Jejak Kisah Seorang Ibu (Refleksi Mother’s Day)




Kita bisa menjadi celaka, durhaka, bahkan dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Andaikata hanya 22 Desember, pada hari itu-itu saja dijadikan sebagai hari untuk mengenang jasa dan pengorbanan seorang Ibu. Ibu yang telah melahirkan kita sebagai “anak” yang pada akhirnya mampu menatap luas dan agungnya cakrawala dunia.

Pun demikian adanya, mengenang hari Ibu sebagai penghargaan sosok perempuan yang telah melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan, lalu 22 Desember lagi-lagi dijadikan sebagai hari Ibu, rasa-rasanya tidak sebanding dengan pengorbanan titisan dari bini Nabi Adam itu.

Jejak Kisah

Maka melalui tulisan ini, kepada para Pembaca budiman, izinkan saya mendedah jejak kisah seorang Ibu. Perihal suka-dukanya bersama dengan sosok Ibu. Dan selanjutnya, titik berat tulisan ini diarahkan pada dua tujuan intisari: Pertama, tulisan ini kutujukan kepada Ibu saya yang dengan perkasanya telah menantang “kerasnya” kehidupan dalam membesarkan kami bersama. Kedua, semoga tulisan ini memberikan pesan “otentik” bagi saya pribadi dan kepada pembaca semuanya.

Begini ceritanya: sejak saya masih berumur 1 (satu) tahun, dalam bilik-bilik keluarga, Ayah-Ibu, dengan sangat “terpaksa” harus menjadi yatim, sebab Ayah saya memilih mengakhiri hidupnya dengan tragis. Ayah saya meninggal dengan cara bunuh diri, meneguk racun di sebuah “rumah persawahan” milik kami sekeluarga.

Saya, Ibu, dan tiga saudara adik-kakak saya ditinggalkan dalam keadaan tidak lagi memiliki orang yang bisa menjadi penopang keluarga. Tetapi di luar itu semua, dalam keadaan kami empat bersaudara yang masih belum mengerti tentang “kematian”. Kami semua belum dewasa. Tampaknya, sosok Ibu yang “single parent” mampu menjungkirbalikan semua kecurigaan orang kebanyakan, jika kiranya “sosok perempuan” tiada mampu mengemban tanggung jawab dalam rangka membesarkan anak-anaknya.

Kala itu, ada banyak cibiran hingga tuduhan dari kerabat Ayah saya yang membuat, kadang Ibu saya menitihkan air mata karena dianggap “gagal” menjadi isteri yang baik untuk suaminya seorang. Ibu saya dicampakan oleh beberapa kerabat ayah saya. Sedangkan saya sendiri ber-empat bersaudara dibiarkan saja merasakan “sakitnya” tak memiliki seorang ayah.

Ibu saya memang tidak pernah tahu apa yang dimaksud sebagai “wanita karir”. Tetapi saya akan menempatkannya Dia sebagai wanita berkualifikasi “Ibu rumah tangga” yang baik, sekaligus “lakon” wanita karir, kepadanya berhak untuk dia sandang. Sebab mengapa? Ibu saya memang wanita yang adikodrati “lemah” dari segi fisik, tetapi pancaran sinar keemasan “mata anak-anaknya” Ia mampu menjadi “permata” untuk kami semua. Ia adalah gadis desa yang dibesarkan dari kehidupan yang hanya menyandarkan diri kepada alam, tepatnya menyandarkan sumber penghidupan hanya dari sektor pertanian saja.

Dialah ibu saya, yang sedari dulu hingga kini, juga adalah ayah saya. Yah.. pengganti ayah saya. Ia bisa menggarap lahan pertanian kami. Ia mendayung cangkul dalam menggarap kebun kami yang telah ditinggal oleh ayah, dari kami “empat bersaudara” harus menjadi yatim.

Dan inilah kebesaran Tuhan, “sungguh Dia tidak akan membebani kepada hamba-Nya manakala dia tidak dapat menanggungnya.” Dengan kesabaran serta keteguhan hati bukanlah waktu yang singkat, lalu kami semua bisa menjadi dewasa.

Dari hasil pertanianlah yang dengan sunguh-sungguh telah menguras leleh keringat seorang Ibu. Kami semua dari 4 (empat) bersaudara bisa menjadi dewasa, bisa mengecap bangku kuliah hingga akhirnya menyandang sarjana. Kalau sudah demikian, maka “kurang apa lagi” yang telah dilakukan oleh seorang Ibu. Ibu yang sebagai penyadang profesi rumah tangga, Ia mampu memasak makanan dengan hidangan lezat untuk anak-anaknya. Ibu yang sebagai “wanita karir” toh Ia sudah menunjukan kepada dunia, air hujan telah bercampur dengan leleh keringatnya, disaksikan oleh “bumi” yang tiap hari digarapnya kalau Ia adalah wanita “pekerja keras” yang sangat jauh berbeda dengan pekerja wanita kantoran.

Bahkan kalau ia mau diegalari sebagai “wanita aktifis” pun saya berani menyanggupi untuk menobatkannya memang dia adalah “wanita akitifis”. Di dunia ini, mana ada wanita, pun kalau ada, mungkin hanya bisa dihitung lima jari temali, dalam kondisi “single parent” Ia menekuni profesi “Petani”.

Lalu, Ia mendermakan bakti untuk anak-anaknya. Semuanya harus menyandang gelar sarjana. Memang dia tidak turun ke jalan meneriakan perlawanan atas sebuah “ketertindasan” bagi sang papa, tetapi dia telah melahirkan dan membesarkan anak-anak yang harus bersikap “kritis” dikala sang pengemban amanah “lupa” akan janjinya.

Hari Ibu

Cerita singkat di atas yang dinukil sendiri dari pengalaman hidup saya bersama dengan seorang ibu yang single parent, terpancar hikmat di atas hikmat. Bahwa kepergiaan seorang ayah, selamanya dari dunia., telah dijadikan “cambuk kenangan” oleh Ibu saya. Suatu waktu Ibu saya pernah berucap: “anakku, semuanya harus bersekolah agar tidak mengikuti tindakan Ayahnya, yang terlalu gampang mengakhiri hidup hanya karena persoalan sepele”

Dan ibu saya benar, bukan berarti karena Ayah saya cepat dijemput oleh Yang Maha Kuasa, lalu kami semua bisa mengecap bangku kuliah. Pesan otentik dari semua itu, hargailah dan sayangi Ibumu lebih dari semuanya. Sebab tiada hari yang luput dari peran seorang Ibu. Mulai anda berada di dalam kandungan, dilahirkan hingga dibesarkan olehnya, semua waktu, fisik, dan tenaga hanya dikorbankan semata-mata kepada anaknya.

Maka jadikanlah semua harimu adalah hari Ibu, hari untuk berbakti selama-lamanya; kepadanya. Dialah wanita yang tidak hanya “menggerakkan” dunia kepada “kemerdekaan”. Tetapi Dia telah memerdekakan kepada semua anak-anak yang saban waktu akan menjadi dewasa. Dia telah memberikan hakmu untuk lahir melihat “cahaya dunia” walau kadung maut bisa-bisa mengancamnya. Dia pula-lah yang rela menahan perut keroncongan, asal anak-anaknya bisa tertawa, bahagia dan tersenyum di hadapannya.

Derita kepiluan, lelehan air mata dan keringatnya. Lalu dengan sekeras apapun kita mencoba untuk membalas jasa-jasa dan pengorbanannya, sungguh tiadalah sebanding dengan apa yang pernah dilakukannnya kepada kita semua. Pada 22 Desember hanyalah pemantik dan sepenggal kisah, jika semua hari dan pada hari-hari selanjutnya, dalam keadaan apapun sangat wajar, amal perbuatan kita diberikan semua, kepada Ibu kita. *Mari menyayangi, mencintai, dan mendermakan bakti kepada ibu kita, Selamat Hari Ibu.* 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
[Read More...]


Ibuku, Pahlawanku (Refleksi Mother’s Day)



Saya tidak sepakat, jika hanya karena persoalan keterlibatan perempuan dalam merebut kemerdekaan di tangan penjajah melalui Kongres Perempuan Indonesia I (yang pertama) 22 s/d 25 Desember 1928 di Yogyakarta. Lalu momentum itu dijadikan sebagai cikal bakal lahirnya hari ibu setiap tanggal 22 Desember. Sebab, lebih dari itu semua lebih pantaslah menjadikan semua “hari” adalah hari bagi kita semua untuk membalas jasa-jasa yang telah dikorbankan seorang ibu, sehingganya kita dapat menyaksikan sekaligus merasakan besarnya kuasa Tuhan di dunia ini.

Bagi saya, adikodrati seorang wanita yang menitiskan kepadanya sosok “keibuan” dengan mengaca pada kongres perempuan pertama. Kemudian menobatkannya sebagai pahlawan kemerdekaan, itu terlalu “kecil” sikap kita untuk menghargai seorang ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan kita dengan segala daya upayanya.

Pahlawanku

Maka dari itu, melalui tulisan ini kepada para pembaca harian Gorontalo Post, izinkan saya untuk menceritakan sepenggal kisah pribadi bersama dengan seorang ibu, sehingga kepadanya pantas sekali kujadikan sebagai pahlawan dalam setiap jejak kisah saya.

Singkatnya, begini ceritanya: saya turut merasakan betapa perihnya perjalanan hidup ibu saya dalam membesarkan kami empat bersaudara. Sebabnya adalah lantaran saya dan adik-kakak, hanya Ibulah harus menjadi penopang satu-satunya dalam keluarga.

Andaikata Ayah saya meninggal dalam keadaan yang lazim. Maka boleh saja tantangan yang harus dilalui oleh ibu saya dalam mengantarkan kami semua menjadi dewasa tidak terlalu berat. Namun ujian-Nya sungguh maha berat, ayah saya meninggal dengan cara tragis, ia meneguk racun di sebuah rumah persawahan milik kami sekeluarga.

Dan karena peristiwa tragis itulah, sehingga akhirnya ibu saya, selain kadang menyesali kematian ayahku, ia juga mendapat cibiran dari beberapa kerabat ayahku yang “meninggal” konon karena ibu saya menjadi penyebabnya. Sungguh kasihan ia, ibuku tersayang, menerima segala tuduhan kalau dia dianggap gagal total menjadi istri yang baik untuk suaminya.

Kadang kutatap bola mata ibu saya kala itu, ketika selalu saja ada yang menyalahkannya. Deengan menahan rasa sakit, pedih, perih, hati tercabik-cabik, bola matanya hanya berkaca-kaca, tidak ingin memperlihatkan kepada kami kalau sesungguhnya dia sedang dilanda duka mendalam.

Tetapi harus kuakui pada konteks inilah, saya menyatakan ibuku, adalah pahlawanku. Segala caci maki yang dituduhkan kepadanya. Dia jadikan cambuk untuk menjalani hidup lebih dari semuanya, yang orang selalu ramalkan.

Dia benar-benar menggantikan posisi ayahku, dia menjadi petani. Tak mau ia berlarut-larut dalam kesedihan, sesadar-sedarnya ia menyadari kalau air mata tidaklah mampu membesarkan anak-anaknya.

Tak ada gunanya selalu bersedih, semua ketetapan Tuhan harus diterima oleh hamba-Nya, demikian pesan yang selalu terngiang dari ibu saya. Selain menjalani kebiasaan ibu rumah tangga kebanyakan, berada di depan perapian untuk menanak nasi dan meramu beberapa hidagan lezat untuk anaknya, ia pula yang menjadi penggarap dari lahan pertanian yang telah ditinggalkan oleh ayah saya. Ia mendayung cangkul untuk merawat seluruh tanaman pertanian milik kami sekeluarga, sebab itulah satu-satunya sumber kehidupan keluarganya.

Lagi dan lagi saya harus menyatakan, dia; ibuku adalah pahlawanku. Umurnya yang kian hari sudah senja adalah saksi semenjana kalau cucur keringatnya tiap hari meleleh demi permata jiwanya. Walau dia wanita, yang seharusnya kulit dan badannya menjadi lembut, tetapi karena “kerja keras” menjadi penggarap kebun, perawakan tangannya sudah berotot seperti laki-laki.

Maka dari itu, kalau saya ditanya, adakah sosok manusia yang engkau cintai selain dirimu, lebih dari dirimu? Maka tak tangung-tanggung untuk kujawab, dialah ibuku. Ibu yang sudah kuanggap tuntas dirinya, memilih untuk menjadi single parent selamanya, demi anak-anaknya semata.

Bukan sebuah keberkahan yang harus menjadi kata syukur, karena ayahku meninggal, lalu ibuku “tersugesti” untuk menamatkan semua anak-anaknya di perguruan tinggi (bahkan tekadnya adalah semua anaknya harus kuliah diperguruan tinggi negeri). Semua niat baik itu sungguh menjadi makbul. Ibuku beralasan, semua anak-anaknya harus menempuh sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, agar anak-anaknya jangan mengikuti tindakan ayahnya yang terlalu gampang mengakhiri hidup hanya karena persoalan sepeleh.

Memang alasan itu terkesan tidak masuk akal. Tetapi bagi saya, ibuku adalah pembelajar ulung dari masa lalu. Ia harus menggenggam dunia demi anak-anaknya, demi kebesaran jiwa anak-anaknya. Agar kelak menjadi anak yang bisa mandiri, saling-mengasihi, dan bertanggung jawab untuk keluarga. Demikianlah pesan yang selalu diulang-ulang untuk anaknya, sehingga walau ibuku tidak sempat menamatkn sekolah dasar, pun di dalam diri, denyut nadi, jantung dan darahnya mengalir kearifan seorang Filsuf yang selalu mencipta asa untuk anak-anaknya.

Hari Ibu

Dari sepenggal kisah yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berkesimpulan kuat, untuk diri saya, untuk pembaca, kita semua. Semua hari, detik, menit, jam, bulan, dan tahun dalam segala hela nafas, itu semua menjadi milik ibu. Bahwa semua waktu adalah masa untuk membalas jasa-jasanya, kendati balasan itu pastinya tidak akan sebanding dengan apa yang pernah dilakukannya kepada kita.

Ibu adalah pahlawan perkasa, tangguh, sehingga ia bisa melahirkan kita dari masa-masa sulitnya, karena dengan pengorbanannya walau kdaung maut menjadi ancamannya, akhirnya kita bisa mengecap “cahaya kehidupan” di dunia. Lagi-lagi karena sikap kepahlawanan dia yang memantaskan ‘generasi” harapan di masa-masa selanjutnya.

Segala kepedihan dan kepiluan yang telah dirasakan oleh ibu seorang. Dan segala senyum manisnya. Di sanalah membunca “ruah rasa”, menyemai yang bernama cinta dan kasih sayang.

Ajal boleh menjemput siapapun, tidak tanggung-tanggung, tetapi lakukanlah yang terbaik untuk ibu kita selagi ia masih hidup. Tak ada waktu untuk mengatakan sudah terlambat, sebab waktu berbakti dan mengabdi kepada seorang ibu selalu terbuka selagi matahari tidak pernah terbenam di tengah langit. Wahai dikau, Ibu…! Doa sapu jagat akan selalu menyertaimu. Selamat hari ibu.*
 
 
Artikel ini Juga Muat di Harian Gorontalo Post, 22 Desember 2015
Damang Averroes Al-Khawarizmi
 
 
[Read More...]


Mengapa Harus Ibu? (Refleksi Mother’s Day)



Nama lengkapnya Mabah bin Budzkhasyan bin Mousilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Sahrk Al-Isfahani. Lahir di Persia dan Ia lebih dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah dan digelari dengan Salman Al-Khair.

Al-kisah, sebuah situasi yang amat getir sedang melanda Salman Al-Farisi. Dalam keadaan drinya yang papa ternyata ibunya “sangat berkeinginan” naik haji. Terlebih-lebih lagi bukan hanya uang yang tidak dipunya, tetapi ibu yang hendak menunaikan haji di tanah suci itu sudah dalam keadaan sekarat, sakit, tiada ia lagi mampu berjalan.

Namun kemudian Salman Al-Farisi mengandalkan ototnya yang kuat. Ia mengantar sang ibu naik haji dengan cara menggendongnya, ia melintasi sengatnya panas di atas gurun pasir.

Singkat kata singkat cerita, ketika akhirnya Salman Al-Farisi dan ibunya sampai di kota Mekah, dengan wajah sumringah, masih dilanda kelelahan, tiba-tiba ia bertemu dengan rasululullah. Alangkah bahagianya sang anak beserta ibunya itu, ketika mereka bertemu dengan utusan Allah yang sangat mereka cintai dan mereka selalu rindukan.

Hingga terjadilah percakapan antara Salman Al-Farisi dengan Rasulullah. Sang anak bertanya kepada Rasul: “wahai Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya, saya menggendong ibu saya, dipundak saya sambil berjalan dari Madinah sampai kota Mekah untuk menunaikan niatnya beribadah haji”

Lalu denga seketika itu Rasulullah menangis. Rasul menjawab dengan suara tangis yang masih tersedu-sedu: “wahai saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar-benar anak sholeh, tetapi maaf, apapun yang engkau lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orag tuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu.”

Kendatipun demikian dalam sejarahnya, Rasulullah juga mengakui kalau Salman Al-Farisi adalah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT, tetapi perjuangan gigih dari sang anak penuh bakti itu. Lagi-lagi dalam pengakuan Rasulullah pula “sungguh perbuatannya tiadalah sebanding dengan jasa orang tuanya.”

Hari Ibu

Maka dalam konteks itu, merayakan hari ibu dalam momen 22 Desember pun rasanya tidak akan pantas dapat mewakili apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu untuk anak-anaknya. Mengapa kita tidak jadikan saja semua hari adalah hari untuk mendermakan bakti kepada ibu? Mengapa hanya sehari saja, kepadanya ia patut direnungi segala pengorbanannya. Tidak! semua hari, detik, jam, bulan dan tahun harus dijadikan cambuk untuk terus mencintai dan menyayangi ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita semua.

Bayangkan saja saat sosok ibu yang dengan kelemahan fisiknya. Ia kuat dengan segala daya upayanya; kita bisa lahir dari rahimnya yang juga harus ditanggung berbulan-bulan. Ia bisa menjadi tersenyum walau segala peluhnya telah habis, untuk melahirkan anak yang disayanginya. Dan tidak hanya itu, kadang pula ia tidak bisa tertidur karena menjaga anaknya dari “suara rintihan” hingga larut malam.

Dan kepadanyalah, dengan segala kelemahlembutan yang tersemat dalam dirinya. Natural seksual yang meniscayakan sebagai sunnatulloh, maka hanyalah sosok ibu yang bisa melahirkan. Pada titik itu, Tuhan telah mengangkat derajat wanita dalam titisannya sebagai “ibu” yang lebih “agung” dari pada laki-laki yang tidak bisa mengandung dan tidak bisa melahirkan.

Rasulullah SAW, junjungan kita semua tak salah pula menyampaikan risalah ketuhanan kepada ummatnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari No. 5971 dan Muslim No. 2548).

Betapa dahsyatnya sabda Rasulullah tersebut, hingga Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan: “bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah.”)

Pelita Harapan

Selain itu, terdapat pula sebuah misteri “kegaiban” Tuhan telah menghadirkan sosok ibu di muka bumi ini. Penting kiranya bagi kita semua menangkap pesan ketuhanan itu, ada apa sehingga sosio historisnya Nabi Adam as yang begitu gagah perkasa ditemani dengan wanita yang maha sempurna dengan kelemahlembutannya? Apakah makna dibalik itu semua sehingga Allah SWT menciptakan dua insan yang saling berkasih sayang, lalu diturunkan “kekuatannya”, dua manusia pertama itu dari generasi ke generasi?

Selemah-lemahnya nalar kita. Semua peristiwa itu menjadi tanda “rahman” dan “rahim-nya” Tuhan kepada Hamba-Nya. Andai tiada wanita, tiada ibu, siapalah yang bisa melunakan hati seorang lelaki, seorang ayah, jikalau dirinya selalu mendahulukan “perselisihan” ketimbang rasa untuk saling mengasihi bersama? Andaikata tiada Ibu yang dengan syahdunya meninabobohkan anak-anaknya yang saban hari akan menjadi pemegang “tongkat estafet” kepemimpinan di negeri ini, maka sanggupkah kita mengecap rasa kedamaian tanpa ajaran dan nilai kasih sayang yang telah dititiskan kepada oleh sang ibu?

Bilik-bilik keluarga, rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan negara. Semuanya, menjadi damai sentosa, karena “wajah kedirian” Tuhan sungguh telah dianugerahkan kepada Ibu, dengan rasa cintanya kita semua bisa saling mengasihi.

Pun air mata, derita, luka, kepiluan, haru dan bahagia, semuanya rasa itu hadir dari sosok ibu untuk selalu optimis menyalakan “pelita harapan” bagi segenap ummat manusia. Mari bersyukur kepada Allah SWT, karenanya kita punya sosok ibu yang membuat hidup ini selalu menjadi bermakna. Selamat hari ibu. *
 
 
Artikel ini juga muat di koran Amanah Makassar, 21 Desember 2015
 
Damang Averroes Al-Khawarizmi

[Read More...]


Jalan Pintas, Menghinakan Kehormatan



Tanpa disadari sekelumit kehidupan dasawarsa ini, ada banyak orang yang lebih senang menggunakan jalan pintas, metode instan, dalam meraih kehormatan guna meningkatkan status sosialnya di hadapan publik. Meski kemudian tindakan-tindakan yang dilakukannya itu tidaklah sesuai dengan kapasitasnya.

Inilah penyakit “kronis” yang rata-rata melanda “generasi pelanjut” bangsa. Tak pernah merasakan harga diri, nama baik dan kehormatannya menjadi terhina kalau hanya menggunakan cara-cara instan, agar dirinya bisa menggunakan prestisenya dalam mengumpulkan “puing-puing” rupiah.

Jalan Pintas

Saya merasa gelisah ketika hendak mendobrak “tradisi haram” demikian. Tat kala merelakan harapan, cita-cita, impian, harus menjadi pupus. Dengan keluar dari kelaziman, tidak perlulah merengkuh kehormatan kalau harus melalui jalan pintas.

Ironisnya, setiap kali memberi peringatan kepada mereka yang hobinya memakai jalan pintas, sekonyong-konyong pembelaan datang dari mereka; “bukankah itu memang yang lazim dilakukan saat ini?” Dan rupa-rupanya mereka malah menenggelamkan diri dalam kubangan ‘sistem” yang sudah diketahuinya, dari awal sudah rusak.

Ada berapa banyak calon Sarjana, calon Magister, bahkan calon Doktor tak pernah peduli dengan proses, untuk belajar sendiri dalam rangka meningkatkan kapasitas keilmuannya. Lebih asyik menggunakan formulasi pamungkas, mencari orang yang bisa menyelesaikan tugas akhir mereka. Kerjanya, hanya tampil di ruang sidang ujian dengan sikap, “seolah-olah” sudah mengikuti semua alur penetian yang digariskan, hingga tersaji karyanya di hadap para penguji.

Sebuah kondisi yang mengisyaratkan bahwa calon Sarjana itu, calon Magister itu, calon Doktor itu, harus rela berlaku jujur, kalau kapasitasnya memang tidak bisa merengkuh gelar prestisius yang diharapkannya. Harus memilih mengundurkan diri. Dan itu lebih baik. Karena kejujurannya yang memang “tidak mampu” bisa menjaga kehormatannya.

Apa lacur yang terjadi. Mereka malah bangga. Sesuatu yang tidak sepantasnya menjadi teladan toh menjadi rujukan untuknya. Jangankan memburu gelar akademik yang sungguh prestisius itu dianggap “haram” untuk diperbuat. In casu pimpinan paling terhormat saja yang bernama “wakil rakyat” sudah terpentaskan segala “perbuatan” yang merusak kehormatannya, juga tidak berani berhenti di tengah jalan walau publik mendesaknya.

Mungkin kita krisis keteladanan. Ada benarnya. Lagian guru besar saja yang marah tat kalah tidak dipanggil sebagai Profesor, sulit menjadikannya sebagai sosok teladan. Banyak guru besar tetapi tak ada bedanya dengan calon-calon pemburu kehormatan tadi, juga tak punya kapasitas untuk menelorkan “buah karya” terbaru. Tetapi karena berburu tunjangan, pada akhirnya memaksakan diri menyuruh orang lain menuliskan karya-karya inovatif. Lalu, diklaim “buah karya” itu sebagai miliknya, pribadi. Ironis!

Menghinakan Kehormatan

Sungguh tak sepadan dengan tuntutan yang selayaknya, terwakilkan dalam pertahanan diri, selalu dan selalu menjaga kehormatan dan nama baik. Acapkali dilanda sifat menggebu-gebu melawan terhadap seorang yang datang secara tiba, menuduhkan suatu perbuatan (meskipun itu benar). Lalu, memperoteksinya dengan subjektifitas; “orang itu telah merusak nama baik dan kehormatan anda.”

Kalau orang lain menghinakannya, cepatlah ia bersikap. Tetapi Ia lupa bersikap kalau kehormatannya itu menjadi rusak, karena alih-alih berburuh”kehormatan absurd” yang tidak disanggupi oleh kapasitasnya. Tidak pernah menjadi malu, kalau “kehormatan” yang sudah diburu berada dalam genggamannya, walau menunjukan “kapabilitasnya” tiadalah Ia mampu.

Pada intinya, memang anda harus kehilangan harapan, kehilangan cita-cita. Manakala berniat sungguh-sungguh mengembalikan kehormatan karena kapasitas yang dimiliki tidak mumpuni.

Anda tidak perlu meraih Sarjana, Magister, Doktor, kalau merasa memang tidak pantas. Tidak perlu dipaksakan. Silahkan melepaskan semua harapan itu kalau harus melalui jalan pintas. Harga diri anda akan terenggut, kehormatan anda akan menjadi jatuh dititik nadir kalau tetap kukuh bertahan pada “semunya” kehormatan itu.

Lalu diluar sikap kerelaan itu, mengembalikan harkat dan martabat anda, kendati telah melepaskan semua atribut kehormatan yang absurd. Anda tidak perlu putus asa. Binalah, didiklah diri anda dalam sebuah proses! Silahkan meningkatkan kemampuan diri secara perlahan untuk meraih kehormatan yang selayaknya untuk direngkuh.

Kalau anda merasa sebagai Pengajar, Guru, Dosen, yang pada sesungguhnya telah melalui jalan pintas sehingga tahta kehormatan justru membuatmu menjadi terhina. Saatnya berani mengundurkan diri dari profesi bermartabat itu. Tak perlu takut kehilangan kehormatan, tinggalkan saja. Sebab buat apa berlama-lama kalau situasi demikian justru membuat kehormatanmu menjadi terhina.

Dan pada akhirnya, inilah juga yang harus menjadi pegangan. Kalau tidak mau menjadikannya sebagai “pegangan”, cukup menjadi peringatan dini bagi diri anda. Buat apa kukuh memaksakan diri menjadi Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah dalam perhelatan “demokrasi electoral” akhir tahun ini, kalau sudah pernah divonis sebagai “terpidana korupsi” dan publik sebagai rakyat pemilih sudah pada mengetahuinya.

Dimana kehormatan dan nama baik yang selalu anda pertahankan selama ini? Kenapa justru anda sendiri yang merusak pribadi dan nama baikmu? Kemanakah “muka malu” anda disimpan sebagai mantan “perampok” uang rakyat, sehingga tetap merasa berbangga diri disaksikan di bilik-bilik suara?

Anda mau terhormat, tidak mempermalukan diri anda , semua tergantung dari sikap anda untuk menghargai proses. Ingat! Tradisi instan dengan motif berburu kekuasaan semata, sama saja menghinakan kehormatan dan nama baik anda.* 
Sumber Gambar: wongalus.files.wordpress.com

[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors