Merenungi Kepergian Ramadhan



Setiap orang boleh saja bersedih, berduka, dan menangisi kepergian keluarga, kerabat, hingga orang yang dicintainya. Disaat yang maha kuasa menjemputnya. Mungkin karena belum rela orang yang dicintainya itu meninggalkannya. Ada banyak hal kenangan dalam setiap momen kebersamaan, sehingga sulit melupakannya.

Situasi yang lain, kadang kita sulit melepaskan keluarga kita, yang hendak merantau ke negeri seberang, karena waktu untuk ketemu dengannya, masih harus lagi menunggu bertahun-tahun. Apalagi kalau masa pertemuan dan ajang ngumpul sama keluarga, hanya terjadi pada peristiwa mudik lebaran. Saat kendaraan (bis, kapal, pesawat) yang ditumpanginya berlalu, melepas pergi, lambaian tangan menjadi ajang perpisahan, setelah itu mungkin ada rasa haru menyesak dada, dan bulir air matapun menetes secara tidak sadar.

Lantas, bagaimana dengan kepergian ramadahan, yang baru saja berakhir beberapa hari kemarin. Apakah kita juga bersedih, ketika ramadhan itu meninggalkan kita? Adakah rasa takut terbersit dalam hati dan pikiran, tahun depan boleh jadi tidak lagi bertemu dengannya. Sehingga bulir air mata kitapun terjatuh membayangkan kepergian tamu agung yang dihadirkan oleh Tuhan, dating hanya sekali dalam setahun.

Yang jelas, jangan sampai ramadhan yang telah dilalui selama satu bulan itu. Hanya menjadi ritual dan siklus tahunan. Seolah-olah momentum ramadhan hanya menjadi ajang untuk menyenangkan Tuhan semata.

Tangisan Ramadhan

Bisa disaksikan ketika bulan suci itu datang, semua orang pada berlomba-lomba menunaikan shalat tarawih, berjamaah di mesjid, semua orang pada berlomba-lomba menderas Al-qur’an hingga ingin menuntaskan 30 juz dalam sebulan.

Selama bulan ramadahan semua tempat prostitusi di larang buka, hingga warung makanpun dilarang untuk membukanya pada saat bulannya ramadahan. Bulan ramadahan tidak hanya sampai disitu memesona. Hingga ruang virtual, media, televisi juga ikut-ikutan berpuasa. Artis yang biasa berpenampilan seksi, berpose seronok, kemudian tiba-tiba memakai kerudung hanya karena tuntutan “kapitalisasi” ramadhan. Demi memuaskan pemiras di rumah yang sedang menjalakan ibadah puasa. Tayangan dan durasi yang islami ditambah waktunya, ceramah dari berbagai dai juga turut menghiasai semua saluran televisi.

Kalau Rasul dan para sahabat menangisi kepergian ramadahan, karena dibulan itu, bulan dimana pahala dilipatgandakan. Rasul dan para sahabat, takut tahun depannya tidak ketemu lagi dengan bulan yang penuh rahmat (maghfiroh), ampunan, karena maut sewaktu-waktu bisa saja datang menjemputnya.

Untuk kontkes sekarang, kalau mau dihayati, direnungi, justru tangisan itu, jauh lebih penting untuk diresapi oleh ummat Islam di negeri ini. Bagaimana tidak, sudah melekat makna fitrah atas kemenangan dari sebulan penuh. Namun setelah melewati bulan-bulan itu. Fase ramadahan kemudian diambil alih oleh kehidupan yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.

Setan yang dulunya dikerangkeng, pasca ramadhan berlalu, kembali hidup liar, setelah lepas dari kerangkengnya, manusia di muka bumi merasa wajar-wajar saja, melakukan perbuatan buruk, perbuatan keji. Amalan bulan puasa dan pengampunannya dimaknai lebih pada semua perbuatan dosa tahun lalu, telah diampuni, maka dari itu tidak apa-apa kembali berbuat dosa, karena bulan ramdahan hadir sebagai momentum memutihkan dosa-dosa setahun sebelumnya.

Hemat penulis, cara memaknai yang demikian, melakoni dan menjalankan puasa sama halnya dengan cara kita berpuasa, berpikir model kekanak-kanakan. Inilah tangisa ramadahan yang sesungguhnya, kita ingin me.lihat semua suasana tampil religius setelah ramadhan berlalu. Namun apa daya, yang Nampak dihadapan mata kita, buruk-baik, salah-benar, dosa-amal semua bercampur jadi satu. Tidak ada lagi batasnya.

Bagaimana Seharusnya?
Andai puasa hendak dimaknai, sebagai rukun Islam yang ketiga, dan mengapa menjadi salah satu ibadah yang bersifat imperatif (bukan sun’ah).

Bulan ramadahan setelah berlalu seharusnya, manusia tidak lagi dipertuhankan oleh kepentingan fisiknya. Larangan untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks di siang hari, merupakan maksud Tuhan agar hambanya tidak terperdaya dengan kepentingan fisiknya lagi. Seharusnya setelah menunaikan ibadah puasa, tidak lagi kita menjadi hamba yang sekuler, kapitalis, hingga berlaku culas atas manusia yang lainnya.

Namun apa yang terjadi? Semua hakikat diperintahkannya ibadah tersebut. Semua hilang sekejap berlalu, tanpa merenungi dibalik kepergiannya.

Sang pemimpin yang nyata-nyata menjalani puasa, hingga merayakannya dengan acara open house, pasca ramadhan, kembali dirinya terendus dengan kasus korupsi, para penegak hukum kembali membengkokan keadilan, demi janji setumpuk rupiah yang akan menaikkan prestisenya.

Seandainya saja diantara semua oknum tersebut, merenungi kepergian ramadhan, memahami makna substansial ramadaan, takut pada tahun berikutnya tidak lagi ketemu dengan tamu agung Allah SWT. Dengan diraihnya hari kemenangan fitri (suci), tidak mungkim mereka berlaku korupsi lagi, penegak hukum sebagai wakil Tuhan sudah pasti berhukum dengan hati nuraninya, berhukum dengan nalar spiritualnya, bukan berani berlaku adil terhadapa sesama, karena takut pada hukum buatan manusia, tetapi takut pada hukum yang sudah dititahkan oleh Tuhan, setelah diselaminya makna-maka tekstual ayat Al-qur’an selam sebulan penuh itu.

Aksi menutup tempat prostitusi, dan menyadarkan pelaku prostitusi hingga menghentikan tumbuhnya tempat prostitusi yang liar, tidak perlu diperintahkan. Di sisi lain pemerintah dengan rasa takutnya, tidak mendapatkan sumber pendapatan Negara, kerena tempat-tempat itu penyuplai anggaran untuk pembangunan kota-kota besar. Andai kepergian puasa direnungi, semua sudah pada tidak lagi terpikirkan. Karena bulan puasa sesungguhnya melatih kita, lepas dari “ego personal”atas segala kuasa fisik, yang hanyabersandar kepentingan duniawi semata.

Merenungi dan menangisi kepergian ramadhan. Semuanya mengantarkan kita, takut kepada Tuhan dan ganjaran-Nya, takut pada azab-Nya, namun selalu merasa dekat dengan-Nya. Tidak lagi kita akan menemukan hamba-hamba yang menjadikan Puasa sebagai ajang konspirasi terhadap Tuhan-Nya. Lebih dari itu fitrah akan dimiliki selamanya. Bukan hanya disaat menggemanya sura taqbir, tahmid, tahlil di hari lebaran.

Mari menjadikan puasa dalam sebulan itu, sebagai latihan, sebagai ujian kelulusan, dan pada saat meraih kelulusan di hari lebaran. Bukan fase perjuangan kita berhenti. Masih banyak ujian-ujian selanjutnya yang akan kita hadapi bersama. Ijazah kelulusan sebulan penuh itu boleh jadi tidak dapat digunakan untuk mendaftar di kamar-kamar surga yang telah dijanikan oleh Allah SWT, di akhirat kelak. Olehnya itu silahkan merenungi ramadhan yang telah berlalu itu.*** 
 
Sumber: ridwansyahyusufachmad.com
 
[Read More...]


Sifat Melawan Hukum



Terminologi sifat melawan hukum dapat ditemukan sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tegasnya pasal tersebut menyatakan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar Rupiah)

Kata melawan hukum dalam pasal tersebut kemudian dalam penjelasanya, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Sebenarnya istilah melawan hukum materil dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat dipergunakan lagi Pasca Putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan bahwa “penjelasan Pasal 2 ayat 1 tersebut dinyatakan telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Meskipun demikian, pasca putusan MK tersebut, praktiknya MA tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil (materele wederrechtelijkheid). Bisa diamati misalnya dalam Putusan MA RI No. 2064 K/ Pid/ 2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi. (Lilik Mulyadi: 2011)

Argumentasi dari hakim tersebut masih menggunakan perbuatan melawan hukum materil sebagai berikut:
  1. Bahwa putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan telah dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat sehinga unsur melawan hukum tersebut tidak menjadi jelas rumusannya. Oleh kerana itu berdasarkan doktrin Sen-Clair atau La Doctrine do Sen Clair hakim harus melakukan penemuan hukum.
  2. Bertitik tolak aspek tersebut di atas, Majelis Hakim MA RI memberi makna unsure melawan hukum dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU N0 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi MARI yang berpendapat bahwa unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukkum dalam arti materil, dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil juga meliputi fungsi positif dan fungsi negatif dengan berpedoman bahwa tujuan diperluas unsur perbuatan melawan hukum adalah untuk mempermudah pembuktian di persidangan sehingga suatu perbuatan dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya, dapatlah dihukum pelakunya melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatan itu tidak melakukan perbuatan melawan hukum secara formal. Kemudian pengertian melawan hukum menurut penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaualan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat. Selain itu berdasarkan butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU No 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengerttian perbuatan melawan hukum secara materil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini tersirat dalam surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi “maka untuk mencakup perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif, tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggatran dalam RUU ini dikemukakan sarana “melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya” dan akhirnya sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan MA RI No 275 K/ Pid/ 1983 tanggal 28 Desember 1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolok ukuran asas-asas hukum yang bersifat umum dan menurut kepatutan dalam masyarakat.

Tentunya dari putusan MA RI di atas memunculkan pertanyaan sebagai berikut:
  1. Jika sudah dibatalkan oleh MK penjelasan perbuatan melawan hukum materil, kenapa masih digunakan oleh MA, apakah masih dibolehkan MA menggunakan unsur perbuatan melawan hukum materil tersebut dengan melakukan penemuan hukum kembali ?
  2. Apakah mesti MARI tunduk pada putusan MK yang sudah membatalkan pengertian perbuatan melawan hukum materil itu ?

Kedua pertanyaan tersebut, sebenarnya lahir dari satu konsep atau asas hukum yang kita anut saat ini yaitu asas legalitas yang sederhananya terdapat dalam Pasal 1 KUHP “Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali undang-undang mengaturnya lebih dahulu”. Olehnya itu dalam hukum pidana sangat dilarang penggunaan analogi.

Terdapatnya unsur perbuatan melawan hukum materil dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 merupakan kontradiksi antara dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana ataukah tidak, atau dalam kalimat yang lain apakah masih dimungkinkan hakim melakukan analogi ataukah penafsiran ekstensif. Dalam konteks ini menurut saya hakim dapat melakukan penafsiran hukum, perlu diketahui bahwa analogi dan penafsiran ekstensif merupakan penemuan hukum dari metode konstruksi, bukan penafsiran an sich (lih. Achamd Ali: 2002).

Sepanjang hakim itu melakukan penafsiran terhadap maksud Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, tidak mengubah maksud dari pasal tersebut, tetap dimungkinkan. Misalnya dengan berpatokan pada adanya unsur kerugian Negara dan ternyata bertentangan dengan nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat tetap dapat dipidana. Tapi kalau tidak melanggar nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat, orang yang merugikan keuangan Negara itu bisa lepas dari tuntutan pidana.

Sebuah contoh sederhana, seorang kepala daerah mencairkan dana bantuan bencana alam, namun dari bantuan tersebut masih ada sisanya, sisanya kemudian ia anggarkan lagi untuk pembangun jalan dan jembatan, dimungkinkan terjadi kerugian Negara, tetapi terpenuhinya memperkaya diri sendiri baik itu sebuah korporasi tidak ada, dalam penggunaan anggaran sisa itu karena tidak diperuntukan untuk yang demikian. Berarti tidak terpenuhilah perbuatan korupsinya. Inilah yang dimaksud perbuatan melawan hukum materil berfungsi negatif. Perbuatan tersebut terpenuhi melanggar undang-undang namun dalam tataran substantif, oleh masyarakat bukan dipandang sebagai perbuatan pidana.

Kalau kita membuka RUU KUHP Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2, kelihatan sudah menganut istilah melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif.

Tegasnya pasal tersebut berbunyi (1) tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, selanjutnya pada ayat 3 nya dinyatakan “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak mengurangi tidak berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dpidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sepertinya di masa mendatang, asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak lagi bersifat absolut, karena secara tersirat sudah diakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat.

Kalau kita mencari dasar konstitusioanlanya asas legalitas dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 “negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak ada embel-embel konsep Negara hukum rechstaat ataukah konsep Negara hukum rule of law yang kita gunakan, berarti dengan tidak adanya embel-embel tersebut dilakukan secara sengaja, dengan tujuan memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law). Artinya demi tegaknya keadilan, seyogianya perbuatan yang tidak wajar, tercela, atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya (konsep Negara hukum prismatic dalam Mahfud: 2006)

Agar tercipta kejelasan dalam pemahaman pengertian “melawan hukum” mari kita lihat pembagiannya dalam hukum pidana. Sifat melawan hukum adalah suatu frase yang memiliki empat makna (Hiariej: 2006)
  1. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan atau dengan kata lain merupakan syarat tertulis untuk dipidananya suatu perbuatan
  2. Sifat melawan hukum khusus biasanya kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. 
  3. Sifat melwan hukum formil mengandung arti semua bagian (unsur-unsur ) dari rumusan delik itu telah terpenuhi 
  4. Sifat melawan hukum materil menganut dua pandangan, Pertama sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut perbuatannya, yang mana mengandung arti perbuatan yang melanggar atau yang membahayakan kepenting hukum yang hendak dilindungi atau pembuat undang-undang dalam rumusan tertentu. Kedua, sifat melawan hukum materil dlihat dari sudut hukumnya, hal ini mengandung makna yang bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan, atau nilai-nali keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya sifat melawan hukum materil itu masih dibagi lagi menjadi dua yaitu sifat melwan hukum materil dalam fungsinya yang berfungsi negatif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang berfungsi positif

Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif diartikan bahwa meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sedangkan sifat melawan hukum materil berfungsi positif, mengadung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-noram kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Pertnyaan sekarang, kira-kira yang dibatalkan oleh MK, perbuatan melawan hkum material dalam arti yang bagaimana ? kalau diartikan bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti tidak boleh menggunakan analogi, karena dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana sepertinya kurang tepat, karena untuk konteks sekarang cara kita menerapakan asas legalitas tidak lagi absolute, bahkan dengan diberikanya hak bagi hakim untuk menggali nilai –nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menunjukan ada indikasi dapat diterapkannya perbuatan melawan hukum materil yang terbagi atas dua itu (berfungsi negatif dan berfungsi positif).

Kalau dikatakan ini melanggar hak tersangka/ terdakwa karena bisa sewenang-wenang terhadap perlakuan hukum terhadap terdakwa, maka jawabanya tidak juga. Bukankah dari dianutnya dua pembagin perbuatan melawan hukum materil itu, terdakwa bisa tidak di pidana, bisa juga dipidana. Yang dilarang sebenarnya dalam hukum pidana, dalam perspektif saya, kalau hakim itu menggunakan analogi yang diartikan tidak lagi berpijak pada satu ketentuan hukum dalam sebuah pasal yang diterapkan itu. Tetapi penerapan perbuatan melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif diakui bersama masih berpijak pada unsure-unsur tindak pidana korupsi seperti terjadinya kerugian Negara, memperkaya diri sendiri ataukah sebuah korporasi. Kalau begitu dalam penelaahan asas, hingga teori dan tujuan hukum (tidak melihat sasaran utama putusan MK sebagai putusan yang final and binding). Maka perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi positif dan berfungsi negative, masih layak diterapkan oleh hakim dalam memeriksa perkara tindak pidana korupsi.

Berbeda halnya kalau berbicara persoalan ranah kewenangan MK dan sasaran dari pada putusannya, karena MK yang bertindak sebagai judicial court (bukan justice court), yang mana MK bertindak seolah-olah sebagai UUD sebagai landasan tertinggi dari UU, maka mau tidak mau Pengadilan Umum dan jajarannya harus tunduk pada putusan MK tersebut.

Di sinilah kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dengan hadirnya MK, karena putusan MK tidak dikenal lagi upaya hukum untuk menganulir putusannya. Satu-satunya cara adalah dengan merivisi UU tersebut melalaui pembahasan kembali di legislatif. 
Sumber: cikarangonline.com
[Read More...]


Tafsir Teologis Tradisi Mudik



Tekhnologi boleh sedemikan canggihnya, para anak muda kita sudah menggunakan gadget, handphone, hingga blackberry keluaran terbaru. Namun esensi tekhnologi itu tidaklah mampu menghapuskan tradisi mudik di masyarakat nusantara ini.

Diseluruh pelosok tanah air menjadi anak tangga, ummat muslim kembali, berduyun-duyun, bersimpuh dan berkumpul dengan sanak keluarga mereka.

Di tengah himpitan ekonomi yang melanda bangsa ini, karena beberapa pekan sebelum kita memasuki bulan ramadhan. Dengan “tegahnya” pemerintah menaikkan BBM, praktis semua kebutuhan pokok hingga biaya transportasipun akan berlipat dua kali pula untuk melakoni tradisi mudik ini. Dibandingkan misalnya dengan biaya untuk mudik pada tahun sebelumnya.

Sebuah tradisi “pulang udik”, dalam terminologi mudik yang dari kata udik adalah desa. Naiknya biaya transportasi bagi yang benar-benar hendak mudik. Itu tidak jadi masalah, merogok kocek rupiah demi berkumpul sanak keluaraga dan handa taulan, itulah intinya.

TAFSIR

Ibarat debu beterbangan di musim kemarau, dengan lakon yang sama berulang-ulang, kemudian debu beterbangan itu akan kembali menyatu dengan sumber asalinya di bumi. Lalu datang hujan menyapu rata debu yang masih melekat di setiap benda hidup dan mati di bumi ini. Sebuah ritual silih berganti, hukum alam yang bekerja pada ruang dan waktu.

Jangan sampai mudik lebaran yang dengan gampangnya kita biarkan berlalu. Tanpa lagi perlu ada tafsir otentik ketuhanan. Ketika lidah dengan fasihnya menghafal rukun Islam, serta rukun iman dianggap tidak perlu lagi melakukan penjajakan terhadap tradisi yang berulang kali, dilakukan setiap tahun.

Bisa dibayangkan sekejap, ruang tekhnologi dengan perangkat canggih, seorang sudah dapat saling menyapa, meski tidak dalam ruang yang sesungguhnya, tetapi boleh jadi kepuasan psikologis, setelah mendengar suara sanak keluarga, sudah cukup. Lalu mengapa diakhir grand final puasa, semua orang yang sedang merantau merasa wajib, mudik dan bertemu dengan keluarga yang dicintainya.

Tidak cukupkah mereka pada masing-masing merayakan lebaran secara terpisah? Bukankah merayakan idul fitri, adalah merayakan sebuah kemenangan setelah sebulan penuh, berada dalam medan juang, melatih diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan sex, menahan nafsu amarah. Semata-mata ritual personal hamba kepada Tuhannya? Mestikah terasa syahdu dan berlipat ganda pahala yang kita dapatkan. Kalau idul fitri dilaksanakan secara berjamah dengan sanak keluarga di kampong? Jawabannya tidak juga.

Namun apa salahnya ritual mudik dimaknai sebagai peleburan “ego” personal manusia untuk kembali mengingat, tempat pertama kalinya dilahirkan, tempatnya tumbuh dari anak, remaja, hingga dewasa. Bertemu dengan para sahabatnya di masa lalu, mengurai kenangan.

Jika ditafsir ulang, tradisi mudik memberi makna, sehebat-hebatnya manusia, bagaimanapun jauhnya melangkah akan kembali ke pangkalnya. Sama halnya dengan lamanya manusia menjalani prosesi kehidupan, meski sebagian ada juga yang hidupnya tidak terlalu lama di dunia. Tetap akan kembali pada sumber asali yang dicintainya yaitu kematian.

PESAN TEOLOGIS
Yang jelas dan pastinya mudik merupakan renovasi kesadaran spiritual manusia, mengenang kembali jiwanya yang asali. Sungkem dan berjabat tangan di hadapan orang tua bagi yang masih hidup orang tuanya, lebih penting lagi mudik untuk tidak dilewatkan, karena di sanalah terletak bakti seorang anak terhadap ibu dan ayahnya.

Sebaliknya, meski seorang ibu ditinggal jauh oleh anaknya, merantau di kampung negeri seberang. Mereka akan berkata, tidak cukup dan lengkap rasanya sang orang tua jika tidak bersama dengan anak-anaknya merayakan lebaran di kampung. Cinta dan kasih sang orang tua telah melebur dalam keagungan Tuhan, hendak meraih nikmatnya “iman” dalam kebersamaan. Itulah Islam, sebagai jalan agama yang benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya secara total kepada Allah SWT.

Pesan teologis yang termaktub dalam tradisi mudik sehingga orang rela merogoh koceknya, menantang maut sepanjang perjalanan, selayaknya seorang yang melaksanakan ritual Haji.

Dengan menembus lorong waktu dan jarak yang amat panjang, ummat Islam di tanah suci, ada sebuah peristiwa mengenang kelahiran agama Tauhid di sana, agama yang Esa. Maka dalam konteks mudiknya setiap orang yang relah bertaruh nyawa demi berkumpul dengan keluarga handa taulan, juga merupakan napak tilas mengenang dirinya, pertama kali diperkenalkan siapa Tuhan yang wajib di sembah, oleh orang tua, dan para gurunya di kampung. 
Sumber: carrefour.co.id
 
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors