Humanisme dan Para Kritikusnya



Humanisme adalah sebuah topik yang ‘licin’. Kata itu bukanlah sebuah istilah dengan pengertian tunggal yang mudah disepakati. Orang kebanyakan di Indonesia mendengar istilah ini sebagai barang asing yang dicangkokan ke dalam bahasa kita. Kalangan-kalangan religius, khususnya yang meyakini eksklusivitas jalan keselamatan menurut doktrin mereka, menganggap humanisme sebagai musuh berbahaya yang harus ditangkal. Sebaliknya bagi mereka yang dicekik oleh doktrin-doktrin fanatik agama, humanisme merupakan lorong pembebasan yang memberi mereka nafas untuk hidup. Topik humanisme juga sangat dekat dengan kita, jika menginsyafi bahwa para pendiri negara kita memandang penting paham ini untuk mewadahi pluralisme dalam masyarakat kita dan mencantumkannya sebagai sila ke-2 Pancasila. Begitu dekat sekaligus begitu jauhnya kita dari paham ini, begitu kaburnya di kepala orang banyak, sehingga kita memuji atau mencercanya tanpa mengerti apa yang kita puji dan cerca serta mengapa kita puji dan cerca.
Untuk mereka yang mencerca humanism, ilustrasi berikut mungkin berfaedah. Dulu dan di mana pun, sebelum modernitas, setiap suku bangsa atau setiap bangsa menurut tanah dan darah memandang diri sebagai manusia, sementara orang-orang di luar dianggap liar, barbar atau ‘bukan manusia’. Etnosentrisme macam itu bahkan mendapatkan legitimasi sakral dalam agama-agama dunia manakala orang-orang di luar umatnya disebut ‘kafir’ – sebuah varian dari ‘bukan manusia’. Sudah sejak dini dalam sejarah peradaban, bangsa Yunani dan Romawi kuno meyakinkan bangsa-bangsa lain akan adanya kemanusiaan universal. ‘Manusia’ memang muncul dalam tradisi agama-agama dunia dan dari wahyu yang mereka terima, namun wahyu illahi hanya dapat ditangkap oleh mereka yang beriman kepadanya, sehingga ‘manusia’ versi wahyu itu berciri partikular. ‘Manusia’ yang dibela oleh para leluhur humanisme tersebut berciri kodrati, dimengerti lewat akal belaka tanpa melibatkan wahyu illahi. Segala yang dapat ditangkap oleh akal manusia dapat diterima oleh semua manusia yang berakal, maka ‘manusia’ yang dimengerti para leluhur humanisme ini sungguh-sungguh universal dan tidak tinggal partikular seperti ‘manusia’ dalam agama-agama. Di zaman Renaisans gagasan Yunani Romawi tentang kemanusiaan universal itu dibangkitkan kembali dan berkembang bersama dengan modernitas kita sehingga kita sekarang dimampukan untuk mengatasi etnosentrisme dengan suatu ide abstrak, yakni humanitas.
Prestasi-prestasi peradaban yang disumbangkan oleh humanisme Barat kita nikmati bersama dewasa ini. Humanisme tidak hanya mendasari ide dan praksis hak-hak asasi manusia, civil society, dan negara hukum demokratis, melainkan juga mendorong aksi-aksi solidaritas global yang melampaui negara, ras, agama, kelas sosial, dst., sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai kegiatan institusi PBB. Gagasan tentang toleransi agama adalah prestasi lain yang disumbangkan oleh humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18 kepada peradaban modern. Peradaban modern itu sendiri, dengan berbagai institusinya yang bekerja secara rasional, seperti sains, teknologi, pendidikan, birokrasi dan pasar kapitalis, dibangun di atas premis-premis humanisme. Tanpa peranan abstraksi kemanusiaan universal dan rasionalitas manusia, sistem hukum modern yang memungkinkan kerjasama antarbangsa dan membangkitkan rasa tanggungjawab global terhadap perdamaian dan keutuhan ekologis kiranya akan sulit dibayangkan. Keyakinan rasional akan adanya akal bersama umat manusia ini melandasi berbagai perjuangan untuk menegakkan keadilan dan perdamaian sampai dewasa ini. Dalam arti ini humanisme tidak tinggal menggantung di langit-langit abstrak; ide itu memberi faedah praktis dalam kehidupan kita.
Untuk mereka yang terlalu memuji humanisme dan memperlakukannya sebagai berhala intelektual yang dikira akan menyelamatkan hidup mereka, kritik-kritik terhadap humanisme yang dilontarkan banyak pemikir sejak paruh pertama abad ke-20 yang lalu akan membantu mencelikkan mata mereka. Kuliah umum saya ini akan dipersembahkan baik kepada mereka yang mencurigai humanisme sebagai musuh berbahaya maupun kepada mereka yang memujanya sebagai berhala intelektual. Dalam segala hal di dunia ini kiranya tidak ada sesuatu yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk sehingga akal kita masih diberi kesempatan untuk memilih dan mengambil yang baik. Hal itu juga terjadi dengan humanisme. Tidak berlebihan kiranya menyatakan bahwa tugas kita di sini adalah memahami kemanusiaan secara lebih baik dengan mengeluarkannya dari jepitan antihumanisme dan humanisme itu sendiri.

1. Mengakarkan Manusia di Dunia-Sini

Marilah kita mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa humanisme, suatu paham yang menitikberatkan pada manusia, kemampuan-kemampuan kodratinya dan nilai-nilai kehidupan duniawi ini tumbuh dalam sejarah peradaban? Kita dapat mulai menjawab perkara ini dari zaman antik karena bangsa Yunani kuno dengan sistem pendidikannya, paidea, yang mengolah bakat-bakat kodrati manusia dan bangsa Romawi kuno dengan gagasannya tentang manusia sebagai animal rationale dipandang sebagai peletak dasar humanisme universal. Akan tetapi para leluhur peradaban Barat itu tidak menghadapi persoalan dengan sistem teror religius seperti yang dihadapi keturunan mereka di Abad Pertengahan, sehingga humanisme kritis dalam pengertian modern tidak muncul di sana. Humanisme kritis itu dimulai dengan gerakan umanisti pada zaman Renaisans abad ke-14 sampai ke-16 dan memuncak pada humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18.
Kita perlu melihat gerakan humanis modern itu sebagai upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang mempersoalkan monopoli tafsir kebenaran yang dahulu kala dipegang oleh kombinasi ajaib agama dan negara. Kekristenan Abad Pertengahan, lewat Agustinus dari Hippo, memang telah menambahkan aspek adikodrati pada pemahaman tentang manusia yang berkembang di zaman kuno, namun sebagaimana diketahui lewat sejarah, tafsir religio-politis itu pada gilirannya mendominasi masyarakat sehingga manusia dan kemanusiaannya dialienasikan dari keduniawiannya yang otentik. Kekristenan memusatkan diri pada keselamatan jiwa manusia dan sejauh itu sebenarnya juga sebuah humanisme, namun manakala doktrin keselamatan berubah menjadi alat kontrol atas kebebasan individu, yang penting di sini tidak lagi manusia nyata, melainkan agama. Di Eropa Abad Pertengahan ditemukan di mana-mana terlalu banyak agama, terlalu banyak ketakutan akan perkara-perkara di balik kubur, namun terlalu sedikit perhatian dan penghargaan terhadap kehidupan di dunia yang nyata ini. Humanisme tumbuh bagai tunas-tunas muda di tengah-tengah himpitan bangunan usang Abad Pertengahan yang mulai retak di sana-sini.
Humanisme modern yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu illahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan tampil ke depan menggeser agama. Manusia terutama dimengerti dari kemampuan-kemampuan alamiahnya, seperti minat intelektualnya, pembentukan karakternya, apresiasi estetisnya. Perhatian lalu diumpahkan pada toleransi, vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan dst. Semua itu dicakup dalam kata humanus. Upaya seperti itu dimulai dengan pendamaian antara filsafat (khususnya Aristoteles dan Plato) dan Kitab Suci, kesusastraan Yunani kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat kita temukan pada Giovanni Pico della Mirandolla (1463-94) atau kadang juga dengan mendukung sistem heliosentrisme yang ditentang otoritas religius waktu itu, sebagaimana dilakukan oleh Giordano Bruno (1548-1600) yang lalu dikejar-kejar sebagai bidaah dan dibakar di Roma. Gerakan humanis ini mulai di Italia, lalu merambat dengan cepat ke Jerman, Prancis, Belanda, dst.
Sulit dipastikan mana yang lebih dahulu berperan dalam modernisasi Barat, humanisme atau ilmu pengetahuan modern, namun kita tidak perlu meragukan bahwa keduanya saling bahu membahu dalam mengokohkan suatu cara berpikir rasional yang menempatkan manusia dan rasionalitasnya sebagai pusat segala sesuatu. René Descartes meletakkan dasar filosofis untuk tendensi baru ini lewat penemuan subyektivitas manusia dalam tesisnya je pense donc je suis (aku berpikir, maka aku ada). Ciri ini lalu disebut ‘antroposentrisme’, untuk menegaskan sikap kritisnya terhadap teosentrisme Abad Pertengahan. Salah satu hal penting yang kerap luput dari perhatian adalah hubungan khas antara perkembangan ilmu-ilmu alam modern dan humanisme modern yang semakin skeptis terhadap agama. Isaac Newton (1643-1727) dengan fisikanya memberi kita suatu keyakinan rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis seperti sebuah arloji, dan akal budi manusia dapat menyingkap hukum-hukum yang bekerja di belakang proses-proses alamiah. Rasionalisme dan empirisme abad ke-17 bahkan sampai pada suatu tilikan yang mencerahkan bahwa hukum-hukum alam itu tidak lain daripada hukum-hukum akal budi itu sendiri, sehingga semakin dalam kita menyingkap proses kerja akal kita, semakin luas pula pengetahuan kita tentang cara kerja semesta. Kaitannya dengan humanisme yang kritis terhadap otoritas wahyu juga jelas karena pencerahan mengenai korelasi antara hukum alam dan hukum akal budi itu juga ditemukan oleh para pemikir abad ke-18 di wilayah moralitas. Kaum agnotis, the deists ataupun ateis pada masa itu yang banyak menulis buku-buku kontroversial mencoba meyakinkan para pembaca mereka bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi dapat dilacaki pada mukjizat-mukjizatNya, melainkan pada arloji semesta yang mencerminkan suatu desain illahi. Karena itu juga moralitas tidak harus diturunkan dari wahyuNya, melainkan cukup disimpulkan dari asas-asas di dalam akal budi kita sendiri dan mekanisme alam. Lalu tidak perlu dijelaskan panjang lebar bahwa sesuatu seperti hukum alam juga bekerja di dalam transaksi pasar, sebagaimana ditemukan oleh Adam Smith dan kaum fisiokrat.
Ditinjau dari sisi tertentu, humanisme seperti berupaya untuk merebut manusia dari alienasi oleh obsesi masyarakat pada dunia-sana dan mengakarkannya kembali ke dunia-sini. Lewat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu kemanusiaan, sejak abad ke-17 dalam empirisme Inggris sampai abad ke-19 dalam romantisme Prancis, gerakan ini menyuburkan penelitian-penelitian atas apa yang disebut ‘manusia alamiah’. Manusia alamiah itu bukanlah makhluk berdosa asal yang diusir dari firdaus yang lalu membutuhkan rahmat Tuhan untuk keselamatannya, melainkan suatu makhluk yang memiliki kebebasan dan akal, sekaligus juga – seperti binatang – didorong oleh naluri-nalurinya. Para teoretikus kontrak dari Hobbes sampai Rousseau ingin menjelaskan ‘mekanisme sosial’ dengan mekanisme kepentingan-diri atau kepentingan sosial yang pada akhirnya dapat dikembalikan pada kecenderungan naluriah untuk mencari kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Dalam biologi abad ke-18, klasifikasi makhluk hidup yang dilakukan oleh Carl von Linné hanyalah awal dari upaya melihat manusia sebagai salah satu spesies hewan, sebelum Charles Darwin di abad ke-19 lewat teori evolusinya sama sekali meruntuhkan gambaran sakral tentang manusia yang berabad-abad diimani dalam agama. Humanisme seakan berkata bahwa manusia berasal dari dunia-sini dan bukan roh dunia-sana yang terperangkap dalam daging.

2. Menimbang Humanisme Ateistis

Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Di sini dapat didaftar, misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dst. yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling getol memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Jika kita mengikuti ulasan di atas, akan jelas bahwa humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18. Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja kita bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab sekarang: Apakah kontribusi humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya?
Sejauh kita mengambil segi positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun perananNya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Bisa dikatakan bahwa humanisme ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian akhir imanensi manusia untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni manusiawi tanpa transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu masyarakat yang ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral rasional itu tidak dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu toleransi di dalam masyarakat modern yang semakin kompleks.
Sumbangan kedua humanisme ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantunya untuk memeriksanya untuk mengambil jarak kritis terhadap penghayatannya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorangpun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya.
Betapapun sucinya, agama melibatkan banyak hal yang bersifat manusiawi dan duniawi, seperti: imajinasi sosial manusia, kepentingan kelasnya, sistem pengetahuannya, tradisi kulturalnya. Dengan hanya percaya saja, yaitu tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan lama kelamaan dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangNya dibangun oleh sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Feuerbach, Marx, Comte, Nietzsche dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang Tuhan. Jika yang dipersoalkan adalah gambaran Tuhan, kritik agama mereka akan sangat menolong umat beragama untuk membersihkan imannya dari delusi-delusi. Dalam arti ini humanisme ateistis justru dapat menjadi jalan untuk mengakui transendensi dan kemutlakan Tuhan yang berada di luar gambaran-gambaran kita. Bukan Tuhan, melainkan gambaran Tuhan yang kelirulah yang sesungguhnya telah mereka bunuh. Jika berhala-berhala pikiran disembah sebagai theos, untuk menjadi seorang teis sejati, diperlukan sikap ateis, yakni menolak meyakini theos palsu itu.
Berkembangnya ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama kiranya merupakan sumbangan ketiga yang bersifat pragmatis dari humanisme ateistis. Jauh sebelum munculnya para ateis itu, apa yang disebut ilmu agama tidak kurang daripada suatu teologi yang menjelaskan, membenarkan dan membela iman sendiri. Dewasa ini dunia ilmu dan pendidikan tinggi telah memiliki dan mengembangkan berbagai ilmu empiris dan percabangan mereka, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama-agama dst. yang memperlakukan gejala-gejala agama, seperti mistik, trance, bahasa roh, penyembuhan lewat iman, kemartiran dst. sebagai gejala-gejala manusiawi yang dijelaskan secara rasional dan empiris. Humanisme ateistis banyak mendorong peralihan sudut pandang dari ‘perspektif penghayat’ ke ‘perspektif pengamat’ yang banyak membantu mengembangkan etos riset ilmiah tentang agama yang hari ini dimiliki dunia ilmu. Bersama dengan moral rasional dan kritik agama, ilmu-ilmu empiris tentang agama banyak membantu umat beragama sendiri dalam menghayati imannya secara dewasa tanpa mengesampingkan peranan akal. Ini terjadi dalam banyak studi baik di kalangan Katholik maupun Protestan di Barat untuk merekonstruksi suatu teologi yang sesuai dengan kompleksitas dunia modern kita dan karenanya juga menolong penghayatan iman yang lebih transformatif dan toleran.

3. Kritik-kritik atas Humanisme

Humanisme sebagai suatu proyek peradaban memiliki karir yang tidak diduga oleh para perintisnya karena ia menjadi eksklusivistis dalam kolonialisme dan totalitarianisme. Kemanusiaan disempitkan pada peradaban tertentu, ras tertentu atau kelas sosial tertentu, sehingga manusia konkret ditindas dengan pembenaran-pembenaran antroposentris. Manusia konkret diremehkan dan digilas oleh kekuatan-kekuatan asing yang bernama peradaban, ideologi atau teror yang semua itu hanya mungkin tumbuh dalam antroposentrisme yang diajarkan humanisme. Dengan kolonialisme dan totalitarianisme itu, dewasa ini muncul sikap skeptis yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap humanisme modern. Kita sedang menapaki suatu era yang dapat kita sebut ‘pasca-humanisme’. Kita memang menikmati hasil-hasil positif gerakan humanisme seperti telah saya sebut pada permulaan kuliah ini. Ketika berbicara tentang hak-hak asasi manusia, misalnya, mau tidak mau mengandaikan banyak hal yang merupakan prestasi gerakan humanisme modern, seperti penghargaan terhadap kebebasan, rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada saat yang sama kita tahu bahwa konsep kemanusiaan universal dan ciri keduniawian yang dibawanya mengandung bahaya yang sama besarnya dengan konsep Tuhan dari agama manapun, jika konsep-konsep itu dimengerti secara eksklusivistis dengan menyingkirkan manusia konkret dalam segala keberlainan kultural, ras, jender maupun kelasnya. Dilema dalam humanisme itu mendesak kita untuk menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Kita akan masuk dalam kritik-kritik atas humanisme dan kemudian memberikan pendirian kita sendiri.
Di dalam sebuah tulisannya, Geheimnis der Sprache Johann Peter Hebels (Rahasia Bahasa Johann Peter Hebel), filsuf besar abad ke-20, Martin Heidegger, menulis – saya kutip aslinya – “Eigentlich spricht die Sprache, nicht der Mensch. Der Mensch spricht erst, insofern er jeweils der Sprache ent-spricht.” (sesungguhnya bahasa berbicara, bukan manusia. Manusia berbicara baru sejauh ia selalu sesuai dengan bahasa). Manusia memang berbicara, yaitu menuturkan bahasa, tetapi bahasa harus didengarkan lebih dahulu, baru kemudian ia bisa berbicara. Yang didengarkan itu tak lain daripada bahasa yang meneguhkan hakikatnya. Bahasa primordial yang membuat manusia menjadi manusia itu adalah bahasa ibu, bahasa yang dituturkan dalam sebuah komunitas konkret. Jika demikian, manusia dan kemanusiaan ditemukan atau – lebih tepat – dibuat lewat percakapan, yaitu yang dituturkan oleh suatu kelompok. Dengan mengucapkannya lagi dan lagi, manusia dan kemanusiaan menjadi semakin nyata. Dalam arti ini kita boleh mengatakan bahwa manusia belum ada sebelum Renaisans karena ia belum menjadi tema tuturan sebagaimana terjadi dalam filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan modern.
Pandangan Heidegger itu ikut menandai linguistic turn di dalam filsafat abad ke-20 yang melihat humanisme sebagai perkara diskursus yang tidak hanya dituturkan dalam sebuah forum, melainkan menjadi pusat tuturan dan pengetahuan suatu zaman, yaitu modernitas. Sejak awal tadi kita terlibat dengan kata-kata abstrak “manusia” dan “kemanusiaan” yang menjadi pokok persoalan dalam humanisme. Kata-kata yang terus dituturkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan itu memiliki asal-usul metafisis sekaligus juga mendasari suatu metafisika. ‘Kemanusiaan’ adalah sebuah diskursus tentang ‘hakikat’ yang dapat kita sebut “metafisika kemanusiaan”. Dalam metafisika kemanusiaan itu menurut Heidegger humanisme melupakan hubungan ‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (Sein). Hakikat tidak sama dengan ‘Ada’, melainkan bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan dirinya akan juga menentukan bagaimana ‘hakikat’ itu ditangkap. Humanisme merupakan bagian dari sejarah pemahaman tentang ‘Ada’ yang menjelaskan ‘hakikat’ sebagai sesuatu yang permanen, tertata rasional dan universal seperti alam semesta yang ditemukan oleh Newton.
Para kritikus humanisme di abad ke-20 ingin membebaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang memahami Manusia sebagai pusat kenyataan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan baru dalam sains kontemporer yang banyak mempersoalkan pandangan dunia Newtonian ikut mempengaruhi skeptisisme terhadap metafisika kemanusiaan itu. Dalam mekanika kuantum dan teori relativitas, misalnya, gambaran dunia yang deterministis dibantah dengan indeterminisme. Kenyataan alamiah itu sendiri, partikel, bukanlah suatu substansi seperti yang dicari dalam metafisika, melainkan suatu gerak yang selalu berubah. Bagaimana konstruksi teoretis tentang obyek alamiah itu juga menentukan bagaimana obyek itu menampakkan diri. Jika demikian, antroposentrisme selama berabad-abad juga dapat dilihat sebagai suatu konstruksi metafisis yang membuat kita secara intelektual terobsesi untuk mengunggulkan universalitas kemanusiaan, dan itu dilakukan dengan meminggirkan kebudayaan, agama, jender, dst. Metafisika kemanusiaan yang mendasari humanisme modern lalu ditantang sekurangnya dari tiga arah yang sejak awal dibangun oleh humanisme, yaitu metafisika, kebudayaan dan masyarakat. Masing-masing diwakili oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Niklas Luhmann.
Derrida belajar banyak dari Heidegger untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan. Filsuf Prancis kontemporer ini memberi penjelasan yang lebih rinci mengenai keadaan manusia setelah dilepaskan dari pusat kenyataan dan menjadi ‘tetangga Ada’ itu (ingat ‘tetangga’ tidak menyiratkan suatu hirarki makna, melainkan kesetaraan makna). Pertama-tama dia menghentikan seluruh upaya untuk menemukan makna asli dari segala sesuatu yang menjadi obsesi peradaban Barat sejak ada filsafat, yaitu menghentikan pencarian ‘hakikat’. Pencarian humanisme akan ‘kodrat’ manusia dengan demikian juga dihentikan. Mengapa? Bukan hanya bahwa pencarian itu sia-sia, melainkan juga bahwa upaya itu – dengan segala ketulusannya sekalipun – akan membangun suatu rezim makna yang bersifat hirarkis yang akan meminggirkan hal-hal yang tidak dapat dimasukkan ke dalam makna yang dianggap asli itu, kolonialisme dan totalitarianisme yang kita bahas di atas? Bukankah dari oposisi antara asli dan tak asli, hakiki dan tak hakiki, muncul marginalisasi, alienasi, represi dan destruksi atas the other sebagai ‘yang tidak asli’ sebagaimana dilakukan tuan-tuan penjajah, komunis dan nazi?
Untuk menghentikan pencarian hakikat – dalam topik kita di sini Manusia dengan huruf besar M dan melepaskan manusia dari pusat kenyataan - Derrida melakukan suatu hermeneutik (penafsiran) radikal yang disebutnya ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi bukanlah destruksi, melainkan suspensi makna atau différance, yaitu menunda untuk mengembalikan sesuatu pada makna aslinya. Kemanusiaan tidak bisa dikembalikan pada satu titik primordial, misalnya, ‘kemanusiaan universal versi humanisme’, karena titik primordial itu tidak ada. Jika tahta tempat segala makna ditentukan itu kosong, tidak ada lagi meta-referensi yang menjadi ukuran untuk menentukan sesuatu itu asli atau tidak. Makna lalu tidak lagi diasalkan pada makna induk yang dianggap menduduki tahta itu, melainkan dihasilkan dengan apa yang disebut ‘intertekstualitas’, yaitu menghubung-hubungkan makna yang satu dengan makna yang lain secara interpretatif. Melakukan dekonstruksi atas metafisika kemanusiaan lalu berarti memahami manusia tidak dengan cara mengasalkannya dari suatu makna induk tentang kemanusiaan, misalnya kemanusiaan yang dianggap telah ditemukan oleh humanisme, melainkan dengan menghubung-hubungkan secara interpretatif pemahaman yang satu dengan yang lain tentang manusia tanpa maksud untuk mencari dan memulihkan hakikat universalnya. Dengan ungkapan lain, Manusia dengan huruf besar M diganti dengan manusia-manusia dengan huruf kecil m yang berdiri setara. Pertukaran M dengan m ini memiliki implikasi yang jauh: Kemanusiaan universal versi humanisme didesentralisasikan dan dipluralisasikan. Untuk memahami manusia kita tidak bisa lain kecuali menafsirkan berbagai pemahaman kultural tentang manusia dengan mengandaikan kesetaraan mereka.
Bersama dengan seluruh filsuf kontemporer yang melakukan linguistic turn, seperti strukturalis dan pasca strukturalis, Rorty, seorang pragmatis Amerika Serikat, memandang humanisme sebagai perkara kontigensi bahasa. Mengacu pada Wittgenstein dan tradisi hermeneutik, dia menolak fungsi bahasa sebagai deskripsi dunia, seolah-olah dunia ada di luar bahasa. Menurutnya bahasa menciptakan dunia, dan sejarah tidak lain daripada perubahan semena-mena dari language game yang satu ke yang lain, maka kenyataan juga berubah menurut perubahan language game itu. Setuju dengan Derrida yang menolak makna asli atau hakikat, Rorty menolak adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat dipakai sebagai tolok ukur bagi kebenaran language games, sebab tak seorangpun memiliki sudut pandang yang mengatasi sejarah, sebagaimana dikira telah dimiliki oleh para humanis yang yakin telah melihat kemanusiaan lebih hakiki daripada orang-orang lain. Kita berada di dalam language game dan mendunia di dalamnya, maka bagaimana kemanusiaan dimengerti juga tergantung pada kontingensi bahasa. Ilmu pengetahuan, seni, kebudayaan dan politik bagi Rorty bergerak dalam horizon language games yang terus berubah dalam sejarah.
Penolakan Rorty terhadap kosakata akhir memiliki konsekuensi bahwa pandangan humanisme tentang adanya ‘inti diri’ yang tetap dan universal, seperti kesadaran atau akalnya, juga harus ditolak. Manusia bergerak atau – lebih tepat – ‘merangkak’ di dalam language games, maka kediriannya juga dicetak oleh dan berubah sesuai berbagai pemakaian metafor yang silih berganti dalam sejarah. Yang ditolak di sini adalah antroposentrisme Kant yang menempatkan subyek sebagai kosakata akhir yang seolah berada di luar language games. “Pandangan Kant tentang kesadaran”, begitu katanya,”membuat kedirian menjadi Tuhan”. Yang sebenarnya terjadi menurut Rorty adalah bahwa penemuan akal sebagai hakikat manusia dalam humanisme tidak lain daripada penemuan bahasa baru atau metafor baru yang juga akan berubah lagi pada suatu ketika dengan ditemukannya metafor lain. Semua argumentasi Rorty ini ditujukan untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang dianut oleh humanisme sehingga manusia tidak lagi berada di pusat kenyataan.
Pertanyaan kita lalu: Untuk apakah decentring of subject ini? Bagi Rorty hal itu bersangkutan dengan masalah pragmatis yang sebenarnya mendasari humanisme modern, yaitu solidaritas sosial. Ia berpendapat bahwa selama kita masih meyakini adanya ’inti diri’ atau Manusia dengan huruf besar M itu, keyakinan itu justru akan menghalangi solidaritas kita dengan orang-orang lain. Tuan-tuan penjajah, orang-orang nazi dan komunis meyakini adanya ‘inti bersama’ kemanusiaan yang justru tidak mereka temukan pada para korbannya. Jika mereka menganiaya orang-orang itu, mereka tidak merasa telah menganiaya manusia. Konsep subyek seperti yang dianut Kant dan humanisme menurut Rorty juga tidak banyak berguna untuk membangkitkan solidaritas dengan para korban. Orang menolong para tetangga Yahudinya bukan karena mereka adalah “makhluk rasional”, melainkan karena mereka sama-sama penduduk Milano, anggota serikat buruh, bapak atau ibu dari anak-anak mereka yang masih kecil dst. Menurut Rorty untuk membangkitkan solidaritas kemanusiaan tidak perlu dirumuskan secara metafisis, melainkan dialami secara sentimental. Di sini Rorty melanjutkan hasil dekonstruksi Derrida atas kemanusiaan. Jika hakikat universal manusia ditolak, memahami manusia harus secara intertekstual, dan intertekstualitas secara konkret bagi Rorty berarti sentimentalitas, yaitu suatu kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat dst. karena mampu melihat dan ikut merasakan kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain. Kemampuan sentimental inilah yang membuat orang-orang di seberang lautan juga bisa “termasuk ke dalam kita”. Metafisika kemanusiaan harus dilampaui dengan kemanusiaan sentimental yang memperluas horizon kemanusiaan lewat “rasa kekitaan”.
Salah seorang kritikus di Jerman kontemporer yang menolak humanisme demi menyelamatkan kemajemukan adalah Niklas Luhmann. Berbeda dari Derrida dan Rorty yang melibatkan diri dengan hermeneutik makna, Luhmann bergerak dalam teori sistem. Antroposentrisme yang disebutnya ‘teori-teori Eropa tua’ bercokol tidak hanya dalam metafisika dan kebudayaan modern, melainkan juga dalam pandangan tentang masyarakat yang sudah dianut sejak Aristoteles, melalui teori-teori kontrak memuncak pada Hegel. Dalam pandangan kuno itu, masyarakat terdiri dari manusia-manusia, dan manusia berada pada pusat masyarakat, yakni bahwa manusia adalah asal dan tujuan masyarakat, maka masyarakat ada demi manusia. Luhmann mengambil jarak terhadap pandangan itu. Jika Darwin dengan teori evolusinya telah mengeluarkan manusia dari pusat alam semesta, dan Freud dengan psikoanalisisnya telah mengeluarkan manusia dari pusat kesadaran, Luhmann dengan teori sistemnya ingin mengeluarkan manusia dari pusat masyarakat.
Luhmann melontarkan kritiknya atas humanisme dengan caranya yang khas, yaitu memahami manusia bukan sebagai bagian masyarakat, melainkan sebagai bagian lingkungan masyarakat. Dalam teori sistemnya termasyhur distingsi antara sistem (System) dan lingkungan (Umwelt). Sistem selalu merupakan reduksi kompleksitas, maka lingkungan selalu lebih kompleks daripada sistem. Masyarakat adalah suatu sistem, sistem komunikasi. Kalau demikian, manusia tidak berada di dalam masyarakat, melainkan di luarnya, yaitu dalam lingkungan. Mengapa? Karena manusia bukan sistem komunikasi saja. Manusia terdiri dari banyak sistem, antara lain; sistem-sistem organis (otak, pencernaan, hormon, otot, dst.), sistem-sistem psikis (kesadaran) dan sistem-sistem semiotis (komunikasi atau bahasa). Hanya sebagian saja dari manusia yang masuk ke dalam masyarakat, yaitu komunikasinya, tetapi komunikasi itu pun akan bergerak sendiri sebagai sistem yang mereproduksi dirinya. Luhmann menyebut kemampuan sistem untuk menghasilkan dirinya itu ‘autopoiesis’. Karena komunikasi, begitu menjadi sistem, lepas dari penuturnya dan menghasilkan dirinya, sistem komunikasi itu subjectless. Komunikasi tidak lagi bisa diasalkan pada manusia; ia menjadi anonim, sehingga kita dapat berkata bahwa bukan manusia-manusia yang berkomunikasi dalam masyarakat, melainkan komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi. Manusia versi humanisme, yaitu subyek atau kesadaran, adalah sistem psikis, suatu sistem tersendiri yang juga autopoietis yang berada di luar masyarakat, yaitu di dalam lingkungan bagi sistem komunikasi.
Di dalam pemikiran Luhmann decentring of subject terjadi dalam dua arti. Pertama, manusia tidak lagi dipahami sebagai pusat masyarakat karena ia qua sistem psikis tidak memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajad dengan mereka. Karena itu, demikian tulis Luhmann, “manusia tidak lagi merupakan ukuran masyarakat. Gagasan humanisme ini tidak dapat berlanjut.” Di dalam kompleksitas sosial pasca humanisme menurutnya tidak ada ukuran yang menjadi pusat segalanya; tiap sistem memiliki ukurannya masing-masing yang tidak dapat diukur oleh suatu – sebut saja – ‘meta-norma’ sebagai ukuran terakhir. Kedua, desentralisasi subyek berarti juga memahami manusia bukan sebagai kesadaran atau rasionalitas belaka, sebagaimana dianut oleh humanisme. Manusia sebagai individu adalah semacam ‘masyarakat’ yang terdiri atas banyak sistem di dalamnya, maka humanisme yang menentukan kemanusiaan pada rasionalitasnya adalah musuh berbahaya bagi kemajemukan. Karena berkat kemajemukan internalnya manusia berada dalam lingkungan dan bukan dalam masyarakat, ia tidak akan dapat ‘dihabisi’ oleh rasionalitas ataupun moralitas yang dituturkan sistem komunikasi. Jadi, manusia bisa irrasional dan immoral terhadap sistem komunikasi atau masyarakat, karena ia berada di luarnya, yaitu menjadi bagian lingkungan. Keadaan itulah yang disebut kebebasan.

4. Humanisme Lentur

Sungguh tidak adakah yang masih dapat dibela dalam ide humanisme itu? Di sini kita perlu membedakan antara dua aspek dalam humanisme. Aspek pertama adalah kekuatan kritis-normatifnya yang mampu menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya. Humanisme etis itu berangkat dari suatu keprihatinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ingin melindungi martabat manusia dari kesewenangan apapun, termasuk kesewenangan yang dapat muncul dari agama, ideologi, sains dan pandangan dunia lainnya yang bisa menjadi eksklusivistis. Aspek normatif dan kritis dari humanisme ini dapat membuat kita waspada terhadap berbagai bentuk penindasan kebebasan dan pelecehan akal manusia yang bisa menyelinap dari pembenaran-pembenaran sakral agama dan kekuatan hegemonialnya. Tuhan yang ditolak oleh banyak humanis ateistis, seperti Feuerbach, Nietzsche dan Sartre, adalah juga Tuhan yang ditolak oleh banyak orang yang memiliki kedewasaan iman.
Aspek kedua – bukan sesuatu yang normatif, melainkan faktual - adalah kenyataan bahwa humanisme bagaimanapun sebuah ‘isme’, dan sebagai ‘isme’ ia dapat dilambungkan menjadi sebuah metafisika kemanusiaan yang tidak hanya menjadi total, melainkan juga menjadi ‘kebenaran kaku’ yang eksklusivistis dan hegemonial. Dewasa ini kita memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki para pendahulu kita di masa lalu untuk menyadari bagaimana agama, filsafat, dan gagasan-gagasan besar lain yang mengklaim membela manusia dan kebebasannya telah ikut bersalah terhadap manusia itu sendiri, manakala mereka masuk ke dalam keterlibatan sejarahnya. Di dalam pandangan-pandangan dunia itu, entah itu dari agama (fideisme), sains (saintisme), ataupun filsafat (humanisme), bercokol suatu inti dogmatis atau – seperti telah kita sebut – ‘kebenaran kaku’ yang narsistis, triumphalistis, eksklusivistis dan bahkan patologis. Keyakinan akan kebenaran kaku itu telah membawa manusia ke suatu tempat yang tidak ingin dituju oleh seorangpun yang masih memiliki akal sehat. Metafisika kemanusiaan, seperti juga fanatisme agama, adalah – seperti dianalisis oleh Hermann Broch - gejala hipertrofi (membengkaknya) sebuah nilai yang mengklaim dirinya sebagai pandangan dunia total yang meminggirkan atau menyingkirkan segala yang berbeda dari dirinya.
Yang dapat kita terima di sini adalah aspek kritis dan normatif humanisme yang bagaikan ‘roh’ senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk hegemoni, tidak hanya dari agama, melainkan juga dari sains dan filsafat, yang menindas manusia dan bakat-bakat kodratinya yang tumbuh dari akalnya, rasa perasaannya, dan juga naluri-nalurinya. Aspek kritis-normatif ini bermukim di dalam akal manusia sebagai nilai-nilai kemanusiaan dan dalam hati manusia sebagai ‘perasaan kemanusiaan’ yang bahkan sanggup menilai hipertrofi humanisme dalam nazisme dan komunisme sebagai ‘kejahatan melawan kemanusiaan’. Yang kita tolak adalah hipertrofi nilai humanisme menjadi menjadi metafisika kemanusiaan. Dengan penerimaan dan penolakan itu kita sedang membela suatu bentuk pendirian yang berupaya untuk melepaskan manusia dari tawanan metafisika kemanusiaan dengan cara menyelamatkan aspek kritis-normatif humanisme yang dewasa ini nyata-nyata telah ikut membangun kesadaran akan persaudaraan umat manusia yang melampaui kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama. Karena bertumpu pada kekuatan kritis-normatif humanisme, pendirian itu adalah sebuah humanisme juga yang waspada terhadap totalisasi dan homogenisasi oleh metafika kemanusiaan. Humanisme seperti itu tidak menolak kemungkinan kebenaran agama dan tidak berpegang pada kebenaran-kebenaran kaku dari filsafat (antroposentrisme); ia adalah sebuah bingkai pengetahuan yang ‘lentur’ tempat interseksi berbagai fragmen kebenaran agama, filsafat dan sains. Kita lalu boleh menyebut pendirian itu suatu ‘humanisme lentur’.
Kritik-kritik atas humanisme dari orang-orang yang kita bahas di atas, yaitu dari Heidegger, Derrida, Rorty dan Luhmann, telah membantu kita untuk membongkar bahaya homogenisasi yang dibawa oleh metafisika kemanusiaan. Bagi mereka, humanisme bersifat teroristis karena menindas kemajemukan. Akan tetapi kita menganggap keharusan untuk menghentikan humanisme sepenuhnya sebagai berlebihan. Sekurangnya dua alasan ini dapat kita pikirkan. Pertama, sikap kritis mereka atas humanisme dimungkinkan oleh suatu keprihatinan yang mendasari humanisme, yaitu bagaimana menyelamatkan manusia dari berbagai hegemoni, yang kali ini secara ironis dipraktikkan oleh humanisme. Keprihatinan itu melekat pada aspek kritis-normatif dari humanisme yang di atas kita sebut humanisme etis. Sepenuhnya menghentikan humanisme berarti juga mencekik ‘nyawa’ yang menggerakkan kritik-kritik itu sendiri sehingga kritik-kritik itu menggagalkan tujuannya sendiri. Kedua, kritik-kritik atas humanisme itu sangat sensitif terhadap setiap upaya totalisasi yang dibawa oleh universalisasi kemanusiaan. Penolakan mereka terhadap universalitas kerap disertai kebutaan terhadap bahaya dari sikap mereka sendiri yang condong memuja partikularitas dan heterogenitas, seolah-olah tidak ada sama sekali yang universal dalam kemanusiaan. Narsisme global yang diidap oleh humanisme eksklusivistis peradaban Eropa di sini ditukar dengan narsisme regional aneka kemanusiaan yang takut membangun kebersamaan. Karena dua alasan ini kita tidak ingin menghentikan sepenuhnya ide humanisme. Kita hanya akan menghentikan sebagian saja, yaitu metafisika kemanusiaan yang membuat humanisme menjadi eksklusivistis dan menindas kemajemukan.
Humanisme lentur adalah suatu humanisme tanpa metafisika kemanusiaan. Versi ini tidak bertanya, ukuran-ukuran manakah yang harus kita tetapkan agar seseorang atau suatu kelompok termasuk ke dalam kemanusiaan kita, yaitu ‘orang-orang seperti kita’, melainkan bertanya, bagaimana mencapai titik temu bagi berbagai ukuran yang dimiliki oleh berbagai orang atau kelompok sehingga kita dan mereka dapat mengantisipasi suatu kemanusiaan yang akan datang. Humanisme yang kita bela itu tidak hanya meninggalkan versi eksklusivistis dari humanisme modern, melainkan juga kritis terhadap versi sekularistisnya yang menyangkal semua kebenaran agama.
Dua hal berikut menandai humanisme lentur. Pertama, kelenturannya menyatakan keyakinannya bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin, bukan sebagai ukuran yang ditetapkan sebelumnya secara monologal, melainkan sebagai suatu visi yang diperjuangkan secara dialogal. Seorang humanis yang sudah terbebas dari metafisika kemanusiaan tidak akan memahami tetangganya, pemeluk agama lain atau pendatang asing dengan mengukur mereka dari kodrat umum yang ia yakini sebelumnya, melainkan dengan memasukkan sebanyak mungkin perbedaan untuk memperkaya perspektifnya tentang menjadi manusia. Itulah ‘intertekstualitas’ dalam humanisme yang mencoba memahami manusia tidak dengan menurunkannya dari suatu hakikat atau kodrat, melainkan dengan menganyam berbagai teks atau penafsiran tentang manusia. Humanisme lentur menyelamatkan intuisi kita sehari-hari yang menyebut sikap toleran terhadap perbedaan sebagai ‘manusiawi’, dan sikap kaku yang menyekat-nyekat sesama manusia dalam pagar-pagar suku, agama, ideologi, kelas dst. sebagai ‘tidak manusiawi’. Keterbukaan terhadap perbedaan itu juga diiringi oleh kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, kelas atau ideologi di antara kita karena merasakan kesamaan-kesamaan dalam kenyataan bahwa kita manusia mudah terluka. Dalam humanisme lentur intertektualitas Derrida berpadu dengan sentimentalitas Rorty.
Kedua, kelenturannya juga menyatakan tidak hanya keyakinannya akan potensi epistemis agama-agama yang dapat bertumpang tindih dengan kebenaran-kebenaran yang dicari dalam filsafat dan sains, melainkan juga respeknya pada batas-batas antara iman religius dan rasionalitas. Seorang humanis yang berhasil menolak godaan metafisika kemanusiaan akan menerima religiositas sebagai salah satu dimensi hidupnya tanpa terjerumus ke dalam fideisme. Dia beriman dengan mencari pengertian, dan mengerti tanpa menghalau keyakinan. Akalnya tidak dibebani oleh tugas untuk membuktikan eksistensi Tuhan karena menyadari bahwa tugas seperti itu justru menyangsikan kemahakuasaanNya. Tugas akal bagi seorang humanis pasca metafisika kemanusiaan adalah menunjukkan bahwa manusia itu terbuka terhadap sesuatu yang melampaui dunia ini, dan ini dilakukan tanpa menyangkal keduniawian manusia.
Baginya kebebasan diraih bukan dengan menyingkirkan Tuhan, karena justru misteriNya memberi ruang untuk kebebasan, melainkan lewat keinsyafan akan kontingensi hidupnya. Istilah-istilah, seperti kontigensi ganda (Luhmann), kontigensi bahasa dan diri (Rorty) atau différance (Derrida) menunjukkan bagaimana kebebasan tidak lagi dimengerti dalam kosakata filsafat subyek, seolah-olah manusia adalah pusat yang menentukan segalanya dan menciptakan segalanya, melainkan sebagai kemungkinan-kemungkinan untuk melampaui diri, sebagai keberanian-keberanian untuk mengambil risiko, sebagai kemampuan untuk memberi. Dengan bersikap moderat terhadap akal, kebebasan, dan iman, humanisme yang tanpa narsisme dan triumphalisme kita bela disini menemukan kembali makna ‘kemanusiawian’ di antara puing-puing metafisika kemanusiaan.
[Read More...]


PEMBANGUNAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA



Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun¬ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara kom¬prehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon¬sep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se¬ba¬gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelemba¬gaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele¬men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu¬kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene¬rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per¬adil¬an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene¬gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa¬an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat¬kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor¬mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke¬lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung¬si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial . Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese¬mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah, tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo¬nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti¬nen¬tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah¬kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di¬akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku ter¬pencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara.
Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta¬huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikan¬nya seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum ke-pada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan pe¬negakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasya¬rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di¬anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang me¬nyadari hak dan kewajibannya seca¬ra hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre¬hen¬sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen¬daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.

A. PEMBENTUKAN DAN PEMBARUAN HUKUM
Kita sudah berhasil melakukan constitutional reform secara besar-besaran. Jika UUD 1945 yang hanya mencakup 71 butir ketentuan di dalamnya, maka setelah empat kali mengalami perubahan, UUD 1945 sekarang berisi 199 butir ketentuan.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang diubah, arah Perubahan Pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan Kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.
Perubahan-perubahan tersebut bukan hanya perubahan redaksional, melainkan menyangkut pula perubahan paradigma pemi¬kiran yang sangat mendasar. Karena itu, segera setelah agenda constitutional reform (pembaruan konstitusi), kita perlu melanjutkan dengan agenda legal reform (pembentuk¬an dan pem¬baruan hukum) yang juga besar-besaran. Jika kita mencermati ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 setelah empat kali dirubah, terdapat 22 butir ketentuan yang menyatakan “diantur dengan undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, 11 butir ketentuan yang menyatakan “diatur dalam undang-undang” atau “diatur lebih lanjut dlaam undang-undang”, dan 6 butir ketentuan menyatakan “ditetapkan dengan undang-undang.
Bidang-bidang hukum yang memerlukan pemben¬tuk¬an dan pembaruan tersebut dapat dikelompokkan menurut bidang-bidang yang dibutuhkan, yaitu:
1. Bidang politik dan pemerintahan.
2. Bidang ekonomi dan dunia usaha.
3. Bidang kesejahteraan sosial dan budaya.
4. Bidang penataan sistem dan aparatur hukum.

Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan konstitusi mengharuskan adanya perubahan terhadap perundang-undangan dalam sistem hukum tersebut, serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan meliputi hampir keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalamnya, harus diikuti dengan perubahan perundang-undangan yang berada di bawahnya dan pelaksanaannya oleh organ yang berwenang. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang telah ada yang bersumber pada ketentuan tertentu dalam UUD 1945 sebelum perubahan harus dilihat kembali kesesuaiannya dengan ketentuan hasil perubahan UUD 1945.
Sebagai suatu kesatuan sistem hukum, upaya perubahan perundang-undangan untuk menyesuaikan dengan perubahan UUD 1945 seharusnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan hukum nasional secara keseluruhan. Karena itu, perubahan berbagai perundang-undangan sebaiknya dilakukan secara terencana dan partisipatif dalam program legislasi nasional sekaligus bentuk legislatif review. Program legislasi nasional harus disusun pertama dan utamanya adalah untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dapat dielaborasi perundang-undangan yang harus dibuat dalam program legislasi nasional baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Disamping itu masyarakat juga dapat mengajukan permohonan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya dalam UUD 1945 yang telah diubah. Masyarakat juga dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga harus diperhatikan dalam upaya pembangunan hukum nasional khususnya perubahan perundang-undangan. Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi. Hingga saat ini telah terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik , ekonomi , dan sosial terkait dengan ketentuan dalam UUD 1945.
Hukum yang perlu disusun dan diperbarui tidak saja berupa Undang-Undang tetapi juga Peraturan Pe¬merintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peratur¬an di lingkungan lembaga-lembaga tinggi negara dan badan-badan khusus dan independen lainnya seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya. Demikian pula di daerah-daerah, pembaruan dan pembentukan hukum juga dilakukan dalam bentuk Peraturan Daerah dan nantinya dapat pula berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Untuk menampung kebutuhan di tingkat lokal, termasuk meng¬akomodasikan perkembangan norma-norma hukum adat yang hidup dalam masyarakat pedesaan, dapat pula dibentuk Peraturan Desa. Di samping itu, nomenklatur dan bentuk sistem hukumnya juga perlu dibenahi, misalnya, perlu dibedakan dengan jelas antara peraturan (regels) yang dapat dijadikan objek judicial review dengan penetapan administratif berupa keputusan (beschikking) yang dapat dijadikan objek peradilan tata usaha negara, dan putusan hakim (vonis) dan fatwa (legal opinion).

B. PENATAAN KELEMBAGAAN
Selain perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan, perubahan UUD 1945 juga mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru.
Dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang sa¬ling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ ada¬lah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie ada¬lah gerakan wadah itu sesuai maksud pemben¬tukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eks¬plisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
Dapat dikemukakan bahwa sebenarnya yang disebut atau disebut-sebut dalam UUD 1945, terdapat lebih dari 34 buah organ, jabatan, atau lembaga. Organ, jabatan, atau lembaga-lembaga dimaksud adalah:
(i) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab II;
(ii) Presiden Republik Indonesia dan
(iii) Wakil Presiden yang diatur dalam Bab III;
(iv) Dewan pertimbangan presiden diatur dalam Pasal 16 UUD 1945;
(v) Kementerian Negara diatur dalam Bab V;
(vi) Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama sebagai triumpirat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
(vii) Menteri Dalam Negeri sebagai tirumpirat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
(viii) Menteri Pertahanan sebagai triumpirat dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
(ix) Duta yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945;
(x) Konsul yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUD 1945;
(xi) Pemerintahan Daerah Provinsi diatur dalam Bab VI yang mencakup:
(xii) Gubernur/Kepala Pemerintah daerah provinsi;
(xiii) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD provinsi);
(xiv) Pemerintahan Daerah Kabupaten yang mencakup:
(xv) Bupati/Kepala Pemerintah daerah kabupaten, dan
(xvi) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRD Kabupaten);
(xvii) Pemerintahan Daerah Kota;
(xviii) Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; dan
(xix) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota (DPRD Kota);
(xx) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang diatur dalam Bab VII UUD 1945;
(xxi) Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Bab VIIA;
(xxii) Komisi penyelenggara pemilihan umum yang oleh undang-undang dinamakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Bab VIIB dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(xxiii) Satu bank sentral yang ditentukan dalam Bab VIII dan akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
(xxiv) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur dalam Bab VIIIA;
(xxv) Mahkamah Agung (Bab XIV);
(xxvi) Mahkamah Konstitusi (Bab XIV);
(xxvii) Komisi Yudisial (Bab XIV);
(xxviii) Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Bab XII);
(xxix) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bab XII).
(xxx) Angkatan Darat (TNI AD) yang diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
(xxxi) Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
(xxxii) Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
(xxxiii) Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945;
(xxxiv) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

Dari setidaknya ke-34 lembaga tersebut di atas, ada yang substansi kewenangannya belum ditentukan dalam UUD 1945, misalnya bank sentral. Dalam Pasal 23D UUD 1945 hanya ditentukan, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Artinya, apa yang menjadi kewenangan bank sentral itu sendiri masih akan diatur dengan undang-undang. Artinya, UUD sama sekali belum memberikan kewenangan apa-apa kepada bank sentral yang oleh UU dan oleh kebiasaan sejarah selama ini disebut Bank Indonesia. UUD 1945 hanya menyebutkan sifat dari kewenangan bank sentral itu yang dinyatakan bersifat independen, meskipun independensinya itu sendiri masih harus diatur dalam undang-undang.
Sedangkan komisi pemilihan umum, meskipun namanya belum disebut secara pasti, tetapi kewenangannya sebagai penyelenggara sudah ditegaskan. Dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 ditentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Artinya, bahwa komisi pemilihan umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penyelenggara ia bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen).
Oleh karena itu, baik bank sentral maupun komisi penyelenggara pemilihan umum masih dapat dilihat segi-segi konstitusionalitas kewenangannya. Jika pelaksanaan operasional kewenangan atau sifat kewenangannya itu menyimpang dari ketentuan UUD, maka hal demikian dapat saja menjadi objek persengketaan di pengadilan. Sejauh menyangkut aspek-aspek konstitusionalitas kewenangannya itu, tidak dapat tidak forum peradilannya adalah Mahkamah Konstitusi.
Dari ke-34 organ atau lembaga-lembaga tersebut di atas yang sama sekali tidak ditentukan hak-hak atau kewenangannya dalam UUD 1945 adalah (i) Duta; (ii) Konsul; (iii) Angkatan Darat; (iv) Angkatan Laut; dan (v) Angkatan Udara. Organ atau lembaga-lembaga selain bank sentral dan komisi pemilihan umum serta kelima organ terakhir ini pada umumnya disebut tegas namanya dengan kewenangan yang juga jelas ditentukan dalam UUD 1945. Oleh karena itu, dengan ikut memperhitungkan komisi penyelenggara pemilihan umum dan bank sentral, maka dapat dikatakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat 28 lembaga atau organ negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Di samping itu, dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan, “Badan-badan lain yang fungsinya ber¬kaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Yang dimaksud dengan badan-badan lain dalam ayat ini antara lain adalah Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung memang tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945, tetapi fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal mengenai Kejaksaan Agung ini, diatur lebih lanjut dalam un¬dang-undang atau bahkan dengan undang-undang tersendiri. Namun, kedudukannya dalam sistem peradilan terpadu dan prinsip negara hukum yang demokratis secara konstitusional jelas sama pentingnya (constitutional importance) dengan Kepolisian Negara yang secara khusus diatur ketentuannya dalam Pasal 30 UUD 1945. Artinya, hal tidak diaturnya Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, berbanding dengan diaturnya Kepolisian tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian Negara lebih penting atau lebih tinggi kedudukannya konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Secara konstitusional, kedua-duanya sama-sama penting dalam rangka menjamin tegaknya hukum dan keadilan dalam upaya perwujudan cita-cita negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law).
Contoh kejaksaan sebagai lembaga yang ter¬cakup dalam perkataan “badan-badan lain” menurut Pasal 24 ayat (3) itu sejalan pula dengan latar belakang perumusan ketentuan Pasal 24 ayat (3) seperti yang diuraikan di atas. Pada mulanya, berkembang gagasan untuk mencantumkan pengaturan mengenai kejaksaan dalam bab tentang Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Ide ini masih ter¬can¬tum dalam Rancangan Perubahan UUD 1945 yang masih tersisa sesudah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Namun demikian, setelah naskah Perubahan Keempat disahkan pada tahun 2002, ketentuan mengenai kejaksaan ini tidak men¬dapat kesepakatan untuk dicantumkan dalam pasal secara eksplisit. Sebagai gantinya, muncullah rumusan Pasal 24 ayat (3) tersebut di atas. Karena itu, salah satu badan yang dimaksud dalam ayat ini memanglah lem¬ba¬ga kejaksaan. Namun karena dinyatakan disitu ba¬dan-badan lain, maka terbuka kemungkinan ada pula badan lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman itu selain kejaksaan.
Dengan demikian, ada kemungkinan jumlah ba¬dan-badan lain itu lebih dari satu, sehingga jumlah keseluruhan lembaga negara berdasarkan UUD 1945 juga lebih dari 34 buah. Misalnya, selain kejaksaan, lembaga lain yang juga berkaitan fungsinya dengan kekuasan kehakiman adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Advokat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan para pejabat yang tergolong ke dalam pengertian penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), seperti petugas bea cukai, petugas pajak, petugas Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR), dan bahkan termasuk TNI Angkatan Laut yang mempunyai kewenangan tertentu di bidang penyidikan dalam kasus-kasus tindak pidana di laut. Dengan perkataan lain, apabila ditambah dengan lembaga-lembaga atau badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan ke¬ha¬kiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, maka jelaslah bahwa jumlah lembaga ne¬ga¬ra yang disebut secara eksplisit dan implisit dalam UUD 1945 berjumlah lebih dari 34 buah.
Ke-34 organ negara atau lebih itu sendiri dapat pula dibagi ke dalam beberapa ke-lom¬pok. Pertama, kelompok lembaga negara yang dapat disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara (LTN), yaitu (i) Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu kesatuan institusi; (ii) DPR; (iii) DPD; (iv) MPR; (v) MK; (vi) MA; dan (vii) BPK. Jika Presiden dan Wakil Presiden serta lembaga-lembaga tinggi negara tersebut dilihat dari segi pejabatnya, maka jumlahnya menjadi delapan yang masing-masing diwakili oleh (i) Presiden; (ii) Wakil Presiden; (iii) Ketua DPR; (iv) Ketua DPD; (v) Ketua MPR; (vi) Ketua MK; (vii) Ketua MA; dan (viii) Ketua BPK. Meskipun sekarang kita tidak lagi mengenal adanya lembaga tertinggi negara, namun sebutan sebagai lembaga tinggi negara masih tetap relevan untuk dikaitkan dengan ketujuh lembaga negara di atas yang diwakili oleh 8 delapan jabatan tersebut.
Kedua, dari 34 lembaga atau lebih tersebut tercatat beberapa lembaga negara yang kewenangannya langsung diberikan oleh undang-undang dasar, tetapi tidak tepat untuk disebut sebagai lembaga tinggi negara. Sebabnya ialah (i) fungsinya hanya bersifat supporting atau auxiliary terhadap fungsi utama, seperti Komisi Yudisial yang bersifat penunjang ter¬ha¬dap kekuasaan kehakiman. Tugas komisi ini sebenar¬nya bersifat internal di lingkungan kekuasaan kehakim¬an, tetapi agar pengawasan yang dilakukannya efektif, kedudukannya dipastikan bersifat independen di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mah¬ka¬mah Konstitusi; (ii) pemberian kewenangan konsti¬tusio¬nal yang eksplisit hanya dimaksudkan untuk me¬ne¬gaskan kedudukan konstitusionalnya yang indepen¬den, meskipun tetap berada dalam ranah atau domain urusan pemerintahan, seperti misalnya Tentara Nasio¬nal Indonesia dan Kepolisian Negara; (iii) penentuan kewe¬nangan pokoknya dalam undang-undang dasar ha¬nya bersifat by implication, bukan dirumuskan secara tegas (strict sense), seperti kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan umum yang dikaitkan dengan komisi pemilihan umum. Bahkan komisi pemilihan ini¬pun tidak tegas ditentukan namanya dalam UUD 1945, melainkan hanya ditegaskan oleh undang-undang; atau (iv) karena keberadaan kelembagaannya atau kewe¬nangan¬nya tidak tegas ditentukan dalam undang-un¬dang dasar, melainkan hanya disebut akan ditentukan diatur dengan undang-undang, seperti keberadaan bank sentral yang menurut Pasal 23D UUD 1945 masih akan diatur dengan undang-undang. Tetapi, dalam undang-undang dasar ditentukan bahwa kewenangan itu harus bersifat independen. Artinya, by implication kewenangan bank sentral itu diatur juga dalam UUD 1945, meskipun bukan substansinya, melainkan hanya kualitas atau sifatnya.
Dengan demikian, di samping lembaga-lembaga negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, ada pula lembaga-lembaga negara yang memiliki constitutional importance yang sama dengan lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam undang-undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam undang-undang, asalkan sama-sama memiliki constitutional importance, dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara.
Lembaga-lembaga negara dalam kategori kedua ini yang meme¬nu¬hi keempat kriteria di atas adalah (i) Komisi Yudisial; (ii) Menteri dan Kementerian Negara; (iii) Menteri Triumpirat; (iv) Dewan per¬timbangan presiden; (v) Bank sentral; (vi) Tentara Nasional Indonesia; (vii) Kepolisian Negara; dan (viii) Komisi penyelenggara pemilihan umum. Di samping kedelapan lembaga negara yang disebut secara eksplisit ataupun implisit dalam UUD 1945 tersebut, ada pula lembaga-lembaga negara yang murni diciptakan oleh undang-undang, yang dapat dikategorikan sebagai lembaga yang memiliki constitutional importance juga. Lembaga-lembaga seperti dimaksud misalnya adalah (ix) Kejaksaan Agung; (x) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK); dan (xi) Komisi Nasional Hak Asasi Ma¬nu¬sia (KOMNAS HAM); dan lain-lain sebagainya.
Misalnya, ombudsman yang mempunyai peran penting dalam rangka perwujudan prinsip-prinsip good governance dalam rangka pelayanan umum (public services). Cita-cita UUD 1945 sebagai konstitusi negara kesejahteraan atau welfare state, yang oleh Bung Hatta pernah diterjemahkan dengan perkataan negara pengurus , juga berkaitan dengan fungsi lembaga seperti ombudsman yang dapat berperan penting dalam pengawasan dan penyaluran keluhan-keluhan masyarakat akan buruknya kualitas pelayanan umum (public services) oleh birokrasi pemerintahan. Jika lembaga ombudsman ini dibentuk berdasarkan undang-undang, bukan tidak mungkin suatu kali nanti dapat pula berkembang penafsiran bahwa lembaga ini juga akan dianggap sebagai lembaga yang penting secara konstitusional.
Khusus mengenai Komisi Yudisial, dapat dikata¬kan bahwa kedudukannya secara struktural sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penun¬jang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak men¬jalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan peri¬laku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lem¬baga kekuasaan kehakiman secara institusional. Kebe¬ra¬daannyapun sebenarnya berasal dari lingkungan inter¬nal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman dan di lingkungan Mahkamah Agung. Artinya, sebelumnya, fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih menjamin efek-tifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku ha¬kim, maka fungsinya ditarik keluar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat de¬ngan pengawasnya.
Memang benar bahwa kewenangan Komisi Yu¬disial, seperti halnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, juga diatur dalam UUD 1945. Tepatnya, Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A, Komisi Yudisial dalam Pasal 24B, sedangkan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C UUD 1945. Akan tetapi, pengaturan mengenai kewenangan sesuatu lembaga da¬lam UUD tidak mutlak harus diartikan bahwa lembaga yang bersangkutan adalah lembaga yang dapat dikate¬gori¬kan sebagai lembaga tinggi negara. Sebabnya ialah Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara juga diatur kewenangannya dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 30. Namun, fungsi organisasi tentara dan kepo¬lisian sebenarnya termasuk ke dalam kategori fungsi pemerintahan (eksekutif), sehingga kedudukan proto¬ko¬lernya tidak dapat disederajatkan dengan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK hanya karena kewenangannya sama-sama diatur dalam UUD 1945. Mirip dengan itu, maka Komisi Yudisial juga tidak dapat disejajarkan dengan lembaga tinggi negara yang lain hanya karena kewenangannya diatur dalam Pasal 24B seperti halnya kewenangan tentara dan kepolisian yang diatur dalam Pasal 30 UUD 1945.
Secara struktural dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial memang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun, karena sifat fung¬sinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan protokolernya tidak perlu dipahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama dengan Mah¬kamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR, MPR, DPD, dan BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sen¬diri bukanlah lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan negara secara langsung. Komisi Yudisial bu¬kan lembaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif. Ia hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim sebagai peja¬bat penegak hukum dan lembaga yang menjalankan fung¬si kekuasaan kehakiman (judiciary).
Dengan demikian, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Komisi Yudisial juga bekerja ber¬dam¬pingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan lem¬baga perwakilan rakyat. Dalam bekerja, Komisi Yudisial, meskipun tetap bersifat independen, haruslah lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah ataupun dengan parlemen. Lebih tegasnya, Komisi Yu¬disial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif, pemerintah ataupun lem¬ba¬ga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan meng¬inter¬vensi independensi kekuasaan kehakiman.
Dari ke-34 atau lebih lembaga negara yang sama sekali ti¬dak atau belum ditentukan substansi kewenangannya dalam UUD 1945 adalah pula bank sentral. Mengenai bank sentral ini, Pasal 23D UUD 1945 hanya menentukan, “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung-jawab, dan independensinya di¬atur dengan undang-undang”. Artinya, apa yang men¬jadi kewenangan bank sentral itu sendiri masih akan diatur dengan undang-undang. Artinya, undang-un¬dang dasar sama sekali belum memberikan kewe¬nangan apa-apa kepada bank sentral yang oleh UU dan oleh kebiasaan sejarah selama ini disebut Bank Indo¬nesia. Yang ditentukan dalam UUD 1945 hanya sifat kewenangan bank sentral itu, yaitu diharuskan bersifat independen. Dengan demikian, harus diakui, tetap ada persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan kewenangan bank sentral ini, bukan mengenai substansinya, tetapi mengenai sifat kewenangan konstitusionalnya itu. Artinya, bank sentral juga dapat menghadapi persoalan konstitusionalitas kewenangan yang menjadi obyek perkara di Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan komisi penyelenggara pemilihan umum, meskipun namanya belum disebut secara pasti, tetapi kewe¬nangan¬nya sebagai penyelenggara sudah ditegaskan. Dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 ditentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Artinya, bahwa komisi pemilihan umum itu adalah penyelenggara pemilu, dan sebagai penye¬leng-gara pemilu ia diharuskan bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen).
Organ atau lembaga-lembaga selain bank sen¬tral dan komisi pemilihan umum tersebut pada umumnya disebut tegas namanya dengan kewenangan yang ditentukan dengan jelas pula dalam UUD 1945. Dapat dikatakan, dari 34 lembaga negara yang telah diuraikan di atas, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-28 lembaga negara itu adalah: (i) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (ii) Presiden; (iii) Wakil Presiden; (iv) Menteri atau Kementerian Negara; (v) Menteri Luar Negeri selaku Menteri Triumpirat, (vi) Menteri Dalam Negeri selaku Menteri Triumpirat, (vii) Menteri Pertahanan selaku Menteri Triumpirat, (viii) Dewan pertimbangan pre¬siden; (ix) Pemerintahan Daerah Provinsi; (x) Gubernur/Kepala Pemerintah daerah provinsi; (xi) De-wan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; (xii) Pe¬me¬rintahan Daerah Kota; (xiii) Walikota/Kepala Pemerintah Daerah Kota; (xiv) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota; (xv) Pemerintahan Daerah Kabupaten; (xvi) Bu¬pati/Kepala Pemerintah daerah kabupaten; (xvii) De¬wan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten; (xviii) Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa; (xix) De¬wan Perwakilan Rakyat; (xx) Dewan Perwakilan Daerah; (xxi) Komisi pemilihan umum; (xxii) Badan Peme¬riksa Keuangan; (xxiii) Mahkamah Agung; (xxiv) Mah¬kamah Konstitusi; (xxv) Komisi Yudisial; (xxvi) Bank Sentral; (xxvii) Tentara Nasional Indonesia; dan (xxviii) Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan lima organ atau jabatan lainnya, kewenangannya sama sekali tidak atau belum disebut dalam UUD 1945, baik secara implisit ataupun apalagi secara eksplisit. Kelima organ yang di¬maksud adalah (i) Duta; (ii) Kon¬sul; (iii) Angkatan Darat; (iv) Angkatan Laut; dan (v) Ang¬katan Udara. Sementara itu, seperti telah diuraikan di atas, ada pula beberapa lembaga lain yang termasuk kategori seperti yang dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Badan-badan lain dimaksud dapat disebut sebagai lembaga negara yang juga memiliki constititonal importance atau yang secara konstitusional dianggap penting tetapi belum disebut secara eksplisit dalam UUD 1945.
Sebagai tindak lanjut dari pembaruan konstitusional, setelah dengan ditetapkannya Perubahan Keempat UUD 1945 maka struktur ketatanegaraan Republik Indonesia ha¬rus segera disesuaikan dengan desain UUD yang telah ber¬ubah itu. Semua institusi pada lapisan supra struktur kene¬garaan dan pemerintahan harus ditata kembali. Demi¬kian pula institusi publik di sektor masyarakat (infrastruktur ma¬syarakat), seperti partai politik, organisasi kemasyara¬kat¬an dan organisasi non-pemerintah seperti yayasan (stichting) dan perkumpulan (vereenigings), juga perlu ditata kembali. Bahkan, or¬ganisasi di sektor bisnis atau ekonomi pasar (market), seperti perseroan, koperasi, dan BUMN/BUMD juga memerlukan penataan kembali.
Di sektor negara dan pemerintahan, upaya penataan itu mencakup kelembagaan di ranah legislatif, eksekutif, ju¬di¬katif, dan bahkan di wilayah-wilayah campuran atau yang disebut dengan badan-badan independen. Sekarang, telah bermunculan banyak lembaga independen, misalnya, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional HAM, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, Komisi Penga¬was Persaing¬an Usaha, Komisi Ombudsman, Komisi Penyiar¬an Indonesia, dan sebagainya. Semua badan-badan ini perlu dikonsolidasi¬kan sehingga tidak berkembang tanpa arahan yang jelas.
Di lingkungan pemerintahan, juga perlu ditata kembali pembedaan antara fungsi-fungsi politik dan teknis adminis¬tratif, antara organisasi departemen dan non departemen pemerintahan, dan. Pasal 17 ayat (4) UUD 1945, misalnya, menentukan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembu¬baran organisasi ke¬menterian negara harus diatur dalam Undang-Undang. Artinya, diperlukan pula Undang-Undang yang di dalamnya diatur mengenai berbagai aspek berkenaan dengan kementerian negara, sehingga Presiden tidak seenak¬nya membentuk, mengubah dan membubarkan suatu orga¬nisasi departemen. Penataan kelembagaan ini bahkan juga berkaitan dengan pembenahan yang harus dilakukan sebagai akibat diselenggarakannya otonomi daerah yang luas ber¬da¬sarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang masih perlu pemikiran berkelanjutan untuk disesuaikan dengan ke¬tentuan Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B UUD 1945. Keseluruhan dan tiap-tiap kelembagaan tersebut, baik di lapisan supra stuktural kenegaraan dan pemerintahan maupun di lingkungan infra stuktur masyarakat, diharapkan dapat melakukan (i) reorganisasi, reorientasi dan retraining sumber daya manusia (pegawai administrasi), (ii) stream¬lining dan efisiensi struktur jabatan, (iii) pe¬nataan sistem informasi dan pelayanan umum berbasis teknologi informasi, (iv) penyempurnaan sistem pengawasan dan pem¬bentukan infrastruktur penegakan sistem reward and punishment.

C. PENEGAKAN HUKUM
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng-keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu¬tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak-sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang¬kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per¬adil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan¬nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu¬kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe¬ne-gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso-alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja¬bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga¬nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca¬mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti¬tusio¬na¬lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio¬na¬lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi) , (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) konsultan hukum, (iv) advokat, (v) notaris, (vi) pejabat pembuat akta tanah, (vii) polisi, (viii) jaksa, (ix) panitera, (x) hakim, dan (xi) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na¬sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen¬didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang¬an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi¬naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi¬nambung¬an. Di samping itu, pem¬bi¬naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila¬kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi-nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya. Dengan de¬mikian, kuali¬tas hakim dapat ditingkatkan melalui peranan Mahka-mah Agung di satu pihak dan melalui peranan Ikatan Hakim Indonesia di lain pihak.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me¬mer¬lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me¬menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim¬pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling¬kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri¬tas kepri¬badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da¬pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem¬bu¬dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega¬¬ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de¬ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis-tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek¬nologi informasi (information technology); (b) pening¬katan Upaya Publikasi, Ko¬munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi¬dang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro¬nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain¬nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me¬nge¬nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke¬mung¬kinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari peme¬rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung¬kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera¬gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa¬da ma¬sya¬rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe¬ma¬sya¬-rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem¬ba¬ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di¬perlu¬kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter¬ma¬suk me-ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.

D. INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK POSITIF
Untuk menunjang ber¬fungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor ke¬negaraan dan pemerintahan selalu terda¬pat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organi¬sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi¬sasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perang¬kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh di-jadikan pedoman peri¬laku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen per¬aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse¬but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong¬res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber-sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha¬nya biasa dilupakan.
Dengan perkataan lain, dalam kultur keorganisasian atau kultur berorganisasi di berbagai kalangan masyarakat kita, kebiasaan untuk menaati aturan, rule of the game belumlah menjadi tradisi yang kuat. Tradisi taat aturan itu masih harus dibudayakan secara luas. Untuk itu, diperlukan proses pelembagaan tradisi normatif yang bertingkat-tingkat, baik berkenaan dengan norma hukum, norma etika dan moral, serta norma hukum. Karena itu, selain menata dan memperbaiki kembali sistem norma hukum, kita juga perlu me-lembagakan sistem dan infrastruktur etika positif dalam masyarakat kita. Sistem dan infra struktur etika tersebut dilembagakan, baik melalui mekanisme di lingkungan supra struktur kenegaraan dan pemerintahan maupun di ling¬kung¬an infra struktur masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional And Administrative Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.
[Read More...]


MEMBANGUN KEMBALI AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA




Pendahuluan
Bencana teror yang melanda sekian hari, sekian pekan bangsa ini seolah telah meruntuhkan kekuatan negara sebagai medium pemersatu. Ada teror dalam bentuk bom buku yang mengancam tokoh JIL, Ulil Abzar Abdalah, pentolan grup band Dewa Ahmad Dhani. Kemudian tak lama setelah itu dalam sebuah mesjid, malah muncul sosok Papy Fernando melakukan aksi bom bunuh diri. Bibit-bibit teror seperti Fernando, Syahrir dianggap berasal dari kelompok atau gerakan NII, gerakan yang bersimbiosis “model baru” dari nama lama yang disebut DI/TII. Gerakan yang tidak percaya pada ideologi Pancasila. Tidak percaya pada sila Ketuhanan yang Maha Esa, sebagai ideologi yang benar. Ideologi negara harus, bahkan “mutlak” disandarkan pada ideologi “Islam.”

Paradigma radikal tersebut yang berhasrat mengganti ideologi negara disinyalir, sebagai ketidaktahuan, kedangkalan, dan keawaman menilai Pancasila sebagai dasar negara yang tak punya daya dan kekuatan untuk mengikat bangsa dalam multietnik, beragam, majemuk, heterogen dan masayarkat kultural. Padahal Pancasila adalah karya agung bangsa (masterpiece). Sebuah maha karya yang telah menjalani proses alur pikir panjang (common sense), tidak dipaksakan untuk mengikuti “jarum pendulum” pada ideologi liberalisme atau ideologi sosialisme.

Ketidakpercayaan pada Pancasila, membawa pada penyimpangan (deviasi) nilai-nilainya. Sebahagian disebabkan krisis legitimasi atas kekuasaan yang tak lagi memberi harapan keadilam. Demokrasi yang dimpikan sebagai salah satu prinsip negara hukum (rechstaat) berada dalam “ruang hampa.”

Negara dipegang oleh badan atau pejabat publik (pemerintah) lupa pada kesalahan diri sendiri. kesalahan dalam penyalahgunaan kewenangan. Entitas rakyat, kelompok LSM, atau gerakan yang mengancam kesatuan negara (subversif) memang juga nyata adanya. Namun harus diingat bahwa membangun masyarakat yang adil tidak semata adalah peran rakyat, pemerintahpun juga harus turut serta dalam menegakkan keadilan sebagaimana yang ditegaskan dalam sila kelima Pancasila.

Huntington mengemukakan tingkat partisipatif rakyat dalam memberikan kepercayaan untuk turut serta dan andil menyalurkan aspirasi dalam pemilihan umum sebagai realisasi tujuan politik pencapaian jabatan kekuasaan yang “legitimate” berbanding lurus dengan peran serta pejabat penguasa memberikan kesejahteran (welfare) pada rakyat. Oleh karena itu disamping mencari jalan, metode untuk merekonstruksi nilai-nilai Pancasila atas ideologinya, kerap salah diartikan, maka komunikasi partisipatoris seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, demikan adanya menjadi wahana penting untuk menjamin nilai-nilai Pancasila agar tidak terjadi penyimpangan. Yang penting adalah memperbaiki kesadaran (counscience) dan kerangka pemahaman (verstehen) elemen negara (the element of state), rakyat untuk memahami penting tidaknya Pancasila dalam mengaktualisasikan nilai-nilainya. Dan juga mencari jalan untuk mengakrabkan peran pejabat pemerintah dan rakyat dalam instrumen hukum (legal instrument) dan demokrasi yang komunikatif.

A. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dari Sudut Pandang Internal dan Filsufis

Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/ 1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah: Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat. Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR. Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas. Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu.

Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya. Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) mengemukakan, bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.

Driyarkara (dalam Suwarno, 1993: 110- 111) mengemukakan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian.

Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan. Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu diubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses kemenjadian yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasalpasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).

Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau

unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi. Dalam kaitan imi, Habib Mustopo (1992: 11 -12) mengemukakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh.

Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau tahu tawaran atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolaholah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.

Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11).

Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru.

Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari luar. Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut,yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya

Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya.

Untuk bisa menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia (Sastrapratedja, 1996: 3). Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu neneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76).

Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu kesatuan yang integral. Teori hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak. Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.

Sebagai suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan.

Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi secara obyektif dan subyektif. Aktualisasi Pancasila secara obyektif yaitu aktualisasi Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara, bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum. Sedangkan aktualisasi Pancasila secara subyektif yaitu aktualisasi Pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat

B. Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial-budaya, dan Hukum di Era Globalisasi

Pancasila itu menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang secara otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara. Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah merumuskan formula alat perekat yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang spektrum kebhinekaannya teramat lebar (multfi-facet natio state) seperti Indonesia. Alat perekat tersebut tiada lain daripada Pancasila yang berfungsi pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri bangsa. Sampai kiniPancasila diyakini sebagai yang terbaik dari sekian alternatif yang ada,merupakan ramuan yang tepat dan mujarab dalam mempersatukan bangsa, sehingga Syafi'i Maarif menyebutnya sebagai “Indonesia Masterpiece” (karya agung bangsa Indonesia). Namun demikian Pancasila tidak akan dapat memberimanfaat apapun manakala keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software belaka. Untuk dapat berfungsi penuh sebagai perekat bangsa. Pancasila harus diimplementasikan dalam segala tingkat kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pancasila), dan dalam segala aspek meliputi politik, ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya.

1. Bidang Politik

Landasan aksiologis (sumber nilai) system politik Indonesia adalah dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV “….. maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemasusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia”. Sehingga sistem politik Indonesia adalah Demokrasi Pancasila

Dimana demokrasi Pancasila itu merupakan system pemerintahan dari rakyat dalam arti rakyat adalah awal mula kekuasaan Negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-cita. Organisasi sosial politik adalah wadah pemimpin-pemimpin bangsa dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan keahliannya, peran dan tanggung jawabnya. Sehingga segala unsur-unsur dalam organisasi sosial politik seperti para pegawai Republik Indonesia harus mengikuti pedoman pengamalan Pancasial agar berkepribadian Pancasila karena mereka selain warga negara Indonesia, juga sebagai abdi masyarakat, dengan begitu maka segala kendala akan mudah dihadapi dan tujuan serta cita-cita hidup bangsa Indonesia akan terwujud.

Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat:

a. Kebebasan,terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan.

b. Kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat , kontrol publik.

c. Pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya.

d. Supremasi hukum.

Begitu pula standar demokrasinya yang :

a. Bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel,

b. Berpihak kepada ‘social welfare’, serta

c. Meredam konflik dan utuhnya NKRI.

Perbaikan moral tiap individu yang berimbas pada budaya anti-korupsi serta melaksanakan tindakan sesuai aturan yang berlaku adalah sedikit contoh aktualisasi Pancasila secara Subjektif. Aktualisasi secara objektif seperti perbaikan di tingkat penyelenggara pemerintahan. Lembaga-lembaga negara mesti paham betul bagaimana bekerja sesuai dengan tatanan Pancasila. Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus terus berubah seiring tantangan zaman.(Kompas, 01 April 2003). “Demokrasi sebagai suatu sistem kehidupan didalam masyarakat dijamin keleluasaannya untuk mengekspresikan kepentingan”.

Pada kalimat itulah yang kemudian berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar daripada kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/ partai, mereka rela menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk memperbesar cengkeramannya pada upaya penguasaan bangsa. Pada kenyataannya kepentingan rakyat dan kepentingan Nasional justru diabaikan pada hal mereka itu adalah konstituen yang harusnya mendapat perhatian dan kesejahteraan.

Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme Undang Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang melahirkan budaya Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.

Ini bisa dilihat betapa banyaknya pejabat yang mengidap penyakit “amoral” meminjam istilah Sri Mulyani-moral hazard. Hampir tiap komunitas (BUMN maupun BUMS), birokrasi, menjadi lumbung dan sarang “bandit” yang sehari-hari menghisap uang negara dengan praktik KKN atau kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Sejak Republik Indonesia berdiri, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu muncul ke permukaan. Bermacam-macam usaha dan program telah dilakukan oleh setiap pemerintahan yang berkuasa dalam memberantas korupsi tetapi secara umum hukuman bagi mereka tidak sebanding dengan kesalahannya, sehingga gagal untuk membuat mereka kapok atau gentar. Mengapa tidak diterapkan, misalnya hukuman mati atau penjara 150 tahun bagi yang terbukti.

Para elit politik dan golongan atas seharusnya konsisten memegang dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap tindakan. Dalam era globalisasi saat ini , pemerintah tidak punya banyak pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management

2. Bidang Ekonomi

Pengaktualisasian Pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil yang memosisikan pemerintah memiliki asset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Sehingga perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Selain itu ekonomi yang berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak diharapkan ada atau turut campur.

Ekonomi menurut Pancasila adalah berdasarkan asas kebersamaan, kekeluargaan artinya walaupun terjadi persaingan namun tetap dalam kerangka tujuan bersama sehingga tidak terjadi persaingan bebas yang mematikan. Dengan demikian pelaku ekonomi di Indonesia dalam menjalankan usahanya tidak melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan karena pengamalan dalam bidang ekonomi harus berdasarkan kekeluargaan. Jadi interaksi antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan.

Pilar Sistem Ekonomi Pancasila yang meliputi:

1. Ekonomika etik dan ekonomika humanistik.

2. Nasionalisme ekonomi & demokrasi ekonomi

3. Ekonomi berkeadilan sosial.

Namun pada kenyataannya, sejak pertengahan 1997 krisis ekonomi yang menimpa Indonesia masih terasa hingga hari ini. Di tingkat Asia, Indonesia yang oleh sebuah studi dari The World Bank (1993) disebut sebagai bagian dari Asia miracle economics, the unbelieveble progress of development, ternyata perekonomiannya tidak lebih dari sekedar economic bubble, yang mudah sirna begitu diterpa badai krisis (World Bank, 1993).

Krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia Orde Baru dan Orde Lama yang dialami sekarang ini telah mencuatkan tuntutan reformasi total dan mendasar (radically). Bermula dari krisis moneter (depresi rupiah) merambah ke lingkungan perbankan hingga ke lingkup perindustrian.

Kebijakan perekonomian Indonesia yang diterapkan tidak membumi, hanya sebatas “membangun rumah di atas langit” dan akibatnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi tersingkirkan. Rakyat masih terus menjadi korban kegagalan kebijakan pemerintah. Potret perekonomian Indonesia semakin buram, memperhatikan kebijakan pemerintah yang selalu “pasrah” dengan Bank Dunia atau pun International Monetary Fund (IMF) dalam mencari titik terang perbaikan ekonomi Indonesia. Belum lagi menumpuknya utang luar negeri semakin menghimpit nafas bangsa Indonesia, sampai-sampai seorang bayi baru lahir pun telah harus menanggung hutang tidak kurang dari 7 juta rupiah.

Seorang pengamat Ekonomi Indonesia, Laurence A. Manullang, mengemukakan bahwa selama bertahun-tahun berbagai resep telah dibuat untuk menyembuhkan penyakit utang Internasional, tetapi hampir disepakati bahwa langkah pengobatan yang diterapkan pada krisis utang telah gagal. Fakta yang menyedihkan adalah Indonesia sudah mencapai tingkat ketergantungan (kecanduan) yang sangat tinggi terhadap utang luar negeri. Sampai sejauh ini belum ada resep yang manjur untuk bisa keluar dari belitan utang. Penyebabnya adalah berbagai hambatan yang melekat pada praktik yang dijalankan dalam sistem pinjaman internasional, tepatnya negara-negara donor (Bogdanowicz-Bindert, 1993).

Keputusan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan untuk segera memasuki industrialisasi dengan meninggalkan agraris, telah menciptakan masalah baru bagi national economic development. Bahkan menurut sebagian pakar langkah Orde baru dinilai sebagai langkah spekulatif seperti mengundi nasib, pasalnya, masyarakat Indonesia yang sejak dahulu berbasis agraris Sebagai konsekuensinya, hasil yang didapat, setelah 30 tahun dicekoki ideologi ‘ekonomisme’ itu justru kualitas hidup masyarakat Indonesia semakin merosot tajam (dekadensia).

Jika hingga saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang signifikan, tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan mahadasyat dari arus globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses pemberdayaan masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara kemanjaan (ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan akomodasi bentuk perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy style) di seluruh pelosok negeri tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang telah dibangun oleh para Founding Father terdahulu. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus, misalnya, pencabutan subsidi di tengah masyarakat yang sedang sulit mencari sesuap nasi, mengelabuhi masyarakat dengan raskin (beras untuk rakyat miskin), atau jaring pengaman sosial (JPS) lain yang selalu salah alamat.

3. Bidang Sosial Budaya

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 172) Aktualisasi Pancasila dalam bidang social budaya berwujud sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/ dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi, serta penguatkan kembali proses integrasi nasional baik secara vertical maupun horizontal.

Begitu luasnya cakupan kebudayaan tetapi dalam pengamalan Pancasila kebudayaan bangsa Indonesia adalah budaya ketimuran, yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, ramah tamah, kesusilaan dan lain-lain. Budaya Indonesia memang mengalami perkembangan misalnya dalam hal Iptek dan pola hidup, perubahan dan perkembangan ini didapat dari kebudayaan asing yang berhasil masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Semua kebudayaan asing yang diterima adalah kebudayaan yang masih sejalan dengan Pancasila. Walaupun begitu tidak jarang kebudayaan yang jelas-jelas bertentangan dengan budaya Indonesia dapat berkembang di Indonesia. Seperti terjadinya pergeseran gaya hidup (life style) yang oleh sejumlah pakar gejala ini termasuk jenis kemiskinan sosial-budaya. Beberapa indikasi dapat dikemukakan di sini, antara lain: manusia hidup cenderung materialistik dan individualistik,menurunnya rasa solidaritas, persaudaraan, rasa senasib-sepenanggungan, keharusan mengganti mata pencaharian, pelecehan terhadap institusi adat, dan bahkan pengikisan terhadap nilai-nilai tertentu ajaran agama. Ciri ini telah ada dan berkembang hingga ke daerah-daerah. Dulu masih dapat dinikmati indahnya hubungan kekeluargaan (silaturrahim), realitas sekarang semua itu sudah tergantikan dengan komunikasi jarak jauh. Misalnya, kebiasaan berkunjung ke daerah untuk merayakan lebaran atau hari-hari penting lainnya, telah tergantikan dengan telpon atau e-mail. Mestinya kondisi ini tidak perlu terjadi pada bangsa yang dikenal ramah, santun, dan religius.

Perubahan sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa yang akan datang kemajemukan masyarakt Indonesia yang sangat heterogen ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka berprestasi.

Ini menunjukan bahwa filter Pancasila tidak berperan optimal, itu terjadi karena pengamalan Pancasila tidak sepenuhnya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu harus ada tindakan lanjut agar budaya bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila. Pembudayaan Pancasila tidak hanya pada kulit luar budaya misalnya hanya pada tingkat propaganda, pengenalan serta pemasyarakatan akan tetapi sampai pada tingkat kemampuan mental kejiwaan manusia yaitu sampai pada tingkat akal, rasa dan kehendak manusia.

4. Bidang Hukum

Pertahanan dan Keamanan Negara harus berdasarkan pada tujuan demi tercapainya hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan hankam. Pertahanan dan keamanan harus diletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan kekuasaan.

Pertahanan dan Keamanan, Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation akan mengandung fungsi-fungsi sebagai: the line at which supervision should give way to State’s discretion in enacting or enforcing its law, striking (menemukan) a balance between a right quaranteed and a permitted derogation (limitation), Move principle of justification than interpretation, Preventing unneccesarry restriction, To avoid damaging dispute, A Uniform Standard of Protection, Gives flexibility needed to avoid damaging confrontantions.

Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation di bidang hukum akan mewarnai segala sub sistem di bidang hukum, baik substansi hukum yang bernuansa “law making process”, struktur hukum yang banyak bersentuhan dengan “law enforcement” maupun budaya hukum yang berkaitan dengan “law awareness”. Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation yang mengendalikan kontekstualisasi dan implementasinya telah terjadi pada:

1. Pada saat dimantabkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada saat 4 kali proses amandemen

2. Pada saat merumuskan HAM dalam hukum positif Indonesia

3. Pada saat proses internal di mana The Founding Fathers menentukan urutan Pancasila.

Mengingat TNI sebagai bagian integral bangsa Indonesia senantiasa memegang teguh jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional berperan serta mewujudkan keadaan aman dan rasa aman masyarakat, sesuai perannya sebagai alat petahanan NKRI. TNI sebagai bagian dari rakyat berjuang bersama rakyat, senantiasa menggugah kepedulian TNI untuk mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi, juga terwujudnya hubungan sipil militer yang sehat dan persatuan kesatuan bangsa melalui pemikiran, pandangan, dan langkah-langkah reformasi internal ini.

Beberapa arah kebijakan negara yang tertuang dalam GBHN, dan yang harus segera direlisasikan, khususnya dalam bidang hukum antara lain:

1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui Undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidak sesuaiaannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan para penegak hukum, termasuk Kepolisian RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.

3. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.

4. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.

Satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya semua lembaga, institusi maupun person yang ada di dalamnya harus tunduk dan patuh pada hukum. Maka ketika hukum di Indonesia betul-betul ditegakkan dengan tegas, dan dikelola dengan jujur, adil dan bijaksana, insya Allah negeri ini akan makmur dan tentram.

Namun saat ini betapa rapuhnya sistem dan penegakkan hukum (law enforcement) di negeri ini dan karena itu merupakan salah satu kendala utama yang menghambat kemajuan bangsa, sistem hukum yang masih banyak mengacu pada sistem hukum kolonial, penegakkan hukum yang masih terkesan tebang pilih, belum konsisten merupakan mega pekerjaan rumah serta jalan panjang yang harus ditempuh dalam bidang hukum, Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum, termasuk lembaga-lembaga penegak hukum, kian terpuruk . contohnya setelah putusan Kasasi Akbar Tanjung, sebagian besar masyarakat menganggap putusan Mahkamah Agung itu mengusik keadilan masyarakat sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang sangat besar. Akibatnya, kini ada kecenderungan munculnya sinisme masyarakat terhadap setiap gagasan dan upaya pembaharuan hukum yang dimunculkan oleh negara maupun civil society.

Patut kita jadikan referensi tersendiri kasus-kasus menarik MA, berawal dari isu kolusi dalam kasus Ghandi Memorial School (GMS), yang menjadi sangat menarik karena kasus ini justru berasal dari Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Dan kasus korupsi dana non bagiter bulog senilai 40 miliar, yang menjadi tersangka utama ketua DPR RI, yang sekaligus Ketua Umum Partai yang berlambang pohon beringin, Akbar Tanjung. Yang kesemuanya itu merupakan representasi dari berbagai putusan pengadilan atas kasus-kasus korupsi lainnya yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan sense of crisis. Sejak komitmen reformasi dicanangkan tahun 1998, mandat reformasi hukum paling utama adalah membersihkan sapu kotor agar mampu membersihkan lantai kotor. Sapu kotor menggambarkan institusi penegak hukum kita kepolisian, kejaksaan, dan peradilan yang belum steril dari praktek korupsi sehingga menyulitkan untuk melaksanakan mandat penegakan hukum secara tidak diskriminatif.

C. Membangun Kembali Paradigma Pancasila Melalui Komonikasi Partisipatoris

Komonikasi yang partisipatoris adalah kritik yang dibangun atas krisis legitimasi terhadap corak kepemimpinan negara yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. Kritik itu pertama kali dalam ideologi Marxian, ideologi neo-Marxian, Teo Adorno, Horkeimer, bahkan mereka yang sekarang tergolong dalam Mazhab Frankfrut.

Kritik diatas kritik dicari dalam menyetarakan atau memberi jalan keseimbangan antara komonikasi dengan tindakan. Antara pejabat dan rakyat dalam kerangka undang-undang yang tidak multitafsir dan pemihakan pada satu kepentingan. Undang-undang dibuat konkret dengan melibatkan secara langsung rakyat, dengan alur komonikasi partisipatoris antara rakyat dengan pejabat perancang undang-undang. Maka diperlukan organ yang dapat mewakili kepentingan rakyat dan parlemen.

Kepentingan ini harus dibawah oleh seorang pejabat yang tidak membawa embel partai, mereka diangkat adalah karena keahlian akademik, disamping itu diperlukan organ atau lembaga dari elemen teleologik. Hanya dengan cara demikian, ground norm Pancasila akan tampak dalam kerangka abstraksi teoritikal untuk semua rancangan peraturan perundang-undangan sebagaiman yang dikemukan oleh Hans Kelsen dalam stuffen ban theory- nya.

Disamping itu, setiap nilai-nilai filsufis dan aktualisasi Pancasila yang dikonkretkan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Memerlukan cara radikal dan keseriusan untuk, tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai “slogan”, lambang, dan “simbol mati” untuk diparaktikan dalam tatanan politik, ekonomi, budaya, dan hukum.

Kesenjangan, korupsi yang “membudaya” dan deviasi keuangan yang terjadi disetiap lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah hari dimana akan lahir sejarah ketidak-percayaan pada ideologi Pancasila. Oleh karena itu dari kacamata penulis sendiri kegoncangan nilai persatuan yang dibalut dalam pakem agama, tidak sah sila pertama. Semata-mata tidak disebabkan oleh faktor karakter individu yang radikal dan dipandang ekstrim atas agama yang dianutnya.

Dengan komonikasi yang partisipatoris, peningkatan kesejahteraan, penguatan institusi hukum melalui re-aktualisasi kepercayaan publik atas penegakan hukum penting dihadirkan agar tidak terjadi mafia poltik, mafia hukum, mafia demokrasi, dan mafia pajak.

Kita sepertinya hilang sosok “pejabat yang teladan” untuk dijadikan alat ukur, dalam menilai bahwa ia telah membawa harapan menegakkan semua nilai-nilai aktual yang diabstraksikan dan diejawantahkan oleh Pancasila sebagai landasan filsufis, normatif, dan praktis.

Hanya dengan komonikasi yang partisipatif, akan terlahirkan pluralisme dan multikulturalisme yang termaktub dalam sila pertama. Hanya dengan demokrasi yang mensejahterakan akan tercipta persatuan dalam negara yang terdiri dari beberapa kepulauan. Hukum yang tegak akan menciptakan kesejahteraaan dalam memulihkan luka lama dari tidur panjang, karena telah melupakan nilai Pancasila agar diaktualisasikan demi tegaknya keadilan seperti yang diurai oleh “ semiotik” dewi Themis keadilan sejak pertama kali term “adil,” ramai diimpikan oleh bangsa Yunani dan Romawi kuno.

D. PENUTUP

1. Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir.

2. Tidak ada yang dapat mengelakan arus globalisasi yang menghampiri kita bahkan negeri ini, globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang bermula dari luar dan tentunya memberikan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi bangsa ini. Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ini akan mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.

Indonesia sesungguhnya memiliki satu pamungkas yang menyatukan sekian potensi lokal dalam sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni Pancasila. namun dengan begitu derasnya arus globalisasi yang menerpa bangsa ini, seakan memudarkan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dapat diaktualisasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum.

3. Dengan aktulisasi nilai-nilai Pancasila baik secara internal maupun dalam sudut praktik (politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum) penting untuk membangun komonikasi yang partisipatoris antara pejabat pemerintah dan rakyat agar pelaksanaan nilai-nilai Pancasila tercapai dalam keseimbangan (balance) antara pemerintah dan rakyat sebagai elemen yang penting bagi negara (state).


DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Besar. 1994. Pancasila dan Alam Pikiran Integralistik (Kedudukan dan Peranannya dalam Era Globalisasi). Yogyakarta: Panitia Seminar “Globalisasi Kebudayaan dan Ketahanan Ideologi” 16-17 November 1994 di UGM.

Bachtiar, Harsja W. (Peny.).1976. Percakapan dengan Sidney Hook tentang Masalah Filsafat. Jakarta: Jambatan.

Bakker, Anton.1992. Ontologi atau Metafisika Umum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Bertens. Kess. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Bracher, Karl Dietrich. 1984. The Age of Ideologies. New York: St.Martin’s Press.

Damang, A’al. 2007. Agama: Pancasila dan Kesalehan Multikultural. Makalah dalam Kumpulan Tulisan Tahun 2007. Disampaikan dalam diskusi lepas di HMI MPO, Tema “Rekonstruksi Paradigma Kesalehan di Negara Pancasila”

Damardjati Supadjar. 1990. Konsep Kefilsafatan tentang Tuhan Menurut Alfred Nort Whitehead. Yogyakarta: Disertasi Doktor di UGM.

Dibyasuharda. 1990.Dimensi Metafisik dalam Simbol: Ontologi mengenai Akar Simbol. Yogyakarta: Disertasi Doktor di UGM.

Driyarkara, N.1959. Pantjasila dan Religi. Yogyakarta: Makalah disampaikan pada Seminar Pantjasila I di Yogyakarta tanggal 16 sampai 20 Februari.

-----------------.1993 (Cet.ke-12). Filsafat Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.

Habib Mustopo, M.1992. Ideologi Pancasila dalam Menghadapi Globalisasi dan Era Tinggal Landas. Bandungan-Ambarawa: Panitia Seminar dan Loka Karya Nasional MKDU Pendidikan Pancasila Dosen-dosen PTN/PTS dan Kedinasan Pada tanggal 29 – 30 September 1992.

Hardono Hadi, P. 1994. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kansil, C.S.T.1971. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita.

Kattsoff, Louis O.1953. Elements of Philosophy. New York: The Ronald Press Comp.

Kendall, G.A. 1981. “Ideology: An Essay in Definition” dalam majalah Philophy Today No.25, hal. 262 – 276.

Koento Wibisono. 1988. Pancasila Ideologi Terbuka. Magelang: Panitia Temu Karya Dosen-Dosen PTN Se-Jawa Tengah dan Kopertis Wil.VI.

Leahy, Louis. 1993. “Ideologi Tinjauan Historis dan Kritis”. Yogyakarta: dalam Majalah Basis No.42, halaman 130 – 135.

Liek Wilardjo. 1990.Realita dan Desiderata. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Lorens Bagus. 1991. Metafiska. Jakarta: PT Gramedia.

Magnis Suseno, Franz. 1991. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia.

Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia (Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Moerdino. 1995/1996. “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Menghadapi Era Globalisasi dan Perdagangan Babas”, dalam Majalah Mimbar No.75 tahun XIII.

------------. 1995/1996. “Masalah Filsafati dan Ideologi dalam Membangun Negara Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Mimbar No. 74 tahun XIII.

Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1990. Megatrends 2000 (Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Notonagoro. 1974 (Cet.Kelima). Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Jakarta: Universitas Pancasila.

--------------. 1975. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.

-------------. 1984 (Cet.Keenam). Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Popkin, Richard, dan Avrum Stroll. 1958. Philosophy Made Simple. New York: Made Sample Books, Inc.

Pranarka A.M.W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: CSIS.

Sartono Kartodirdjo. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sastrapratedja,M. 1996. Pancasila dan Globalisasi. Magelang: Panitia Seminar Nasional Pendidikan Pancasila di Universitas Tidar pada 29-31 Juli 1996.

Slamet Sutrisno. 1986. Pancasila sebagai Metode. Yogyakarta: Liberty.

Snyder, Louis L. 1954. The Meaning of Nationalism. New Brunswick-New Jersey: Rutger University Press.

Soedjati Djiwandono, J. 1995. Setengah Abad Negara Pancasila (Tinjauan Kritis ke Arah Pembaharuan. Jakarta: CSIS.

Soerjanto Poespowardojo. 1989. Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sudarminta, J. 1991. Filsafat Proses (Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Whitehead).Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Team Dosen Pancasila. 2003. Pendidikan Pancasila Perguruan Tinggi Berbasisi Kompetensi. Makassar: universitas hasanuddin.

Traer, Robert. 1991. Faith in Human Rights. Washington DC: Georgetown Univ.Press.

Whitehead, Alfred North. 1979. Process and Reality. New York: The Free Press.

William Ebenstein & Edwin Fogelman. 11985. Today’s Isms. London: Prentice-Hall,Inc.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors