) menyebabkan terjadinya kekerasan seksual? Apakah hubungan seksual di luar nikah tidak melanggar hukum? Apakah perlu ada revolusi hukum (meminjam istilah Lawrence M. Friedman) ketika pelacuran dilokalisir?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi bahan evaluasi psikolog dalam pembentukan peraturan dan penegakan hukum.
c) Psikolog sebagai pembaharu
Berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak, mereka berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.
Kasus tersebut akan menjadi koreksi tersendiri bagi para peneliti anak, yang tentunya juga menjadi bahan penelitian psikolog, apakah perlu diadakan perubahan/pembaharuan terhadap Undang-undang perlindungan anak?, ataukah para penegak hukum yang kurang jeli memperhatikan kekerasan yang tejadi dalam dunia anak-anak?.
Selain itu psikolog juga dapat megadvokasikan perlunya Undang-undang disahkan berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya melaui penelitian, sebagai contoh pengesahan Undang-undang pornografi memang perlu, karena media banyak menayangkan tayangan sensual yang akan berpengaruh terhadap pembentukan pikiran dan krakter anak.
[Read More...]


Pengakuan Bersalah dan Interogasi Kepolisian (dalam Studi Hermeneutik dan Psycho-legal)



Pengakuan Bersalah dan
Interogasi Kepolisian
(dalam Studi Hermeneutik dan Psycho-legal)
Damang*


Antara pengakuan dan ungkapan maaf Cut Tari dan Luna Maya (tersangka video syur) yang disorot oleh jutaan kamera serta media televise. Memberi isyarat bagi publik bahwa memang tidak pantas menggunakan term mirip Ariel, mirip Luna dan mirip Cut Tari. Bahasa hukum tidak sekedar berarti semantik. Tetapi memiliki arti yang padat, berisi (substance) dan humanistik bahkan inquisitoir atas terapan prinsip hukum sebagai norma dasar (ground norm).
Pernyataan ungkapan maaf kedua tersangka tersebut, tampak hanya nada penyesalan atas pemberitaan yang cukup meresahkan atas dirinya. Tidak ada kata dan kalimat yang bisa ditafsir sebagai nada pengakuan atas keaslian dirinya dalam video syur itu. Namun ketika ditafsir secara hermeneutk ungkapan Cut Tari “semoga ini menjadi pembelajaran dan introspeksi diri bagi saya. Ungkapan suaminya yang setia menemaninya “mohon maaf atas semua kekhilafan”. Dua kata ini, introspeksi dan kekhilapan mengurai arti tidak mungkin bukan dirinya jika ada keinginan untuk introspeksi. Begitupun dengan pernyataan suaminya atas kekhilapan adalah pengakuan secara batin yang muncul bahwa sudah jauh sebelumnya suami Cut Tari mengetahui adanya video syur tersebut asli dari adegan Cut Tari.
Hermeneutika memandang bahwa bahasa tidak sekedar tulisan, ucapan, ungkapan atau pernyataan keterusterangan. Bahasa yang diungkapkan adalah bahasa yang sarat makna dan penuh kepentingan. Baik kepentingan itu menyangkut pribadi orang yang mengucapkan bahasa itu maupun orang yang akan menafsirkan bahasa tersebut. Hermeneutik itu ibarat sepasang kaki, dimana kaki itu yang akan menafsirkan sendiri ukuran yang cocok untuk sepatu ukuran berapa. Ukuran sepatu terkalahkan oleh ukuran kaki. Demikian juga hermeneutika sebagai alat tafsir untuk mengungkap teks yang tersembunyi dibalik orang yang mengucapkannya.
Oleh karena itu, jika mendengar secermat mungkin pernyataan maaf Luna dan Cut Tari tidak ada nada pengakuan. Tetapi secara hermeneutk, bahasa itu “tidak mugkin ada ungkapan dan pernyataan maaf bahkan akan ada penyangkalan sebelumnya kalau memang bukan dia sebagai pelakunya. Hermeneutika menunjukan bahwa bahasa adalah permainan bagi yang mengungkapkannya (language game). Critical legal movement memandang bahwa yang menjadi kuasa atas bahasa adalah orang yang mengungkapkan bahasa tersebut, yang bermain-main dengan kata perkata untuk kepentingan penafsir. Dibutuhkan kemampuan bagi sipenafsir untuk menjadikan bahasa sebagai medium kritik. Melihat kepentingan dari orang yang mengecap bahasa teks perteks. Melihat bagaimana pengalaman hidup dan pengalaman batin (lebenswelt) yang turut mempengaruhi mistifikasi terhadap apa yang diungkapkannya.
Beda halnya dengan kacamata psikologi melihat pernyataan pengakuan Cut Tari dan Luna Maya. Meskipun sedikit medium kritik itu juga adalah bagian riset dari psikologi dalam tafsir mimpi oleh Sigmund freud. Tetapi psikologi memiliki metode riset dalam memandang antara bahasa dan gerak tubuh sebagai satu kesatuan (unity). Seperti cara pandang John B Watson bahwa manusia sebuah rangkaian yang utuh antara jiwa (soul), tubuh (body) dan perilakunya (behaviour).
Dua sisi pengakuan yang berbeda. Aspek psikologi kognisi dan emosi, lebih gampang menterjemahkan bahasa tubuh (body language) pada diri (self) Cut Tari yang nampak sejalan/searah antara bahasa dan reaksi emosional yang turut ter-output, ketimbang bahasa dari Luna Maya. Kepribadian sebagai aspek yang tepat menjadi integrasi antara kognisi dan emosi dari bahasa/ungkapan Cut Tari dan Luna. Kepribadian (personality) oleh Alport (1971) diartikan the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment to his environment, (organisasi dinamis dari system psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik dalam menyesuaikan dengan lingkungannya.
Meminjam terminologi Jung. Kepribadian Cut Tari termasuk dalam golongan tipe extrovert, yakni perhatiannya (attention) lebih tertuju ke luar dirinya, kepada orang lain dan masyarakat. Bahasa tubuh dan reaksi emosional Cut Tari, lebih keluar ditonjolkan dengan tindakan menangis (cry). Reaksi dari tindakan menangis sebagai beban dan tekanan (preasure) yang keluar dalam bahasa emosional. Sedangkan tipe kepribadian Luna Maya termasuk tipe introvert, perhatinya lebih mengarah pada dirinya. Ketika luna maya menyatakan ungkapan maaf ingin terlihat seolah tidak ada beban dan tekanan. Dia ingin mengukuhkan dan meyakinkan publik bahwa perilaku buruknya adalah bukan kehendak mutlak dirinya. Agak berat melihat bahwa ada kata penyangkalan dan kebohongan atas dirinya. Setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibirnya itu, berat dan teramat sulit untuk diucapkannya. Seluruh ekspresi tubuhnya. Saat menghela napas, kemudian menggigit amat kuat, bahwa luna menyimpan beban psikologis yang dianggap mampu diselesaikan dan tidak ada kesalahan (fault) atas dirinya.
Pengakuan bersalah (guility)
Pengakuan bersalah (guility) tidak menjadi sebagai bahasa yang lazim. Tidak menjadi terminology yang umum untuk digunakan oleh semua kalangan. Sehingga media dan publkc hanya menantikan pengakuan atas keaslian diri pelaku dengan video yang telah menyebar di kalangan umum. Beruntung saja, term ini belum dicaplok oleh media dan opini publik untuk digunakan sebagai bahasa yang akan mengkriminalkan pelaku secara terburu-buru (kebablasan).
Publik seakan puas dengan adanya pengakuan maaf. Apalagi Hotman Paris Hutapea sebagai pengacara Cut Tari sudah membenarkan bahwa video itu memang kliennya. Tapi Cut Tari tidak pernah tahu kalau ada rekaman video syur atas dirinya, bahkan tidak pernah melihat video syur itu.
Penulis sendiri menilai bahwa pengakuan di media (publik) bukan sebagai kewajiban hukum (legal duty). Hanya merupakan kewajiban moral (moral duty). Tidak ada dalam prosedur hukum acara yang legalitas (due process of law) untuk menuntut seorang tersangka mengakui kesalahannya. Hukum acara pidana harus menghindrai adanya pengakuan bersalah yang sifatnya palsu. Tujuan dari pada hukum pidana adalah lebih pada mencari kebenaran yang materil. Kebenaran yang tidak ada/tanpa keraguan yang beralasan (beyound reasounal doubt). Bukan tugas dan peran media serta publik untuk menjadi law enforcement atas delik (tindak pidana) yang disangkakan kepada seseorang.
Pencitraan media dan publkc sebagai sarana kuasa atas praktik hukum dalam mengkaidahi (perspektifitas) delik atas pelaku tindak pidana dan kegiatan diskresi oleh kepolisian tetap pada memberikan hak-hak kepada tersangka untuk mendapat bantuan hokum dan perlakuan yang manusiawi. Opini publik dan media tidak boleh memberi korelasi positif untuk menjadi simpatik atas kinerja kebablasan bagi kepolisian sebagai penyelidik/penyidik dalam mengkriminalkan tersangka tanpa ada putusan pengadilan yang inkra.
Tersangka bukan dalam kapasitas sebagai telah terbukti bersalah. Hanya menjadi awal untuk dapat ditingkatkan dalam prosedur penuntutan untuk dinilai oleh kejaksaan cukup alat bukti dan layak untuk dibuktikan di institusi pengadilan. Miranda rule bagi tersangka tetap layak dijalankan dan diberikan kepada tersangka dalam interogasi. Hak ini berawal dari kasus Miranda vs Arizona (1966), bahwa semua tersangka harus diberitahu hak-hak konstitusional untuk tidak berbicara dan untuk mendapatkan pengacara yang hadir selama proses interogasi. Ada empat bagian di dalamnya, yaitu: 1) anda berhak untuk berbicara, apapun yang anda katakan dapat digunakan untuk melawan anda di pengadilan; 2) anda berhak mendapatkan pengacara yang hadir selama anda diinterogasi: 3)jika anda tidak mampu menyediakan pengacara sendiri, anda berhak mendapat pengacara yang ditunjuk untuk anda sebelu anda diinterogasi; 4) apakah anda mengerti hak-hak yang telah saya jelaskan.
Hukum acara pidana melalui pengakan asas inquisitoir. Dalam interogasi dan pencarian untuk menemukan titik terang terjadinya perbuatan tindak pidana, perihal siapa pelakunya. Kepolisian tidak diperkenankan oleh hukum acara pidana untuk melakukan pemaksaan, kekerasan (violence) untuk mengakui kesalahan tersangka. Kepolisian dituntut untuk bersikap koperatif/kerjasama dengan tersangka dalam menemukan titik terang sebagai terbuktinya delik kesusilaan (lih: pasal 281 KUHP) atau delik pornografi (undang-undang nomor 44 tahun 2008) terhadap kasus yang menimpa Ariel, Luna, dan Cut Tari.
Sikap koperatif kepolisian. Tanpa ada pemaksaan dalam interogasi. Dipandang terlalu lama dan berat untuk menjadikan tersangka telah memenuhi unsur delik. Oleh karena itu sudah penting untuk di perhatikan sumbangsi dari psikologi dalam perannya sebagai psycho-legal. Mengidetifikasi tersangka dengan metode minimalisasi (Saul Kassin dan Karlyn McNal:1991). Minimalisasi dilakukan dengan mengatakan kepada tersangka bahwa tindak kejahatannya dapat dipahami dan dapat dibenarkan. Selain psikologi forensik yang memang juga dibutuhkan untuk mengidetifikasi bagian-bagian fisik-fisik yang cocok dengan tersangka, juga dibutuhkan bahasa koperatif yang bernuansa psikologis untuk membuat tersangka benar-benar mengakui kesalahannya tanpa ada tekanan. Keterangan yang diberikan tersangka diusahakan mendekati pada kebenaran yang terungkap tanpa ada tekanan dan keragu-raguan (doubt).
Delik kesusilaan dan pornografi ang menimpa Aril. Luna dan Cut Tari. Konon dengan pernyataan Hotman Paris, bahwa Ariel dan Luna belum juga mengakui kesalahannya di ruang interogasi. Sudah tepat dan layak untuk menggunakan cara-cara psikologis yang koperatif bagi tersangka. Kasus yang demikian oleh Inbau, Reid, Buckley, dan Jayne (2001: 99) menawarkan untuk menggunakan cara interogasi dengan kalimat-kalimat: “sebagai manusia kita terbiasa menganggap bahwa diri kita amat jauh dari sifat kebinatangan, tetapi sebenarnya kita hanya menipu diri sendiri. Dalam masalah seks, kita amat dekat dengan kebanyakan binatang. Jadi jangan berpikir bahwa anda adalah satu-satunya atau bahwa anda hanya salah satu di antara segelintir orang yang pernah melakukan perbuatan semacam ini. Ada banyak orang yang berbuat seperti ini dan ini terjadi setiap hari”
Justifikasi semacam ini membawa pada tersangka dan penyelidik/penyidik dalam situasi yang tidak ada tekanan dan gejala psikis. Membuat pelaku tindak pidana ada perasaan bersalah yang muncul dari ego personal-nya untuk tidak lagi berbohong dan menipu pihak kepolisian.
[Read More...]


GAYUS, ANTARA PENEGAKAN HUKUM ATAU UANG



GAYUS, ANTARA PENEGAKAN
HUKUM ATAU UANG
(Damang)

Mark galanter, seorang yuris Amerika pernah berujar Why the have come out a head. Mengapa orang berpunya selalu saja tampil ke depan? Pepatah itulah yang cocok bagi Gayus Halomoan Tambunan. Sebelumya pernah dijerat kasus korupsi, penggelapan uang, dan pencucian uang. Tetapi pada persidangan ia hanya di dakwa Pasal penggelapan uang saja. Alhasil hukuman yang ia dapatkanpun hanya satu tahun percobaan. Tak lama kemudian ia dibebaskan.
Setelah Gayus bebas dan jalan-jalan ke Singapura. Mantan Kaberskim Komjen Susno Djuadji  membeberkan perihal sogok-menyogok di lingkugan kepolisian, kejaksaan, bahkan sampai menyeret kembali isntitusi pengadilan sebagai institusi tempat bercokolnya para mafia hukum. Para makelar kasus. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan Gayus yang berhasil menyuap dan memporak-porandakan criminal justice system tersebut. Publik seakan tak percaya dengan semua institusi penegakan hukum. Kalau ada uang semua akan berjalan lancar. Persoalannya penegakan hukum terlalu gampang dinilai dengan uang. Penyelidik, penyidik, penuntut dan hakim sebagai pejabat yang memutus sanksi tindak pidana digerakkan oleh dinamisasi penjahat kelas kakap yang berkocek tebal.
Gayuspun kembali menyerahkan diri yang dijemput dari negara Singapura, setelah terjadi polemik atas tingka lakunya menyogok seluruh institusi hukum, dan kembali menyeret dirinya beurusan dengan kepolisian.
Namun, Gayus tak pernah kehabisan akal. Penegak hukum demikian protektif. Pasal-Pasal yang kuat menjerat atas tindakan penyupannya. Ia kembali memutar otak menciptakan hukum baru buat institusi penegakan hukum. Uang ataukah penegakan hukum. Maka ia kembali mempermainkan penjaga tahanan dengan sogokan uang lima puluh sampai enam puluh juta rupiah supaya tetap menghirup udara kebebasan di luar tahanan.
Melalui permainan media, foto mirip Gayus sedang menonoton pertandingan tenis di pulau bali, padahal ia dalam proses tahanan Kejaksaan, ia kembali di duga menyuap para penjaga tahanan. Entah sampai kapan publik dininabobokan dengan permainan hukum ala pelacur jalanan? Publik sedemikian jenuh, selalu ditipu dengan kekhilapan kepolisian yang telah di angkat menjadi control pertanggungjawaban publik. Hukum yang diciptakan oleh institusi penegakan hukum, realitas hukum, berada dalam lonceng kematian yang tak berdering lagi. Tidak mungkin publik percaya  kalau ia sudah ditipu berkali-kali. Polisi, kejaksaan, pengadilan selalu keteledoran dengan ulah Gayus sebagai mafia pajak sekaligus mafia hukum di semua institusi hukum.
Berikan kesempatan kepada kepolisian untuk membuktikan diri sebagai institusi yang dapat dipercaya (can believe)! Sudah berapa kali institusi tersebut di berikan kesempatan tapi pada akhirnya juga ia tak sanggup dengan lembaran juta rupiah yang ditumpuk di hadapannya. Kalau demikian, kultur hukum masyarakat atas kepercayaan institusi hukum rapuh. Jika dibandingkan dengan seorang nenek mencuri coklat berlarut-larut di tahanan, juga kasus Prita Mulya Sari yang diseret sebagai aktor tindak pidana pencemaran nama baik oleh salah satu pihak  rumah sakit.
Hukum itu tegak hanya pada orang tak berdaya, tegak pada kelompok yang miskin. Mereka tidak memiliki ratusan ribu atau lembaran jutaan rupiah untuk mengaburkan Pasal-Pasal yang dikenakan pada pelaku tindak pidana yang tak berpunya. Tidak ada bargaining position antara jaksa dan penyidik, untuk mengulur waktu melalui P19,  dan P21.
Alat bukti pasti sudah lengkap, dan berproses di pengadilan. Ironisnya hakim juga hanya menjadi corong undang-undang. Hakim layaknya mesin undang-undang. Pelaku tindak pidana yang keburu mencuri karena kelaparan semuanya disikat dengan Pasal 362 dengan sanksi pidana penjara maksimal lima  Tahun. Hukum bukan alat pembaharu. Hukum bukan melindungi pihak yang lemah. Oleh karena kekuatan penegakan hukum tercipta melalui power dan uang (baca:ekonomi). Jangan heran kalau publik selalu menciptakan pengadilan jalanan. Pencuri sandal akan dihakimi massa, kemudian mati terbaring tak berdaya di rumah sakit.
Aparat penegak hukum akan dihadapkan pada dimensi antara memilih law enforncement atau gratifikasi (penyogokan uang dengan iming-iming kebebasan).  Penyidik, penuntut, hakim tinggal memilih menerapkan Pasal-Pasal yang mana, Pasal yang lebih menjamin kebebasan tersangka, terdakwa, atau terpidana, keadilan yang menjadi tujuan (goal) hukum secara kasat mata tercapai dalam keadilan normatif. Keadilan yang dimaksud adalah bukan keadilan hati nurani. Bukan keadilan yang terejawantahkan sebagai penegak hukum yang menjalankan peraturan sebagai kecerdasan representasi ketuhanan.
Keadilan yang diharapkan oleh publik bukanlah keadilan bagai sarang laba-laba. Yang hanya mampu menjangkau dan menindas mereka yang tak berdaya, mereka yang lemah, meraka yang tidak mapan. Keadilan bagaikan sarang laba-laba akan terkoyak (sobek) oleh kelompok yang punya daya saing ekonomi yang kuat.
Roda penegakan hukum yang pada awalnya bebas dipengaruhi oleh stratifikasi sosial menjelma menjadi kekuatan perputaran alat produksi ekonomi seperti ramalan Karl Marx. Brigham (2000) pernah mengemukakan opini publik dan media sebagai salah satu elemen yang mempengaruhi penegakan hukum, terutama hasil putusan oleh hakim di pengadilan. Setidaknya penting untuk juga melihat pada intervensi partai politik yang berkuasa, partai politik yang dominan di parlemen (legislatif). Betulkah pengadilan menjadi institusi mandiri, tanpa campur tangan eksekutif? Tidakkah kasus Gayus di gerakkan oleh kaum pemilik modal yang besar, sehingga disinyalir ada 149 perusahaan pernah menyetor uang kas kerekeningnya dalam rangka penggelembungan jumlah pajak yang harus dibayar oleh tiap perusahaan tersebut. Sampai sekarang perkara Gayus belum juga ada satu perusahaan yang terseret ke pengadilan. Apakah pemerintah takut pada pemilik modal yang menjadi pondasi negara kita yang pada akhirnya akan terkena imbas krisis ekonomi tahap kedua?
Sanksi Pidana dan Penegakan Hukum
Penegakan hukum tidak dapat terlepas dari  adanya sanksi tindak pidana (Pasal 10 KUHP). Ulah Gayus yang menyogok aparat penegak hukum. Setidaknya menjadi pukulan telak bahwa Gayus tak pernah insaf karena hanya dijatuhi sanksi pidana yang ringan.
Belum lagi kasus korupsi yang lain, hanya di jatuhi pidana setahun atau dua tahun beserta remisi-remisnya. Maka terlalu dini untuk mengatakan bahwa sanksi pidana mati tidak sesuai dengan tuntutan kemanusiaan. Pidana mati melanggar HAM. Apakah negara kita berani dari lembagaa yudikatif, untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi yang melakukan korupsi hingga batas miliaran rupiah? Sampai sekarangpun tidak ada perkara korupsi, yang membawa terpidananya pada hukuman mati. Lalu dari beberapa LSM mengatakan kalau pidana mati tidak akan mungkin mengurangi bibit kejahatan.
Bagi penulis sendiri, jika beberapa kejahatan Gayus terbukti memenuhi unsur tindak pidana. Kejahatan korupsi, pencucian uang, penyogokan. Maka Gayus merupakan pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan dalam jumlah banyak (concursus).
Penegak hukum mulai dari institusi kepolisian sampai pengadilan tidak pelak untuk mentoleril tindak pidananya yang terus berlanjut. Pantas bagi pengadilan untuk menjatuhkan pidana yang berat. Kalau perlu tepat yang diusulkan oleh Mahfud untuk memiskinkan Gayus atas ulahnya yang terus menyogok institusi penegak hukum.
Nampaknya negara kita tidak akan mampu menegakkan hukum. Terlebih mengembalikan keperrcayaan publik pada institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Bukan perkara muda jikalau pemerintah (presiden) selalu mengatakan tidak ingin mengintervensi kepolisian dan kejaksaan, padahal kepolisian dan kejaksaan adalah juga lembaga eksekutif yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif (pemerintah).
Sudah sepantasnya presiden mengundang Kapolri untuk memberikan instruksi bahwa dalam waktu 1 kali 24 jam, anda harus menyelesaikan perkara penyogokan di institusi tersebut, kalau tidak maka anda sebagai pejabat Kapolri patut di ganti. Presiden sebagai lembaga eksekutif harus berani menyapu bersih semua aktor mafia yang ada di lingkungan institusi hukum.
Mafia pajak yang di gerakkan oleh Gayus harus sedemikan kuat diusahakan oleh presiden pada kepolisian, kejaksaan untuk membongkar seluruh mafia yang masih terselubung.
Pengadilan juga ke depan, hakim jangan menjadi penegak hukum yang lembek di hadapan publik. Tangan keadilan ada di tangan para hakim yang mengadili kasus Gayus. Publik seakan menaruh harapan tangan keadilan berdimensi ketuhanan pada ketok palu anda. Hukum Gayus seberat-beratnya jika terbukti bersalah (guilty). Tegakkan prosedur hukum yang transparan (tidak imparsial). Sanksi pidana yang berat bagi Gayus adalah cermin penegakan hukum yang sesungguhnya. Agar tidak lahir esok lusa bibit penjahat sekelas Gayus. Negara ini sudah lama menderita virus kemiskinan karena korupsi terus di lindungi.
[Read More...]


Opini publik, media dan pornografi (suatu analisis- legal psychology)



Opini publik, media dan pornografi
(suatu analisis- legal psychology)
Damang*
            Pembicaraan tentang tema pornografi menjadi perbincangan hangat. Mulai dari seminar ilmiah, media elektronik (baik visual maupun audio visual, media elektronik, dan media cetak), sampai pada kafe-kafe terdengar ramai meyinggung artis yang mirip Ariel, Luna dan Cut Tari sebagai pelaku adegan video syur yang telah menyebar mulai dari dunia maya sampai telphone genggam. Tak ada lagi orang yang tidak pernah menyaksikan pertunjukan video syur itu.
            Opini publik telah menggiring kedisiplinan normatif hukum ala Kelsen (pure of law) bahwa tak ada lagi dasar dan argumentasi untuk mengelak ketika pelaku adegan video syur  itu sudah di ketahui oleh publik. Bukan lagi dalam kapasitas sebagai praduga tak bersalah (persumption of innocence). Ahli yuris, pakar telematika, pakar micro ekspresion, ahli kedokteran forensik membaur bersama untuk mengungkap bersalah atau tidak (guility or not guility) pelakunya.
            Institusi penegak hukum dalam kepolisian sebagi penyelidik dan penyidik menjadi kalang kabut atas desakan dan tekanan dari media dan publik yang berbeda pendapat (pro dan kontra) untuk mengkriminalkan pelaku telah berbuat salah dan melanggar peraturan perundang-undangan.
            Asas legalitas kembali diperkuat, seorang tidak boleh dipidana kalau tidak ada peraturan yang mengaturnya kemudian. Undang-undang KUHP, Undang-undang Pornografi (Nomor 44  tahun 2008), dan Undang-undang ITE adalah dasar hukumnya untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi. Persoalan yang mencuat dari kasus tersebut, yaitu tidak adanya keseragaman (uniform) antara ahli hukum dan institusi penegak hukum tentang terpenuhinya unsur delik kesusilaan dan pornografi yang telah diatur dalam Undang-undang. Hukum bagai aturan yang tak lagi berfungsi sebagai kontrol sosial (social control). Undang-undang menjadi multiinterpretatif oleh kalangan ilmuwan hukum dan institusinya. Siapa yang menjadi korban? Pelaku adegan video syur  ataukah masyarakat yang telah menikmati sehingga disinyalir dengan beredarnya video syur dalam waktu dua minggu telah meresahkan masyarakat dari kasus kejahatan dan penyimpangan seksual. Frekuensi kejahatan Pemerkosaan anak (child rape), pelecehan seksual, semakin meningkat dalam waktu 10 hari. Komisi perlindungan anak Indonesia mengumpulkan data kekerasan seksual terhadap anak sekitar 33 kasus dalam waktu sepuluh hari. Munculnya video syur yang baru dari berbagai propinsi tidak boleh lagi menjadi alasan bagi penyidik berdiam diri atas kejahatan pornografi.
            Salah satu alasan baik dari partisipan hukum maupun non partisipan hukum yang mempengaruhi “mengkriminalkan” pelaku video syur  yang masih mirip adalah tekanan publik, LSM, pelakunya adalah figur publik (artis) yang banyak dieluk-elukan alias diidolakan. Segala perbuatan, tindak-tanduk dari figur adalah dibenarkan walaupun dianggap bertentangan dengan moral, budaya dan adat ketimuran.
            Demikianlah, tegaknya hukum sebagai benda mati yang dihidupkan oleh institusi hukum dan publik adalah dipengaruhi oleh determinan partisipan hukum. Hukum bukan sekedar yang tercantum dalam Undang-undang. Undang-undang pornografi dianggap undang-undang yang kompromistis, tidak jelas, debatable, dan tidak melindungi pribadi dan privasi seseorang.
            Undang-undang pornografi dipandang oleh sebagian ilmuwan hukum sebagai dasar yang sudah tepat untuk menangkap pelaku video syur. Padahal pasal 4, pasal 6 dan pasal 9 tidak dapat dikategorikan sebagai delik (tindak pidana) terhadap orang yang memotret, memvideokan dirinya hanya untuk kepentingan pribadi. Penjelasan Undang-undang dianggap bertentangan dengan batang tubuhnya. Hakimlah menjadi penentu terakhir apakah akan mengenyampingkan penjelasan Undang-undang tersebut ataukah hakim akan melakukan penemuan hukum (rechtsfinding). Kepentingan pribadi menjadi terminology yang ditafsirkan berbeda. Video syur yang beredar tidak bisa dipandang sebagai pembuatannya adalah untuk kepentingan diri sendiri, karena mereka berdua. Privasi di sini adalah bukan maksud pada adanya dua orang tersebut, tetapi video tersebut dimaksudkan untuk kepentingan privasi dan rahasia mereka berdua.
            Penulis sendiri memandang bahwa penangkapan Ariel adalah usaha mengkriminalkan pelaku yang belum jelas status hukumnya. Ironisnya ada pemaksaan dari pihak yuris, menteri maupun dewan legislasi untuk mengakui perbuatannya. Apa mereka benar-benar lupa pada hak asasi yang dijamin dalam hukum acara penyelidikan dan penyidikan. Hanyalah pihak penyelidik dan penyidik yang dapat menggali pembuktian melalui alat bukti keterangan terdakawa. Selama tidak ada putusan pengadilan yang inkra tidak boleh seseorang dijadikan sebagai orang yang bersalah (gulity). Pandangan hak asasi (hak kodrat) berlaku universal. Terhadap orang yang sekalipun tertangkap tangan dan dijadikan praduga bersalah, masih berhak untuk mendapat bantuan hukum berdasarkan asas inquisitoir dan perlakuan yang manusiawi. Pemberlakuan penahanan dan penangkapan bukan sesuatu yang absolut dilakukan oleh penyidik atau penyelidik. Penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan jika diduga pelaku itu akan menghilangkan barang bukti, akan mengulangi tindak pidana, dikhawatirkan pelakunya akan melarikan diri. Apalagi Ariel yang diduga sebagai pelaku, tetap koperatif mengikuti pemeriksaan oleh pihak kepolisian, maka tidak perlu ada alasan bahwa ia akan dikecam, didemo oleh publik, terancam jiwanya. Kekhawatiran  rencana pembunuhan dari korban video syur yang sakit hati. Oleh karena kesadaran dan penghormatan terhadap hukum itu lebih penting daripada menempuh jalan kurasif.
            Kesadaran hukum (internalization) bangsa kita ini masih rendah. Ahli yuris dan penegak hukum terlalu gampang kebablasan memaksakan aturan hukum untuk dipatuhi (obey) sesegara mungkin tanpa melalui prosedur hukum yang benar (due process of law) sebagai mana diatur  dalam hukum acara formil. Motif balas dendam tidak tertekan. Kelompok yang secara inklusif mewartakan kebenaran baik melalui institusi keagamaan, dan LSM mengambil alih tugas institusi penegak hukum dengan main hakim sendiri (eigenrechting), menjalankan hukuman tanpa menghormati hak dan kemanusiaan. Kepercayaan masyarakat (baca: publik) sudah mulai pudar terhadap institusi penegak hukum.
            Institusi penegakan hukum tidak perlu ditambah-tambah dengan pembentukan komisi-komisi. Kekhawatiran yang mungkin dianggap nyeleneh adalah mungkinkah semua delik yang tercantum dalam KUHP akan ada komisinya. Beredar video syur yang meresahkan, sebagian ahli dan akademisi menganggap perlu, kepengen lagi membentuk komisi pemberantasan video syur, komisi pemberantasan pemerkosaan. Entah Sampai kapan  lembaga negara (eksekutif dan legislatif) hanya sibuk merancang pembentukan komisi. Padahal terlupakan akan pentingnya penguatan terhadap institusi hukum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Opini publik, media dan pornografi sebagai embrio disparitas pemidanaan.
            Video syur yang dianggap sebagai pornografi juga melahirkan pandangan adanya disparitas bagi pelaku yang pernah memvideokan dirinya. sejak periode tahun 2000-an ke atas sudah banyak kasus yang demikian, juga tak seserius video mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari sampai pihak kepolisian mengerahkan seluruh pakar untuk menyingkap keaslian video dan pelakunya.  Hanya pernah terdengar bahwa pelaku video syur Bandung Lautan Asmara (Nanda) telah di tindak melalui KUHP dengan putusan pengadilan berdasarkan pada pasal 281 yang melanggar delik kesusilaan. Apakah suatu saat hakim di pengadilan akan memakai preseden kasus Bandung Lautan Asmara?, dalam rangka menghidupkan kembali hukuman yang dibuat oleh pelaku hukum yang telah wafat. Tidakkah itu adalah disparitas jika tindak dan rumusan deliknya sama kemudian putusannya berbeda.
            Publik akan melihat bahwa hukum itu penuh kepentingan (interested). Boleh jadi menghukum yang minoritas, tetapi juga tatkalah akan menghukum yang mayoritas jikalau ada tekanan media, opini publik dan otoritas keagamaan. Equal justice under law, menjadi abu-abu bahwa hukum itu memihak pada yang mana.  Apakah Mereka yang kaya? seperti ulasan Mark galanter, ataukah mereka yang ditekan oleh media dan publik yang menjadi ulasan, minat dan penelitian psikologi hukum (legal psychology) melalui pendekatan dan kacamata psikologi seperti kajian  Brigham, Bartol, kapardis, Saks dan Gudjonson.
            Dalam kacamata psikologi yang melihat pada pelaku kejahatan digunakan pendekatan psychology in law (spesific aplication in law), pornografi ternyata sikap yang dianggap abnormal, penyimpangan seksual, narsis yang berlebihan (over), ekshibisionis. Penyakit memvideokan diri yang abnormal, kalau ternyata menimbulkan efek kecemasan dan patologi sosial tidak hanya disikapi dengan mengkriminalkan pelaku tetapi perlu ada pemulihan pelaku video syur tersebut dari sindrum yang meresahkan dengan melibatkan psikiater. Menjalankan hukum adalah tetap dibenarkan sebagai pertanggungjawaban pidana (criminal rensponsibility) untuk menjadi terapi sekaligus memulihkan keadaan dari tekanan publik agar tidak berlaku main hakim sendiri dengan slogan kebenarannya yang inklusif.
            Faktor media, tekanan publik juga mempengaruhi sehingga delik seperti pornografi yang dalam penyidikan kepolisian berlaku transparan dalam setiap pembuktian dan keterangan perihal tersangka. Hanya kemandirian dari hukum dan penegak hukum itu sendiri juga berkorelasi negatif dengan pengambilalihan media untuk membenarkan dan mengkriminalkan juga pelaku. Terlepas dari tarik menarik kepentingan tersebut yang penting adalah publik harus menghormati legalitas principle, dan penghormatan tersangka pada hak-haknya.
            Fakta-fakta yang bersifat istimewa adalah bahan kajian kepolisian untuk melibatkan berbagai kalangan dan akademisi bekerjasama dalam mencari penyebar video syur tersebut. Ataukah jangan-jangan mereka pelaku juga berperan sebagai penyebar. Identik dengan pembunuhan  dalam beberapa kasus di Amerika (Bartol:2004) yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya, kemudian melapor ke kantor polisi bahwa anaknya telah dicuri oleh yang tak dikenal kemudian dibunuh, padahal pelaku adalah ibunya sendiri. Adalah peran kepolisian dengan tetap berpegang pada kerahasiaan yang harus dilindungi terhadap pelaku untuk melibatkan berbagai peneliti (brief: argumentasi tertulis) melalui model criminal profiling  dalam mencari penyebarnya. Karena tidak mungkin semua penyebar video syur itu ditangkap dan ditahan. Maka kepolisian akan mencari penyebab utama kejahatan tersebut (causa prima).
            Apakah pelaku video syur tersebut dapat dikategorikan memenuhi rumusan delik? Hakim dalam putusan pengadilan tentunya tidak mutlak otonom. Mengkonstantir kejahatan memang otonom tetapi pemberlakuan dan penerapan akan melihat reaksi publik terhadap putusannya. Hakim di sini tidak hanya akan di pengaruhi oleh fakta yang bersifat istimewa (idiosyncracy of fact), namun juga dipengaruhi oleh prapemahaman (vervonstandnis)  yang tidak melibatkan Undang-undang. Dalam hal ini dipengaruhi oleh pemahaman (verstehen) mereka yang lebih awal dalam memandang kejahatan tersebut.
            Hukum bukan sekedar Undang-undang, logika, dan penalaran, tetapi adalah juga pengalaman (Holmes:1998). Pengalaman akan berkonfigurasi dengan aspek kognitif seperti emosi yang berempati terhadap pelaku, korban, juga efek dari kejahatan tersebut. Tekanan media akan menekan cara berpikir hakim yang dogmatik untuk mengenyampingkan undang-undang, demi keinginan publik pada pemuasan keadilan yang universal. Namun tak boleh dilupakan bahwa tekanan reaksi emosional atas publik jangan sampai mengabaikan hak-hak dari pada pelaku. Tidak perlu ada debat siapa korban atau penjahat dari kejahatan. Lebih penting bahwa hukum adalah penekan dari motif balas dendam. Oleh karena hukum telah meniadakan kita dari perilaku yang buas seperti ungkapan hegel (dalam dialektika idealisme). Hukum adalah pengejawantahan kekerasan dengan gaya mulia.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors