Kamis, 05 Maret 2015

Lonceng Kematian Hukum dari Timur (Refleksi Milad Fakultas Hukum Unhas ke-63)

John F Keneddy pernah berkata “victor has a thousand fathers, but defeat is an orphan”----kemenangan itu mempunyai seribu ayah, tetapi kekalahan adalah yatim piatu.

Keluhan Kennedy demikian tat kala ditinggalkan oleh semua konstituennya saat terseret dalam kasus perselingkuhan. Nampaknya relevan dengan perasaan yang mewakili Abraham Samad (AS) saat ini. Ada perasaan ditinggalkan, dikutuk, dan dijauhi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan almamaternya sendiri yang dulu “mengelu-elukannya” pun tutup mulut dan tutup mata atas “kriminalisasi” tak wajar yang melandanya.

Rasanya tak pantas, andai saja pepatah: panas setahun dihapuskan oleh rinai hujan sehari, disematkan pada AS. AS begitu disanjung dan mendapat acungan jempol kala berani menyeret sejumlah koruptor menuju gedung prodeo anti rasuah. Ada ketua umum partai yang tak bisa berkutik saat terbukti semua perbuatan korupsinya di pengadilan. Ada eks pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang pernah berteriak; “potong tangan koruptor” akhirnya petinggi MK ini jatuh pula dalam lubang korupsi.

Semuanya harus diakui ini atas kinerja KPK di bawah keberanian sang putra asal Sulawesi Selatan itu. Dan kini apa yang terjadi? Kampus tempat dimana AS pernah dibina dan di didik, juris merah yang pernah “membanggakannya” semuanya pada berpangku tangan, tak ada memberi “support” kepadanya.

Entahlah, saya tidak bisa menembus “kuatnya dinding” suasana kebatinan para petinggi kampus merah; kenapa mereka?

Sepertinya mereka sedang “dikunci mulutnya”, “diikat kakinya” agar tidak dapat berteriak dan tidak dapat turun ke jalan untuk memberikan “perlawanan” atas kedigdayaan penguasa yang telah meruntuhkan wibawa KPK. Dan parahnya lagi, ada fakta terkuak di depan mata, terjadi konspirasi penguasa yang “bermain” di belakang layar hingga dapat “menendang” pendekar anti korupsi AS ke kursi pesakitan.

Ataukah, mungkin saya salah. Tolong diluruskan andai saya salah dan dianggap “memfitnah” kalau menaruh dugaan yang keterlaluan. Oleh karena beberapa petinggi di kampus, mereka “dekat” dengan kekuasaan, dekat dengan kepolisian, bahkan tak kurang ada yang sering menjadi saksi ahli terhadap terdakwa pesakitan korupsi. Lalu mereka “terpaksa” memilih jalan aman. Meraka pada memilih “diam” terhadap “kriminalisasi” pendekar anti korupsi itu. Wajarlah mereka bersikap seperti itu. Tak perlulah kita keget. Bukankah “sikap diam” adalah selemah-lemahnya iman?

Lonceng Kematian
Jebakan ini harus diakui, ketika kasus kejahatan masa lalu AS hendak dicari-cari, dan mencuatlah kasus pemalsuan dokumen Kartu keluarga, KTP, tepatnya pemalsuan data di atas akta otentik, yang dapat mengakhiri masa kepemimpinannya di bawah bendera merah putih “bersihkan Indonesia dari laku para koruptor”.

Hingga tiba pada suatu hari, saya tidak dapat berkata apa-apa, ketika teman-teman dari berbagai kampus Perguruan Tinggi luar Makassar, seperti Unversitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Andalas. Dari beberapa mahasiswa dan alumninya bertanya ke saya. Mulai via Sms, BBM, FB, hingga E-mail, satu persatu nada pertanyaan mereka sama; kenapa Unhas tidak turun ke jalan memberi respon atas pelemahan KPK yang terjadi akhir-akhir ini? Bukankah AS berasal dari sana, yang nyata-nyata telah dihancurkan kredibilitasnya?

Rasa kecewa mendalam menghujani jantung hingga berhenti berdetak, nadi berhenti berdenyut. Dari kejauhan dengan mencoba berkali-kali menatap; lambang perkasa ayam jantan yang tertancap kokoh, sepertinya ayam jantan itu telah menjadi “bebek” yang tak kuasa lagi menunjukan tajinya.

Sumpah serapah anak manusia “breok” timur itu, kini menemui janji untuk mewakafkan dirinya untuk Indonesia. Satu orang pewarta kebaikan pastinya akan kalah oleh sepuluh, seratus, hingga seribu tangan-tangan kejahatan. Kepalsuan yang seringkali diulang niscaya akan abadi, dan terbuka seolah-olah menjadi kebenaran. Sementara sifat asli yang gampang dilupakan, pastinya akan tercederai sebagai wajah buruk rupa bernama kejahatan. Maka di hari milad juris merah (FH/ Fakultas Hukum Unhas) yang jatuh tempo pada 3 Maret 2015 kemarin, mestinya milad ini diperingati sebagai refleksi atas “lonceng kematian” hukum dari timur. Lonceng kematian untuk keadilan seantero nusantara.

Dari tanah kelahiran, bumi dimana dipijak, bumi dimana membesarkan kita semua. Kini wajah-wajah keadilan yang sedang berduka, meringkih sakit, dan berurai air mata. “Merah” kita telah ditunaikan oleh mereka yang pada dekat dengan istana. Ada beberapa dosen dan Guru Besar dari UGM, UI, dan Unas telah membawa misi suci dan keberanian itu. Mereka berani melawan kelaliman koruptor dan penguasa, walau berada dalam ancaman atas “kejinya” hukum yang bernama “kriminalisasi”.

Mutasi Isu
Disaat yang sama, entah disengaja atau tidak, penetapan status hukum tersangka AS lalu hendak disangkutpatkan dengan tanah kelahiran dan tanah tempatnya pernah menimba ilmu. Satu kesatuan demikian sepertinya mengalami “pembiasan”.

Kini wajah tanah kelahiran dan bumi pendidikan yang pernah membesarkan namanya “disibukkan” dengan peristiwa lain, yang tak kalah urgen untuk diperhatikan. Bahwa ini menyangkut rasa aman warga Makassar dari aksi para geng motor. Rasa ketakutan dari segala bentuk kriminal; pencurian, jambret, hingga pada pembunuhan.

Jika pun ini bentuk mutasi isu. Saya tidak berharap demikian ceritanya. Semoga tidak. Oleh karena sungguh naïf dan kejilah perbuatan demikian andai saja terjadi. Kalau hanya untuk mengurangi popularitas ketokohan AS, hanya untuk menekan respon warga Sul-Sel kepada AS, lalu diciptakan terror geng motor. Dan sejatinya warga sendiri juga yang akan dikorbankan.

Pemberitaan atas respon berbagai LSM, lembaga anti korupsi terhadap AS, semua sedang ditutup rapat. Kita lebih banyak disibukkan dengan satu-persatu berita atas kelihaian dan kehebatan para begal geng motor. Mulai dari tempat penjualan (market), warkop, dan para pengguna jalan, tak luput dari pemberitaan bahwa pada sesungguhnya mereka telah menjadi korban atas ulah para geng motor.

Ada apa dibalik semua ini? Mengapa para aparat penegak hukum seperti tak memiliki kekuatan untuk melawan para geng motor, yang hanya didominasi dari kelompok anak nakal (remaja)? Tak adakah bedil peluru untuk senjata api bagi para aparat penegak hukum itu? Hingga hanya bisa menangkap seorang guru besar yang terduga sebagai “pecandu narkotik”. Hingga hanya bisa “memanggil paksa” petinggi KPK yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Semua warga Makassar, warga Sul-Sel, rakyat Indonesia, pemerintah, aparat penegak hukum sudah saatnya bertemu dalam satu meja. Demi mengembalikan hukum pada asalinya; equal justice under law.

Sebagai alumni juris merah rasanya kurang jika saya harus lupa untuk mengucapkan; Selamat milad FH Unhas yang ke-63, mari terus menggelorakan panji-panji keadilan untuk Indonesia. *



Artikel Ini Juga Muat di harian Tribun Timur Makassar, 7  Maret 2015
Sumber Gambar: balairungpress.com

1 komentar:

  1. Tulisan yang menarik, terutama pada bagian mutasi isu. Sepertinya benar......

    BalasHapus