Putusan Praperadilan Terhadap Sah/Tidaknya Penangkapan



A.Pengertian
Pengertian atau defenisi sebuah peristilahan penting diuraikan, oleh karena akan menjadi dasar dan kerangka acuan untuk memperjelas suatu permasalahan, mengkonkretkan sebuah proposisi. Walaupun terkadang defenisi yang diberikan tidak mampu mencakup atau menjelaskan secara kompherensif sebuah terminologi. Minimal akan menjadi pembeda atas setiap istilah yang saling berkaitan. Atau istilah tersebut akan kelihatan klasifikasi penggunaanya dalam menyusun skema pernyataan yang logis.
Pengertian yang akan dijelaskan kemudian sebagai pokok-pokok dasar yang akan menjadi bahan telaah atas setiap peristilahan yang akan dipergunakan dalam penerapan hukum formil. Istilah tersebut juga erat kaitannya dengan judul yang diangkat, diantaranya praperadilan, penangkapan, dan putusan pengadilan.
1.Praperadilan
Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi.
Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadiln tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure). Bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.
Menurut Hamzah (2006: 183) “menitik beratkan praperadilan sebagai pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim terhadap kewenangan kepolisian dan kejaksaan.” Namun yang terjadi di Eropa seperti Prancis pemeriksaan pendahuluan yang dimaksud tidak hanya pada tindakan tidak sahnya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, namun hakim ikut serta melakukan pemeriksaan pendahuluan, apakah tindak pidana tersebut layak masuk sebagai objek/ kompetensi pengadilan atau tidak?
Negara indonesia, yang menentukan layaknya sebuah perkara oleh pelaku tindak pidana untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah kepolisian dan kejaksaan setelah memenuhi unsur dan alat pembuktian.
Menurut Yahya Harahap (2002 b: 1) praperadilan merupakan lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:
1. Berada dan merupakam kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, yang hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak pernah terpisah dari Pengadilan Negeri.
2. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi Pengadilan Negeri.
3. Adminitrasi yustisial, personil, peralatan, dan finansial baru bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri.
4. Tata laksanan yustisiallnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.

Eksistensi dan kehadiran lembaga praperadilan, yakni sebagai lembaga yang berwenang dan berfungsi mengadili atau menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan. Keberadan lembaga praperadilan, untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal (vide: Pasal 80 KUHAP). Jadi praperadilan adalah sebagai sarana pengendali dan pengawas atas tindakan institusi kepolisian dan kejaksaan terhadap kesalahan dalam tindakan penyidikan/ proses penuntutan (dalam penangkapan, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan). Kesalahan itu baik berupa undue process of law ataukah terjadi eror in persona dalam penangkapan/ penahanan.


2. Penangkapan
Penangkapan merupakan pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang. Tapi harus diingat, semua tindakan penyidik yang bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan pembatasan hak asasi seseorang, adalah tindakan yang benar-benar diletakkan pad proporsi untuk kepentingan pemeriksaan, dan benar-benar sangat diperlukan sekali. Jangan disalahgunakan dengan cara yang terlampau murah, sehingga setiap langkah tindakan yang dilakukan oleh penyidik, langsung menjurus ke arah penangkapan.
Namun, penangkapan yang dilakukan dalam proses penyidikan harus tetap menghormati asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence). Penerapan asas praduga tak bersalah tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan kekuasaan para aparat penegak hukum. Oleh sebab itu tindakan penangkapan sebagai pengekangan hak seseorang yang juga tetap menjamin pelaksaan hak asasi tersangka. Tersangka tetap memiliki hak untuk diperlakukan wajar dan manusiawi. Tersangka memiliki hak untuk melakukan praperadilan atas sah/ tidaknya penangkapan.
Pasal 1 butir 20 menegaskan “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (baca: KUHAP).”
Dari rumusan tersebut maka penangkapan terdiri dari unsur-unsur:
a. Pengekangan sementara waktu kebebasan.
b. Tersangka atau terdakwa.
c. Terdapat cukup bukti.
d. Guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Dari unsur di atas perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Adapun yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah sebagaimana ditegaskan dalam SK Kapolri Nomor Polisi SKEP/ 04/ I/ 1982 tanggal 18 Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua dari hal-hal berikut:
a. Laporan polisi.
b. Berita acara pemeriksaan polisi.
c. Laporan hasil penyelidikan.
d. Keterangan saksi/ saksi ahli.
e. Barang bukti.
Pengertian penangkapan yang ditegaskan dalam Pasal 1 butir 20 mendapat koreksi dari Hamzah (2008: 128) yang mengemukakan:
“Kalau definisi ini dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur tentang Penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16 menegaskan untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Tidak cocok karena bukan saja penyidik (menurut defenisi) tetapi juga penyelidik, dapat melakukan penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk kepentingan penyidik tetapi juga untuk kepentingan penyelidik.”
Sejalan dengan pendapat di atas, kalau diperhatikan rumusan Pasal 16 ini menghendaki bahwa penangkapan murni merupakan kewenangan penyidik untuk kepentingan penyidikan. Tetapi menjadi tidak pasti ketika penyelidikpun mendapatkan kewenangan untuk melakukan penangkapan demi kepentingan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, yaitu tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Jelas pada tahapan ini status seseorang yang terkait dengan peristiwa pidana belum menjadi tersangka. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP yang boleh ditangkap adalah “tersangka”.
Bila memperhatikan Pasal 17 KUHAP mengenai alasan penangkapan yaitu; seorang tersangka di duga keras melakukan tindak pidana, dan dugaan yang kuat itu, didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Maka Penangkapan dalam tahap penyelidikan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan asas presumption of innocente (paraduga tidak bersalah). Sebab penangkapan ini merupakan pengekangan kebebasan manusia yang salah dengan dasar hukum yang keliru.
3. Putusan pengadilan
Bentuk putusan pengadilan dengan hukum acara biasa berbeda dengan bentuk peutusan pada permohonan praperadilan. Pada permohonan praperadilan tidak ada pengajuan dakwaan oleh jaksa atas kesalahan siterdakwa sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 134 ayat 2. Permohonan praperadilan justru karena disebut permohonan maka hasil akhirnya selayaknya seperti gugatan yang sifatnya expartee dalam hukum acara perdata yang dibuatkan penetapan oleh hakim.
Proses pemeriksaan sidang praperadilan yang dilakukan dengan acara cepat mengacu pada ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf c. Pemeriksaan dengan acara cepat dalam perbuatan tindak pidana (baca: delik) ringan dan pelanggaran lalu lintas sering kali juga ditemui dengan menggunakan hakim tunggal (lih: chazawi, 2006: 137-138). Bentuk putusan praperadilan di sini, putusan yakni disatukan dengan berita acara.
Bagaimana dengan arti putusan itu sendiri. Apalah putusan praperadilan sejalan dengan putusan pengadilan dalam acara biasa ataukah sejalan dengan pengertian putusan dalam hukum acara perdata? Defenisi putusan sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Manan (2006: 291-292) sebagai berikut:
1. Hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk tulisan maupun lisan (Hamzah, 1986: 145).
2. Suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara (Sudikno Mertokusuko, 1988: 167-168).
3. Kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Manan: 2006).

Sedangkan pengertian putusan pengadilan dalam kaitannya dengan putusan praperadilan tidak cocok diterapkan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yakni ”pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Oleh karena dalam putusan praperadilan tidak ada amar putusan pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tunrtutan hukum.
Dalam putusan (penetapan) praperadilan dikenal sah atau tidaknya penangkapan atau penahan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, perintah pembebasan dari tahanan, perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan, besarnya ganti kerugian, berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka, memerintahkan segera mengembalikan sitaan.
Artinya, isi dari amar penetapan pada permohonan, lebih sesuai dengan pembagian jenis-jenis putusan berdasarkan sifatnya. Diantaranya putusan deklaratoir, putusan condemnatoir, dan putusan konstitutif. Bahkan menurut Yahya Harahap (2006: 18) mengemukakan bahwa ‘putusan praperadilam memang mirip dalam acara perdata. Putusan praperadilan bersifat deklarator yang berisi pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan.”
Namun tanpa mengurangi sifat dari putusan praperadilan yang kelihatannya bersifat kondemnatoir seperti dalam putusan ganti rugi, perintah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabilah penahan dinyatakan tidak sah. Atau perintah yang menyuruh penyidk untuk melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah. Maupun perintah untuk melanjutkan penuntutan apabila penghentian penuntutan tidak sah.
B. Alasan dan Syarat-Syarat Penangkapan
Agar tidak terjadi kekacauan istilah anatara syarat dan wewenang. Terutama dalam menguraikan alasan dan syarat penangkapan sebagaimana dalam literatur hukum acara pidana sebagai ketentuan prosedur penangkapan. Oleh karena dalam setiap pembahasan masalah penangkapan selalu saja dipersamakan antara syarat dan penangkapan, seperti dalam tulisan Yahya Harahap (2002a: 185). Makanya penting untuk membedakan antara terminologi syarat dan alasan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 984) syarat berarti antara lain:
a. Janji (sebagai tuntutan yang harus dipenuhi).
b. Segala sesuatu yang perlu atau harus ada (sedia, dimiliki).
c. Segala sesuatu yang perlu untuk menyampaikan maksud.
d. Ketentuan atau peraturan/ petunjuk yang harus diindahkan dan dilakukan.
Sedangkan terminologi alasan diartikan (1996: 22) sebagai:
a. Dasar dan hakikat.
b. Dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan pendapat (sangkal, pendapat).
c. Yang menjadi pendorong (untuk berbuat).
d. Yang membenarkan perlakuan tindak pidana dan menghilangkan kesalahan terdakwa.
Dari dua arti kamus yang dikemukakan di atas. Dalam kaitannya dengan syarat penangkapan dan alasan penangkapan. Syarat penangkapan dapat diartikan sebagai ketentuan atau petunjuk yang harus dipenuhi oleh penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana yang di duga melakukan tindak pidana dengan dasar bukti yang cukup.
Beda halnya dengan alasan penangkapan, yang diartikan sebagai dasar atu hakikat sehingga terhadap pelaku tindak pidana yang disangka dalam proses penyidkan dibenarkan untuk ditangkap.
Regulasi ketentuan penagkapan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 20 kemudian juga diatur secara rinci dalam Pasal 16 s/d Pasal 19 KUHAP. Alasan penangkapan terdiri atas alasan objektif dan alasan subjektif. Alasan objektif tertuju pada objek atau perbuat dari pada tindak pidan tersebut. Sedangkan alasan subjektif, dititikberatkan pada orang (subjek hukum sebagai pemangku hak dan kewajiban) yang diduga (baca: disangka) melakukan tindak pidana. Diatara alasan subjektif penangkapan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 KUHAP sebagai berikut:
a. Untuk kepentingan penyelidikan atas perintah penyidik.
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, dan penyidik pembantu.
Selain alasan objektif, juga yang menjadi alasan penangkapan juga ditegaskan dalam Pasal 17 KUHAP perihal alasan subjektif penangkapan yakni “penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Oleh berbagai penulis Hukum Acara Pidana seperti Yahya Harahap dan Andi Hamzah mempermasalahkan masalah bukti permulaan yang cukup. Undang-undang justru memberi ruang bebas (discretion) kepada tersangka untuk melakukan penangkapann dengan dalih tangkap saja dulu, persolan bersalah atau ada cukup bukti nanti persolan belakangan.
Oleh karena itu usulan dari Harahap (2002: 158) sepertinya lebih tepat dengan menghapuskan saja kata permulaan sehingga redaksi Pasal tersebut berbunyi “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.” Disamping mengurangi kebiasan Pasal tersebut baik dalam penilaian hakim atas praperadilan juga mengurangi kepastian dan kesewenang-wenangan (willekeur) dari penyidik atas penangkapan. Seperti pengaturan alasan penangkapan yang terjadi di Amerika bahwa untuk melakukan penangkapan harus didasarkan atas affidavit and testimony. Harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian.
Jika demikian diterapkan, maka penegakan hukum dan tindakan aparat akan lebih objektif. Karena sudah pasti bukti yang cukup harus disandarkan pada sistem pembuktian negatif (wettelijk negative) berdasarkan Undang-undang (vide: Pasal 183 dan Pasal 184).
Mengenai syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 18, hal-hal yang harus dipenuhi oleh pejabat penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa (dwang) berupa penangkapan anatra lain:
a. Penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh kepala kesatuan atau instansi seperti kapolwil, kapolres atau kapolsek.
b. Penangkapan dilakukan terhadap tersangka yang mangkir dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah saat dipanggil oleh penyidik.
c. Petugas pelaksana wajib membuat berita acara penangkapan setelah penangkapan dilakukan.
d. Jangka waktu penangkapan paling lama satu hari. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan status orang uang ditangkap apakah selanjutnya ia ditahan, wajib lapor atau dilepaskan. Bila pejabat yang berwenang menangkap seseorang lewat dari sehari maka dapat dikategorikan pejabat tersebut telah melakukan tindakan sewenang-wenang.
e. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Bagaimana jika petugas melakukan penangkapan sedangkan tersangka berada di dalam rumah atau di tempat tertutup lainnya ? apa saja yang harus dilakukan oleh petugas ? sesuai dengan ketentuan dalam buku petunjuk lapangan (Bujuklap) sebagaimana dikemukakan Rocky Marbun (2010: 10) tentang penindakan dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Menunggui hingga tersangka keluar rumah.
b. Jika harus melakukan penggerebekan untuk melakukan penangkapan, harus ada izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
c. Memberikan peringatan terlebih dahulu sebanyak tiga kali.
Permasalahan yang sering diperdebatkan oleh para penulis. Bahkan permasalahan itu sudah berulang ditulis dalam karya ilmiah, jurnal, artikel maupun literatur hukum acara pidana perihal syarat penangkapan adalah batas waktu (tenggang waktu) penangkapan yang sangat singkat. Hanya dalam satu hari. Satu hari berdasarkan pengertian yang ditegaskan dalam Pasal 1 butir 31 KUHAP ialah dua puluh empat jam. Bagaimana mungkin melakukan penangkapan dalam waktu satu hari saja, jika pelaku tindak pidana terletak di desa terpencil ? misalnya untuk menjangkau daerahnya harus menggunakan perahu sampan.
Menurut Yahaya harahap (2002a: 161) untuk mengatasi hambatan permasalahan itu, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyidikan, tetapi sekali tidak melanggar hukum (onrechtmatigheid), dapat disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksanaan KUHAP yang memberi solusi alternatif atas permasalahan tersebut:
a. Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat yang terdekat.
b. Apabila penangkapan dilakukan oleh penyelidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perintah kepada penyidik untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik.
Berhubung dengan itu berdasarkan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI butir 3, khusus bagi daerah-daerah yang terpencil yang jauh dari tempat kedudukan penyidik sehingga tidak mungkin untuk mengadakan pemeriksaan dalam satu hari maka perlu dikeluarkan dua macam surat perintah, yakni:
a. Surat perintah dari penyidik kepada penyelidik untuk membawa dan menghadapkan tersangka kepada penyidik.
b. Surat perintah penangkapan, yaitu yang diberikan setelah tersangka sampai di tempat kedudukan penyidik untuk segera dapat disusul dengan pemeriksaan oleh penyidik sehingga dalam satu hari telah diperoleh hasilnya untuk penentuan tindakan lebih lanjut. (Harahap: ibid)











C. Tujuan dan Wewenang Praperadilan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, prinsip peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 - 56).
Pemuatan prinsip-prinsip hukum (the principle of law) tersebut dalam KUHAP tidak lain untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia yang telah digariskan baik dalam landasan konstitusional (baca: UUD 1945) maupun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/ konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.” Demikian juga secara jelas ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.”
KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak dibenarkan karena merupakan perlakuan sewenang-wenang. Menurut Yahya Harahap (2002: 3) mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat:
a. Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
b. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-undang, setiap tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan pengurangan, pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka. Maka tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur hukum yang benar. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undang-undang merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.” Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Tujuan/ maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan. Secara detil Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan “lembaga peradilan sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.”
Undang-undang telah memberi otoritas (kewenangan) kepada pejabat penyidik untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Jika dalam pelaksanan tugas dan kewenangan itu melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka lembaga praperadilan yang akan menilai dari pada tindakan pejabat tersebut apakah diluar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah diberikan kepadanya.
Praperadilan layaknya sebuah institusi yang menguji, menilai, mencari benar/ salah, sah atau tidak tindakan pejabat yang melakukan upaya paksa terhadap tersangka. Kententuan hukum kewenangan praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan penuntut atau penyidik demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Hal yang ditegaskan Pasal 1 butir 10 KUHAP tentang yang dapat dipraperadilankan diatur lebih rinci pada Pasal 77 KUHAP yang menegaskan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pada lampiran Keputusan-Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01. PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditegaskan antara lain:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyimpangan perkara untuk kepentingan umum dan Jaksa Agung).
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seoarang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77)
c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 3).
d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2).
e. Perminataan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.
Selain itu, Yahya Harahap (2002b: 5 – 8) juga mengemukakan secara rinci wewenang praperadilan yang disesuaiakn dengan ketentuan KUHAP (Pasal 1 butir 10, Pasal 77, Pasal 95, Pasal 97) sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan.
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan.
c. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.
Dalam KUHAP penerapan upaya paksa, yang menimbulkan permasalahan hukum dan multipersepsi dalam penerapan diantaranya:
a. Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang termasuk yurisdiksi praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan yang undue process atau orang yang ditahan atau diatangkap salah orang (eror in p ersona).
b. Sedang tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada dalam luar yurisdiksi praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:
1. Dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari KPN (Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 1 KUHAP).
2. Dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN (Pasal 34 ayat 1 dan Pasal 38 ayat 2 KUHAP) (Harahap, 2002b: 7)

Dalam kaitannya dengan hal di atas, oleh karena adanya intervensi pengadilan dalam memberi izin atas tindakan upaya paksa dalam penggeledahan dan penyitaan. Maka tak pelak lagi/ mustahil bagi pengadilan untuk menilai tindakan upaya paksa penggeledahan dan/ atau penyitaan yang telah dilakukan oleh pejabat bersangkutan, sebab pengadilan sudah memberinya izin, yang dianggap sebagai tindakan intervensi dan keterlibatan Pengadilan Negeri dalam tindakan upaya paksa.
Namun Yahya Harahap (ibid) memberi komentar atas pendapat tersebut, bahwa memungkinkan terjadinya penyimpangan di luar batas surat izin yang diberikan KPN. Terhadap penggeledahan dan penyitaanpun dapat diajukan ke forum praperadilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:


a. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN mutlak menjadi yurisdiksi praperadilan untuk memeriksa keabsahannya.
b. Dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari KPN, tetap dapat diajukan ke forum praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni:
1. Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau persetujuan yang dikeluarkan oleh KPN tentang hal itu.
2. Yang dapat di nilai oleh praperadilan, terbatas pada masalh pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak.
Alasan lain yang mendukung tindakan penyitaan termasuk yurisdiksi praperadilan berkenaan dengan penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak ketiga, dan barang itu tidak termasuk alat atau barang bukti. Kehadiran yang seperti ini, pemilik barang harus diberi hak untuk mengajukan ketidakabsahan penyitaan kepada praperadilan.
D. Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan dan penyidikan penting diuraikan dalam tulisan ini. Karena dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan pejabat penyelidik dan penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan peneriksaan surat. Dalam tindakan upaya paksa tersebut, jika yang diperiksa merasa keberatan atas perlakuan dirinya yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka dapat mengajukan praperadilan
Terminologi penggunaan kata penyelidikan dan penyidikan, jika diperhatikan dari kata dasarnya, sama saja, keduanya berasal dari kata dasar sidik. Namun dalam KUHAP pengertian antara penyelidikan dan penyidikan dibedakan sebagai tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 1 butir 5 KUHAP menegaskan ‘penyelidikan adalah serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.”
Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Dengan pengertian yang ditegaskan dalam KUHAP, penyelidikan sesungguhnya penyelidik yang berupaya atau berinsiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Walaupun dalam pelaksaanan tugas penyelidkan terkadang juga menerima laporan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan (vide: Pasal 108 KUHAP). Tujuan dari pada penyelidikan memberikan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyelidik, agar tidak melakukan tindakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat manusia.
Penyelidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang (Pasal 1 butir 4) yang memiliki fungsi dan wewenang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 KUHAP:
1. Penyelidik atau Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
2. Mencari keterangan dan barang bukti.
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2. Pemeriksan dan penyitaan surat.
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4. Membawa dan menghadapkan seseoarang pada penyidik
2. Penyelidk membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat 1 huruf a dan huruf b kepada penyidk.

Dengan memperhatikan rumusan Pasal 1 butir 5. Arti dari pada penyelidikan. Penyelidkan tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan suatu peristiwa itu diduga keras sebagai tindak pidana. Penyelidikan dimaksudkan untuk menemukan bukti permulaan dari pelaku (dader). Baik dalam Pasal 1 butir 5 maupun Pasal 5 KUHAP tidak ditegaskan perkataan pelaku atau tersangka. Dengan demikian, sudah tepat jika penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk lebih memastikan suatu peristiwa diduga keras sebagai tindak pidana.
Sedangkan penyidikan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 butir 2 ”serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.”
Tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan. Titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti. Supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang. Agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksasan suatu peristiwa pidana. Hal yang membedakan dari penyelidikan dan penyidkan sebagaiman dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) yaitu:
a. Dari segi pejabat pelaksana, pejebat penyelidk terdiri dari semua anggota Polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik.
b. Wewenang penyidik sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga meruapak tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat 1 huruf b seperti penangkapan, larangan, meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
Dalam penyidikan juga pejabat penyidik (lih: Pasal 6) memiliki kewenangan dalam mencari dan mengumpulkan bukti seperti halnya kewenangan yang diberikan kepada penyelidik dalam tingkat penyidikan. Kewenangan penyidikan ditegaskan dalam Pasal 7 KUHAP sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseoarang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum melalui SPDP (Surat Pemberitahun Dimulainya Penyidikan, vide: Pasal 109 ayat 1 KUHAP).
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat 2 KUHAP). Penyerahan ini dilakukan melalui dua tahap, yakni:


a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
b. Dalam hal penyidikan dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Jika pada penyerahan tahap pertama, penutut umum berpendapat bahwa berkas perkara kurang lengkap maka ia dapat:
a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk. Penuntut umum menerbitkan P-18 dan P-19.
b. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 30 ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).
Berdasarkan Pasal 110 ayat 4 KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.
E. Dasar Yuridis Pemeriksaan Praperadilan
Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat), (vide: pasal 1 ayat 3 dan penjelasannya UUD 1945)
Berkaitan dengan praperadilan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 butir 10 dan Bab X, bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 95 sampai dengan Pasal 97 ayat (3) KUHAP. Di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PW.07.03, tahun 1982 ditegaskan bahwa penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain baik secara preventif maupun represif.
Sedangkan tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Dalam proses pencarian kebenaran materil itu terhadap tersangka tetap memiliki hak asasi dan perlindungan kepentingan untuk mendapatkan perlakuan yang layak dalam pemeriksaan. Jika dalam tindakan pemeriksaan bertentangan dengan ketentuan atau prosedur hukum yang berlaku maka pihak yang diperiksa dapat mengajukan permohonan praperadilan.
Landasan Undang-undang adalah adanya landasan sosiologis, yuridis dan filsufis. Dasar sosiologi praperadilan dalam KUHAP adalah m,[perlindungan terhadap hak dan kepentingan yang manusiawi. Dasar filsufis yakni tercapainya keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equal before the law). Dasar yuridis adalah untuk menjamin kepastian (certainty) dalam penegakan hukum. Dengan demikian berdasarkan uraian yang ditegaskan dalam KUHAP, dasar yuridis dari pemeriksaan praperadilan dapat disistematisasi sebagai berikut:
a. Pengertian, fungsi dan wewenang praperadilan (Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77) memeriksa dan memutus
- Sah tidaknya penangkapan, penahanan.
- Sah tidaknya penghentian penyidikan/ penuntutan.
- Ganti rugi dan rehabilitasi.
b. Lembaga yang kompeten dan jumlah hakim pemeriksaan praperadilan (Pasal 78)
- Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus permohonan praperadilan.
- Pemeriksaan permohonan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal.
c. Pihak yang dapat/ berhak mengajukan permohonan praperadilan (Pasal 78, Pasal 80, Pasal 81)
- Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya terhadap tidak sahnya penangkapan, penahanan dan gugatan ganti rugi.
- Penyidik terhadap tidak sahnya penghentian penuntutan.
- Penuntut terhadap tidak sahnya penghentian penyidikan.
d. Tata cara pemeriksaan praperadilan (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 2).
e. Isi putusan praperadilan (Pasal 82 ayat 3)
- Sah atau tidaknya penangkapan.
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
- Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
- Perintah pembebasan dari tahanan.
- Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan.
- Besarnya ganti kerugian.
- Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka.
- Memerintahkan segera mengembalikan barang sitaan.
(lih, juga Harahap, 2002b: 20)
f. Upaya hukum terhadap penetapan praperadilan (Pasal 83)
- Berkaitan dengan permintaan praperadilan terhadap sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, permintaan ganti kerugian, dan rehabilitasi, jika tidak dikabulkan oleh hakim praperadilan, tidak dapat dimintakan banding. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
- Berkaitan dengan pemeriksaan sah tidaknya penghentian penyidikan/ penuntutan pada lembaga praperadilan, putusannya masih dapat dimintakan banding di Pengadilan Tinggi. (lih. Juga Marbun, 2010: 42)
g. Ketentuan permohonan ganti rugi baik yang diajukan oleh tersangka, keluarga maupun kuasa hukumnya (Pasal 95 dan Pasal 96)
h. Rehabilitasi atau pemulihan nama baik atas tidak sahnya penahanan kepada tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke PN (Pasal 97)

Berdasarkan uraian di atas menunjukan ada sebelas Pasal yang menjadi pedoman sumber pengaturan (baca: dasar yuridis) pemeriksan praperadilan. Pertama ditegaskan dalam ketentuan umum, mengenai defenisi, fungsi dan kewenangan praperadilan. Selebihnya regulasi praperadilan ditegaskan dalam BAB X mulai dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Kemudian diatur juga perihal permohonan ganti rugi dan rehabilitasi dalam tiga Pasal (Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97) jika penangkapan, penahanan bertentangan dengan Undang-undang, kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan (vide; Pasal 95 ayat 1 KUHAP)
F. Proses Pemeriksaan Praperadilan
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang memiliki fungsi yustisial untuk mengadili permohonan praperadilan. Permohonan praperadilan identik dengan gugatan expartee dalam hukum acara perdata. Yahya harahap (2002b: 6) menyebutnya sebagai gugatan yang menempatkan pejabat penyidik atau penuntut sebagai terdakwa semu. Pengadilan negeri akan menilai apakah suatu tindakan penyelidik atau penuntut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Hakim tunggal yang mengadili permohonan praperadilan akan membuat penetapan atas permonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka/ keluarganya (kuasa hukumnya). Atau dapat juga permohonan praperadilan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas penghentian penyidikan/ penghentian penuntutan.
Secara jelas proses pemeriksaan (hukum acara) permohonan praperadilan pertama-tama diajukan oleh:
a. Tersangka, keluarganya, kuasanya tentang tidak sahnya penangkapan atau penahan
b. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan.
c. Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penuntutan, yang diajukan ke pada ketua pengadilan negeri (Pasal 79, Pasal 80 KUHAP) dengan menyebut alasan-alasanya.
Setelah permintaan untuk pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dicatat dalam register perkara praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. Menyampaikan surat tersebut kepada ketua/ wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara praperadilan tersebut.
Segera setelah menerima penunjukan, dalam waktu tiga hari setelah dicatatnya perkara (bukan setelah ditunjuk), hakim praperadilan tersebut harus menetapkan hari sidang dalam suatu penetapan serta memanggil saksi-saksi. Penetapan tersebut, dikirimkan kepada penuntut umum untuk dilaksanakan. Kepada termohon dilampiri salinan/ foto kopi surat permintaan praperadilan, agar ia meneliti dan mempelajarinya. Yang dipanggil ke persidangan praperadilan, selain tersangka/ terdakwa yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, juga termohon, pejabat-pejabat yang berwenang.
Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan cepat dan berita acara dan putusan praperadilan dibuat seperti pemeriksaan singkat. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus memutuskan perkara. Perhitungan waktu tujuh hari adalah terhitung dari sejak dimulainya pemeriksaan.
Dalam hal suatu pemeriksaan praperadilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya sudah dimulai diperiksa maka pemeriksaan praperadilan dinyatakan gugur.
Terhadap putusan praperadilan tidak dimintakan banding (Pasal 83 KUHAP), tetapi khusus terhadap kasus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka penyidik/ Penuntut Umum dapat meminta putusan akhir ke pada Pengadilan Tinggi. Selanjutnya diperlakukan ketentuan-ketentuan pada acara banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya.
Putusan Pengadilan Tinggi di sini, harus segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera Pengadilan Negeri.
Sebagaimana dikemukakan di atas, putusan pengadilan merupakan putusan akhir. Dengan demikian, untuk putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara cepat dan perkara-perkara praperadilan sehingga jika masih dimungkinkan kasasi maka hal tersebut tidak akan dicapai. Selain itu praperadilan sebagai wewenang pengawasan horizontal dari Pengadilan Negeri (Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1982 No. 277 K/ Kr/ 1982).
Putusan verstek dalam acara praperadilan tidak dikenal. Bentuk keputusan praperadilan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahan dalam putusan, sedangkan mengenai pemberian ganti rugi dan rehabilitasi adalah penetapan (vide: Pasal 96 ayat 1 KUHAP).
Berdasarkan Pasal 77, hakim tidak dapat dipra-peradilankan. Hal ini ditegaskan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 8 Desember 1983 Nomor: SEMA 14 Tahun 1983.
G. Bentuk Putusan Praperadilan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Putusan praperadilan dilaksanakan dengan acara cepat. Yang harus sudah diputuskan dalam waktu tujuh hari. Oleh karena itu bentuk putusan praperadilan, pastinya menyesuaikan diri dengan sifat proses pemeriksaan dengan acara cepat.
Bentuk putusan praperadilan disatukan dengan berita acara. Hal ini dapat ditafsirkan dengan memperhatikan apa yang ditegaskan dalam pasal 82 ayat 1 huruf c “pemeriksaan praperadilan dilakukan dengan acara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.” Oleh karena putusan praperadilan merupakan putusan acara cepat, maka tiada lain dari pada putusannya dirangkai menjadi satu dengan berita acara.
Selain itu, bentuk putusan praperadilan yang lazimnya disatukan dengan berita acara juga dapat dilihat dalam pasal 96 ayat 1
Pasal 96 ayat 1 menegaskan “putusan pemberian ganti rugi berbentuk penetapan” bentuk putusan yang dikategorikan sebagai penetapan lazimnya disatukan dengan berita acara dengan isi putusan itu sendiri.
Menurut Yahya Harahap (2002b: 18) “kelaziman yang demikian juga sering dijumpai dalam putusan perdata. Penetapan yang bersifat volunter secara exparte dalam proses perdata adalah bentuk putusan yang berupa rangkaian anatara berita acara dengan isi putusan tidak dibuat secara terpisah.” Dengan demikian bentuk putusan praperadilan tidak dibuat secara khusus. Tetapi dicatat dalam berita acara sebagaimana bentuk dan pembuatan putusan dalam proses acara singkat yang diatur dalam Pasal 203 ayat 3 huruf d.
Bentuk putusan praperadilan dapat diamati berdasarkan perumusan putusan/ rangkain putusan secara keseluruhan yang disatukan dengan berita acara.
Selain itu juga dapat diamati pada isi putusan yang biasanya ditegaskan/ dicantumkan oleh hakim tunggal yang mengadili dan memutus pemeriksaan praperadilan. Penegasan isi putusan atau penetapan permohoan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 82 ayat 2 ayat 3 KUHAP. Dengan mencermati pasal 82, Yahya Harahap (2002b: 19) mengemukakan amar penetapan praperadilan dapat berupa:
a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahan
Jika dasar alasan permintaan yang diajukan permohonan berupa permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan yang ditegaskan dalam pasal 97, maka amar penetapannyapun harus memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Jika alasan yang diajukan pemohon berupa permintaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, berarti amar putusan praperadilan memuat pernyataan tentang sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Diterimanya atai ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Di sinipun demikian halnya. Jika dasar alasan permintaan pemeriksaan mengenai tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi, berarti amar penetapan memuat dikabulkan atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi.
d. Perintah pembebasan dari tahanan.
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 82 ayat 3 huruf a. Agar penetapan praperadilan memuat amar yang memerinthakan agar tersangka segera dibebaskan dari tahanan, amar yang demikian merupakan kemestian dalam kasus permintaan pemeriksaan yang berhubungan tentang sah atau tidaknya penahanan. Jika tersangka atau keluarganya mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, dan praperadilan berpendapat penahan tidak sah, amar putusan praperadilan harus memuat pernyataan dan perintah penahan tidak sah dan perintah pembebasan tersangka dari tahanan.
e. Perintahkan melanjutkan penyidikan atau penututan.
Pencatuman amar ini demikian penting, karena dengan adanya penetapan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, dalam jiwa pernyataan putusan yang demikian sudah terkandung perintah yang mewajibkan penyidik melanjutkan penyidikan atau yang mewajibkan penuntutan dilanjutkan, . sekiranya praperadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah. Amar penetapan tidak mesti memuat pernyataan yang memerintahkan penyidik wajib melanjutkan penyidikan atau amar yang memerintahkan penuntut umum melanjutkan penuntutan.
f. Besarnya ganti kerugian.
Apabila alasan pemeriksaan praperadilan berupa permintaa ganti kerugian baik oleh karena tidak sahnya penangkapan atau penahanan. Amar putusan praperadilan mencantumkan dengan jelas jumlah ganti kerugian yang dikabulkan.
g. Berisi pernyatan pemulihan nama baik tersangka.
Jika alasan permintaan pemeriksaan yang berhubungan dengan masalah rehabilitasi, amar putusan memuat pernyataan pemulihan nama baik pemohon kalau permohonan dikabulkan.
h. Memerintahkan segera mengembalikan barang sitaan.
Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 82 ayat 3 huruf d. Apabila alasan permintaan pemeriksaan praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik disebabkan dalam penyitaan ada termasuk benda yang tidak termasuk alat pembuktian. Atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang sedang diperiksa cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk sebagai benda alat pembuktian. Putusan praperadialn harus memuat amar yang memerintahkan benda tersebut segera dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu di sita.

Berdasarkan uraian dari bentuk dan isi amar putusan yang telah dikemukakan diatas dalam kaitannya dengan bentuk putusan yang disatukan dengan berita acara. Setara dengan bentuk putusan gugatan exparte dalam hukum acara perdata. Tidak ada salahnya mengidentifikasi masing-masing isi amar putusan sebagai bentuk atau jenis keputusan yang sering dikemukan oleh beberapa penulis dalam hukum acara perdata, seperti putusan deklaratoir, putusan konstitutif, dan putusan condemnatoir.
Tampaknya, dalam amar putusan praperadilan terkandung juga amar yang isinya sama dengan putusan yang bersifat menyatakan (deklaratoir) dan juga termuat putusan yang sifatnya menghukum atau memerintahkan (condemnatoir). Putusan deklaratoir seperti, pernyatan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Sedangkan putusan yang sifatnya condemnatoir seperti perintah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan apabila penahanan dinyatakan tidak sah, atau perintah yang menyuruh penyidik untuk melanjutkan penyidikan apabila penghentian penyiidikan dinyatakan tidak sah. Bahkan dengan argumentasi ini sehingga Yahya Harahap (2002b: 18) “menafsirkan bahwa bentuk dari pada penetapan praperadilan khususnya permonan ganti rugi, nyatanya membuktikan bahwa bentuknya antara putusan disatukan dengan berita acara.”


H. Hal-hal yang Menggugurkan Pemeriksaan Praperadilan
Gugatan dapat gugur. Tidak hanya dikenal dalam pemeriksaan gugatan (baca: permohonan) praperadilan. Baik dalam hukum acara perdata juga dikenal adanya gugatan yang gugur ketika telah memasuki pemeriksaan persidangan, jika penggugat tidak datang menghadap pada hari sidang yang ditentukan atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut (Harahap, 2005: 873; lih juga pasal 124 HIR dan pasal 77Rv).
Selain itu juga dalam perkara Keputusan Administrasi Negara, Peradilan Tata Usaha Negara (rechtspraak) dapat menggugurkan gugatan individu atau badan hukum perdata yang menggugat keputusan pejabat adminitrasi negara jika penggugat atau kuasanya (latshebber) tidak hadir di persidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan. Yaitu pada hari sidang pertama dan kedua secara berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (Marbun, 1988: 100; lih. Juga Pasal 97 ayat 7 huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN).
Tidak jauh berbeda dengan hukum acara perdata, pemeriksaan praperadilan dapat gugur. Artinya pemeriksaan praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan. Pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Gugurnya pemeriksaan praperadilan ditegaskan dalam Pasal 82 ayat 1 huruf d “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Memperhatikan ketentuan ini gugurnya pemeriksaan praperadilan terjadi:
a. Apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dan
b. Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan praperadilan belum selesai.
Perkara pokok yang telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri maka dengan sendirinya otomatis permintaan praperadilan gugur. Jelas, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya putusan yang bertentangan. Sebuah institusi Pengadilan Negeri sebagai lembaga yustisial harus menghindari terjadinya inkonsistensi putusan. Kekacauan putusan mutlak dicegah, agar tidak terjadi sikap anomali, kebencian dan ketidakpercayaan publik (meminjam terminologi Pamungkas: 2010) terhadap instusi hukum (structure).
Lebih tepat pemeriksaan praperadilan dihentikan dengan jalan menggugurkan permintaan praperadilan yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Sekaligus semua hal yang berkenaan dengan perkara itu ditarik dalam kewenangan Pengadilan Negeri untuk menilai dan memutuskannya.
[Read More...]


“Implementasi Hak-Hak Tersangka Sebagai Perwujudan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Proses Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan.”



A.Konsep Hak Asasi Manusia
Perjuangan akan kekokohan praktik penghormatan harkat dan martabat, Hak Asasi Manusia. Adalah sejarah dari perjalanan panjang. Perjuangan dari peperangan yang telah mengorbankan jutaan manusia. Ada peristiwa perang. Perang dunia pertama dan perang dunia kedua. Ada pembantain etnis, ras, seperti yang terjadi dalam regim Hitler. Ada pembantaian etnis di Ruanda (ICTR), ada pemusnahan secara paksa etnis di Yogoslavia (ICTY). Pemberontakan di Tiananmen. Pemusnahan etnis di Kamboja. Dan berbagai peristiwa kekejaman lainnya menjadikan Hak Asasi Manusia penting untuk dipositifkan sebagaimana usul David Hume, Austin dan Hart.
Hak Asasi Manusia sebagai hak yang lahir secara adil kodrati (Hobbes, Rosseau, Kant, Vasak, Weissbrodt; Lih, Davidson, 1994: 30 – 63) mutlak untuk diberi kepastian dalam tatanan yang fundamental. Agar tidak menjadi impian, cita-cita dan angan-angan semata. Maka yang amat menonjol dalam konvensi (bisa dibaca: perjanjian) sebagai instrumen hukum adalah pengakuan hak-hak politik. Bukan hak-hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Kalau dilihat dalam realitasnya organ PBB memang dalam struktur organisasinya adalah pertarungan dua buah ideologi. Pertarungan antara liberalisme dan sosialisme. Dapat dikatakan pertarungan antara ICCPR yang terlegitimasi dalam organ Dewan Keamanan dan ICESCR yang diejawantahkan dalam organ Majelis Umum yang banyak dipegang atau diisi oleh negara berkembang untuk memperjuang hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Terlepas dari dua kepentingan tersebut, jelasnya hak-hak politik tetap menaruh harapan bagi perlakuan yang adil, fair, dan sama dari negara untuk menghargai hak kodrati yang melekat pada setiap individu sebagai hak dasar yang sudah ada (Thomas Aquinas) sejak ia lahir. Kalaupun ada peran negara untuk menghormati hak individu sebagai hak dasar adalah prinsip resiprositas (timbal balik/ reciprocity, lih, Cessie, 2005: 237) semata sebagai penyerahan kepercayaan dalam suatu kontrak sosial.
Dapat dikatakan, semua negara (=195) di dunia tidak ada yang tidak mengakui Hak Asasi Manusia sebagai hak yang penting untuk dimasukkan dalam landasan konstitusionalnya. Apalagi negara yang mengutamakan prinsip negara hukum (rechtstaar/ rule of law) maka harus meletakkan jaminan dan perlindungan terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia. karena jaminan dan pelayanan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu unsur negara hukum.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang fundamental. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan.”
Di Indonesia, pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Implementasi Hak Asasi Manusia secara tersirat sebenarnya sudah diakui dalam KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 117 ayat 1, “keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.” Artinya dengan adanya Pasal tersebut, pemeriksaan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan harus sesuai dan menghormati HAM.
Selain itu, pemuatan hak asasi dalam tugas kepolisian sebagai penyidik, juga ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.” Kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 1 “bahwa polisi harus senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum, dan mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan dan menjunjung tinggi HAM.”
Dalam kaitannya dengan wewenang polisi dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka guna mendapatkan keterangan yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, maka prinsip yang harus dipegang adalah berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan “bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakukan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Mengenai arti dari penyiksaan itu sendiri kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 butir 4 :
“Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.”

Dalam proses peradilan pidana yang merupakan serangkaian rantai-rantai (the series of chains). Polisi yang menempati posisi sebagai penjaga pintu (as agate of keeper), meminjam istilah Sunarto dalam Muladi, 2005: 142), tentunya juga harus memperhatikan hak-hak tersangka. Universal Declaration of Human Right diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1949). Deklarasi ini memuat 30 Pasal yang memuat berbagai hak asasi. Seperti hak untuk hidup, hak untuk istirahat, dan hak untuk mendapatkan hiburan.
Dalam konteks dengan kewenangan polisi sebagai penyidik hak yang penting untuk diperhatikan adalah hak untuk hidup, yang meliputi hak untuk bebas dari eksekusi di luar pengadilan (extra judicial execution), dan penghilangan paksa (disapearences), hak untuk bebas dari penyiksaan dan penangkapan di luar wewenang (freedom from torture and arbitary arrest). Olehnya itu, penting untuk melihat bagaimana semestinya perlakuan tersangka yang relevan dalam DUHAM. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam DUHAM jika duraikan secara sistematis, sebagai berikut:
a. Semua orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu (Pasal 3).
b. Tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5)
c. Semua orang berhak atas atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada (Pasal 6).
d. Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini (Pasal 7)
e. Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang sewenang-wenang (Pasal 9).
f. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana, dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1 ).

International Convenant on Civil and Political Rigt (ICCPR) tampaknya juga memberikan pengaturan hak hidup sebagai hak fundamental. Konvenan ini menjunjung tingi hak atas kebebasan dan keamanan pribadi serta memberi fondasi bagi perlindungan dalam penahanan. Dalam Pasal 9 ICCPR menegaskan:
a. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
b. Setiap orang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya.
c. Setiap orang yang ditahan atau berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan dengan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu persidangan, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
d. Siapapun yang dirampas, kebebasannya dengan cara penangkapan, penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.

Dalam memperkuat dan menjamin ketentuan untuk perlindungan HAM dalam due process of law pada sistem peradilan pidana. Terutama dalam tahap/ fase pra-ajudikasi. Dapat jiuga didasarkan pada konvensi anti penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Penyiksaan berdasarkan konvensi ini diartikan:
“Sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari dari orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi apabila rasa sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat publik. Hal ini tidak meliputi rasa sakit dan penderitaan yang semata-mata timbul melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

Konsep dasar Hak Asasi Manusia adalah ketentuan yang pada mulanya hanya berada dalam perdebatan sebagai bagian hukum alam. Kemudian dipositifkan dalam suatu ketentuan normatif sebagai Ilmu Hukum Murni (Kelsen). Atau sebagai ilmu hukum positif/ normatif (Mewissen). Telah mempengaruhi sistem peradilan pidana mulai dari tingkat peyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengadilan yang mengadili terdakwa harus bersikap fair dan tidak memihak (imparsialitas), beban pembuktian dibebankan bukan kepada terdakwa (defendant), melainkan kepada penyidk dan penuntun. Semua prinsip KUHAP tersebut adalah, bahagian dari implementasi konsep dasar HAM.
B. Urgensi Penyidikan dan Kewenangan Penyidik dalam KUHAP
Apa pentingnya penyidikan (opsporing/ Belanda, investigation/ inggris, penyiasatan atau siasat/ Malaysia) ? adalah tidak lain untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyidikan sebagai rangkaian dari proses penyelidikan, bermaksud untuk menemukan titik terang siapa pelaku atau tersangkanya. Pasal 1 butir 2 menegaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (baca: KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”
Penyidikan diatur di dalam Pasal 102 s/d Pasal 138 Bagian ke-dua BAB XIV KUHAP. Penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 s/d Pasal 13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP.
Selain penyidikan ada serangkaian tindakan yang mengawalinya. Tindakan pejabat tersebut disebut penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 butir 5).
Di dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP ditegaskan latar belakang, motivasi, dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan sebagai rangkaian, atau tindakan awal dari penyidikan dalam menemukan titik terang siapa pelakunya (dader) yaitu:
a. Adanya perlindungan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
b. Adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa.
c. Ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi.
d. Tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, perlu ditentukan lebih dahulu berdasarkan data dan keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Jika diamati secara sepintas lalu. Penyelidikan sepertinya identik dengan penyidikan. Tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Yahya Harahap (2002a: 109) kedua istilah tersebut sungguh berbeda.
“Perbedaannya dapat dilihat dari sudut pejabat yang melaksanakannya. Penyelidik pejabat yang melaksanakannya adalah penyelidik yang terdiri atas pejabat Polri saja tanpa ada pejabat lainnya. Sedangkan penyidikan dilakukan oleh penyidik yang terdiri atas pejabat polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (lih: Pasal 6 KUHAP dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 27 Tahun 1983). Perbedaan lain yakni dari segi penekanannya. Penyelidikan pada tindakan mencari dan menemukan peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.”

Pada dasarnya tujuan dari pada penyidikan terhadap tindak pidana menurut Rusli Muhammad (2007: 58 - 60) bagi pejabat penyidik diharapkan dapat diperoleh keterangan berupa:
a. Jenis dan kualifikasi tindak pidana yang terjadi.
b. Waktu tindak pidana dilakukan.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
d. Dengan apa tindak pidana dilakukan.
e. Alasan dilakukannya tindak pidana.
f. Siapa pelaku tindak pidana
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik harus diberitahukan kepada Penuntut Umum. Jika penyidikan telah selesai, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Kadang-kadang hasil penyidikan dinilai oleh Penuntut Umum kurang lengkap sehingga perlu dilengkapi penyidik. Jika terjadi demikian, Penuntut Umum harus segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila berkas perkaranya dikembalikan, penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.
Dalam melaksanakan tugas dan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP jo. Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang menegaskan bahwa wewenang penyidik adalah:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b. Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksan surat dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Proses penyidikan tersebut, dilakukan oleh pejabat penyidk sebagai suatu mekanisme yang panjang berdasarkan ketentuan KUHAP dapat digambar sebagaimana dikemukakan oleh Rusli Muhammad (2007: 60 – 66) antara lain:
a. Diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana (Pasal 106, Pasal 7 ayat 1, Pasal 1 butir 19 KUHAP).
b. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian.
c. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi (Pasal 112 dan Pasal 113).
d. Melakukan upaya paksa yang diperlukan (Pasal 16 – Pasal 49)
e. Pembuatan berita acara penyidikan (Pasal 112)
f. Penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. (bandingkan juga dengan Yahya Harahap, 2002a: 134-150; Yesmil Anwar, 2009: 83;, Marpaung, 2009: 12- 14: Soetomo, 1998: 20-21; Hamzah, 2006: 123 – 125)

Tindakan lain penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan sekaligus menemukan siapa tersangkanya, kadang-kadang harus menggunakan upaya paksa yang mengurangi kemerdekaan seseorang dan mengganggu kebebasan. Namun semua itu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang. Asalkan penggunaan wewenang yang dilaksanakan oleh penyidik tersebut, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan tersebut.
Hal ini penting karena kalau sampai terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang, maka oknum penyidik tersebut dapat pula diambil tindakan hukum (lih: Pasal 422 KUHP).
KUHAP telah menentukan adanya beberapa tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang yang dilakukan oleh seseorang, berbagai upaya paksa tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penangkapan, suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 1 butir 20).
b. Penahanan, penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim, dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang (pasal 1 butir 21).
c. Penggeledahan. Dalam KUHAP tindakan penggeledahan dibagi dua yakni:
- penggeledahan rumah, tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 17).
- Penggeledahan badan, tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawahnya, serta untuk disita (Pasal 18).
d. Penyitaan, serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (Pasal 16).

Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik yang bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Penangkapan, panahanan, penggeledahan, penyitaan. Tersangka, kuasa hukum/ keluarganya yang merasa dalam tindakan upaya paksa tidak sesuai dengan mekanisme, tatacara, syarat-syarat dan alasan tindakan upaya paksa dapat melakukan upaya hukum praperadilan atas tidak sahnya upaya paksa. Tidak sahnya penangkapan, tidak sahnya penahan, tidak sahnya penggeledahan, tidak sahnya penyitaan (lih: Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP). Bahkan atas kerugian dari terjadinya penangkapan yang salah orang (salah tangkap/ eror in persona), tersangka/ kuasa hukum atau kelurganya dapat mengajukan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi (Pasal 95 KUHAP)






C. Prinsip-prinsip KUHAP
Prinsip atau asas hukum, sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang serta menunjukan kalau hukum itu bukan sekedar kosmos kaedah. Kekosongan atau kumpulan dari peraturan belaka, sebab asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan selanjutnya.
Asas hukum menjadi alat anasir untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan hukum. Asas hukum akan menghindari keterbelakangan aturan normatif dari realitas. Dari hukum yang normatif dan terus berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan (het recht hint antcher).
Banyak yang memberikan komentar diantara ahli yuridis mengenai asas/ prinsip hukum sebagai ground norm (Kelsen) dan penting dalam penyusunan sebuah aturan, sebagaimana dikemukakan oleh Suparto Wijoyo (2005: 45 – 49):
a. Asas hukum itu adalah tendensi-tendensi, yang disyaratkan pada hukum oleh pandangan kesusilaan kita (Paul Scholten}.
b. Asas hukum adalah ukuran-ukuran hukumiyah-etis, yang memberikan arah pembentukan hukum (Karl Larens).
c. Dari asas itulah hukum positif memperoleh makna hukumnya. Di dalamnya juga terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum itu dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi (Meuwissen)
d. Asas adalah anggapan-anggapan pertimbangan-pertimbangan fundamental yang merupakan dasar diletakkannya tingkahlaku kemasyarakatan (King Gie dan Ten Berg).

Dari uraian di atas, menunjukan betapa pentingnya asas hukum agar termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Asas hukum adalah jiwa (soul) dan jantung dari peraturan hukum sehingga hukum itu menjadi kuat landasan sosiologis dan filsufisnya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memiliki landasan asas atau prinsip yang berfungsi sebagai patokan dalam penerapan penegakan hukum.
Asas yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, menurut Rusli Muhammad (2007: 15 - 24) terbagi atas asas yang bersifat umum dan asas yang bersifat khusus.
1. Asas umum
Asas umum merupakan asas yang menjadi dasar dan berlaku pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan. Asas tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Asas kebenaran materil.
Asas ini berpedoman pada tujuan dari pada hukum acara pidana pada pencarian kebenaran sejati, mencari kebenaran yang sesungguhnya. mencari kebenaran materil (Beyond reasonal doubt). Melalui asas ini, para komponen pengadilan, hakim, jaksa,dan pengacara masih berusaha membuktikan pengakuan terdakwa tersebut dengan mengajukan bukti-bukti lainnya baik berupa saksi-saksi maupun barang bukti lainnya.
b. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah.
Asas ini menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat. artinya, dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselesaikan dengan sesegera mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana mengandung arti bahwa dalam menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simpel, singkat dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan menekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan, menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang hanya dapat dinikmati oleh yang berduit saja (seperti pameo dalam realisme hukum, why the have come out a head/ Mark Galanter).
Dalam Pasal 3 e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan masalah asas ini ‘peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Yahya Harahap (2002a: 53) mengomentari asas ini dengan mengaitkan dengan ketentuan yang relevan dengan KUHAP terlihat dengan term “dengan segera’ Seperti segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50 ayat 1). Beberapa rumusan Pasal-Pasal KUHAP diantaranya, Pasal 24 ayat 4, Pasal 25 ayat 4, Pasal 26 ayat 4, Pasal 27 ayat 4, Pasal 28 ayat 4, Pasal 50, Pasal 102 ayat 1, Pasal 107 ayat 3, Pasal 110 dan Pasal 140.
c. Asas praduga tidak bersalah.
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus menganggap bagaimanapun juga tersangka/ terdakwa maupun dalam menggunakan istilah sewaktu berdialog terdakwa.
Prinsip ini dipatuhi sebab merupakan prinsip selain mendapat pengakuan di dalam sidang pengadilan, juga mendapat pengakuan di dalam rumusan perundang-perundangan yaitu terdapat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Prinsip ini berjalan dalam persidangan. Baik di dalam maupun di luar persidangan. Di dalam sidang tampak adanya nuansa yang masih menghargai terdakwa dengan tidak memborgol terdakwa, demikian juga terdakwa tidak boleh ditanya pertanyaan yang sifatnya menjeratkan.
d. Asas accusatoir
Asas accusatoir menunjukan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku.
Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat. Terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan.

2. Asas khusus
Yang dimaksud dengan asas khusus adalah asas-asas yang hanya berlaku dan/ atau berkenaan dengan dilakukannya persidangan di pengadilan, asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas legalitas
Asas legalitas, asas yang menghendaki bahwa penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan bagaimana keadaan pelakunya ke muka sidang pengadilan.
Menurut yahya harahap (2002a: 36), berdasarkan asas legalitas maka setiap orang, tersangka, terdakwa mempunyai kedudukan sama sederajat di hadapan hukum (equal before the law), mempunyai kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the law), mendapat perlakuan yang adil dan sama di bawah hukum (equal justice under law).
b. Asas sidang terbuka untuk umum
Setiap sidang yang dilaksanakan harus dapat disaksikan oleh umum. Pengunjung bebas melihat dan mendengar langsung jalannya persidangan. Tidak ada larangan menghadiri persidangan sepanjang tidak mengganggu jalannya persidangan itu. Bukti bahwa sidang terbuka untuk umum ditandai dengan ucapan hakim ketika membuka sidang dengan ucapan, “sidang dibuka dan terbuka untuk umum” ucapan hakim tersebut harus ada sebab tanpa ucapan tersebut sidang terancam batal.
Mengenai hal ini dapat di lihat Pasal 154 ayat 3 menegaskan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Sidang harus terbuka untuk umum, suatu kehendak agar adanya kontrol langsung dari masyarakat terhadap jalannya persidangan itu. Adanya penyaksian dan pengontrolan masyarakat secara langsung ini diharapkan dapat memperkecil kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh hakim sehingga persidanganpun dapat berjalan dengan jujur tanpa pemihakan.
c. Asas peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya.
Tidak ada suatu jabatan yang berhak untuk melakukan peradilan atau pemeriksaan hingga mengambil putusan kecuali hanya diberikan hakim. Hakim adalah jabatan yang bertugas, untuk mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan tentang salah tidaknya terdakwa di persidangan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap (Pasal 31 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman)
d. Asas pemeriksaan langsung.
Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan yang dilakukan itu harus menghadap terdakwa di depan sidang pengadilan, termasuk menghadapkan seluruh saksi-saksi yang ditunjuk langsung. Artinya hakim dan terdakwa atau para saksi berada dalam satu sidang yang tidak dibatasi oleh suatu tabir apapun. Dengan demikian, kehadiran terdakwa dan saksi dalam suatu persidangan pengadilan adalah mutlak, tanpa kehadirannya berarti sidang tidak akan mungkin dilakukan.
Ketentuan hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 154 KUHAP menegaskan bahwa “hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.”
e. Asas komunikasi dengan tanya jawab langsung.
Prinsip ini menghendaki bahwa di dalam persidangan hakim, terdakwa, dan saksi adalah berhubungan melalui pertanyaan langsung, lisan tanpa melalui perantara. Tidak pula melalui surat menyurat. Semua pertanyaan yang diajukan kepada terdakwa dan saksi harus diarahkan langsung dan semua pertanyaan yang muncul, baik dari jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum juga harus melalui hakim, kemudian hakim meneruskan pertanyaan itu kepada terdakwa atau saksi.
Tanya jawab langsung hanya berlaku antara hakim dengan terdakwa dan saksi, bagi jaksa penuntut umum dan penasihat hukum pertanyaan diajukan kepada terdakwa dan saksi tidak boleh langsung, tetapi harus melalui hakim. Hakimlah yang akan meneruskan pertanyaan itu kepada terdakwa atau saksi.
Namun, semua jawaban yang diberikan, baik oleh terdakwa maupun saksi adalah jawaban yang langsung. Artinya mereka sendirilah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu bukan hakim atau orang yang berada di luar persidangan.
Masih banyak muatan dan dasar yang dapat diajdikan sebagai prinsip / asas hukum dalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang diintrodusir dan disarikan oleh berbagai penulis dilapangan hukum acara pidana. Seperti Yahya Harahap (2002 a), Hamzah (2006). Marpaung (2009) yang tidak membagi penekanan pada asas umum dan asas khusus, namun apa yang dikemukakannya, sebahagian juga sudah diulas oleh Rusli Muhammad seperti telah diuraikan di atas.
Selain itu juga dalam tulisan L & jaw law Firm, juga menguraikan asas-asas yang harus dipatuhi sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dalam peradilan pidana, yaitu:
a. Perintah tertulis.
b. Peradilan cepat (Pasal 50 KUHAP).
c. Memperoleh bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP).
d. Terbuka (Pasal 64 KUHAP).
e. Presumption of innocence (Pasal 1 ayat 1 KUHAP, ju. Pasal 8 Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004).
f. Pembuktian (Pasal 66 KUHAP).
g. Nonretroaktif (Pasal 1 ayat 1 jo. Pasal 4 dan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM)
h. Concursus idealis (Pasal 63 ayat 1 KUHAP)
i. Pemberian ganti rugi (Pasal 95 ayat Pasal 97 KUHAP)
j. Wajib diberitahukan dakwaan dan dasar dakwaan oleh penuntut umum kepada terdakwa (Pasal 51 b).
k. Hadirnya terdakwa (Pasal 155 ayat 2 ).
l. Pengawasan pelaksanaan putusan.
m. Kejaksaan sebagai satu-satunya penuntut umum dan polisi sebagai penyidik.
n. Oportunitas.
o. Pemeriksaan secara langsung (Pasal 154 KUHAP).
p. Personalitas aktif dan personalitas pasif.
Asas persidangan terbuka untuk umum, asas pemeriksaan langsung dan komonikasi secara langsung, mendapat penjelasan dan komentar dari Bambang Poernomo (dalam Rusli Muhammad, 2007: 24) sebagai berikut:
a. Asas sidang terbuka untuk umum atau disebut geopend en openbaar verklaard, untuk kepentingan sosial.
b. Asas pemeriksaan langsung atau disebut het beginsel van onmidddelijkheid, untuk kepentingan Hak Asasi Manusia dan kebenaran yang dicapai melalui persidangan karena ada larangan mendapatkan bahan-bahan keterangan yang diperoleh dari luar sidang.
c. Asas komunikasi secara langsung dengan tanya jawab langsung antara dua pihak atau disebut oral debat agar terdapat pembahasan dengan jelas dan memperoleh gambaran perbuatan yang terjadi dari orang yang bersangkutan secara orisinil.

Jika diamati, semua asas/ prinsip KUHAP duraikan oleh beberapa penulis. Keberadaan asas juga menjadi pondasi pembentukan aturan yang mengutamakan kepentingan hak dan asasi setiap orang. Penempatan hak dan kewajiban secara proporsional antara penegak hukum, seperti kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum. Hakim sebagai pemeriksa dan pemutus sanksi atas tindak pidana. Agar tidak bertindak sewenang-wenang yang dapat mencabut hak dasar, hak kepemilikan. Terutama hak hidup dalam mendapatkan perlakuan yang layak di depan hukum.










D. Hak-hak Tersangka dalam Tingkat Penyidikan
Persepsi/ opini publik memandang hukum dari sudut eksternal, tidak melihat hukum secara integral, secara holistik. Tidak semata dari paradigma barbarian.
Sering seorang tersangka dikaitkan seolah-olah telah dihukum sebagai pelaku bersalah (guilty). Padahal seorang itu masih dalam tingkat penyelidikan, masih dalam tingkat penyidikan. Belum ada putusan pengadilan yang Berkekuatan Hukum Tetap (BHT).
Pertanyaan dari kalangan awam hukum (yang tidak mengerti hukum sebagai sebuah due process, telah menghukum seorang yang telah tertangkap sebagai orang yang benar dan terbukti bersalah. Mengapa seorang yang nyata-nyata bersalah belum juga dikenakan sanski pidana ? padahal orang tersebut sebagai tersangka baru dalam tingkat penyidikan. Kenapa seorang yang sudah bersalah, masih harus dilindungi hak asasinya ? kenapa tidak sekali langsung di hukum lalu dijatuhkan sanksi pada waktu itu.
Itulah yang membedakan hukum rimba (Hobbes) dengan hukum ciptaan manusia (Thomas Aquinas). Sekalipun manusia menghukum sesama manusia, tetap harus memberikan penghukuman secara manusiawi (humanity). Banyak bentuk eksekusi/ pidana mati yang dulunya dianggap tak manusiawi seperti mengikat korban di suatu tiang pancang, kemudian kedua tangan dan kakinya diikat dengan pelana kuda, lalu kuda tersebut dicambuk supaya berlari kencang, hingga tangan dan kaki seorang yang dihukum itu terpisah.
Di sebuah tanah lapang luas, seorang terpidana mati dieksekusi dengan potong leher. Di tempat keramaian. Ironisnya, masih ada seorang yang kecurian tasnya di tempat keramaian tersebut. Efektifkah pidana mati sebagai tindakan untuk menakut-nakuti/ fear (psikologi Zwang) ?
Sepertinya, tidak ! Maka lebih baik dari tujuan dan filosofi pemidanaan adalah rehabilitasi. Mengembalikan dalam keadaan semula (rehability). Menyembuhkan pelaku tindak pidana, agar kelak tetap dapat diterima oleh masyarakat/ khalayak.
Embrio munculnya perlakuan yang manusiawi terhadap pidana mati. Sedikit demi sedikit. Ada yang tembak mati. Ada dengan suntikan. Bahkan di era hukum modern (law and modern mind: Jerome Frank). Intervensi HAM telah mengundang perdebatan, pro dan kontra, masih layakkah pidana mati menjadi sanksi pidana ?
Perkembangan hukum modern juga yang telah menjadikan suatu negara sebagai negara yang berdasarkan atas hukum. Konsekuensinya adalah harus memberikan perlakuan yang sama. Penghormatan HAM, dan peradilan yang fair, bebas dan mandiri. Maka dalam setiap tindakan upaya paksa institusi negara oleh pejabat harus berdasarkan atas hukum dengan menghormati hak asasi dan kepentingan seorang yang diduga (patut di duga) sebagai pelaku (dader) tindak pidana.
Dalam hal ini pejabat penyidik yang memiliki tugas untuk menegakkan hukum, hukum pidana yang berada dalam ranah hukum publik. Upaya paksa seperti penggeledahan, penangkapan, dan penahanan tetap, harus memperhatikan hak-hak seorang yang di geledah, ditangkap dan ditahan.
1. Hak-hak Tersangka Saat Digeledah
Pada prinsipnya, tak seorangpun boleh dipaksa menjalani gangguan secara sewenang-wenang dan tidak sah terhadap kekuasaan pribadinya, kelurganya, rumahnya, atau surat menyuratnya. Sekalipun demikian undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan demi kepentingan penyidikan.
Penggeledahan di satu pihak berarti pemakaian paksaan untuk melaksanakan penyidikan oleh polisi, dilain pihak merupakan campur tangan tingkat berat terhadap keleluasaan serta hak milik pribadi seorang yang dilindungi oleh hukum. Adanya dua kepentingan ini mengharuskan penggeledahan dilakukan secara cermat dan hati-hati agar satu segi tidak menimbulkan kerugian pada milik orang lain sementara kepentingan penyidikanpun tetap dapat dilaksanakan.
Berikut ini, adalah hak seorang tersangka dan keluarganya yang digeledah atau rumahnya digeledah yaitu:
a. Berhak untuk menanyakan tanda pengenal penyidik yang akan melakukan penggeledahan.
b. Berhak untuk menanyakan surat perintah penggeledahan.
c. Berhak untuk mendapatkan penjelasan mengenai alasan penggeledahan.
d. Berhak untuk menandatangani berita acara penggeledahan.
e. Berhak untuk mendapatkan salinan berita acara
f. Berhak untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi saat digeledah.
g. Berhak untuk mencabut berita acara yang salinannya diberikan setelah lewat dua hari rumah digeledah (lih, L & J Law Firm, 2010: 31)

2. Hak-hak Tersangka Saat Ditangkap
Tujuan penangkapam ditegaskan dalam Pasal 16 KUHAP, yakni untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan penyidikan. Sementara itu alasan penangkapan ditentukan dalam Pasal 17 KUHAP.
Berdasarkan Pasal ini, alasan penangkapan adalah adanya dugaan keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup inilah bukti yang menjadi permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Ini menunjukan bahwa penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana (Pasal17 KUHAP).
Dari Pasal 18 dan Pasal 19 KUHAP dapat disimpulkankan, hak seorang yang ditangkap, yaitu:
a. Hak untuk meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya kepada petugas yang melakukan penangkapan.
b. Hak untuk meminta penjelasan tentang tuduhan kejahatan yang dituduhkan kepadanya, tempat ia akan dibawah/ diperiksa atau ditahan, serta bukti awal terhadap tuduhan yang dituduhkannya.
c. Hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah.
d. Hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama penangkapan.
e. Hak untuk mendapatkan bantuan juru bahasa atau penerjemah yang akan menjelaskan kepada tersangka bahasa yang mudah dipahami.
f. Hak untuk mendapatkan juru bahasa yang menguasai bahasa isyarat apabila ia adalah seorang yang tuna rungu atau tunawicara.
g. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan dari polisi atau penyidik.
h. Hak untuk didampingi oleh satu penasihat hukum atau lebih penasihat hukum yang dipilih sendiri untuk mendapatkan bantuan hukum.
i. Hak untuk mendapatkan penasihat hukum secara cuma-cuma atau gratis.
j. Hak untuk mengungkapkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tanpa adanya tekanan.
k. Hak untuk diam dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan ataupun pengakuan. Jadi tidak diperkenankan adanya tekanan. (L & J. Firm, 2010: 48 – 49)

3. Hak-hak Tersangka Saat Ditahan
Pada umumnya terdapat tiga dasar penahanan. Pertama, dasar keadaan atau keperluan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekuatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup dapat diartikan bahwa aparat penegak hukum sudah mempunyai minimal dua alat bukti yang mendukung penahanan tersangka.
Kedua, dasar yuridis. Penahanan hanya dapat dilakukan kepada tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan penjara lima Tahun atau lebih.
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tertentu KUHAP, Undang-Undang Kepabeanan, Undang-Undang Imigrasi, Undang-undang Narkotika dan Obat Terlarang (Pasal 21 ayat 4 KUHAP)
Ketiga, dasar administratif. Dalam praktiknya, kondisi atau keadaan administratif juga sangat menentukan apakah tersangka ditahan atau tidak. Misalnya dalam hal tersangka berdomisili di tempat yang cukup jauh dari kantor polisi yang menyidik perkara tersebut. Dalam kondisi ini penahanan dilakukan dengan maksud untuk memudahkan dilakukan penyidikan.
Dalam proses penahanan, seorang tersangka memiliki hak-hak yang mesti diperhatikan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Hak tersebut meliputi:
a. Menghubungi dan didampingi oleh penasihat hukum atau advokat.
b. Segera diperiksa oleh penyidik setelah ditahan.
c. Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hukum.
d. Meminta atau mengajukan penangguhan penahanan.
e. Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan.
f. Mendapat penangguhan penahanan atau perubahan status tahanan.
g. Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
h. Mengirim surat atau menerima surat dari penasihat hukum tanpa diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim atau pejabat atau rumah tahanan negara.
i. Mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan kepada penyidik.
j. Menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.
k. Bebas dari tekanan seperti diintimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik. (lih, L & J Law Firm, 2010: 59)

E. Asas Praduga Tidak Bersalah (Persumption Of Inocence)

Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal The Limits of the Criminal Sanction (1968: 197); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM).
Dalam praktiknya, pertama, crime control model lebih mengutamakan profesionalisme pada aparat penegak hukum untuk menyingkap, mencari dan menemukan pelaku tindak pidana. Profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia.
Kemudian model yang kedua yakni due process model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt.
Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (quality control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Dapat dikatakan dari sinilah, model sistem peradilan, due proces model, due proces of law ada implementasi unsur Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Dan memang asas praduga tak bersalah oleh berbagai penulis seperti Harahap (2002a), dan Hamzah (2006) mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah satu penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip praduga tak bersalah pada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik - liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Menurut Romli Atmasasmita (http://arisirawan. Wordpress.com/2010/05/23/) Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/ terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Jika Packer (1968) dan Friedman (1994) mengemukakan bahwa dasar yang memotivasi perancang Undang-Undang KUHAP adalah due process of law, maka lain halnya dengan Harahap (2002a: 40) justru melihat dari adanya penekanan prinsip accusatoir (accusatory procedure), yang menempatkan kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan:
a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip accusatoir adalah kesalahan tindak pidana, yang dilakukan tersangka. Karena itulah pemeriksan ditujukan

Olehnya itu, karena menempatkan tersangka bukan lagi sebagai objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan telah ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik sebagai berikut:
a. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
b. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
c. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).
Jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum.
Dengan perisai hak-hak yang diakui oleh hukum , secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakukan yang ditegaskan dalam KUHAP:
a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya ditujukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1).
b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan 3).
c. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1).
d. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 2).
e. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52).
f. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan, juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/ terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo. Pasal 177 ayat 1).
g. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
h. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55).
i. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan (Pasal 58).
j. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59).
k. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan artau orang lain guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60).
l. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan atas sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan kepentingan tersangka/ terdakwa (Pasal 61)
m. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasihat hukum dan sanak kelurganya (Pasal 62 ayat 1).
n. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat menyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2 ).
o. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64).
p. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan bagi dirinya (saksi a de charge, Pasal 65).
q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66).
r. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakukan, penagkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan degan hukum (Pasal 68). (Lih, Harahap, 2002a: 41 – 42, bandingkan juga dengan Yesmil Anwar dan Adang, 2009: 294 – 296)

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ada dua yang mendasari sehingga presumption of innocenct eksis dalam KUHAP, yakni due process of model dan prinsip aqusatoir, semua itu dirangkai oleh penghargaan dan penghornatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Terlepas dari asas praduga tak bersalah yang terkesan individualis, hanya mengutamakan hak tersangka, lalu melupakan hak atas kepentingan umum (public interest). Tidaklah menjadi alasan, oleh karena KUHAP juga menganut prinsip kebenaran sejati alias materil. Bahkan dalam penekanan hak asasi yang lebih jauh, sudah mejadi kewajiban untuk mengutamakan hak-hak seorang tersangka sebelum pemeriksaan dengan penerapan prinsip Miranda Rule (a right to remaint silent, a right to the presence of an attorney or the right counsil).
F. Praperadilan Sebagai Upaya Hukum Tersangka dalam Tingkat Penyidikan
Lembaga praperadilan merupakan hasil usaha tuntutan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama mereka yang terlibat di dalam perkara pidana. Tujuan dibentuknya praperadilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan.
Preperadilan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap penyidik karena penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya, kontrol tersebut dilakukan dengan beberapa cara:
a. Control vertical, kontrol dari atas ke bawah.
b. Control horizontal, kontrol kesamping antara penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
Wewenang yang diberikan oleh penyidik berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dapat melakukan tindakan upaya paksa. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tujuan dari upaya paksa tersebut, tidak lain adalah guna kepentingan umum. Melindungi hak-hak publik dengan atas nama kekuasaan/kewenangan pejabat negara (penyidik). Penyidikan dengan tindakan atau upaya paksa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah untuk mencari bukti dan titik terang siapa pelaku (dader) atau tersangkanya.
Penyidik dalam melakukan tindakan upaya paksa berada dalam batasan dan ketentuan yang diikat oleh, syarat, alasan, dan tata cara upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Jika penyidik melakukan tindak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku/ KUHAP (undue process of law) atau melakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan salah orang dalam penangkapan. Maka terhadap orang, keluarga atau kuasa hukumnya dapat melakukan upaya hukum praperadilan melalui Pengadilan Negeri atas tidak sahnya upaya paksa (dwangs).
Ketentuan tentang wewenang praperadilan ditegaskan dalam Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP. Dapat dikatakan, bersumber dari pasal-pasal tersebut, akan tetapi ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 95 dan Pasal 97.
Lebih jelasnya, Yahya Harahap (2002b: 4) mengemukakan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada praperadilan sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa.
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Memeriksa tuntutan ganti rugi.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
e. Memeriksa terhadap sah/ tidaknya tindakan penyitaan.

Berdasarkan wewenang praperadilan, ketentuan tentang siapa yang berwenang mengajukan praperadilan dapat terlihat di sini. Pihak yang dapat mengajukan praperadilan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP
Pasal 79: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 80: Permintaan untuk pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Dengan memerhatikan ketentuan Pasal 79, Pasal 80 KUHAP tersebut dapat diketahui siapa saja yang diberi wewenang untuk mengajukan praperadilan:, yaitu:

a. Tersangka, keluarga, atau kuasa hukumnya.
b. Penyidik atau penuntut umum.
c. Pihak ketiga yang berkepentingan.
Praperadilan sebagai upaya hukum yang memberikan hak kepada tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dalam kaitannya dengan fungsi hukum acara pidana dan tujuan praperadilan yakni untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, menurut Wahyu Effendi (Rusli Muhammad, 2007: 94) yaitu:
a. Agar aparat penegak hukum hati-hati dalam melakukan tindakan hukum dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
b. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga untuk melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
c. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
d. Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
e. Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

Titk berat pemeriksaan praperadilan dimulai untuk menentukan apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan perintah jabatan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.
G. Miranda rule Sebagai Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan
Di sebuah negara bagian, di Amerika Serikat. Arizona. 1963, seorang pemuda yang bernama Ernesto Miranda ditangkap oleh kepolisian karena diduga melakukan tindakan kriminal penculikan dan pemerkosaan terhadap seorang perempuan berusia 18 Tahun.
Ernesto Miranda, lalu ditangkap dan diseret ke ruang interogasi. Ernesto Miranda akhirmya membuat pernyataan tertulis bahwa ia telah menculik dan memperkosa perempuan yang dimaksud. Namun, pada awalnya ia tidak diberikan hak untuk mendapatkan pengacara guna mendampinginya dalam pemeriksaan tersebut. Pernyataan tertulis yang dibuat oleh Miranda kemudian dijadikan alat bukti pengakuan terdakwa, sehingga dihukum penjara selama 20 Tahun.
Atas vonis di persidangan. Ernesto Miranda dan kuasa hukumnya mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan argumentasi hukum 3 kasus yang serupa. Pengakuan yang dibuat Miranda tidak sah, karena pada awalnya, sebelum pemeriksan, tidak diberikan hak-haknya sebagai tersangka. Namun hal tersebut di Tahun 1966 tidak membuat Miranda bebas, hanya penangguhan hukuman saja.
Di tingkat Mahkamah Agung. Jaksa Penuntut Umum mencari pengakuan lain yang dapat memberatkan Ernesto Miranda. Sebuah pengakuan akhirnya didapat dari mantan kekasihnya. Yang mebuat Ernesto Miranda dihukum penjara selama 11 Tahun. Baru 1972 dibebaskan bersyarat. Setelah bebas iapun masih sering ditangkap dan dikembalikan ke penjara untuk beberapa kali.
1976, Ernesto Miranda yang berumur 34 Tahun, ditemukan meninggal setelah ditikam pisau dalam perkelahian di sebuah Bar. Polisi menangkap, yang diduga menikam Ernesto Miranda. Hal yang membedakan dengan kasus Miranda adalah orang yang diduga membunuhnya itu tidak mau menjawab pertanyaan dari Kepolisian dalam pemeriksaan. Akhirnya orang tersebutpun dilepaskan dan tidak ada seorangpun didakwa melakukan pembunuhan terhadap Miranda.
Ada banyak hal yang menjadi signifikan, menjadi catatan, dan penelitian ilmiah (scientific) dalam peritiwa tersebut. Adalah pengabaian hak-hak Miranda. Kematian Miranda. Disparitas dalam pemeriksaan oleh kepolisian. Tidak tertangkapnya pembunuh Miranda. Negara Amerika, negara yang dianggap sebagai negara tonggak berdirinya Hak Asasi Manusia. Lalu mengapa masih terjadi pelanggaran hak asasi tersangka ? atas nama Ernesto Miranda yang menjamin perlindungan hak, mengutamakan hak indiviudu (paham negara hukum liberal). Dengan adanya pernyataan juga dari Mahkamah Agung pada Tahun 1966 yang menyatakan bahwa pengakuan Miranda tidak sah. Barulah hak-hak tersangka mulai diperhatikan, dan nama Ernesto Miranda diabadikan sebagai tonggak prinsip perlindungan terhadap tersangka, sebelum pemeriksaan yang dikenal dengan term, miranda rule principle.
Miranda principle dalam praktiknya dibagi menjadi tiga bagian sebagaimana dikemukakan Sofyan Lubis (2010: 15 – 18) sebagai berikut:
a. Miranda rule adalah suatu aturan yang mengatur hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana, sebelum diperiksa oleh penyidik, aturan tersebut mewajibkan polisi untuk memberikan hak-hak seseorang, hak untuk diam. Karena segala sesuatu yang dikatakan seorang tersangka dapat digunakan untuk melawannya/ memberatkannya di pengadilan, kemudian hak untuk mendapatkan. Menghubungi penasihat hukum/ advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan jika ia tidak mampu. Maka ia berhak untuk disediakan penasihat hukum/ advokat oleh negara. Dalam hal ini tentu oleh institusi yang bersangkutan.
b. Miranda right, identik dengan miranda rule. Cuma lebih ditekankan pada hak untuk diam, dan menolak untuk menjawab pertanyaan polisi atau yang menangkap sebelum diperiksa oleh penyidik. Hak untuk menghubungi penasihat hukum dan mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum/ advokat yang bersangkutan. Hak untuk memilih sendiri penasihat hukum. Hak untuk disedikan penasihat hukum, jika tersangka tidak mampu menyediakan penasihat hukum sendiri.
c. Miranda warning adalah peringatan yang harus diberikan oleh penyidik kepada tersangka. Dalam praktiknya di Amerika warning ini dikenal dengan the four miranda warning, “you have the right to remain silent, anything you say can be used against you in acourt of law. You have the right to speak to an attorney, and to attorney present during any questioning. If yuo can’t affor a lawyer, one will be provide for you at government expense..” tersangka sebelum diinterogasi harus diberikan informasi jelas bahwa ia berhak untuk diam, dan segala apa yang dikatakannya bisa digunakan untuk melawannya di pengadilan. Tersangka berhak untuk mendapatkan bantuan dari penasiaht hukum jika tersangka tidak mampu maka akan disediakan penasihat hukum secara gratis.

Prinsip-prinsip miranda rule, di negara Indonesia telah diakomodasi ke dalam KUHAP, yaitu hak untuk mendapatkan/ menghubungi penasihat hukum/ advokat, dan jika tidak mampu maka berhak untuk disediakan penasihat hukum/ advokat. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum diakomodasi dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 114. KUHAP. Sedangkan jika tidak mampu, tersangka berhak untuk disediakan penasihat hukum oleh pejabat bersangkutan atau penyidik (Pasal 56 ayat 1 KUHAP).
Oleh karenanya, mengingat hak-hak seorang atas miranda rule dapat juga dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM “hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, (lih juga: Pasal 17, Pasal 5 ayat 2, Pasal 18 ayat 1, Pasal 18 ayat 3, Pasal 18 ayat 2, Pasal 18 ayat 5 UU HAM).”



Maka setiap adanya pelanggaran atas miranda rule disebut juga sebagai pelanggaran hak asasi tersangka. atas pelanggaran tersebut tersangka berhak mengajukan tuntutan atau keberatan melalui upaya praperadilan, khususnya perkara praperadilan yang disangkakan dilakukan oleh tersangka yang diancam dengan pidan lima Tahun ka atas sebagaimana ditegaskan dalam pasasl 56 ayat 1 KUHAP.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors