Sabtu, 01 Januari 2022

Menantang Seleksi Ulang KPU - Bawaslu


SEJAK pertama kali diumumkan nama-nama tim seleksi (timsel) penyelenggara pemilu (KPU RI dan Bawaslu RI) oleh Presiden melalui Surat Keputusan Nomor 120/P 2021. Beberapa kelompok civil society menolaknya dengan keras, karena selain keanggotaan Timsel tersebut menyalahi unsur keanggotaan yang berasal dari pemerintah yang berjumlah 4 orang (seharusnya hanya 3 orang). Juga independensi ketuanya dipertanyakan, karena dahulu pernah menjadi bagian dari tim sukses Jokowi-Maruf Amin di Pilpres 2019.

Gelagat timsel KPU-Bawaslu kala itu sudah mulai tercium boroknya. Kendatipun, Juri Ardiantoro sebagai ketua Timsel menampiknya dengan menyatakan “seluruh anggota timsel berkomitmen untuk independen, profesional, dan terbuka/transparan."

Objektivitas Timsel

Janji Juri Ardiantoro yang mengatasnamakan semua keanggotaan timsel, ternyata bertolak belakang dengan kondisi realnya. Terbukti, 606 peserta berguguran menyisakan hasil yang tidak objektif dan tidak terbuka. Tidak objektif, karena 606 peserta yang berguguran, bukan diukur secara mandiri berdasarkan perolehan nilai ujian pengetahuan berbasis Computer Assisted Test (CAT). Tetapi didasarkan pada akumulasi nilai CAT, makalah kepemiluan, dan tes psikologi dasar. Dua model ujian seleksi tersebut (makalah kepemiluan dan tes psikologi dasar) dapat dikatakan cenderung sebagai penilaian subjektivitas.

Ukuran soal bagus tidaknya makalah kepemiluan para peserta, lebih dominan pada unsur selera saja. Begitupun dengan tes psikologi dasar, sebagai deteksi kecerdasan dan kepribadian, berada dalam tingkat probabilitas, sehingga sulit dilepaskan unsur subjektivitasnya.

Dengan menggabungkan nilai dari ujian CAT, makalah, dan psikologi dasar, sangat jauh dari usaha untuk menghasilkan seleksi calon penyelenggara pemilu yang objektif. Peserta dengan mudah didongkrak nilainya dari penilaian makalah yang tergantung dengan selera timsel, meskipun pada ujian CAT mendapatkan nilai yang rendah.

Tentu berbeda, seandainya timsel menggugurkan peserta dengan penilaian CAT secara mandiri. Dengan catatan, setelah peserta selesai mengerjakan seluruh soal, nilainya dapat langsung dilihat di layar komputer (faktanya tidak begitu). Penilaian CAT mandiri, sangat objektif, terukur pula tingkat pengetahuan para peserta berkenaan dengan kepemiluan, kepartaian, wawasan kebangsaan, dan tata negara. Kalau dengan mekanisme yang demikian berjalan, peserta yang berguguran pasti juga akan menerima nasibnya dengan lapang dada.

Tidak Terbuka

Selain timsel KPU-Bawaslu tidak menerapkan prinsip seleksi yang objektif. Fakta realnya juga mengabaikan penyelenggaraan seleksi secara terbuka. Penilaian timsel yang sudah menggunakan metode kumulatif, dari 654 peserta menjadi 48 orang yang dinyatakan lulus, terdiri dari 28 calon anggota KPU dan 20 calon anggota Bawaslu. Tidak satupun peserta yang mengetahui nilai dan peringkatnya, sehingga dinyatakan lulus atau tidak lulus.

Pengalaman seleksi KPU-Bawaslu Provinsi, Kabupaten, dan Kota selama ini. Para peserta yang sudah mengikuti tes CAT, selain dapat melihat nilainya masing-masing setelah selesai mengerjakan soal di layar komputer. Juga pada hari itu juga nilai para peserta ditempelkan pada papan pengumuman dari lokasi diselenggarakannya tes CAT. Nilai CAT para peserta juga diumumkan di media cetak lokal dan di media online.

Entah agenda dan kepentingan politik apa yang membebani para anggota Timsel KPU-Bawaslu, sehingga 654 calon anggota penyelenggara pemilu yang telah melalui proses ujian CAT. Hingga saat ini, publik pun tidak dapat mengakses dan membacanya nilainya secara langsung. Jika ada pihak-pihak yang menuding Timsel KPU-Bawaslu meloloskan peserta, karena pesanan kelompok elit politik tertentu. Jangan salahkan mereka, karena Timsel sendiri yang ingkar janji dan menyelenggarakan seleksi menyimpang dari prinsip objektif, transparan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Pemilu (Pasal 23).

Ulang Seleksi

Saat ini bagi timsel KPU-Bawaslu, tidak ada pilihan lain jika hendak mengembalikan kepercayaan publik terhadap perekrutan calon penyelenggara pemilu yang profesional, mandiri dan berintegritas. Yaitu seleksi harus diulang, dengan 654 peserta kembali mengikuti tes CAT. Berikut dengan metode pengguguran peserta, harus dengan penilaian CAT secara mandiri. Ini demi memenuhi ketaatan Timsel sebagaimana amanat Pasal 23 ayat 4 UU Pemilu, seleksi calon penyelenggara pemilu harus dilaksanakan secara objektif.

Desakan kepada Timsel, cukup membuka data nilai para peserta. Terhadap tuntutan tersebut, jauh dari harapan untuk mendapatkan calon penyelenggara yang kelulusannya memenuhi prinsip objektivitas. Bagaimana mau objektif, jika para peserta seleksi saja tidak bisa menyaksikan nilai CAT-nya kemarin, secara langsung di layar komputer, sebagai tempatnya mengerjakan soal-soal kepemiluan terkait.

Tuntutan agar timsel mengumumkan nilai para peserta, untuk saat ini justru akan membuka kecurigaan dan prasangka tindakan manipulatif. Demi menjaga nama baik keanggotaan timsel, siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan mengubah nilai dari para peserta, apalagi para peserta seleksi memang tidak mengetahui nilai CAT-nya.

Bersamaan dengan itu, jika timsel memang berani mengulang seleksi calon anggota KPU-Bawaslu. Tidak perlu kembali mengadakan ujian atau tes makalah kepemiluan berbasis komputer. Karena selain metode tes tersebut, aplikasi penggunaannya cenderung sembrono, juga petunjuk aplikasi penulisannya kacau balau. Penilaian makalah semacam ini, tidak masuk akal bagi sebelas anggota Timsel bisa memeriksa secara teliti makalah para peserta seleksi yang jumlahnya berasal dari 654 orang. Masuk akalnya, mungkin penilaian tes makalah tersebut, kemarin hanya diperiksa oleh asisten dari para anggota Timsel.

Catur sukses elektoral 2024, timsel KPU-Bawaslu harus gentleman mengakui kesalahannya. Mereka harus berani mengulang seleksi penyelenggara pemilu dari ujian CAT secara objektif dan terbuka. Demi mencari penyelenggara yang dapat dijamin independensinya, tidak terbebani dengan tekanan politik. Demi penyelenggara yang jujur dan adil, tidak gampang disuap untuk memanipulasi suara peserta pemilu.*


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Alumni PPs Hukum UMI Makassar

Sumber Gambar:
promediateknologi.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar