Menerima Pidana Mati Dengan Lapang Dada



Adikodrati manusia yang dikaruniai akal, rasio, pikiran, hati dan jiwa pada hakikatnya tak ada alasan untuk tidak bersimpati bahkan sampai pada rasa empati kepada mereka yang sepatutnya untuk menjalani hukuman; pidana mati. Pidana mati adalah sebuah kesengsaraan, kengerian, kegetiran, hingga pada kesedihan yang memantik air mata. Bukan hanya mereka, yang telah dijatuhi atas sebuah hukuman mati yang sedang was-was menanti ajal akan menjemputnya. Namun ada pula kerabat; Anak, Ayah, Ibu, Istri, Suami, dan seterusnya yang ditinggalkan duka tak kuasa menanggung derai air mata. Kerabat dari si terpidana mati yang sudah “tereksekusi” pada akhirnya hanya mampu menerima nasibnya, menabur kembang di atas nisan sang terpidana yang telah “pergi” untuk selama-lamanya.

Rasa miris itu akan terus berlanjut pada orang disekitarnya. Jangan mengatakan diri anda adalah manusia, jika pun tidak “larut” dalam kesedihan kala menyaksikan mereka yang terpidana mati, sedang dirundung duka karena kematian. Anda bukan manusia kala di saat menyaksikan kesedihan para kerabat menangisi keluarganya yang terpidana mati, orang yang mereka paling dicintai, hidupnya telah “dipangkas” oleh Negara. Lalu anda urung tak bersimpatik.

Lalu setelah itu, pertanyaan akan datang mengusik hati nurani, jiwa, dan rasa keyakinan kita, yang sejatinya percaya pada kekuatan Ilahi: Apakah hukum begitu kejam sehingga tidak menghargai hak-hak seorang untuk mempertahankan kehidupannya?

Ada yang mengatakan sungguh kejam, bengis, biadab, sampai stigmatisasi hukum yang tak berkemanusiaan. Ada pula yang mengatakan itulah keadilan, itulah hukum yang hadir menciptakan ketertiban. Hukum hadir menitipkan keadilan, guna menjaga tatanan kehidupan manusia agar tetap seimbang dalam proses interaksinya.

Merampas Hak Manusia
Mari kita menengok pada peristiwa yang terjadi kemarin, ada enam terpidana mati sekaligus, dieksekusi pada Minggu 17 Januari 2015 dini hari.

Terutama yang bernama Rani Adriani alias Melisa Apria, dikala pengajuan grasinya ditolak oleh Presiden Jokowi. Dia seperti tak kuasa untuk menerima keputusan sang Presiden. Berbagai cerita yang tersiar disemua media, konon Rani berusaha tegar, bibir tetap masih bisa menungging senyum, padahal sesungguhnya hati sedang dilanda duka, sedih, bahkan hatinya telah hancur-lebur. Dan kini, Rani sudah tenang di alam baqa. Sekelumit fakta yang tersisa, adalah bongkahan rasa untuk tak mu menerima kematiannya, karena negara kemudian dituding telah merampas hak-haknya.

Dikalau kita melihat dari satu sisi, hanya untuk terpidana mati, hanya untuk Rani Adriani. Pun pasti kita akan terjebak dalam pusaran untuk menarik kesimpulan sementara, bahwa Negara telah biadab, aniaya terhadap warga negaranya.

Akan sungguh berbeda penilaian-penilaian tersebut, tat kala berusaha memikirkan ulang, segala efek dan akibat perbuatan sang terpidana mati, jauh hari sebelum Ia terjerat oleh hukum. Ada berapa banyak anak-anak kita yang terjerat Narkoba gara-gara dari semua pelaku yang terklasifikasi sebagai Bandar, hingga pengedar Narkoba. Ada berapa kasus dalam sebuah bilik-bilik keluarga, keluarga mereka berantakan, oleh karena satu, dua, tiga diantara keluarga telah menjadi pecandu Narkoba. Ada berapa jumlahnya, anak-anak di lingkungan sekolah hingga Perguruan Tinggi harus menanggung efek ketergantungan kalau bukan semua disebabkan oleh mereka yang telah memilih profesi “penyebar” narkoba kepada korban-korban pengguna itu.

Bahkan detak jantung-pun harus terhenti sejenak, ketika dosen yang sudah berpredikat Guru Besar “terpaksa” digiring oleh pihak kepolisian menuju panti rehab, karena Narkoba telah merengguk hidupnya. Parahnya sampai mengancam karir dan keluarganya. Lagi-lagi sekelumit efek dari peredaran Narkoba, sejatinya telah “menghantam” nasib beberapa manusia dari sejuta harapan, cita-cita dan impiannya, semua dalam sekejap “punai” dari genggamannya.

Cukup sampai di situ, masihkah kita “berani” untuk mengatakan dan menarik kesimpulan “sesaat” kalau hukuman mati telah merampas hak hidup seseorang? Perlu diingat bahwa setiap perbuatan kejahatan, yang oleh “hukum” kemudian dikatakan “perbuatan pidana” harus ada pertanggungjawabannya. Dan pertanggungjawabannya tidak lain adalah hukuman. Hukumlah orang setimpal dengan perbuatannya (culpue poena par esto – Let the punishment be equal the crime).

Terhadap mereka yang telah terbukti atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terbukti sebagai Bandar, pengedar, dan membawa jenis narkotika di atas ukuran berat yang pantas dihukum mati. Demikianlah mereka harus menerima pertanggungjawaban atas perbuatannya. Bukankah manusia dalam dua sisi, selain memiliki hak juga memiliki kewajiban? Maka pertanggungjawaban atas perbuatan jahat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.

Apapun namanya dan dalam model yang berbagai macam jenisnya, sejatinya hukuman pasti merampas hak. Dalam setiap penegakan hukuman pidana materil, seperti penangkapan, penahan, penyitaan (yang dikenal sebagai upaya paksa) hingga sampai pada pemidanaan pada sesungguhnya merampas hak manusia.

Tetapi jika perampasan hak tersebut, telah ditunjukan jalan dan mekanisme yang harus dijalankan secara cermat dan hati-hati, hal itu dibenarkan. Seperti itulah keadilan selalu berbicara. Sampai contoh yang kecil saja, jikalau seorang anak kedapatan mencontek oleh gurunya, kemudian di hukum untuk berdiri di depan kelas, kendatipun hanya tiga detik saja. Pasti ketika guru menjalankan hukuman terhadap sang anak, ada perampasan hak; hak untuk duduk; hak untuk merasa nyaman. Namun, hukuman memang seharusnya difungsikan seperti itu. sebagai wujud pertanggungjawaban.

Dengan Lapang Dada
Harus diakui dalam setiap perkara yang pada akhirnya akan diputus “vonis mati” hakim yang mengadili perkara yang terancam pidana mati, bukanlah perkara muda baginya, untuk sembarang memutus nasib hidup-matinya seseorang. Ini soal nyawa yang tidak dapat ditawar-taar, tidak boleh menjadi “barang mainan” baginya. Pertanggungjawaban hakim atas hidup matinya seseorang, adalah juga disandarkan pada kekuatan Ilahi “demi keadilan yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Setumpuk halaman yang tertuang dalam dokumen alat bukti, hingga lahir pertimbangan hukum merupakan pekerjaaan yang menguras tidak hanya fisik dan tenaga. Tetapi pikiran dan hati sang hakim, menjadi pengorbanannya untuk tiba pada kesimpulan, si terdakwa yang kemudian berubah status menjadi si terpidana, kini harus siap-siap untuk dihukum mati.

Dan si terpidana pun kalau memikirkan, lalu merenungi segala tindak-tanduk jahatnya. Mustahil dirinya akan membangkang atas hukuman sang hakim tadi. Justru dengan hukuman itu, dia akan merasa tenang, sabar, dan lapang dada untuk menunaikan tanggung jawabnya.

Akhirnya, detik-detik maut, dikala hari eksekusi tiba, tidak ada peristiwa getir, ngeri, sedih sampai bola air mata yang harus membasa. Karena pada asalinya dia adalah manusia yang utuh, sempurna, dengan sikap lapang dada menerima hukuman mati. Dan perlu diingat! Siapapun yang telah menerima hukumannya di dunia, maka Tuhan yang Maha Pengasih juga Maha Penyayang, tidak akan mempertanyakan dan membalasnya lagi di hari kemudian. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb.* 
 
 
Artikel Ini Telah Muat di Harian Fajar 23 Januari 2015
Sumber Gambar: tribunnews.com







[Read More...]


Sosiologi Hukum (Kelas MH-5 Pasca UMI Makassar)



 
Sumber Gambar: izquotes.com

PERTEMUAN PERTAMA

Pengertian, Tujuan dan Fungsi Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan secara analitis dan empiris, hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial lainnya atau mempelajari masyarakat khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut

Cicero; “dimana ada masyarakat di situ ada hukum”

Tujuan hukum Jepang

1. Win-win solution;

2. Harmoni;

3. Keteraturan’

4. Dan kedamaian.

Tujuan sosiologi hukum adalah menyajikan sebanyak mungkin kondisi-kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efesien.

Legal system oleh Lawrence M. Friedman terdiri atas:

1. Structure: penegak hukumnya;

2. Substance: aturan;

3. Legal culture: budaya atau pola piker.

Fungsi sosiologi hukum: untuk menguji apakah hukum dan peraturan perundang-undangan berfungsi dalam masyarakat.

Jenis sanksi: sanksi kurungan, dan sanksi sosial. Sebagai bagian dari perkembangan hukum “doble sanksi” ini (Kurungan dan sosial) berlaku di Amerika Serikat; sebagai bagian dari sosiologi hukum

Eropa Kontinental: Norma, Anglo Saxon: Fakta



PERTEMUAN II

Sifat krakteristik sosiologi hukum:

  1. Sosiologi hukum memberikan kejelasan tujuan terhadap praktik hukum yang menjelaskan mengapa praktik hukum demikian: (a) Apa sebabnya; (b) Apa faktor yang mempengaruhi; (c) Apa yang melatarbelakangi;
  2. Sosiologi hukum selalu menguji kesahihan empiris aturan atau pernyataan hukum;
  3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, melainkan hanya memberikan penjelasan apa adanya dalam kenyataan, dengan demikian mendekatkan hukum dari sisi obyektivitasnya.

PERTEMUAN III
Masalah Yang Disoroti Sosiologi Hukum
  1. Hukum dan sistem sosial masyarakat hakikatnya adalah objek menyeluruh dari sosioogi hukum. Sistem sosial mempengaruhi sistem hukum oleh karena bagaimanapun juga tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial atau masyarakat (ilmu ini masuk disemua lini);
  2. Persamaan dan perbedaan sistem hukum agar menyangkut perbandingan untuk mengetahui apakah dan konsep-konsep hukum universal. Untuk Indonesia dilakukan penelitian perbandingan sistem hukum yang berlaku di berbagai daerah dan didukung oleh suku-suku bangsa;
  3. Sifat sistem hukum yang dualistis, hukum substansif dan obyektif yang manusia dapat mempertahankan hak-haknya; 
  4. Hukum dan kekuasaan artinya hakikat kekuasaan tersebut supaya dapat bermanfaat ditetapkan ruang lingkup, arah dan kekuasaan; 
  5. Hukum dan nilai-nilai sosial budaya itu sebagai kaidah dan norma-norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat; 
  6. Kepastian hukum dan kesebandingan yaitu dua tugas pokok hukum bagi warga masyarakat sebagai individu; 
  7. Peran hukum sebagai alat mengubah kebiasaan.

PERTEMUAN IV

RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM:

  1. Benarkah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola perilaku;
  2. Hukum dan pola-pola perilaku sebagai sebagai ciptaan serta wujud dari pada jaminan-jaminan kelompok sosial; 
  3. Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perilaku yang bersifat yuridis; 
  4. Dasar sosial dari hukum atas dasar anggapan bahwa hukum timbul serta tumbuh dari proses sosial lainnya; 
  5. Efek hukum terhadap gejala sosial lainnya dalam masyarakat.

[Read More...]


Tahun Baru Makassar (Jangan) Rantasa



ERA kepemimpinan Danny bersama dengan Ical, ini merupakan pertama kalinya melewati pergantian akhir tahun. Di tengah banyaknya kritikan, masukan, dan keluhan yang menguji masa pemerintahannya. Tak kurang warga Makassar dari berbagai elemen, LSM, mahasiswa dan kalangan akademisi, banyak yang menyatakan tidak puas atas kinerja Wali Kota asal kelahiran Gorontalo itu.

Ada yang mengeluhkan suasana kota Makassar yang sudah tidak aman gara-gara aksi geng motor, kapan saja kelompok ini melakukan aksi; menjarah, merampok, hingga membunuh. Dan warga tidak lagi merasa aman untuk beraktifitas di malam hari.

Ada lagi, warga yang mengeluhkan lalu lintas kota Makassar masih tak kunjung kendaraan akan melaju dengan lancar, sebab beberapa titik selalu dilanda kemacetan.

Ada pula yang menyayangkan sikap wali kota yang tak karuan, cuek, menerima masukan dari beberapa warga, karena beberapa jalan di lorong Makassar mengalami kerusakan. Lalu pemerintah mengabaikannya.

Saat kota Makassar sedang memasuki musim hujan. Dipastikan masalah warganya akan bertambah lagi. Yaitu banjir yang sudah menjadi musiman dan senantiasa akan menenggalamkan beberapa daerah perumahan di kota ini.

Jika dicari akar penyebab terjadinya banjir, bukan karena kota Makassar berada di dataran rendah. Tetapi penyebab utamanya adalah drainase yang tidak lancar, sebagai akibat dari kota yang terbangun jauh dari syarat Perda tata ruang yang sudah diamanatkan. Banjir juga tak lepas penyebabnya, dari tumpukan sampah yang menutup saluran air.

Pertanyaannya, dalam situasi tersebut mampukah sang wali kota menyulap Makassar menjadi kota dunia (smart city) sebagaimana yang dijanjikannya dalam visi-misi politiknya dulu? Jawabannya adalah tidak semuda membalikkan telapak tangan, karena untuk sampai pada fase smart city bukanlah lompatan yang bisa melupakan sektor kesejahteraan masyarakat dahulu.

Tanpa masyarakatnya maju, sejahtera, dan fasilitas umumnya belum memadai, jangan pernah berharap ide smart city akan tercapai. Itu hanya akan menjadi angan-angan saja untuk selamanya, dalam periode pemerintahan ke depan Danny bersama Ical.

Ada yang menarik untuk menguji konsistensi Danny-Ical saat ini. Yaitu dalam fase pergantian tahun 2014, menuju awal tahun 2015. Mampukah slogan kebanggaan sang wali kota: MTR (Makassar Tidak Rantasa) dan Lisa (Liat Sampah Ambil) terealisasi bagi seluruh warga Makassar yang terkenal “phobia” dengan penyambutan tahun baru?

Jangan Rantasa

Kita tidak perlu mengukur keberhasilan tagline Makassar Tidak Rantasa dalam hari-hari pemerintah Danny-Ical yang telah terlewati. Sebab dengan takaran tersebut, secara kasat mata amat nihil untuk membuktikan kesuksesannya.

Masih banyak daerah, perumahan kumuh, hingga sudut kota terdapat sampah berseliweran dan berserakan dimana-mana. Bahkan sesuatu yang contradictio intermenis tat kala ada tertempel foto sang wali kota dengan anjuran menjaga Makassar agar tetap bersih, tetapi di bawah spanduk tersebut, justru terdapat sampah dari sisa botol minuman hingga bungkusan makanan.

Mari menagih janji wali kota dalam momentum pergantian tahun baru ini untuk benar-benar membuktikan kapasitasnya dalam mewujudkan kota Makassar, sebagai kota yang bersih. Beranikah Wali Kota dan Satuan Perangkat Kerja Daerahnya untuk terjun langsung dalam penyambutan tahun baru Makassar sebagai penyambutan tahun yang tidak menyebabkan kota menjadi kotor (rantasa)? Beranikah dalam waktu yang cepat, dengan sesegara mungkin sang wali kota mengeluarkan kebijakan “Tahun Baru Jangan Rantasa”?

Sebagai warga Makassar kita pasti menunggu terobosan tersebut. Walaupun hal itu akan menimbulkan protes dari berbagai pihak yang sudah terbiasa merayakan tahun baru dengan pesta meriah.

Perda Kebersihan

Sudah menjadi kelaziman bahwa setiap akhir tahun dalam menjemput tahun baru. Kalau di kota Makassar, pusat dan jantung kotanya; seperti pantai losari menjadi sentral berkumpulnya banyak warga. Tujuan semua warga berdatangan, adalah mereka sedang menanti detik-detik pergantian tahun dalam gegap gempita pesta kembang api.

Pengalaman dari tahun ke tahun. Dan ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi seperti awal tahun-tahun sebelumnya. Setiap selesai perhelatan pesta tersebut, saat fajar menyingsing. Apa yang dihasilkan dari perayaan tahun baru, kalau bukan hanya menyisakan serakan sampah dari sisa makanan, kantong plastik, botol minuman, dan tak ketinggalan sisa-sisa kembang api juga mengotori jalan raya.

Ini merupakan cerminan, jika mewjudkan kota Makassar tidak rantasa, lagi-lagi tidaklah semuda membalikan telapak tangan. Ataukah sulap ala sim salabim maka terwjudlah kemauan pada saat itu.

Dalam sehari saja, untuk memaksakan agar seluruh warga Makassar yang sedang merayakan penyambutan awal tahun. Agar tidak membuang sampah sembarangan di saat mereka pada berkumpul di jantung pusat kota, masih sulit untuk di taati. Apalagi menuntut semua warga Makassar agar membudayakan daerahnya tidak rantasa untuk selamanya. Pastinya jauh lebih rumit dan makin sulit rasanya untuk terealisasi.

Memang kita sudah memeliki regulasi berupa Perda Kebersihan, tetapi Perda yang menguatkan tagline MTR, nyatanya juga tidak berdaya. Perda tersebut justru menjadi aturan “mandul” karena banyak orang yang sering mengotori sudut-sudut jalan. Orang dengan senaknya membuang botol minuman di jalan saat berkendara. Satupun peelakunya tidak ada yang dikenakan sanksi. Padahal Perda kebersihan yang sudah diterbitkan itu, tegas bagi yang kedapatan membuang sampah di jalan raya dapat diadili dalam persidangan Tipiring (Tindak Pidana Ringan).

Sekarang, sudah saatnya pemerintah melalui produk politiknya yang bernama Perda kebersihan untuk ditunjukan kekuatannya. Bahwa tidak ada salahnya mereka yang hendak menggelar pesta akhir tahun. Silahkan berkumpul di pantai losari tapi jangan mengotorinya. Siapapun yang didapatkan membuang sampah bukan pada tempat yang disediakan, maka akan ditindak berdasarkan Perda kebersihan.

Dan Silahkan pula membakar petasan, menyemarakan suasana dalam pesta kembang api, tapi sisa sampah dari pesta, anda sendiri yang harus membersihkannya. Namun kalau memang tidak mampu membersihkan sampah karena gelar pesta meriah kalian, lebih baik merayakan tahun baru tanpa pesta. Sebab tanpa pesta tahun baru, justru Makassar akan lebih bersih. Makassar tidak akan menjadi rantasa.(*) 
 
 
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas

Sumber Gambar: makassar.tribunnews.com






[Read More...]


Revolusi Mental Menyambut Tahun Baru



Gerakan revolusi mental demikian bergema, tat kalah ide ini menjadi cikal bakal pemerintahan Jokowi-JK. Hingga gerakan tersebut terus mengalami pengembangan kajian oleh beberapa penulis-penulis lainnya.

Pada sesunggunya istilah revolusi di dalam politik merupakan hasil adopsi dari istilah di bidang sains. Simaklah makna denotatif revolusi saat pertama kalinya digunakan Copernicus: “revolusi planet dalam orbitnya, sebagai benda-benda langit yang terus mengalami perputaran, secara siklis, dan akan kembali lagi perputarannya pada kejadian semula.”

Jika Soekarno menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya. Maka sepatutnya semangat itu, perlu pula diaktualisasikan dalam satu momen pergantian tahun kali ini, menuju tahun baru.

Kita tidak perlu jumawa dan berbangga diri untuk merayakan penyambutan tahu baru seperti cara-cara dan tradisi barat, yang sejatinya hal itu akan “merampas” character building bangsa kita sendiri. Yakni karakter gotong royong, tenggang rasa, tepo seliro dan tolong menolong.

Budaya Otentik

Budaya adiluhung yang sudah tertanam kuat dalam setiap sanubari bangsa Indonesia, layak untuk dipertahankan dalam kemasannya sendiri. Oleh karena itu kelaziman menjemput, menyambut hingga pada merayakan fase pergantian tahun dengan sikap hura-hura, dan pesta pora, saatnya untuk merevolusi kebiasaan buruk tersebut.

Revolusi mental adalah mengembalikan potret budaya otentik pada asalinya. Budaya otentik bangsa tidak menganjurkan sikap boros, lagi menggelontorkan dana hanya untuk prestise, kesenangan, dan aktifitas yang sama sekali tak ada mudharatnya.

Jika makna denotatif revolusi adalah siklus kehidupan sebagai keniscayaan akan kembali pada fase yang pernah terjadi, sebagai hanya fase pengulangan. Berarti revolusi dalam konteks ini, seyogianya kebiasaan yang sudah jauh dari entitas budaya khas bangsa, agar melakukan pengubahan secara cepat dalam rangka menemukan, sekaligus memeraktikan budaya asli kita yang bermartabat.

Menumbuhkan budaya gotong-royong, tenggang rasa, tepo seliro, bantu membantu dan tolong menolong. Momentum tahun baru adalah ruang untuk membuktikannya. Tahun baru tidak perlu dirayakan dengan aneka pesta meriah. Agenda pergelaran pesta mestinya disubtitusi dengan kegiatan pengumpulan sumbangan untuk bantuan sosial.

Apa salahnya? bahkan justru itu lebih bermanfaat jika dana yang diniatkan untuk acara meriah penyambutan tahun baru, kalau sedianya dialihkan untuk membantu golongan ekonomi lemah. Yakni golongan yang harus berjuang dalam cucur keringat demi sesuap nasi, hanya untuk bertahan hidup dalam sehari. Sebab dengan berani mengambil langkah-langkah tersebut, dengan sendirinya pula; budaya gotong royong, tenggang rasa, tepo seliro, dan tolong menolong tanpa disadari akan berjalan dengan sendirinya, satupun tidak ada yang merasa terpaksakan.

Peran Pemerintah
Apalagi dengan kondisi perekonomian yang terus mengalami ketidakstabilan di tengah kebijakan pemerintah menaikan BBM. Bukan hal yang keliru, jika angka kemiskinan justru kuantitasnya akan makin bertambah. Sehingga memang tindakan merevolusi mental menyambut pergantian tahun, sudah menjadi kewajiban yang harus ditindaklanjuti pula oleh pemerintah. Pemerintah tidak perlu “menggorok” dana APBN (APBD) hanya untuk menggelar tautan acara dalam wujud pesta meriah tahunan.

Sangat ironis, kalau selama ini sudah mulai digalakkan kebijakan penghematan anggaran negara dalam setiap acara-acara pemrintahan. Tetapi dalam acara penyambutan tahu baru, lalu pemrintah pada berlomba-lomba mengahabiskan “uang negara” karena alasan memuaskan “libido” dari rakyat yang sudah memilihnya.

Jutaan rakyat Indonesia pastinya mahfum, kalau gerakan revolusi mental pula dinisbatkan pada memon kali ini, saat menyambut tahun baru 2015. Dengan dalih, membudayakan kesederhanaan penyambutan awal tahun. Lalu, pemerintah misalnya menganjurkan kepada seluruh rakyatnya, agar tidak perlu datang dalam pergerumulan massa, berkumpul di satu titik membakar petasan dan kembang api. Tetapi cukup digantikan agenda itu dengan pengumpulan iuran tahun baru. Dalam konteks ini, pemerintah pun punya tempat untuk blusukan, berkumpul bersama rakyatnya. Bahkan seharusnya tidak perlu sungkan ikut terlibat mengumpulkan uang receh dari uang yang direncanakan untuk membeli kembang api. Kemudian, dana yang sudah terkumpul, sekiranya dibagikan kepada pengemis, anak jalanan, sampai pada anak yang putus sekolah karena uang mereka tidak cukup untuk biaya pendidikan.

Di sinilah tempatnya kita untuk menagih konsistensi pemerintah, saat mengatakan pengurangan subsidi BBM, adalah langkan mengalihkan anggaran Negara dari sektor konsumtif ke sektor produktif. Tak pelak untuk mengingkari, kalau sejatinya perayaan tahun baru dengan hura-hura petasan dan kembang api, juga bagian dari tindakan konsumtif. Jadi, kalau hendak diproduktifkan penyambutan tahun baru, pemerintah harus memiliki terobosan pula untuk menindaklanjutinya.

Budaya Berkepribadian
Bangsa luar akan memandang dan menghargai bangsa Indonesia, jika berani mempertahankan budaya otentiknya. Oleh karena itu, menolak kebiasaan “barat” yang hobinya melestarikan “banjir bandang” kesenangan, selera dan gaya hidup dalam setiap kali agenda penyambutan awal tahun. Tidak terlepas sebagai bagian dari gerakan revolusi mental untuk mempertahankan kedaulatatan budaya kita sendiri.

Kalau saja pergantian tahun diprogramkan, sebagai gerakan pengumpulan dana sejuta ummat. Sudah pasti bangsa luar akan berdecak kagum pada kearifan budaya timur, yang memang sisi humanisnya sudah lama mengakar dalam jiwa bangsa kita yang terdri dari berbagi macam suku dan etnik.

Demi mewujudkan cita-cita tersebut, momentum tahun baru harus diarahkan untuk kembali membangun identitas bangsa menuju budaya yag berkepribadian dan beradab. Pemerintah pusat hingga jajarannya ke bawah, harus mendengar panggilan sejarah ini.*


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas
Muat Harian Fajar 27 Desember 2014

Sumber Gambar: 4.bp.blogspot.com







[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors