Hapusnya Perikatan (pertemuan ke sembilan)



Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:[1]
  1.        Pembayaran. 
  2.    Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
  3.       Pembaharuan utang (novasi).
  4.        Perjumpaan utang atau kompensasi.
  5.       Percampuran utang (konfusio). 
  6.            Pembebasan utang.[2]
  7.        Musnahnya barang terutang.
  8.        Batal/ pembatalan. 
  9.             Berlakunya suatu syarat batal. 
  10.        Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,  kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan  berakhirnya perikatan karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan beberapa item yang penting,  perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:
Pembayaran
 Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal  1382 BW sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan secara yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.

Novasi
 Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
  1.     Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif. 
  2.     Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif). 
  3.     Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif)
Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi perjumpaan utang.
Konfusio
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW  s/d Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.



[1] Materi kuliah ini diolah dari berbagai literatur buku hukum perikatan seperti buku yang ditulis oleh Ahmadi Miru & Sakka Pati, Salim HS, Subekti, J Satrio, Gunawan Widjaja.
[2] Hapusnya perikatan dari angka 6 s/d angka 10 akan dijelaskan kemudian pada pertemuan berikutnya.
[Read More...]


NILAI UJIAN MIDTES MAHASISWA REGULER DAN KARYAWAN (SEMESTER EMPAT) MATA KULIAH HUKUM PERIKATAN



MAHASISWA REGULER 4:

1.        ALFIKA MOHI (NILAI = 75)
2.        ALISYEN BOHANG
3.        ARIF ALHASANI (NILAI = 53)
4.        FADLIYANTO HARMAIN (NILAI = 45)
5.        HENGLIS KAKUNOSI
6.        ILANG HILALINGO (NILAI  =80)
7.        MOH. RIKAN NURFANDI (NILAI 50)
8.        MOH RISAL (NILAI = 35)
9.        NURAINI PANTATU (NILAI=30))
10.    NUR ASMI RASYID
11.    NURLANA ABDULLAH (NILAI =80)
12.    ROLIS AMANAH
13.    SRI NORYANI MAPUTI (NILAI =55)
14.    SUSAN PAKAYA (NILAI = 63)
15.    SUSILOWATI TANGALAYUK (NILAI = 30)
16.    UPIN KAUNE (NILAI = 65)
17.    MISRI POLIYAMA
18.    YOWAN ILAWUDE (NILAI = 55)
19.    YORAMLI LALANGU (NILAI = 75)
20.    YOPNI SUNDANA (NILAI = 40)
21.    YULIANTI SAIDI (NILAI =50)
22.    YUNITA AMDULU (NILAI = 75)
23.    MURSID KARIM (NILAI = 45)
24.    IDRUS OMANTOLO
25.    NINGTIAS AMAI
26.    MOH BERNI SURYANGSYAH (NILAI = 80)
27.    OLVA ABDULLAH
28.    TAUFIK BASIR
29.    YELLI A MARNE (NILAI = 65)
30.    FAHRI DEDY SETIAWAN (NILAI =53)
31.    VIKRAM POMILI
32.    NURUL HIKMAR TOENGI
33.    ROYKE WONGKOGINTA (NILAI = 45)



MAHASISWA KARYAWAN 4:
1.        MUSLIMIN
2.        ISHAK NENTO
3.        YULIANTI LANTI  (NILAI = 74)
4.        ABD LATIF BIN HOLA
5.        BUYUNG BUMILO
6.        DJUWIDIN ISA
7.        DEWI SITA TAMALONGGEHEN
8.        DESY BERTUS
9.        IYUT IBRAHIM (NILAI = 80)
10.    ISMAIL BULOTO (NILAI = 65)
11.    I KETUT SADIA
12.    JOLLY MOTTO
13.    NUR SALEH
14.    NUR VENTI TOLONGGI (NILAI = 70)
15.    NURUL HIKMA TOWENGI
16.    NIZAM ABBAS
17.    MEISKE ALMAS
18.    MUH FAISAL
19.    MUH ZULKIL DEERT
20.    RAHMAN IBRAHIM
21.    RATU GANI  (NILAI = 70)
22.    RAHMAN ADAM (NILAI = 55)
23.    SANEH PUTURAUH
24.    SUGIONO
25.    YUSHENRA MAHFUL (NILAI = 80)
26.    YULHAM  EFENDI (NILAI = 45)
27.    YOLAN HUWILI (NILAI = 69)
28.    AMIR BASIRU (NILAI = 60)
29.    SUKRIN DAUWANGO (NILAI = 50)
30.    INDRI HANAFI (NILAI = 70)
31.    NUR HAMZAH S
32.    INDRA EKA SAPUTRA SALEH
33.    HARYANTO
34.    FADLI GONTA (NILAI = 80)
35.    YULIANA
36.    FARAMITA DAMA (NILAI = 70)

·         CATATAN, STANDAR NILAI  (10 S/D 50 = D; 51 S/D 69 = C; 70 S/D 88 = B; 89 S/D 100 = A)
·  BAGI MAHASISWA YANG BELUM MIDTES SEBAIKNYA MENJAWAB SAJA SEMUA PERTANYAAN SOAL YANG DISEDIAKAN DI BAWAH INI (sebagai nilai pengganti midtes) KEMUDIAN KIRIM KE EMAIL SAYA: damang@jurnalamannagappa.com
SOAL UJIAN MIDTES:
1.    A) Sebutkan 2 pembagian Kontrak/ Perikatan berdasarkan Pasal 1233 ?
     B) Sebutkan 4 asas dalam hukum perikatan/ kontrak ?
2.    A) Kemukakan syarat-syarat sahnya kontrak/ perjanjian  ?
      B) Tuliskan cara-cara melakukan  prestasi berdasarkan Pasal 1234 ?
3.    A) Dalam hukum perikatan penyalahgunaan keadaan dapat menyebabkan sehingga  perjanjian batal demi hukum, sebutkan jenis-jenis penyalahgunaan keadaan itu ?
      B) Apa  yang dimaksud Unsur Aksidentalia ?
4.    A)Tolong kemukakan perbedaan antara  kontrak syarat batal dan kontrak  syarat tangguh ?
     B) Sebutkan minimal tiga jenis bentuk-bentuk penafsiran yang dikenal dalam hukum kontrak ?
5.    A) Bentuk-bentuk wanprestasi terbagi atas empat jenis,  sebutkan ?
    B) Apa-apa saja akibat dari wanprestasi itu ?
6.    A) Kemukakan pengertian  kerugian (ganti rugi) menurut Niuwenhuis ?
     B) Sebutkan dua jenis  bentuk ganti kerugian yang dapat dituntut oleh Kreditur kepada Debitur ?




Selamat Bekerja
 damang@negarahukum.com

[Read More...]


Ganti rugi & Risiko (Pertemuan kedelapan)



Ganti Rugi
Apa yang menyebabkan sehingga muncul ganti rugi ? adalah tidak lain buntut dari pada Wanprestasi. Menurut Nieuwenhuis[1] kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak  yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
Ternyata bukan hanya wanprestasi yang menyebabkan sehingga muncul ganti rugi, melainkan juga dapat disebabkan melalui perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi, dimulai dari Pasal 1243 KUHpdt s/d Pasal 1252 KUHpdt, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya, ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan bukan karena adanya perjanjian.
Ganti kerugian karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara Kreditur dengan Debitur misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 Januari 1996, akan tetapi pada tanggal yang ditentukan, A belum juga mengirim barang kepada B, supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberi peringatan (somasi)[2] kepada A, minimal tiga kali.[3]
Beberapa ganti kerugian yang dapat dituntut oleh Kreditur kepada Debitur diantaranya:
  1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian; 
  2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUHpdt), ini ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang dimaksud dengan biaya-biaya adalah ongkos yang telah dikeluarkan oleh Kreditur untuk mengurus objek perjanjian.sementara kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. Penggantian biaya-biaya, kerugian dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanpestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.

Risiko

 Risiko (resicoleer: suatu ajaran yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak). Atau dengan bahasa yang sederhana risiko adalah kerugian yang ditimbulkan di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul oleh karena adanya keadaan memaksa (overmacht).
Subekti memberikan suatu defenisi, risiko yaitu kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal risiko, maka dapat diterapkan dalam bentuk perjanjian, baik perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal balik.
Pada perjanjian sepihak merupakan dimana salah satu pihak aktif melakukan prestasi, sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya A memberikan sebidang tanah kepada si B, tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada 30 Desember 2012, namun seblum sampai jatuh temponya penyerahan tanah tersebut, tanah itu musnah, maka yang menanggung risikonya atas tanah demikian adalah B (Penerimah tanah, vide: Pasal 1237 BW).
Bagaimana dengan perjanjian timbal balik ? pada perjanjian timbal balik dapat diambil contoh pada perjanjian jual beli, tukar menukar, dan sewa-menyewa.
Supaya lebih jelas perbedaan tentang penanggungan risiko dari masing-masing perjanjian timbal-balik, maka perlu untuk mengutip Pasal yang terkait dengan perjanjian-perjanjian tersebut.
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1460 BW menegaskan “jika barang yang dijual itu suatu barang yang sudah ditentukan, barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan sipenjual berhak menuntut harganya.”
Apakah kira-kira adil pasal diatas, seandainya barang yang hendak diserahkan ke pembeli, barang itu musnah di gudang penjual, atau barang tersebut disita karena penjual pailit ? rasanya tidak adil. Oleh karena itu maka pasal tersebut penting dilakukan penafsiran secara sistematis. Perlu diterapkan Pasal 1474 BW sebagai ketentuan lebih lanjut yang menegaskan bahwa ”menyerahkan barang dan menanggungnya” dan berdasarkan Pasal 1475 BW menegaskan “penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli”.
Dengan demikian kesimpulan yang bisa ditarik perihal risiko dalam perjanjian jual beli adalah, bahwa selama barang belum diserahkan oleh penjual kepada pembeli, maka risiko ada pada penjual, dalam hal ini penjual masih merupakan pemilik sah barang tersebut. Kemudian ternyata SEMA Nomor 3 tahun 1963 Pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam ketentuan yang lain untuk perkara beberapa metode penjualan (beli) suatu barang memilki tiga ketentuan yaitu:
  1. Mengenai barang yang sudah ditentukan, sejak saat pembelian risiko ada pada pembeli (vide: Pasal 1460 BW, Pasal ini sudah tidak berlaku lagi berdasarkan SEMA No 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963); 
  2. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran (Pasal 1461 BW), risiko ada pada penjual hingga barang ditimbang; 
  3. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462 BW) risiko ada pada pembeli.
Kemudian beralih keperjanjian tukar-menukar. Perjanjian tukar menukar diatur dalam Pasal 1545 yang menegaskan “apabila suatu barang tertentu, yang telah diperjanjikan untuk ditukar musnah diluar kesalahan pemiliknya, perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikan dalam tukar menukar itu.”
Masih dalah wailayah perjanjian tukar menukar, nyatanya hal inilah oleh Subekti untuk dijadikan sebagai asas yang berlaku umum dalam perjanjian timbal balik. Secara tepat bahwa risiko itu dipikulkan kepada pemiliknya. Atau dengan kata lain dengan musnahnya barang dari salah satu pihak, pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkan.
Selanjutnya perjanjian sewa-menyewa, yakni diatur dalam Pasal 1553 yang menegaskan  “jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum.”
Maksud dari pasal di atas adalah bahwa sejak awal perjanjian sewa-menyewa itu dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah lahir suatu perikatan. Oleh karenanya masing-masing pihak tidak ada yang dapat menuntut. Karena memang pada dasarnya tidak pernah lahir perikatan.



[1] Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, hal. 81
[2]Somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling, diatur dalam pasal 1238 s/d Pasal 1243 BW. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (Kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakatai antara keduanya.
[3] Dikutip dari Salim HS, 2005, Hukum Kontrak, sinar grafika, Jakarta, hal. 101.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors