PSIKOLOGI FORENSIK



Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyke yang artinya adalah jiwa dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Namun demikian menurut Walgito (1997, h. 1-2) bahwa para ahli kurang sependapat dengan pengertian psikologi tersebut sama dengan ilmu jiwa. Karena ilmu jiwa di sini menurut Gerungan (dalam Walgito) adalah ilmu jiwa yang meliputi segala pemikiran, pengetahuan, segala spekulasi mengenai jiwa itu sendiri. Karena ilmu jiwa itu belum tentu psikologi, tetapi psikologi itu selalu ilmu jiwa, serta dalam mempelajari psikologi harus dari sudut ilmu. Senada dikatakan oleh Morgan dkk (dalam Walgito 1997, h. 2) bahwa psikologi adalah sebagai ilmu diperoleh dengan pendekatan ilmiah yang dijalankan secara sistematis berdasarkan data empiris.

Pengertian forensik berasal dari bahasa Yunani, yaitu forensis yang bermakna debat atau perdebatan. Forensik di sini adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu atau sains (Wikipidia 2011). Xena (2007) mengatakan bahwa forensik adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Wijaya (2009) mengungkapkan pengertian forensik adalah ilmu apa pun yang digunakan untuk tujuan hukum dengan tidak memihak bukti ilmiah untuk digunakan dalam pengadilan hukum, dan dalam penyelidikan dan pengadilan pidana.

Ada beberapa disiplin ilmu yang memberikan wadah khusus pada bidang forensik dalam penegakan hukum antara lain: ilmu fisika forensik, ilmu kimia forensik, ilmu psikologi forensik, ilmu kedokteran forensik, ilmu toksikologi forensik, ilmu psikiatri forensik, komputer forensik (Wikipidia 2011). Forensik juga berkembang dalam bidang akuntansi yang lebih dikenal dengan Akuntansi Forensik (Endratna 2009). Forensik akuntansi lebih difokuskan mengenai bidang kejahatan keuangan.

Dijelaskan di atas bahwa psikologi juga memiliki bidang khusus hal-hal berkaitan dengan hukum, yaitu psikologi forensik. Sebelumnya, psikologi di Indonesia hanya mengenal lima bidang, yaitu psikologi perkembangan, industri, pendidikan, sosial, dan klinis. Padahal di Eropa dan Amerika Serikat bidang psikologi sampai bidang psikologi forensik. Psikologi forensik mulai tampak dan kelihatan ketika awal tahun 2000 dan berkembang sampai saat ini. Salah satu contoh psikologi forensik di Indonesia mulai masuk ke penegakan hukum, yaitu pada tahun 2003, dalam kasus Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga. Walaupun psikolog menyatakan bahwa Sumanto menderita gangguan jiwa/psikopat, akhirnya ditempatkan di bangsal khusus penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal Sakura Kelas III. Namun demikian, tetap diajukan ke sidang pengadilan dan dinyatakan bersalah. Pada tahun 2008 ilmu psikologi berperan kembali. Berdasarkan hasil tes psikologi dan hasil pemeriksaan tim kedokteran kejiwaan Polda Jatim bahwa Ryan mengalami gangguan kejiwaan psikopatis (Prastyo, 2008).

Psikologi forensik menurut Putwain & Simon (dalam Probowati, 2008, h. 26) mendefinisikan psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Sedangkan Brigham (dalam Sundberg dkk, h. 357) mendefinisikan psikologi forensik adalah sebagai aplikasi yang sangat beragam dari ilmu psikologi pada semua isu hukum atau sebagai aplikasi yang sempit dari psikologi klinis pada sistem hukum. Dalam Webster’s New World Dictionary (1988) (dalam Sundberg dkk, 2007, h. 358) mendefinisikan psikologi forensik adalah sesuatu yang khas atau yang pas, untuk peradilan hukum, perdebatan publik, atau argumentasi formal yang menspesialisasikan diri atau ada hubungannya dengan aplikasi pengetahuan ilmiah, terutama pengetahuan medis, pada masalah-masalah hukum, seperti pada investigasi terhadap suatu tindak kejahatan. Menurut Devi (dalam Byrne & Baron,

2005, h. 217) menyatakan bahwa psikologi forensik adalah studi berkaitan dengan persoalan hukum. Sedangkan Rizky (2009) mendefinisikan psikologi forensik, semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional, forensik, dan badan-badan administratif, yudikatif, dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas yudisial.

B. Ruang Lingkup Bidang Psikologi Forensik

Kalangan para psikolog forensik (dalam Sunbreg dkk, 2007, h. 359) mengatakan bahwa yang menjadi eksplorasi psikologi forensik dikelompokkan menjadi bagian antara lain:

1. Psychology of criminal conduct (psikologi perbuatan

kriminal), psychology of criminal behavior (psikologi perilaku kriminal), criminal psychology (psikologi kriminal), semua berhubungan dengan psychological study of crime (kajian psikologis tentang kriminalitas/ kejahatan).

2. Forensic clinical psychology (psikologi klinis forensik),correctional psychology (psikologi koreksional), assesment dan penanganan atau rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial.

3. Mempelajari tentang metode atau teknik yang digunakan oleh badan kepolisian, antara lain police psychology (psikologi polisi), behavioral science (ilmu perilaku), dan investigative psychology (psikologi penyelidikan).

4. Bidang psychology and law (psikologi dan hukum) terutama difokuskan pada proses persidangan hukum dan sikap serta keyakinan partisipannya.

C. Sirkulasi Fase-fase Psikologi Forensik

Sedangkan Sunbreg dkk (2007, h. 359) menyatakan bahwa psikologi forensik dapat dilihat sebagai bidang yang terdiri atas tiga tipe dasar yang berkorespodensi dengan fase-fase sistem hukum kriminal (pidana), hukum sipil, atau hukum preventif. Fase-fase klasifikasi psikologi forensik saling berhubungan secara sirkuler antara lain: kegiatan investigatif menghasilkan respons-respons ajudikatif, yang menghasilkan ukuran-ukuran untuk mencegah perilaku tak diinginkan yang lebih jauh, dan preferensi akan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu diinvestigasi.







*** ilustrasi singkat buku "psikologi forensik"
[Read More...]


Program Kesehatan Gratis belum Sesuai dengan Ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan



Dalam mengkritisi peraturan perundang-undangan (regulation) program kesehatan gratis, digunakan dua metode. Metode pertama, kritik terhadap bentuk (form) peraturannya. Kedua adalah melihat bagaimana penerapan hukumya (law in action) dari peraturan tersebut berdasarkan isi (substance) dari undang-undang tersebut yang tersegmentasi dalam Pasal-Pasal.
1. Bentuk Peraturannya (Regulation Form)
Dasar hukum dari program kesehatan gratis sebagai kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi selatan, pada dasarnya berpedoman pada tiga peraturan perundang-undangan yaitu, Pergub Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Provinsi Sulsel, Pergub Sulsel Nomor 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan RS di Provinsi Sulsel dan Peraturan Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.
Kejanggalan dari peraturan tersebut adalah lebih awal diterbitkan peraturan pelaksanaannya, yakni peraturan Gubernur, ketimbang peraturan daerahnya. Padahal hirearki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 7 UU No. 10/ 2004), jika dibandingan dengan peraturan pemerintah, selalu ditegaskan bahwa pelaksanaan undang-undang ini, kemudian akan diatur berdasarkan peraturan pemerintah. Artinya Peraturan Gubernur mestinya juga dibentuk setelah adanya Peraturan Daerah.
Peraturan Gubernur yang lebih awal dilembagakan, yakni Pergub Nomor 13 Tahun 2008 kemudian terbit Perda Nomor 2 Tahun 2009, dibandingkan dengan Peraturan Daerah, berarti lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjalankan program kesehatan gratis seperti Dinas Kesehatan, Kepala Balai Kesehatan, dan pelaksana tingkat Rumah Sakit, belum memilki wewenang secara penuh (full power) dalam melaksanakan tata kelola pendanaan, dan pemanfaatan dana kesehatan gratis.
Demikian juga yang terjadi pada Tim pengendali provinsi, tim pengendali kabupaten, dan pelaksana tingkat rumah sakit (Pasal 39 ayat 1 Pergub No. 13 tahun 2008) belum memilki kewenangan secara penuh (full power) sebagai lembaga yang terlibat dalam program kesehatan gratis.
Pembentukan Perda sebagai peraturan perundangan-undang, penting untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Apalagi menurut Jimli Asshiddiqie (2011: 73) dengan mengacu pada asas otonomi daerah, Perda selayaknya dijadilan setingkat dengan undang-undang. Kalau begitu maka Perda menjadi mutlak untuk dibentuk oleh Gubernur bersama dengan DPRD dalam program kesehatan gratis ini, tidak mesti dengan langsung saja menerbitkan peraturan Gubernur, hanya karena dikejar janji program kesehatan gratis.
Oleh karena tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang/ Perda lembaga yang menjadi pelaksana program kesehatan gratis, lembaga pelaksana tersebut dapat dikatakan bertindak sewenang-wenang, walaupun hal ini tampak sepele. Penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuapaten/ Kota sebelum melaksanakan program kesehatan gratis dalam kerangka otonomi dan kewenangan melakukan pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah agar dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, walaupun untuk tujuan kesejahteraan agar ada dasar hukum yang kuat. Hanya hukum (lex) sebagai peraturan yang dapat melegitimasi kebijakan pemerintah itu sehingga pemerintah dikatakan tidak sewenang-wenang (willekeur).
Disamping itu, untuk mengkritisi undang-undang bagaimana mekanisme pelaksanaanya berpihak pada keadilan, dapat digunakan fungsi Ilmu Hukum Administarsi Negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Wiarda (dalam Utrecht: 1960) yaitu ”sifat dasar dari suatu peraturan”. Apa yang menjadi tujuan dari suatu peraturan dan apa yang menjadi dasar hukum lahirnya suatu peraturan. Hal ini dapat dilihat pada kata konsiderant mengingat, menimbang dan memutuskan suatu peraturan.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam konsideran menimbang Pergub Nomor 13 Tahun 2008, berbunyi
”Bahwa penyelenggaraan pembangunan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan dasar gratis bagi masyarakat perlu dilakukan secara terpadu, terintegrasi, sinergi dan holistik serta pengaturan pembagian (sharing) pembiayaan dengan memadukan berbagai upaya dari pemerintahan kabupaten/ kota di sulawesi selatan dengan pemerintah provinsi sulawesi selatan dalam suatu sistem pembiayaan yang jelas, sarana dan prasarana kesehatan, sumber daya manusia, dan mutu pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimal (koersif penulis).

Hanya dengan standar pelayanan minimal. Makanya tidak heran jika dalam Pasal 1 ketentuan umum Pergub Nomor 13 Tahun 2008. Pelayanan kesehatan gratis adalah semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya dan pelayanan kesehatan rujukan di kelas III rumah sakit pemerintah daerah, yang tidak dipungut biaya dan obat yang diberikan menggunakan obat generik (lihat juga Pasal 23 ”pada dasarnya jenis pelayanan yang disediakan untuk masyarakat bersifat kompherensif sesuai indikasi medis, kecuali beberapa hal yang dibatasi dan tidak di jamin)
Dari pengamatan di lapangan. Penelitian di Rumah Sakit Wahidin (1 Mei s/d 3 Mei 2011), ternyata pasien yang ditempatkan di rujukan kelas III, tidak diperhatikan pelayanannya oleh perawat dan dokter, dokterpun hanya sekali-kali melakukan cek up pada setiap pasien yang menumpuk gara-gara rujukan yang terlalu banyak dari rumah sakit Kabupaten.
Namanya saja program kesehatan gratis, padahal tidak ada satu pasien pun dari pengamatan di Rumah Sakit Wahidin, yang berada dalam rujukan kelas III, dibebaskan dari semua anggaran pengobatan. Oleh karena tidak selamanya pasien hanya memperoleh resep dari dokter dengan obat generik, makanya tidak mungkin gratis kebutuhan obat bagi pasien.
Kamar atau ruangan yang digunakan oleh pasien rujukan kelas III juga tetap dibayar, olehnya itu perdebatan pro dan kontra, apalagi menelisik program kesehatan gratis, selalu saja tidak ada tingkat kepuasan dan apresiasi berhasil dari masyarakat baik pengguna Jamkesda, Askes, dan kartu kesehatan gratis.
Nyatanya, kita hanya dipasung dengan angka peningkatan jumlah pasien yang menggunakan fasilitas rujukan kelas III, kunjungan ke Puskesmas yang meningkat (100 %) tapi masih sering ada pemungutan liar bagi pasien Ibu hamil seperti yang pernah terjadi di puskesmas jungpandang. Program kesehatan gratis telah berhasil hanya “seakan-akan/ as thoght” sebagai “simulakra” meningkat dengan angka dan presentase tingkat kematian yang menurun, dan hal itu belum tentu dipengaruhi oleh sigapnya pemerintah memperjuangkan program kesehatan gratis dengan slogan “jangan belenggu energimu untuk melakukan pelayanan kesehatan gratis.”

Dalam Pasal 27 Pergub Nomor 13 Tahun 2008, ditegaskan bahwa pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung antara lain:
a. Operasi jantung.
b. Kateterisasi jantung.
c. Pemasangan cincin jantung.
d. CT Scan.
e. Cuci darah (haemodialisa).
f. Beda syaraf.

Berdasarkan ketentuan tersebut masih terjadi disparitas (disparity) untuk memperoleh pelayanan kesehatan gratis, dengan cara apa masyarakat dapat menghindari penyakit dan tidak mengikuti standar pelayanan kesehatan gratis. Artinya hanya orang yang memiliki kekayaan yang dapat menggunakan fasilitas pelayanan yang layak, sedangkan diakui oleh Gubernur dalam setiap pertemuan ilmiah, masyarakat miskin dalam pelayanan kesehatan harus diproritaskan.
Undang-undang sudah menetapkan, ditutupnya (closed) bagi pasien yang tak memiliki dana untuk mendapatakan pelayanan sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 27. Belum lagi permasalahan lain sehingga disparitas terjadi pada pasien diruangan kelas III, hanya diperhatikan jika memiliki kekerabatan dekat dengan orang dalam.
Untuk memperoleh kartu kesehatan dan prosedur pelayanan pengobatan secara gratis diakui oleh keluarga pasien dalam penelitian, hanya bisa diakses bagi yang memiliki keluarga dekat dengan pegawai rumah sakit. Layak dikenakan dengan pameo yang sering diungkap oleh kritisi hukum/ juris (critical legal movement). Why the have come out a head (Mark Galanter). Mengapa orang berpunya selalu tampil ke depan ?
2. Substansi (substance) Peraturan Perundang-undangan Kesehatan Gratis
Program kesehatan gratis di Provinsi Sulawesi Selatan sudah berjalan selama tiga tahun. Mulai dari tahun 2008, 2009, 2010. Hingga pada tahun 2011, berdasarkan kesepakatan dari berbagai instansi. Dinas kesehatan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota program kesehatan gratis akan dialihkan ke pihak ketiga di bawah naungan PT. Askes.
Berdasarkan ketentuan Perda Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis dan Perda Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis Di Provinsi Sulsel. Program kesehtan gratis dilaksankan, juga bersandar pada beberapa prinsip/ asas dan tujuan yang tidak jauh berbeda dengan asas dalam penyelenggaran tertib Negara atau yang lazim dikenal sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginsle Vanbehorlijk Bestuur). Asas dan tujuan penyelenggaraan kesehatan gratis ditegaskan dalam Pasal 2 Pergub Nomor 2 Tahun 2009 yang berbunyi, kerja sama penyelenggaran pelayanan berasaskan:
a. Efesiensi.
b. Efektivasi.
c. Sinergi.
d. Saling menguntungkan.
e. Kesepakatan bersama.
f. Itikad baik.
g. Transparansi.
h. Keadilan.
i. Kepastian hukum.
Asas penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis juga dilaksanakan berdasarkan beberapa asas, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Pergub Nomor 13 Tahun 2008 yaitu:
a. Transparansi.
b. Akuntabilitas public.
c. Team work.
d. Inovatif.
e. Cepat, cermat, dan akurat.
f. Pelayanan terstruktur dan berjenjang.
g. Kendali mutu dan kendali biaya.

Program kesehatan gratis yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi sulsel yang bertujuan (goal) untuk meningkatkan (improve) akses guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan meningkatkan kualitas dan pemerataan untuk mendapatkan pelayanan yang meringankan beban penduduk dalam pembiayaan pelayanan (Pasal 3 Perda Nomor 2 Tahun 2009).
Tujuan pelayanan kesehatan gratis juga diperkuat lagi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Pergub Nomor 13 Tahun 2008 sebagai bentuk peraturan pelaksanaan, yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis adalah meningkatnya akses pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh penduduk Sulawesi Selatan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efesien. Sementara tujuan khusus dari pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis adalah:

a. Membantu dan meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan pelayanan kesehatan.
b. Meningkatnya cakupan masyarakat dalam mendapatakan pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya di rumah sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi Selatan.
c. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan.
d. Meningkatnya pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan.
e. Terselenggaranya pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat dengan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan.

Dalam kaitannya dengan penelitian di Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel ( 28 – 30 April 2011) dan Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (1- 3 Mei 2011) selanjutnya akan dikemukakan beberapa ketentuan dari undang-undang tersebut yang belum berjalan. Seperti dalam penyediaan anggaran, mekanisme pengeluaran, pelaksanaan, pengawasan, monitoring, database, dan pendataan program kesehatan gratis.
a) Pembagian (spesialisasi) Anggaran/ Tata Laksana Pendanaan
Pelayanan kesehatan gratis terlaksana berdasarkan kerja sama antara pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/ Kota serta pihak ketiga lainnya seperti Dinas Kesehatan dan PT. Askes (lih: Pasal 4 Perda Nomor 2 Tahun 2009). Dengan demikian sumber dana, jelas berasal dari pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 Pergub Nomor 13 Tahun 2008, sumber dana berasal dari bantuan pemerintah Provinsi (APBD Provinsi) dan Kabupaten/ Kota melalui APBD Kabupaten/ Kota.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dibentuk perjanjian kerjasama dalam nota kesepahaman. Perjanjian kerja sama (MoU) antara Pemerintah Provinsi dengan kabupaten/kota tanggal 26 Juni 2008. Isi pokok perjanjian tersebut, menetapkan dana anggaran yang disediakan Provinsi hanya dikisaran 40 % dan Kabupaten menyediakan di kisaran 60 %. Dana tersebut disediakan dalam anggaran APBD berdasarkan klaim.
Pada kenyataannya dalam mekanisme, berjalannya penggunaan anggaran tersebut. Pemerintah Kabupaten/ Kota mengalami kewalahan untuk menyediakan anggaran yang ditarik dari APBD, dengan kisaran 60 %, seperti yang terjadi di Pare-Pare (berdasarkan wawancara Rahmat jaya, 30 April 2011) menyebabkan kabupaten tersebut memiliki banyak utang kepada pihak ketiga, sehingga banyak Kabupaten yang menginginkan penyediaan anggaran tersebut agar dibalik, jadinya Provinsi yang menyediakan anggaran sebesar 60 %, sedangkan Kabupaten yang menyediakan hanya 40 %.
b) Sasaran (participant) Pelayanan Kesehatan Gratis
Selain keluhan bahwa anggaran yang kerap menjadi kendala dalam pelayanan kesehatan gratis, sasaran yang belum tepat. Bahwa peserta program kesehatan gratis banyak dari kalangan yang mampu, sementara ada yang berasal dari keluarga miskin, nantinya di Rumah Sakit atau Puskesmas didata, dengan Mempertanyakan Kartu Kesehatan Gratis yang telah dibagikan oleh pemerintah daerah setempat.
Hal itu ditanggapi oleh responden dari keluarga pasien, ”banyak diantara kami yang tidak pernah mendapat kartu kesehatan seperti yang disediakan oleh pemerintah.”
Sasaran atau peserta yang akan mendapatkan layanan kesehatan gratis melaui pembagian kartu anggota dilakukan melalui pendataan sasaran, registrasi peserta, dan penetapan oleh Bupati Atau Walikota. Pendataan sasaran dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat Desa/ Kelurahan yang dilakukan oleh tim Desa/ Kelurahan selanjutnya dilaporkan ke tingkat Kecamatan, untuk dilakukan rekapitulasi (Pasal 10 Pergub Nomor 13 Tahun 2008). Namun dari pendataan sasaran tersebut, tampaknya tim Desa/ Kelurahan berdasarkan data dan pengakuan dari pasien yang menjadi responden (wawancara 1 - 3 Mei 2011) team yang dibentuk oleh Desa/ Lurah, tidak pernah melakukan pendataan berkenaan, siapa yang layak/ tidak layak mendapat kartu anggota. Rata-rata di Kantor Desa/ Lurah saja para team tersebut mengkalkulasi data yang akan mendapat Kartu Anggota Kesehatan, dan kartu anggota diperoleh ketika peserta itu datang di Kantor Desa sendiri yang mempertanyakan kepemilikan kartu anggota sebagai peserta yang mendapat kesehatan gratis (bisa dibaca: pengobatan gratis).




C) Tata Laksana dan Prosedur Pelayanan Kesehatan Gratis
Puskesmas, Balai Kesehatan, dan Rumah Sakit pemerintah yang menjadi tempat pelayanan kesehatan gratis. Bagi peserta kesehatan gratis akan mendapatkan pelayanan kesehatan meliputi Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP), Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) dan Pelayanan Gawat Darurat (Pasal 13 Pergub Nomor 13 Tahun 2008).
Dalam pelaksanaan pelayanan, baik pengobatan maupun penyediaan ruangan, mendapatkan pemeriksaan dari Dokter/ Perawat terjadi disparitas dengan pasien yang berada dikelas lainnya dibandingkan pasien yang digratiskan, dan berada diruangan kelas III, banyak diantaranya pasien yang terlantar, karena pasien sering menumpuk.
Pengadaan obat generik, seringkali menjadi tanggung jawab pihak Rumah Sakit (Pasal 17 huruf d Pergub Nomor 13 Tahun 2008), sementara anggaran yang disediakan/ kas daerah maupun provinsi jika pasien adalah rujukan. Tidak ada anggaran, belum terdata sebagai anggaran untuk pembelian obat dari pihak rumah sakit, hanya dengan pentotalan anggaran pembelian obat. Lalu dana yang cair, kelak terlalu lama mengulur-ulur waktu, sehingga pihak Rumah Sakit jelas merasa dirugikan.
Pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, seluruh unit pelayanan kesehatan milik pemerintah, pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/ Kota yang telah ditunjuk wajib memberikan pelayanan kepada seluruh penduduk Provinsi (Pasal 16). Juga ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 21, dalam kasus-kasus tertentu untuk mendapatkan pelayanan di instalansi gawat darurat (emergency) peserta tidak perlu membawa/ menunjukan surat rujukan.
Hal yang demikian, dikomentari oleh banyak responden, bahwa banar adanya ada pelayanan langsung dari pihak rumah sakit rujukan, tetapi yang melakukan pelayanan, siapa ? lebih banyak ditangani oleh sarajana kedokteran yang sedang praktikum, dokter ahli tidak langsung melakukan perawatan. apalagi jika diketahui bahwa pasien bersangkutan berada dalam golongan pasien yang mendapat Jamkesda, Askes, atau Kartu Anggota Kesehatan Gratis, pihak Rumah Sakit terkadang mengabaikannya. Tentunya setelah pasien keluar dari Rumah Sakit, tetap dimintai kartu kesehatan, jika ingin melakukan pembayaran atas pelayanan dari pihak Rumah Sakit, alasan bahwa pasien yang gawat darurat tidak perlu menunjukan surat rujukan, tetap diminta jika ada, sebagai prasyarat untuk mendapatkan layanan pengobatan gratis.
d) Pengorganisasian (organization )
Agar tujuan umum, tujuan khusus, dan sasaran program kesehatan gratis (Pasal 3 dan Pasal 4) tercapai , maka dilakukan organissai pengendalian yang terdiri atas:
a. Tim Pengendali Provinsi.
b. Tim Pengendali Kabupaten/ Kota.
c. Pelaksana Tingkat Rumah Sakit Kabupaten/ Kota Dan Puskesmas.
Dalam pelaksanaan program kesehatan gratis disetiap Kabupaten pada Puskesmas, Balai Kesehatan Rumah Sakit, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Daerah terdapat Tim Pengendali dan Tim Pelaksana.
Baik ditingkat Kabupaten maupun Provinsi, Tim Koordinasi Pengendali, Tim Pelaksana Pengendali, Dan Pelaksana Tingkat Rumah Sakit masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab. Tim koordinasi pengendali mempunyai tugas dan tanggung jawab antara lain:
a. Menyusun arah kebijakan program pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergisme.
b. Memantau dan menindaklanjuti perkembangan penyelesaian penanganan pengaduan masyarakat yang dilaksanakan oleh tim pelayanan kesehatan
c. Melakukan pembinaan, pengawasan dan pengenndalian program pelayanan kesehatan.

Sedangkan tim pelaksana pengendali ditetapkan tugas dan tanggung jawabnya antara lain:
a. Melakukan pendataan sasaran.
b. Menyusun system database pelayanan kesehatan.
c. Merencanakan besaran alokasi dana dan sasaran.
d. Melaksanakan monitoring dan evaluasi.
e. Memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan kepada masyarakat.
f. Menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan secara berkala kepada Gubernur/ bupati/ walikota.






Pengorganisasian yang dilaksanakan oleh pihak/ pelaksana rumah sakit pada intinya juga ditetapkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai berikut:
a. Melakukan verifikasi jumlah dana dan apabila jumlah yang diterima melebihi dari yang semestinya, maka segera mengembalikannya ke rekening/ kas pemerintah kabupaten/ kota.
b. Mengidentifikasi dan menyampaikan data kepada tim pengenndali kabupaten/ kota.
c. Mengelola dana secara bertanggung jawab dan transparan.
d. Mengumumkan daftar jenis pelayanan yang digratiskan dan tidak digratiskan.
e. Bertanggung jawab terhadap penggunaan dana.
f. Memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat.
g. Melaporkan penggunaan dana dan kegiatan kepada tim pengendali kabupaten/ kota.

Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel, melalui tanggapan atau komentar dari Rahmat Jaya (30 April 2011) mengemukakan bahwa semua tim yang dibentuk ini, tim yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/ Walikota. Semua tim baik Tim Koordinasi Provinsi/ Kabupaten maupun Tim Pelaksana Pengenndali belum menjalankan tugasnya secara integral. Seperti tim koordinasi pengendali yang tidak pernah menyusun arah kebijakan, jarang melakukan pemantauan, bahkan pembinaan, pengawasan dan pengendalian program pelayanan kesehatan tidak pernah dilakukan, sehinga tim koordinasi sebagai lembaga bentukan yang tak memiliki arti dan lebih bersifat pasif dalam mengatasi berbagai hambatan yang menyebabkan program kesehatan gratis masih berjalan dibawah harapan.
Demikian halnya, yang terjadi pada lembaga Tim Pengendali yang tidak pernah tepat dalam pendataan sasaran, oleh karena selalu saja sering terjadi pasien yang mampu, berkelas mendapatkan sarana pelayanan kesehatan gratis. Lembaga yang juga berfungsi sebagai penyusun sistem database, ternyata database yang ada hingga program kesehatan gratis, telah berjalan selama tiga tahun juga masih banyak peserta yang mendapat kartu anggota tidak layak, karena mereka berasal dari kelurga yang berada (being).
Banyak keluhan kekurangan dari pelayanan kesehatan gratis, penyimpangan seperti pasien yang kerap disuruh membayar biaya pelayanan kesehatan di Puskesmas, padahal ia memiliki kartu kesehatan, namun tim pelaksana pengendali hanya bersifat pasif, mendengar banyak keluhan, dan pengaduan dari masyarakat.
Berdasarkan wawancara dari beberapa keluarga pasien di Rumah Sakit Wahidin (1 Mei s/d 3 Mei 2011), sikap tertutup dari Pelaksana Tingkat Rumah Sakit menambah sekian permasalahan dari program kesehatan gratis ini. Tim pelaksana rumah sakit yang enggan untuk melakukan pelayanan secara adil (justice), sama (equity) bagi pasien, sehingga jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan gratis, jenis daftar layanan, verifikasi jumlah dana tidak transparan, semua data pelayanan hanya diduga-duga, karena sikap malas dari pegawai rumah sakit untuk melakukan pendataan secara professional.

e) Pengawasan (Monitoring), Supervisi dan Pelaporan
Tidak lain tujuan dari pada monitoring dan supervisi, agar dana program pelayanan kesehatan gratis diterima oleh yang berhak dalam jumlah waktu, cara, dan penggunaan yang tepat. Monitoring dan supervisi di sini dilakukan dalam bentuk pemantauan, pembinaan, dan penyelesaian masalah terhadap pelaksanaan program pelayanan kesehatan gratis (lihat Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 45 Pergub Nomor 13 Tahun 2008).
Dalam pelaksanan monitoring dan supervisi berdasarkan penelitian di lapangan, Tim Pengendali Kabupaten dan Provinsi oleh Rahmat Jaya, mengemukakan “bahwa seringkali tim pengendali yang melakukan monitoring terhadap alokasi, penyaluran, penggunaan dana, administrasi peserta kurang tepat, karena hasil monitoring selalu dikatakan bahwa peserta kesehatan gratis sudah tepat sasaran berdasarkan pasien yang dilihat di Rumah Sakit, namun dari sekian banyak pasien ternyata masih banyak pasien yang mampu mala di tempatkan di rumah sakit rujukan kelas III, dampaknya pasien di rujukan kelas III membludak, tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Pada tahap pelaporan, oleh Tim Pengendali tidak pernah menyampaikan beberapa program kesehatan yang tidak berjalan di Rumah Sakit, hambatannya.
Hal tersebut disebabkan, pemerintah terlalu mematok diri untuk dikatakan bahwa program selama ini berhasil, tidak ada hambatan, semua berjalan lancar. Padahal dalam pelayanan pasien yang terjadi adalah diskriminasi dalam pelayanan. Ruangan/ tempat bagi pasien rujukan kelas III, tidak terperhatikan kebersihannya. Program dikatakan sudah berhasil hanya berdasarkan angka atau jumlah pasien yang meningkat, sehingga tidak perlu lagi ada rekomendasi untuk mengatasi masalah dalam pelayanan kesehatan bagi pasien yang masuk dalam program kesehatan gratis.
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Program Kesehatan Gratis di Propinsi Sulawesi Selatan

Sudah menjadi keniscayaan. Adikodrati, bahwa program, walaupn direncanakan dengan matang, ada perencanaan (planing), pengawasan (controlling), adiministrasi, pengorganisasian dan pembinaan (esthabilisment). Tidak dapat terlepas dari hambatan-hambatan, sehingga program tersebut tidak seperti apa yang diharapkan. Namun setidaknya dengan mengoreksi beberapa kesalahan (eror) dalam satu periode kerja, dapat dikurangi atau diminimalisir berbagai kasus yang menyebabkan sehingga program yang dijalankan tidak maksimal.
Sama halnya dengan program kesehatan gratis, yang dulunya semarak, laku diperjual-belikan sebagai visi dan misi kampanye. Awalnya hanya sebagai janji (promise), kemudian menjadi program atau kebijakan (beleidsregel) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (baca: Gubernur). Untuk membuktikan janji tersebut, pemerintah tidak dapat semena-mena atau langsung saja mengeluarkan kebijakan, membentuk strukturisasi jabatan untuk melaksanakan program kesehatan gratis bagi semua masyarakat sulsel. Mutlak ada undang-undang yang memberinya kewenangan (authohrity), makanya sebelum dilaksanakannya program kesehatan gratis diterbitkan terlebih dahulu Perda Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.
Apalagi dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan daerah yang diperintahnya, maka pemerintah daerah berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (legalitas principle), maka ia mengeluarkan segala kebijakan untuk meningkat kesejahteraan masyarkat. Meningkat kesejahteraan masyarakat, yang diusahakan oleh pemerintah daerah bukan hanya dengan persoalan finansial-ekonomi, perumahan, tetapi juga kesehatan.
Regulasi yang menjadi dasar/ pedoman (basic) bagi pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan kesehatan yang muda bagi masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 13 ayat 1 huruf (e) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 “kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota, salah satu diantaranya adalah kewenangan dibidang kesehatan.” Demikian juga ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum. Artinya setiap pemerintah memiliki tanggung jawab secara timbal balik (reciprocity) antara peran rakyat terhadap pemerintah, kemudian pemerintah harus menunaikan kewajibannya melakukan peningkatan pelayanan kesehatan.
Di Provinsi Sulawesi Selatan, program kesehatan gratis telah berjalan selama tiga periode. Tahap pertama, disebut sebagai tahap percobaan (2008-2009), tahap kedua disebut sebagai tahap pemantapan (2010- 2011), tahap ketiga disebut sebagai tahap pengembangan (2012 -2013).
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai lembaga perantara yang menyalurkan dana untuk program kesehatan gratis di setiap Kabupaten, ditemukan berbagai faktor pendukung maupun faktor penghambat sehingga pelaksanaan program kesehatan gratis tidak berjalan sebagaimana yang ditegaskan dalam peraturan, maupun dalam tahap perencanaan kebijkan yang telah diatur sedemikian rupa. Beberapa permasalahan dalan program kesehatn gratis diantaranya, masih sering ada pasien yang terlantar, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
Ada beberapa faktor yang mendukung sehingga program kesehatan grtais tersebut di Provinsi Sul-Sel, sehingga masih berjalan sampai sekarang. Disamping itu, masih ada juga faktor-faktor yang menghambat sehingga belum berjalan lancar seperti apa yang diprogramkan dalam tata laksana/ mekanisme palayanan dan penyaluran dana kesehatan gratis.
1. Faktor Pendukung
a. Regulasi (Regulation) Program Kesehatan Gratis di Provinsi Sulsel
Semenjak dilaksanakan/ dibukanya kesempatan Otonomi Daerah tahun 1999, melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Kemudian direvisi dengan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (sekarang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah. Kekuasaan yang tidak terpusat pada pimpinan (sentralisasi). melalui asas desentralisaisi dan asas dekonsentrasi. Provinsi dapat mengambil inisiatif untuk menciptakan lapangan kerja yang akan meningkatkan pendapat asli daerah, meningkatkan APBD, ada pengenaan pajak dan retribusi jalan, parkir, dan tempat pariwisata.
Kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan, jelas menambah keuntungan jumlah persediaan untuk realiasasi program dalam otonomi daerah, seperti pendidikan gratis, program kesehatan gratis.
Isu program kesehatan gratis menjadi janji kampanye Pilkada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, yang terpilih dari Syahrlul Yasim Limpo dan Agus Arifin Nu’mang (nama calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih ini, dulunya sering di singkat dengan term “sayang”). Setelah terpilih dari calon tersebut dengan janji yang ingin dilaksanakan sebagai kontrak politik (political contract) antara masyarakat Sulsel yang terdiri dari 23 kabupaten dan jumlah penduduk sekitar 7.771.671 (berdasarkan data statistik tahun 2008), Gubernur dan wakil Gubernur meminta waktu dalam jangka program pelaksaan kesehatan gratis 150 hari, untuk melaksanakan janji kampanye tersebut sebagai kontrak politik yang pernah dijanjikannya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai pemerintah daerah yang melaksanakan asas otonomi dan desentrlisasi, terutama pelaksanaan kesehatan gratis. Pada dasarnya mengacu pada ketentuan undang-undang yang lebih tinggi sebagai sistematisasi hirearki peraturan perundang-undangan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004).
Program pencanangan kesehatan sebagai partisipasi atau timbal balik pemerintah dengan rakyat dalam kerangka undang-undang dasar sebagai norma hukum tertinggi, ditegaskan dalam Pasal 34 yang berbunyi:
1. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakt yang tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam undang-undang.

Dari apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebagai tanggung jawab pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum, dan ketentuan Pasal-pasalnya. Kemudian pengaturan masalah kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, salah satu tujuan dari sistem jaminan sosial nasional di sini adalah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/ atau anggota keluarganya.
Regulasi yang termaktub dari undang-undang sistem JSN, nampaknya hanya bisa dinikmati pelayanan kesehatan bagi mereka yang memiliki keadaan ekonomi membaik, karena untuk mendapatkan jaminan kesehatan di Rumah Sakit dalam bentuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, dan jaminan hari tua, hanya orang yang memiliki daftar nama dalam asuransi yang dikelola oleh perusahaan seperti Persero Jamsostek, itupun orang yang terdaftar harus membayar iuran ke perusahaan yang melaksankan program asuransi kesehatan.
Padahal jika dicermati Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 13 huruf e menegaskan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi merupakan urusan dalam skala Provinsi yang meliputi penanganan bidang kesehatan. Selanjutnya, ditegaskan lagi dalam Pasal 14 huruf e perihal kabupatenpun dapat melakukan penanganan dibidang kesehatan.
Hal ini yang mengilhami sehingga pemerintah provinsi (baca: Gubernur) dan pemerintah Kabupaten (baca: Bupati) melakukan kerja sama dalam perimbangan anggaran untuk kesehatan gratis di Provinsi Sulawesi Selatan yakni anggaran disediakan oleh Gubernur sebanyak 40 % sedangkan sisanya 60 % adalah tanggung jawab Kabupaten untuk menambah anggaran dana penyaluran kesehatan gratis ke Puskesmas dan Balai Kesehatan Rumah Sakit yang berfungsi sebagai tempat pelayan kesehatan bagi masyarkat yang tidak mampu.
Dengan dalih tersebut, Pemerintah Provinsi dengan persaingan politik menuju jabatan maka visi dan misi kampanye/ janji-janji politik lebih konkret untuk ditagih oleh partisipan pemilu, sementara calon pemerintah provinsi lebih tegas dalam menunjukan visi dan misinya. Janji yang dimaksud di sini adalah program kesehatan gratis, apalagi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah melalui kewenangan dari jabatannya dapat menangani pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dari daerah yang diperintahnya.
Ada beberapa regulasi yang menjadi pendukung sehingga program kesehatan gratis dijalankan di provinsi sulsel, sebagaimana dikemukakan oleh Rahmat Jaya/ Kepala Seksi Pembiayaan Jaminan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel (dalam wawancara 30 April 2011) diantaranya:
1. Perjanjian kerja sama (MoU) antara Pemerintah Provinsi dengan kabupaten/kota tanggal 26 Juni 2008.
2. Pergub Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Provinsi Sulsel
3. Pergub Sulsel Nomor 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan RS di Provinsi Sulsel
4. Peraturan Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis
Dari keempat regulasi di atas; Gubernur, Bupati, Dinas Kesehatan, Puskesmas Dan Rumah Sakit saling menjalin kerja sama dalam program pelayanan kesehatan gratis dengan mengacu pada ketentuan, syarat, mekanisme dan penyaluran dananya.
b. Anggaran yang Disediakan untuk Program Kesehatan Gratis.
Secara etimologi anggaran berasal dari bahasa latin budga atau budget (bahasa Inggris) dan etaat de roi, buugette/ bouge (Perancis). Dalam bahasa belanda disebut begrotting (groten) yang dapat diberi arti memperkirakan. Anggaran dapat didefenisikan menurut para analisis keuangan negara sebagaimana dikemukakan oleh Riwayan Tjandra (2006:7) sebagai berikut:
a. Suatu rencana pekerjaan keuangan yang pada satu pihak mengandung jumlah pengeluaran setinggi-tingginya yang diperlukan untuk membiayai kepentingan negara pada suatu masa depan dan pada pihak lain merupakan perkiraan pendapatan (penerimaan) yang mungkin dapat diterima dalam masa tersebut (Marsono).
b. Suatu rencana yang diperlukan untuk membiayai segalla kegiatannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan disertai taksiran besarnya penerimaan yang didapat dan digunakan untukk membelanjakan pengeluaran tersebut (Subagio).
c. Dalam penyusunan anggaran perlu diperhatikan kedaaan keuangan, keadaan tenaga dan bahan baku yang tersedia dalam negeri, keadaan tenaga dan bahan baku yang dapat didatangkan, pengalaman pelaksanaan anggaran tahun yang lalau dan tahun berjalan



Perjalanan pemerintahan indonesia menuju demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat membawa bigbang pada kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, akhirnya membawa konsekuensi anggaran tidak semata bersumber dari pusat, namun daerah dalam hal ini pemerintah daerah dapat melakukan pengelolaan keuangan daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah. Dibalik itu juga dapat membentuk kebijkan seperti program kesehatan gratis yang anggarannya disamping dibantu dari pusat juga dapat diusahakan sendiri.
Kebijakan otonomi daerah dalam penanganan di bidang kesehatan jelasnya membutuhkan anggaran daerah, oleh karena tidak ada program kerja yang bisa berjalan tanpa ada dana yang tersedia untuk melaksanakannya, yang demikian juga berlaku dalan program kesehatan gratis yang dilaksanakan oleh Gubernur Provinsi Sulsel. Tentunya anggaran untuk melaksanakan program kesehatan gratis menjadi penopang utama dalam mengukur berhasil/ tidaknya program tersebut.
Berdasarkan wawancara Rahmat jaya (30 April 2011) mengemukakan bahwa “pada tahun 2008 anggaran yang disiapkan untuk kesehatan sebesar 81,8 Milyar. Pada tahun 2009 alokasi anggaran untuk Kabupaten dan Kota sebesar 30,4 Milyar dengan asumsi 40 % bersumber dari propinsi dan 60 % bersumber dari Kabupaten dan kota masing-masing, sementara itu besaran anggaran untuk Rumah sakit Provinsi, Rumah sakit regional dan Balai kesehatan mencapai angka 85,9 Milyar Rupiah.”
Lebih jauh Rahmat jaya mengemukakan, “Sejak diberlakukannya Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Juli 2008, animo masyarakat yang mengunjungi fasilitas/ sarana kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit serta Balai Pelayanan Kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan semakin meningkat dan masyarakat telah merasakan manfaat dengan adanya Program tersebut. Hal ini sesuai dengan tujuan utama program tersebut yaitu selain meningkatnya akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan juga manfaat yang diperoleh bahwa masyarakat dapat lebih dini menemu-kenali penyakit yang dideritanya.”
Berdasarkan data dari hasil penelitian yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, dibawah ini juga dikemukakan beberapa indikasi yang menjadi alasan sebagai faktor pendukung sehingga anggaran demikian penting dalam program kesehatan gratis.
Beberapa hal yang dapat disampaikan terkait perkembangan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Gratis, yakni kepesertaan. Perkembangan jumlah kepesertaan yang dilayani dengan Program Kesehatan Gratis yaitu:
a. Tahun 2008 : 4.298.110 jiwa
b. Tahun 2009 : 4.472.546 jiwa
c. Tahun 2010 : 4.576.525 jiwa
Tahun 2009 telah diadakan/didistribusi Kartu Kesehatan Gratis sebanyak 1.100.000 lembar dan tahun 2010 diadakan/distribusi sebanyak 1.000.000 lembar (proses pengadaan triwulan II). Angka kunjungan/cakupan pelayanan kesehatan gratis di Provinsi Sulawesi Selatan selama tahun 2009, sebagai berikut
a. Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) =4.139.570 kunjungan
b. Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) = 56.532 kunjungan
c. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) = 349.921 kunjungan
d. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) = 92.532 kunjungan
e. Jumlah pasien yang dirujuk = 7.883 pasien
Alokasi anggaran untuk Program Kesehatan Gratis mengalami peningkatan selama proses pelaksanaannya :
a. Tahun 2008, Rp. 81.794.451.410
b. Tahun 2009, Rp. 93.511.897.034
c. Tahun 2010, Rp. 103.432.900.476,
Anggaran yang disediakan oleh pemerintah provinsi sulsel ini kemudian dibagi rata kesetiap kabupaten (23 kabupaten) dengan pembagaian, pemerintah provinsi menganggarkan 40 %, kabupaten menanggung sebanyak 60 %. Dari pembagian tersebut masih terjadi kesimpangsiuaran diantara kabupaten, seperti kabupaten Sinjai yang menolak anggaran yang diberikan oleh provinsi dengan alasan bahwa Sinjai sudah lebih awal melaksanakan program kesehatan gratis, yang menggunakan Askes, bekerja sama dengan dengan PT. Askes, dengan premi Rp 10.000 per Kepala Keluarga dan berlaku untuk semua warga Sinjai, baik warga kurang mampu maupun Pegawai Negeri Sipil, pejabat, dan pengusaha. Oleh karenanya akan menjadi masalah jika anggaran tersebut akan menjadi masalah dalam penyimpangang anggaran, ketika diperiksa oleh BPK. Akhirnya solusi alternatif dari permasalahan itu, adalah anggaran dari Pemerintah Provinsi akan dipergunakan jika ada pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Regional Rujukan.
c. Sinergitas antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, Dinas Kesehatan dan Akademisi Kesehatan
Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa ada Perjanjian kerja sama (MoU) antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/ Kota tanggal 26 Juni 2008, untuk pelaksanaan program kesehatan gratis ini. Kerja sama yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi terlihat dengan adanya perjanjian kerja sama dan komitmen untuk menyediakan anggaran dari APBD untuk persediaan pelayanan kesehatan gratis, walaupun pencanangan atau kebijakan kesehatan gratis sudah dilakukan oleh beberapa daerah sebelum Gubernur sulsel memprogramkannya (tahun 2008). Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Sinjai sudah melakukan program kesehatan gratis dengan Askes/ Jamkesda bekerja sama dengan PT Askes.
Untuk menilai seberapa jauh keberhasilan program kesehatan gratis, Gubernur sudah melakukan kunjungan dengan melibatkan Kepala Dinas kesehatan Provinsi Dan Kepala Dinas kesehatan Kabupaten, Persatuan Wartawan Indonesia Makassar. Kunjungan untuk menilai keberhasilan itu dilakukan mulai dari Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Pare-Pare, Kabupaten Toraja, Kabupaten Barru dan Kabupaten Maros.
Hasil kunjungan diantaranya, diadakan pertemuan antara Bupati, Gubernur, Dinas Kesehatan untuk mempertanyakan bagaimana tingkat keberhasilan di setiap Kabupaten dalam melaksanakan program kesehatan gratis, mulai dari pelayanan puskesman hingga pelayanan di rumah sakit. Hasil kunjungan juga dipertanyakan oleh Gubernur perihal kendala-kendala yang menjadi hambatan sehingga program kesehatan gratis tidak berjalan seperti yang direncanakan, bagaimana tingkat kepuasan dari pasien selama menggunakan fasilitas kesehatan gratis, juga menjadi pertanyaan besar oleh Gubernur disetiap kabupaten yang dikunjunginya.
Sinergitas antara Pemerintah Provinsi dengan Gubernur, Dinas Kesehatan nampak dalam mekanisme/ prosedur pelaksanaan program kesehatan gratis, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmadi Arief/ Staf Bidang Bina Yankes (wawancara 29 April 2011) yakni berawal dari kas gratis bersumber dari dana Pemerintah Provinsi sekitar 40 % dan Pemerintah Kabupaten/ Kota sekitar 60 %, mekanisme pembayarannya dengan sistem klaim ke kas daerah, kemudian pelayanan diberikan pada pelayanan kesehatan tingkat dasar dan jaringannya, bila harus mendapatkan pelayanan rujukan maka sistem rujukan mengikuti sistem yang diatur dalam Pergub Nomor 15 Tahun 2009. Juga di sini ditegaskan oleh Ahmadi Arief, bahwa yang berhak mendapatkan pelayanan gratis adalah seluruh warga sulawesi selatan yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) Sulawesi Selatan.
Dari uraian di atas, program kesehatan gratis yang dilaksanakan di Provinsi Sulsel, juga tak lepas dari keterlibatan berbagai akademisi, khususnya akademisi dibidang kesehatan, seperti Amran Razak (dosen FKM unhas) yang selalu memberikan kritikan perihal adanya disparitas dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, dimana kelas tiga selalu saja dinomorduakan dalam pelayanan fasilitas dan ruang yang tidak layak inap, sehingga selalu diadakan pengukuran (measuring) melalui seminar ilmiah dengan menghadirkan Gubernur, Kepala Dinas Kesehatan, Dan Staff Ahli Menteri Kesehatan untuk mengukur, seberapa jauh pelayanan kesehatan gratis telah diapresiasi berhasil oleh masyarakat yang pernah menggunakannya ?
Selain yang dikemukakan faktor pendukung dari program kesehatan gratis di atas (regulasi, anggaran dan sinergitas antara Gubernur dengan bupati/ dinas kesehatan) juga dikemukakan oleh Ahmadi Arief dan Rahmat Jaya sebagai Pegawai Dinas Kesehatan menguraikan faktor pendukung sehinggga program kesehatan gratis di Provinsi Sulsel dapat berjalan lancar.
Ahmadi Arief (dalam wawancara 29 April 2011) menguraikan bahwa faktor pendukung, sehingga program kesehatan gratis berjalan sebagaiman yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan diantaranya:
a. Kepemimpinan Gubernur Sul-sel.
b. Kerja keras pimpinan dan staff dinas kesehatan provinsi sulawesi selatan untuk mengevaluasi proogram tersebut.
c. Komitmen Pemerintah Kabupaten dan kota untuk mendukung program tersebut.
d. Kerja keras semua tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh Ahmadi arief, juga diuraikan oleh Rahmat Jaya/ kepala seksi pembiayaan dan jaminan kesehatan (wawancara 30 April 2011) mengemukan faktor pendukung program kesehatan gratis dapat berjalan diantaranya:
a. Komitmen dari para pemangku kebijakan (stakeholder) terutama Pemerintah Daerah (Provinsi maupun Kabupaten/ Kota).
b. Kemampuan dan kesiapan pembiayaan dari Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) untuk menganggarkan berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam MoU.
c. Dukungan dari akademisi melalui berbagai seminar/ pertemuan termasuk kajian/ penelitian yang telah dilaksanakan.
d. Tersedianya sumber daya manusia kesehatan dengan segala spesifikasi keilmuan yang dimilikinya (medis dan non medis) termasuk sarana dan prasarana yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain itu indikasi yang menunjukan keberhasilan program kesehatan gratis walaupun dalam pelaksanaan dan ukuran keberhasilannya masih hitam-putih, tidak diakui secara mayoritas oleh masyarakat, namun dalam pelaksanaannya sebagaimana diuraikan lebih jauh oleh Rahmat Jaya bahwa ada beberapa program yang telah berhasil seperti terjadi peningkatan akses masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan, seperti adanya peningkatan pembiayaan sektor kesehatan, khususnya biaya pelayanan kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan, adanya peningkatan indikator pembangunan kesehatan di Sulawesi Selatan, yaitu; Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH), dengan adanya kesehatan gratis, Sulawesi Selatan sebagai 4 (empat) Provinsi di Indonesia yang telah menjamin keseluruhan penduduknya (jaminan kesehatan semesta/ universal coverage).
2. Faktor Penghambat Kesehatan Gratis di Provinsi Sul-sel
Tidak ada program kerja yang dapat berjalan lancar 100 % keberhasilannnya, oleh karena dalam setiap program kerja baik yang berbentuk kebijakan (policy/ beleidsregel) maupaun pelaksanaan regulasi oleh lembaga eksekutif masih selalu disediakan lembaga yang bertugas melakukan pembinaan, dan pengawasan agar tercapai seperti yang direncanakan (planing). Dapat dilihat, misalnya, keluhan dari setiap Kabupaten mengenai tidak gampangnya pelaksanaan program kesehatan gratis yang selalu didambakan oleh Gubernur, Bupati Pare-Pare misalnya tidak memiliki dana yang cukup jika hanya 40 % yang diberikan oleh pemerintah provinsi, gara-gara dilaksanakan anggaran kesehatan gratis melalui dana APBD, sehingga Bupati Pare-Pare mengatakan dana yang disediakan untuk program kesehatan gratis tidak mencukupi, bahkan APBD akan defesit, jika disesuaikan anggaran yang ada APBD. Begitupun Bupati Sinjai yang mengharapkan agar bantuan kesehatan gratis yang diberikan oleh pemerintah provinsi sebaiknya diberikan dalam bentuk hibah saja, oleh karena pengaturan mekanisme dan pengelolaan anggarannya akan kacau balau jika dicampuradukan dengan progran Askes dan Jamkesda yang telah dilaksanakan jauh sebelum Gubernur mencanangkannya.
Berikut ini, diuraikkan beberapa faktor penghambat, dari program kesehatan gratis sehingga masih sering tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Kendala-kendala, permasalahan, dan keluhan yang menjadi dasar atau ukuran sehinngga program kesehatan gratis masih perlu diperbaiki beberapa aspek yang menjadi permasalahannya.
a. Anggaran Kesehatan yang Diberikan oleh Pemerintah Provinsi masih Terbatas
Persediaan anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi untuk menyelenggarakan program kesehatan gratis, masih dirasa kurang oleh berbagai instansi yang terlibat dalam pelaksanaan program kesehatan gratis, hal ini diakui oleh Rahmat Jaya dalam wawancaranya, bahwa dana tersebut masih minim sekali. Padahal kesuksesan program kesehatan gratis tidak dapat diukur, hanya dengan pengobatan gratis, namun juga diikuti dengan pelayanan yang baik, fasilitas yang memadai dan perlakuan yang sama antara pasien kelas II dengan pasien dalam kategori kelas III.
Di sini dapat dilihat anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi yang terus meningkat tiap tahun. Berawal dari tahun pertama (sebagai tahap uji coba) ditanggung oleh Pemerintah Provinsi sebesar Rp 81,7 miliar, di tahun 2009 (tahap pelaksanaan) Pemerintah Provinsi mengalokasikan dana sebesar Rp 93,5 miliar dan pihak Pemerintah Kabupaten/ Kota Rp 45,6 miliar. Tahun 2010, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengalokasikan lebih dari Rp 103,4 miliar sedangkan pihak Kabupaten/ Kota menambah menjadi Rp 65,9 miliar.
Program kesehatan gratis yang telah berjalan selama 3 tahun, diakui oleh Rahmat Jaya, dalam wawancara bahwa walaupun terjadi peningkatan anggaran setiap tahun masih sering muncul dana protes dari berbagai Kabupaten, perihal tidak cukupnya dana anggaran yang disediakan oleh Provinsi dengan hanya tanggungan 40 %. Pembiayaan tidak bisa diukur hanya dengan pelayanan di Puskesmas, Rumah Sakit dengan Rawat Inap atau Rawat Jalan, atau dengan pemberian obat generik secara gratis. Bahkan dari berbagai keluhan dokter spesialis, ia meninggalkan Rumah Sakit di daerah (baca: Kabupaten) dengan alasan, gaji, honorarium atau pendapatan yang diperoleh dari Rumah Sakit gara-gara pelayanan pada pasien kelas III tidak bisa memberi apa-apa bagi dokter dalam menjalankan kewajibannya sebagai dokter.
Berdasarkan kontrak antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten, maka tanggungan kesehatan gratis ditanggung bersama. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis yang berbunyi:
1. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota secara bersama memberikan pelayanan yang diberikan di:
a. Puskesmas dan jaringannya
b. Rumah sakit pada kelas III
2. Biaya sebagaimana pada ayat 1 dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi dam kabupaten/ kota.
3. Anggaran yang bersumber dari APBD provinsi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 bersifat bantuan keuangan khusus.
4. Anggaran sebagaimana dimaksud ayat 3 dialokasikan pada APBD kabupaten/ kota yang ditempatkan pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) bidang kesehatan.
5. Mekanisme pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan Gubernur.

Dari ketentuan di atas, makanya Gubernur dengan Bupati mengikat (MOU) kontrak bersama dalam pelaksanaan program kesehatan gratis, dengan anggaran bersumber dari pusat, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/ Kota.
Lebih jauh Rahmat Jaya (dalam wawancara 30 April 2011), mengemukakan, masalah minimnya dana talangan untuk program kesehatan gratis, yakni problem pada pembiayaan kesehatan gratis adalah minimnya dana talangan yang dialokasikan pemerintah propinsi (Pemprov) Sulsel. Misalnya terjadi pada kasus Kota Pare-pare, selama periode Juli-Desember 2008 alokasi dana program kesehatan gratis dari Pemprov Sulsel untuk Kota Parepare hanya sebesar Rp 611 juta, sementara kebutuhan dana kesehatan gratis mencapai Rp 1 miliar lebih. Pada 2008 trend penggunaan dana kesehatan gratis yang hampir mencapai Rp 2 miliar per semester, Pemkot Parepare mengharapkan pada tahun anggaran 2009 dianggarkan sebesar Rp 4 miliar untuk dua semester. Berkaca pada pengalaman implementasi 2008 lalu, pengelola RS setempat kebingungan mencarikan dana untuk menalangi program kesehatan gratis. Kasus Pare-pare terjadi karena dalam APBD setempat pada 2008 tidak ada alokasi anggaran untuk kesehatan gratis, padahal sebelumnya sudah meneken kontrak kesepakatan sharing pembiayaan kesehatan gratis dengan pemprov Sulsel. Kepala Badan Pengelola RSU Andi Makkasau Parepare, dr Hj. Andi Besse Dewagong, M.Kes dalam acara coffee morning Pemkot Pare-pare (05/01/09) mengharapkan alokasi kesehatan gratis dalam APBD 2009 harus ada sebesar Rp. 2,4 miliar atau 60 persen dari seluruh kebutuhan dana selama satu tahun.


b. Kurangnya Komunikasi (comonication) antara Pegawai Rumah Sakit/ Dokter/ Pegawai Puskesmas dengan Pemerintah (Provinsi, Kabupaten/ Kota)
Kurangnya komonikasi antara pegawai kesehatan dipuskemas dan Rumah Sakit, menyebabkan keluhan dari pegawai kesehatan sebagai pelayan kesehatan yang hanya menjadi fokus perhatian pasien, tidak pernah dapat teratasi dan menjadi bahan koreksi. Beberapa seminar dan pertemuan yang dilakukan oleh Gubernur untuk mengoreksi tingkat keberhasilan program kesehatan gratis, tidak pernah melibatkan pegawai atau kepala rumah sakit, kepala puskesmas, dan dokter yang terlibat langsung dalam pelayanan pasien.
Padahal berhasil/ tidaknya program kesehatan gratis bagi pasien yang menggunakan fasilitas kesehatan gratis, tidak bisa diukur hanya dengan angka kunjugan yang meningkat, misalnya diakui oleh Rahmat Jaya (wawancara 30 April 2011), dulunya sebelum ada program kesehatan gratis tingkat kunjungan hanya 20 orang perhari ke puskesmas, sekarang meningkat menjadi 40 orang. Artinya meningkat 100 % angka kunjungan dan perhatian masyarakat untuk melakukan perawatan terhadap kesehatannya.
Hasil penelitian di Rumah Sakit Wahidin (1 Mei 2011), Jika diamati dalam setiap pelayanan yang diberikan oleh perawat maupun dokter di puskesmas dan rumah sakit, dana untuk pengobatan masih menjadi kendala untuk mendapat pelayanan yang terbaik, apalagi yang digratiskan hanya obat generik, kalau hanya obat generik, banyak keluarga pasien yang mengeluhkan bahwa tidak selamanya pasien hanya mengkonsumsi obat generik, dan obat yang disediakan oleh apotik sendiri baik itu obat generik maupun obat yang diinstruksikan berdasarkan petunjuk dokter tidak ada yang gratis.
Kondisi demikian dapat dianalisis dengan memperhatikan bagaimana mekanisme/ tata laksana pendanaan anggaran kesehatan gratis, sebagaimana diatur dalam Pergub Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pelayanan Kesehatan Gratis dalam beberapa Pasal ditegaskan:
Pasal 28
1. Pendanaan program merupakan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
2. Pembayaran ke Puskesmas, Rumah Sakit berdasarkan klaim.
3. Pembayaran ke Unit Pelayanan Kesehatan disalurkan langsung dari kas daerah melalui rekening masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit dan Balai Kesehatan milik pemerintah daerah selanjutnya dipertanggungjawabkan dan dilakuakan verifikasi oleh tim pengendali.
4. Peserta tidak boleh dikenakan iuran (biaya) pelayanan dengan alasan apapun.
Pasal 29
1. Sumber dana berasal dari bantuan Pemerintah Provinsi (APBD provinsi) dan Kabupaten/ Kota melalui APBD Kabupaten/ Kota
2. Pemerintah provinsi mengalokasikan dana bantuan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota melalui rekening/ kas daerah masing-masing Kabupaten/ Kota
Pasal 30
1. Dana untuk pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya disalurkan langsung dari kas daerah pemerintah kabupaten/ kota ke puskesmas melalui rekening masing-masing unit pelayanan kesehatan.
2. Penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap (periode triwulan) dan disalurkan pada awal bulan.
Pasal 31
1. Dana untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah disalurkan langsung dari kas daerah pemerintah kabupaten/ kota dan selanjutnya ke rumah sakit umum daerah melalui rekening masing-masing.
2. Penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap (periode triwulan) dan disalurkan pada awal bulan.
Pasal 32
1. Dana untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit pemrintah, Pemerintah Provinsi atau balai kesehatan milik Pemerintah Provinsi disalurkan langsung dari kas Pemerintah Provinsi ke rekening masing-masing.
2. Penyaluran dana sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan secara bertahap (periode triwulan) dan disalurkan pada awal bulan.
Pasal 33
1. Setiap pengambilan dana dari rekening Puskesmas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 harus mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan Kabupaten/ Kota atau pejabat yang ditunjuk setelah diferivikasi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
2. Dana yang diterima puskesmas sebagaimana yang dimaksud pada ayata 1 dimanfaatkan untuk membiayai:
a. Pelayanan RJTP.
b. Pelayanan RITP.
c. Pelayanan gawat darurat.
d. Pelayanana rujukan.
Pasal 34
1. Setiap pengambilan dana dari rekening rumah sakit atau balai kesehatan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, harus mendapat persetujuan dari direktur/ kepala balai atau pejabat yang ditunjuk setelah diferivikasi sesuai dengang ketentuan yang telah ditetapkan.
2. Dana yang diterima oleh rumah sakit atau balai kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dimanfaatkan untuk membiayai paket/ jenis pelayan yang diberikan meliputi:
a. Pelayanan RJTL.
b. Pelayanan RITL.
c. Pelayanan gawat darurat.
d. Pelayanan rujukan.
Dari tata laksana penyaluran dana anggaran kesehatan di atas, artinya melibatkan beberapa instansi, diantaranya pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dinas kesehatan, dan kepala balai kesehatan (kepala rumah sakit, kepala puskesmas).
Pertanyaannya, adalah apakah selama ini kepala rumah sakit dan kepala puskesmas mengkoordinasikan keluhan dari pegawai kesehatan yang terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan gratis ? hasil penelitian di Rumah Sakit Wahidin, pengakukan dari keluarga pasien (wawancara 1 Mei 2011), mengatakan “bahwa perawat, bahkan dokterpun kurang memperhatikan pelayanan kesehatan paisen yang berada di rujukan kelas III. Persepsi dari perawat dan kalangan dokter mengatakan bahwa, penghasilan/ pendapatan dari pasien kelas tiga sudah jelas, sementara honorarium dari pasien kelas lainnya lebih menjanjikan.”
Semestinya, dengan koordinasi dokter, perawat dan pegawai kesehatan lainnya, yang menjadi keluhannya dalam perawatan pasien di rujukan kelas III, disampaikan ke bagian Kepala Rumah Sakit, Kepala Balai Kesehatan. Selanjutnya dikoreksi lebih lanjut oleh Pemerintah, Gubernur, Walikota/ Bupati dan Dinas Kesehatan, apalagi rumah sakit seperti RS wahidin, adalah rumah sakit rujukan dari beberapa Kabupaten di daerah. Tidak semata-mata mengukur keberhasilan berdasarkan angka-angka/ jumlah pasien. Apa artinya jika pasien banyak mendapat program kesehatan gratis, namun pelayanannya terjadi disparitas pelayanan, sama halnya dengan nol/ pelayanan yang nihil (janji politik yang tidak tercapai) dan program itu tidak berarti apa-apa.
c. Pengetahuan (knowledge) Masyarakat tentang Kesehatan Gratis
Program kesehatan gratis telah berlangsung selama 3 tahun di provinsi Sulsel. Program ini adalah janji kampanye pasangan Sayang dalam pilkada Gubernur tahun 2008. Sehingga dengan program 150 hari, Gubernur meminta waktu untuk merealisasikan janjinya. Akhirnya program tersebut telah berjalan mulai dari tahun 2008 yang dikenal sebagai tahap percobaan, tahun 2009 sebagai tahap pengembangan, dan tahun 2010 sebagai tahap pelaksanaan atau tahap pemantapan.
kesehatan gratis atau pelayanan kesehatan gratis, yaitu semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya, serta pelayanan kesehatan rujukan di kelas tiga Rumah Sakit atau Balai Kesehatan milik pemerintah (pusat dan daerah) tidak dipungut biaya dan obat yang diberikan menggunakan obat generik (formularium).
Menurut Rahmat Jaya (wawancara 30 April 2011), pelaksanaan kesehatan gratis di Provinsi Sulsel. Menguraikan bahwa fokus bantuan program kesehatan gratis diberikan pada warga yang belum terlindungi jaminan kesehatan sekitar 4.427.896 atau 58,8 persen. Dinas Kesehatan mengasumsikan 4.298.110 jiwa yang belum terjangkau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat. Saat ini penduduk didalam wilayah Sulsel yang belum memiliki jaminan sosial diperkirakan masih sekitar 43 persen. Jumlah inilah yang nantinya akan menjadi sasaran program kesehatan dengan model pembiayaan gratis, sedangkan bagi yang sudah ter-cover dalam Jamkesmas dan Askes sudah tidak ditanggung lagi.
Namun dalam perlakuannya program kesehatan gratis di setiap Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Puskesmas masih banyak warga yang tidak mengerti tentang mekanisme untuk memperoleh kartu kesehatan gratis, dalam hal ini bagi pasien yang tidak memiliki Askes, Jamkesda atau Asabri.
Dari penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Wahidin (1 Mei 2011) pada keluarga pasien yang dirujuk dari Rumah Sakit Kabupaten, menyatakan, “tampaknya sangat berat untuk mendapatkan kartu gratis, entah dengan cara apa, apalagi rumah sakit di sini tidak ada disediakan informasi untuk mengurus pengobatan bagi pasien yang berada di rujukan kela III, oleh karena itu lebih baik tidak mengurus alternatif pengobatan gratis, disamping pasien sudah sekarat, sempat-sempatnya mengurus kartu kesehatan gratis.”
Dari pengakuan keluarga pasien tersebut menunjukan bahwa pengetahuan bagi keluarga pasien atau dengan kata lain warga yang menjadi sasaran program kesehatan gratis terkendala pada tidak tersedianya informasi untuk memperoleh kartu kesehatan gratis, baik dari pegawai rumah sakit yang sulit ditemui yang memberikan pelayanan untuk pendanaan dan pemberian kartu anggota maupun dari kepala Desa/ Lurah yang tidak tepat sasaran dalam pembagian karto anggota kesehatan gratis.
Ada pendapat, sebagaimana dikemukakan oleh responden (wawancara 1 Mei 2011), kartu kesehatan gratis dibagikan kepada warga miskin sebelum keluarganya masuk di rumah sakit, namun dalam kenyataannya masih saja ada keluarga miskin yang di tempatkan di ruangan kelas III, tidak punya kartu anggota sehingga tidak ada bukti untuk mendapatkan pengobatan gratis.
Dengan demikian pengetahuan masyarakat perihal mekanisme untuk memperoleh kesehatan gratis bermasalah sebagai kendala dari tingkat keberhasilan program kesehatan gratis, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lain, diantaranya, masih banyak masyarakat yang belum memiliki identitas (KTP dan kartu keluarga) sebagai syarat mendapatkan layanan dan masih banyak rujukan yang tak sesuai prosedur. Persyaratan identitas resmi kependudukan sudah menjadi syarat wajib untuk mendapatkan semua layanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta rujukan ke Kelas III rumah sakit pemerintah dengan menggunakan obat generik.
Apalagi untuk memperoleh KTP saja dari kantor Lurah/ Camat menempuh mekanisme yang panjang, mulai dari pengurusan persyaratan administrasi, hingga biaya yang mesti dikeluarkan oleh masyarakat tidak mampu tersebut. Tampaknya sangat berat untuk memperoleh KTP. KTP saja sulit untuk didapatkan apalagi kartu kesehatan gratis. Bukankah syarat untuk memperoleh kartu kesehatan gratis, mesti punya KTP atau kartu keluarga ?, untuk mengurusnya berbelit-belit, dalam pengurusan birokrasi yang panjang dan lama (kegagalan penghapusan debirokratisasi).
Tidak jauh berbeda dengan faktor penghambat yang dikemukakan di atas secara singkat, dari hasil wawancara dengan responden pada pegawai dinas kesehatan dan Staff Kepegawaian Rumah Sakit Wahidin. Pada dasaranya inti sari dari pendapat responden mengemukakan faktor penghambat sehingga program kesehatan gratis belum berhasil berdasarkan rencana yang diprogramkan.
Rahmat jaya (wawancara , 30 April 2011) mengemukakan antara lain faktor penghambat program kesehatan gratis:
a. Komitmen pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam menyiapkan anggaran sebagai bentuk tanggung jawab perimbangan dana.
b. Sosialisasi program kesehatan gratis pada tingkat sasaran belum optimal sehingga masih ada masyarakat yang belum mengetahui prosedur dan jenis-jenis pelayanan yang ditanggung termasuk rumah sakit yang melayani.
c. Kinerja petugas kesehatan yang masih sering menganggap bahwa pasien kesehatan gratis itu adalah gratis, sehingga dalam melayaninya belum maksimal.
Tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Rahmat Jaya. Pegawai dinas kesehatan provinsi Ahmadie Arief sebagai Staff bidang Bina yayasan mengemukakan, bahwa permasalahan besar dari program kesehatan gratis tidak dapat berjalan lancar, dominan dipengaruhi oleh anggaran dari kabupaten dan kota yang masih terbatas. Sedangkan pendapat yang dikemukakan dari staff kepegawaian rumah sakit wahidin mengemukakan sulitnya terlaksana program kesehatan pada Rumah Sakit Wahidin sebagai rumah sakit rujukan, disebabkan rentang kendali yang agak jauh antara Kabupaten dengan Provinsi. Maka rentang kendali antara kabupaten dan provinsi ini mestinya diperpendek.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan faktor pendukung dan penghambat dari program kesehatan gratis. Terutama dalam mengatasi beberapa faktor penghambat program kesehatan gratis. Sosialisasi program kesehatan gratis perlu melibatkan berbagai instansi dari Gubernur, Bupati/ Walikota, Dan Dinas Kesehatan yang tidak hanya dilakukan di Provinsi tetapi juga dilaksanakan ke setiap Kabupaten, apalagi berdasarkan pengakuan dari Rahmat Jaya, hanya 10 Kabupaten yang benar-benar menjalankan program kesehatan dalam kurun waktu 3 tahun ini. Perlu juga melibatkan pihak pengawas seperti Inspektorat, Kejaksaan dan Kepolisan dalam melakukan pengawasan terhadap penyimpangan yang dilakukan pegawai yang memberikan pelayanan kesehatan gratis.



BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Program kesehatan gratis belum berjalan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, Perda Nomor 2 Tahun 2009 dan Pergub Nomor 13 Tahun 2008, sebagai peraturan pelaksanaan kesehatan gratis. Beberapa program yang tidak berjalan sebagaimana dalam ketentuan tersebut adalah pembagian anggaran antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota, sasaran peserta program kesehatan gratis, tata laksana pelayanan, pengorganisasian oleh tim koordinasi pengendali/ tim pelaksana pengendali/ pelaksana tingkat rumah sakit, terakhir monitoring, supervisi dan pelaporan yang tidak berjalan sebagaimana yang ditetapkan.
2. Faktor pendukung program kesehatan gratis yakni reguasi program kesehatan gratis, anggaran, serta sinergitas antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, Dinas Kesehatan dan akademisi di bidang kesehatan. Selain itu program kesehatan gratis memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaanya seperti anggaran yang masih defesit untuk menutupi tingkat pengeluaran dalam pelayanan kesehatan gratis, kurangnya komunikasi (comonication) antara Pegawai Rumah Sakit/ Dokter/ Pegawai Puskesmas dengan Pemerintah (Provinsi, Kabupaten/ Kota), dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan gratis.
B. SARAN
Dari uraian kesimpulan di atas, maka yang dapat manjadi saran sebagai berikut:
1. Perlu peninjauan ulang atas regulasi kesehatan gratis, di satu sisi Pergub Nomor 13 Tahun 2008 masih membatasi pelayanan, hanya pada obat generik yang gratis, dan beberapa permasalahan lainnya dalam ketentuan tersebut yang tidak berjalan. Sebaiknya dalam pembentukan ulang regulasi kesehatan gratis melibatkan pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, Dinas Kesehatan, Pihak ke tiga seperti PT Askes, Kepala Balai Kesehatan/ Puskesmas/ Rumah Sakit dan akademisi di bidang kesehatan agar dalam tata laksana pelayanan tidak terjadi ketidakcocokan mekanisme pelaksanaan program kesehatan gratis antara berbagai pihak/ instansi.
2. Beberapa hambatan dalam pelaksanaan program kesehatan gratis, seyogianya mengefektifkan lembaga tim koordinasi pengendali dan tim pelaksana pengendali agar melakukan pembinaan, pengawasan dan menyampaikan ke pemerintah provinsi beberapa program yang belum berjalan dalam pelaksanaannya.


DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Amrah Muslimin. 1986. Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung: Alumni.
Bambang Yudoyono. 2001. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Bondan Gunawan S. 2000. Apa Itu Demokrasi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
C.S.T. Kansil. 1985. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
Deddy Supriady Bratakusuma. et.all. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
HAW. Widjaja. 2003. Pemerintahan Desa/ Marga. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
_______. 2004. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
_______. 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie. (2011). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
______________ . (2008). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Joe Fernandez. et.all. 2002. Otonomi Daerah di Indonesia Masa Reformasi: Antara llusi dan Fakta. Jakarta: Institute for Policy and Community Development Studies.
Josef Riwo Kaho, 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia; Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim. 1998. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Bakti.
Pipin Syarifin dan Jubaedah. 2005. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Purwo Santoso. 2003. Menuju Tata Pemerintahan dan Pembangunan Desa Da/am Sistem Pemerintahan Daerah: Tantangan Bag/ DPRD. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riawan Tjandra. (2006). Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo.
Rozali Abdullah. 2003. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme sebagai suatu Alternatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sadu Wasistiono. 2003. Kapita Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus Media.
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud. 1987. Pokok-Pokok Administrasi Negara. Jakarta: Liberty.
Siswanto Sunamo. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Sutoro Eko. 2003. Meletakkan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taliziduhu Ndraha. 1991. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Bumi Aksara: Jakarta.
Tjahya Supriatna, 1996. Sistem Administrasi Pemerintahan Daerah. Jakarta: Bumi Aksara.
Utrecht. 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Malang:Universitas Negeri Padjajaran.















Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen Tahun 2002.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 atas perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Peraturan Daerah Provinsi Sulsel Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis.
Pergub Sulsel Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Gratis di Provinsi Sulsel
Pergub Sulsel Nomor 15 Tahun 2008 tentang Regionalisasi Sistem Rujukan RS di Provinsi Sulsel.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors