Peran Psikologi dalam Ranah Hukum By: Damang



Berikan aku penegak hukum yang jujur dengan peraturan yang buruk maka penegakan hukum itu akan berjalan dengan baik, namun sebaliknya dengan aturan hukum yang amat lengkap, kemudian penegaknya memiliki keperibadian yang tidak jujur, maka penegakan hukum itu tidak akan berjalan dari apa yang seharusnya (das sein).

Demikian secara singkat kita menemui pendapat Taverne yang banyak dikutip oleh beberapa penulis, terutama penulis yang mengkaji hukum sebagai pengamat (baca:bukan partisipan). Pernyataan Taverne setidaknya mengingatkan bahwa hukum yang diartikan secara normative, demikian amat dipengaruhi oleh kepribadian dari penegak hukum seperti polisi, jaksa, pengacara dan hakim.
Kepribadian (bedakan dengan krakter) yang dimiliki oleh penegak hukum yang bersumber dari dalam dirinya (subjektif), inilah yang menjadi sudut kajian dari pengkaji hukum ekseternal sebagai pengamat yang melihat pada berlaku atau tidak berlakunya aturan, dipatuhi atau tidaknya adalah tergantung dari faktor internal penegak hukum tersebut (idiosincracy of fact).
Sudut pandang yang mengkaji hukum sebagai pengamat dari faktor dapat melihat dari kacamata psikologi hukum. Psikologi akan melihat pada efek-efek yang muncul dari perilaku (behaviour) dalam mengikuti gerak langkah berjalannya suatu peraturan perundang-undangan. Tidak hanya melihat pada benar salahnya peraturan. Psikologi hukum akan memberikan alternatif tentang perlunya pembaharuan undang-undang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh kalangan psikologi akan menjadi argumentasi tertulis (brief) untuk memperkuatnya perlunya ada penyadaran terhadap penegak hukum. Faktor internal yang akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan sangat mendominasi. Disini hakim tidak dilihat sebagai mesin undang-undang yang akan mengkopi paste lembaran undang-undang. Factor psikologis yang berpengaruh diantaranya: kecerdasan hakim, kepribadian, jenis kelamin, dan pengalaman (Rahayu:2002).
Curt R. Bartol (psychology in American law:1983), psikologi hukum (legal psychology) perannya dalam ilmu hukum diantaranya: 1) psychology in law merupakan aplikasi praktis psikologi dalam lapangan ilmu hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata; 2) psychology and law merupakan riset psikolegal seperti penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim; 3) psychology of law merupakan riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.
Dipatuhi (obey) atau tidak (disobey) suatu aturan dalam hukum pidana, digunakan (use) atau tidak digunakan suatu aturan dalam hukum perdata. Psikologi hukum beranggapan bahwa hukum akan menjadi barang/benda mati jika para penegak hukum terpatok mati pada kumpulan undang-undang. Hal tersebut untuk menghindari hakim dalam menerapkan (bisa dibaca: menafsirkan) ketentuan undang-undang, maka dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman (nomor 4 tahun 2002), hakim harus melakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum yang hidup.
Ilmu hukum tidak menjadi barang baru, sekian lama telah mereduksi kehidupan dalam setiap kelompok partisipan hukum tidak menjadi otonom. Sekali lagi menjadi bukti/temuan bahwa memang disatu sisi ilmu hukum harus otonom dalam membaca pasal-pasal (baca:undang-undang), tetapi penerapan di pengadilan (psychology in court) hakim akan memperhatikan aspek psikologis tentang kejahatan (criminal psychology), perceraian, dan penetapan hak asuh anak (child custody).
Faktor Psikogis yang Mempengaruhi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Profesi hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara manapun. Di dalam diri hakim dipersonifikasikan berbagai simboll kearifan. Kode kehormatan hakim (Indonesia) memuat janji hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium nobile) ini dengan mengacu pada simbol-simbol: kartika, cakra, candra, sari, dan tirta. Cakra antara lain melambangkan kesungguhan mencari kebenaran dan keadilan dan berpegang teguh pada kepada keyakinan hati nurani, canra bermakna kebijaksanaan dan kewibawaan. Sari menunjukan keluhuran budi, sementara tirta adalah kejujuran, kemerdekaan, keikhlasan, dan ketabahan.
Falsafah yang indah tersebut, ditunjang dengan peraturan Undang-undang dan menempat hakim sebagai lembaga yang bersifat mandiri atau terpisah dari kekuasaan lainnya (Montesqieu dalam Jimli Asshidiqi, 2002) untuk menjadikan hakim netral sebagai lembaga judisial.
Hakim pada posisi pengemban hukum yang mulia dan cendikia, jelas bukan hanya ditempatkan sebagai abdi Undang-undang, tetapi juga adalah abdi kemanusiaan dalam lingkaran kebudayaan dan perubahan sosial yang terjadi di dalam struktur sosial (Saks and Kidd, 1986), oleh karena itu putusan hakim akan menjadi kajian dari penstudi hukum eksternal, yang dapat dimainkan oleh psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai penstudi atau pengamat hukum (bukan partisipan) melihat hukum dari kacamata psikologi. Hakim yang ditinjau dari kondisi psikologisnya, berarti keadaan jiwa atau mental yang mempengaruhi hakim dalam pembuatan putusan (decision making) atau melaksanakan kebijakan (policymaking) yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut Pontier (dalam Munir Fuadi, 2005 dan Achmad Ali 2008) bahwa mustahil penemuan hukum oleh hakim selalu bersifat perspektivistis tapi dia selalu bersifat subjektif, dalam hal ini oleh Cardozo (2006) membenarkan jika hakim dalam putusannya tidak semata-mata berdasarkan hukum, melainkan selalu merupakan kombinasi antara ramuan hukum dan ramuan nonhukum yang diramu di dapur pengadilan. Terjadinya diskriminasi (Donal Black dalam Friedman, 1994) atau Disparitas (Rahayu, 2000) dapat dikaji melalui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi hakim dalam menerapkan hukum dan menjatuhkan putusan di ruang persidangan. Disparitas bisa terjadi antara beberapa putusan yang berbeda dalam perkara yang sama pada situasi dan kondisi yang sama (Poernomo, 1998 dalam Rahayu, 2000). Salah satu unsur psikologis yang mempegaruhi terjadinya disparitas adalah pengalaman (Constanzo,2006:266), ”bahwa hakim yang melihat orang-orang yang dituduh pelbagai kejahatan yang mengerikan dari hari kehari, mereka semakin lama semakin keras dan kurang bersimpati kepada terdakwa.”
Faktor-faktor psikologis (Azwar, 1988: 17 – 30 dan Sobur, 2003) tersebut dapat dianalisis melalui struktur sikap (kognitif, afektif, dan perilaku) serta interaksi dengan komponen-komponen sikap yang membentuk sikap (pengalaman, media massa, kebudayaan, pendidikan dan faktor-faktor emosional). Di dalam struktur sikap dan pembentuk sikap tersebut erat kaitannya dengan faktor kecerdasan, usia, jenis kelamin, pengalaman dan kepribadian, yang akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan atau menerapkan hukum (Rahayu, 2000:113).
Disisi lain hakim cenderung bersikap konservatif (John kaplan, 1973 dalam Bartol 1983) dalam pencapaian keputusan. Menurut Bartol (1983: 250) hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor;
“There is little doubt that the decisional and policymaking activity of judge is related to certain features of their social background, educational expriences, and past political affiliation. Conservatism in legal matters is taught by law schools and is strongly reinforced by colleagues and in legal practice. Increasing age may also be an element in the conservative orientation, as most judge ere appointed or elected at advanced age.”
(Ada sedikit keraguan bahwa putusan dan aktivitas policymaking (pembuatan kebijakan) oleh hakim berkaitan dengan corak tertentu dari latar belakang sosial mereka, pengalaman pendidikan, dan afiliasi (keanggotaan) politik di masa lalu. Konservatisme dalam persoalan hukum diajarkan melalui sekolah hukum dan diperkuat oleh kolega-koleganya di dalam praktik hukum. Bertambahnya umur juga menjadi salah satu unsur dalam orientasi yang konservatif, kebanyakan hakim ditunjuk dan dipilih dengan mengedepankan umur.)
Dibawah ini dikemukakan beberapa hal dalam diri hakim yang berpengaruh dalam persidangan (Rahayu, 2003) antara lain:
a) Kemampuan berpikir logis
Kemampuan berpikir logis merupakan kemampuan kognitif (Azwar, 1988) yang dimiliki oleh hakim, yang akan melahirkan persepsi atau pernyataan dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang tertera di dalam putusan.
Kemampuan berpikir logis dipengaruhi oleh kecerdasan hakim yang diperoleh sejak menempuh pendidikan seperti kebiasaan melakukan penalaran hukum, merancang surat-surat pengadilan, dan analisis terhadap putusan pengadilan.
Dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir logis (Hans kelsen dalam Sidharta: 2006) terdiri atas penalaran hukum deduktif dan penalaran hukum induktif. Penalaran hukum deduktif yaitu hakim akan melihat suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum dalam suatu kesimpulan khusus berdasarkan pernyataan yang berlaku umum. Sebaliknya penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang berlaku umum (universal) dari rangkaian kejadian yang bersifat khusus (partikular).
Adapun penalaran yang lain yaitu penalaran abduktif dan penalaran evaluatif. Charlers Pierce (dalam Sobur: 2003, 209) mendefenisikan penalaran abduktif sebagai penalaran yang terjadi dalam merumuskan suatu hipotesis berdasarkan kemungkinan adanya korelasi antara dua peristiwa yang sebelumnya sudah diketahui. Sedangkan penalaran evaluatif yaitu penalaran yang didasarkan pada kemampuan berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan, dalam hal ini tidak menambah atau mengurangi gagasan, kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat: 1994).
b) Kepribadian
Dalam terminology kepribadian terdapat berbagai istilah, seperti motif , sifat dan tempramen, yang menunjukan kekhasan permanent pada perseorangan (Berry, et al., 1999: 141). Kepribadian merupakan organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalm individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik/khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Alport 1971 dalam Sobur, 2003, 300).
Hakim sebagai pribadi penegak hukum memilki kepribadian otoritarian (Rahayu: 2000) dan kepribadian demokratis (kepribadian berempati tinggi) yang memungkinkan berpengaruh dalam menjatuhkan putusan. Menurut Alteyemer (dalam Rahayu, 2000: 114-130), hakim yang menjatuhkan putusan dalam kaitannya dengan kepribadian hakim tidak terlepas dari pengaruh otoritas yang ada, cara berpikir konvensionalisme, kesetian pada otoritas (dalam Erich Fromm: 2004) dan agresi otoritarian (Krahe: 2005).
c) Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin, atau gender (dalam krahe: 2005) tampak dalam kajian menempatkan laki-laki memilki tingkat agresi tinggi, jika dibandingkan dengan perempuan. Salah satu citra yang melekat pada diri laki-laki “macho” (dalam Piliang, 2004), persepsi bahwa kekerasan itu lambang kejantanan, pandangan bahwa bahaya itu menggairahkan.
Sifat yang melekat dalam diri perempuan ”kelembutan” dan laki-laki dengan ”kekerasan”, akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Hakim tidak terlepas dari faktor ini, karena salah satu tugasnya adalah mengadili perkara dan menjatuhkan putusan. Thomton (dalam Rahayu, 2000: 129), meneliti kasus pemerkosaan, hasilnya menunjukan ada perbedaan beratnya putusan antara pria dan wanita, bahwa wanita memberi hukuman yang lebih berat dibanding pria.
d) Usia.
Psikologi perkembangan (pertumbuhan) memandang bahwa semakin tua usia seseorang semakin arif dalam menyikapi permasalahan. John Clause (dalam Bradbury: 1987) bahwa tahap kematangan hakim yaitu pada usia tua, dimana pendapatnya dapat diterima sebagai pesan-pesan yang bajik. Sehingga tak heran jika terkadang putusan hakim tua lebih berat dan terasa janggal, mungkin hakim melihat sebagai kasus yang mempunyai efek/dampak yang besar terhadap perbuatan dari siterdakwa.
e) Pengalaman.
Konsistensi hakim dalam menjalankan aturan tidak hanya dapat dilihat pada ruang pengadilan, tetapi juga pada tutur kata, sikap, pergaulan dan tingkah lakunya (Imanuel kant dalam Wulfgaf Friedman, 1990).
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sikap seorang (baca:hakim). Pertama, adanya akumulasi pengalaman dari tanggapan tipe yang sama. Seorang mungkin berinteraksi dengan pelbagai pihak yang mempunyai sikap yang sama terhadap suatu hal. Kedua, pengamatan terhadap sikap lain yang berbeda. Seorang dapat menentukan sikap pro atau anti terhadap gejala tertentu. Ketiga, pengalaman buruk atau baik yang pernah dilami. Keempat, hasil peniruan terhadap sikap pihak lain (baik secara sadar/counsciesnes atau tidak sadar/uncounsciesnes ).
Seberapa banyak hakim berpraktik dan belajar dari kesalahan serta mengacu pada hakim senior, merupakan pengalaman yang diperoleh dan akan berpengaruh terhadap berbagai kasus yang dihadapinya.



Note: ini bagian kecil yang saya ungkapkan, saya akan menguraikan nanti dilain kesempatan. Diantaranya: kekerasan dalam rumah tanggga dan frekuensi bunuh diri di Indonesia, opini public dalam pembentukan putusan hakim, kompetensi hak asuh anak, pidana mati di Indonesia, pertanggungjawaban pidana, respon masyarakat (opini public) terhadap tindak pidana terorisme.
[Read More...]


MALINGERING





Malingering merupakan perilaku yang disengaja untuk menciptakan dan menampilkan simptom fisik atau psikologis yang palsu atau sangat dilebih2kan. Individu selalu melakukannya untuk memperoleh keuntungan eksternal, yaitu:

1. Untuk menghindari situasi yang sulit atau berbahaya, menghindari tanggung jawab atau hukuman.
2. Memperoleh kompensasi, kamar atau tempat tinggal gratis, persediaan obat atau perlindungan dari polisi
3. Untuk membalas ketika pasien mengalami rasa bersalah atau penderitaan karena kehilangan finansial, menjalani hukuman legal, atau kehilangan pekerjaan.

Gangguan ini dimunculkan sendiri oleh penderita (volunteer) untuk tujuan memperoleh keuntungan sekunder (mis: lepas dari hukuman). Dalam hukum, ini seringkali ini terjadi pada tersangka, agar ia dinyatakan tidak bersalah dengan alasan kegilaan. Penderita mungkin benar2 mengalami kelainan organik, namun tidak sesuai dengan yang dikatakannya (dilebih2kan). Mis: seseorang yang terserempet mobil, mengalami sedikit luka di lengan. Namun ia mengatakan bahwa tangannya patah karena kejadian tersebut guna memperoleh ganti rugi yang besar dari pemilik mobil.
[Read More...]


Filsafat hukum, Diantara Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum (by damang)



Apa benar filsafat hukum itu ada?, sejauh manakah pentingnya sehingga diperlukan filsafat untuk melakukan penalaran terhadap ilmu hukum? Hukum berdasakan bahasa arab bersal dari kata hakama - Hikma - hikmatuun. Hikmah merupakan bagian dari arti filsafat yaitu philos dan Sophia. Sophia sendiri berarti (bijaksana, arif, hikmah, kewicaksanaan, dan kebijaksanaan). Dengan demikian tanpa ada filsafatpun dengan melihat arti terminologi hukum, di dalamnya sudah memiliki keterkaitan erat dengan filsafat. Walaupun tidak bisa dipungkiri, Yunani sebagai tempat lahirnya teori-teori yang orisinil, bagai lahan yang subur, tidak terlepas dari diskusi tentang etika dan hukum yang dipengaruhi oleh ide platonis dan Aristotelian.
Menurut Meuwissen (Sidharta:2007), terdapat tiga tataran teoritikal atas gejala hukum yakni ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Filsafat hukum menempati tataran tertinggi dan meresapi semua pengembanan hukum teoritikal dan pengembanan hukum praktis. Melalui teori hukum, yang menjelaskan (erklaren) bagian dari hukum yang normatif, empirikal dan heremeneutikal, serta berkutat juga dalam pengembanan hukum praktikal yang mempelajari makna dan struktur dari pembentuk hukum dan penemuan hukum, mewujudkan peralihannya kefilsafat hukum.
Filsafat hukum, mempertanyakan pembedaan antara hakikat pengembanan hukum teortikal dan pengembanan hukum praktis, dan pengembanan ilmu-ilmu empirik. Disamping hukum memiliki gejala empirik, juga memperlihatkan gejala-gejala normatif. Tidak ada pemisahan antara sein dengan sollen, karena filsafat hukum adalah bagian dari fakta sekaligus sebagai bagian dari kaidah. Filsafat hukum mempertanyakan, apa ilmu hukum itu?, apa yang dimaksud dengan menjelaskan, memahami, mengerti yang menjadi metode dari teori hukum?. Lebih jauh lagi filsafat hukum mempertanyakan yang tidak relevan bagi teori hukum seperti permasalahan keadilan, hubungan antara hukum dan etika
Filsafat hukum sebagai tataran tertinggi dalam melalukan abstraksi teoritikal atas gejal hukum, dalam kelompok ilmu praktis yang sama tuanya dengan ilmu kedokteran tidak terlepas dan terikat dari para penstudi hukum, baik penstudi hukum ekstenal maupun penstudi hukum internal.
Kelompk penstudi hukum eksternal, yaitu penstudi hukum yang bertindak sebagi pengamat (observer, toeschouer), yang memandang hukum dari kajian empirik murni melalui kajian sosiologi (kemudian disebut sosiologi hukum), politik (politik hukum), antropologi (kemudian disebut antropologi hukum), psikologi (kemudian disebut psikologi hukum). Para penstudi tersebut yang bertindak sebagai pengamat, adalah memandang hukum dari sudut empirik, sehingga tidak bisa disebut sebagai pendekatan hukum empirik, karena hukum bukan sebagai alat analisis. Lebih bagusnya kalau disebut sebagai ilmu empirik yang berobjekan hukum, ilmu tentang kenyataan yang mempelajari hukum (tatsachenwissenschaft atau seinwissenschaft).
Kelompok penstudi hukum internal adalah kelompok yang terlibat sebagai partisipan hukum (medespeler), terdiri atas dua bagian yang terbagi dalam kelompok pengembanan hukum praktis, dan pegembanan hukum teoritis. Kelompok pengembanan hukum praktis yakni, mereka yang terlibat di parlemen sebagiai fungsionaris hukum (baik sebagai eksekutif, yudikatif, legislatif), dan lembaga bantuan hukum. Sementara kelompok pengemban hukum teoritis yakni ilmuwan hukum, teoritisi hukum dan filsuf hukum.
Sociological jurisprudence bukan dipandang sebagai ilmu empirik yang berobjekan hukum, melainkan penstudi hukum yang berwajah ganda, sudut kajiannya, ada pada masyarakat (fakta) dan hukum (kaidah) secara timbal balik. Ia dapat dikatakan sebagai pengamat sekaligus sebagai partisipan. Sociological jurisprudence merupakan hasil sintesa dari sejarah hukum dan positivisme hukum.
Pokok bahasan filsafat hukum, tidak mungkin terlepas dari beberapa aliran yang turut menyertainya. Abad ke 18, muncul hukum modern, yang menyebabkan sangat kental dan kuat aliran hukum murni (Pure Law), oleh Hans Kelsen dan John Austin dengan Analytical Jurisprudence. Abad ke 19, di Amerika muncul realisme hukum, sementara di eropa muncul aliran hukum bebas (Freichtslere). Abad ke 20 sebagai era postmodern sebagai era kebangkitan realisme, dilanjutkan oleh gerakan studi hukum kritis (critical legal movement), adalah anak kandung sendiri dari postmodernisme.
Filsafat hukum tidak dapat dipisahkan sebagai embrio yang terlahirkan oleh filsafat murni. Dengan demikian lahirnya beberapa aliran dalam filsafat hukum tersebut, merupakan sumbangsi besar dari pencabangan utama filsafat, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang ada: yang ada dalam pikiran atau ide (kemudian disebut rasionalisme, idealisme), yang ada dalam kenyataan (empirisme), dan yang ada dalam kemungkinan (nihilisme). Epistemologi, ilmu tentang metode; baik dengan metode induktif, deduktif maupun abduktif (logika hukum, yang kemudian mewarnai dua sistem hukum di dunia, civi law dan common law). Aksiologi , yang mempelajari tentang estetika dan etika.
Kerangka dasar acuan yang menjadi pedoman dalam pengembanan filsafat hukum, sebagai pengembanan hukum teoritis, substansial terletak pada terminologi hukum penalaran (legal reasoning) dan penalaran hukum (law of reasoning)
Hukum penalaran dan penalaran hukum
Hukum penalaran adalah dalil yang digunakan dalam proses penalaran pada ilmu-ilmu secara umum. penalaran tersebut tidak terlepas dari tiga aspek penting dalam filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Tinjauan atas ketiga aspek tersebut “hukum” menjadi sisi nalar melalui beberapa model penalaran, yaitu: empirisme logis, empirisme analitis, rasionalisme kritis, dan konstruktivisme kritis.
Empirisme logis, aspek ontologisnya, yaitu pada posisi materialisme, Kajiannya pada relitas yang terobservasi secara inderawi dan dapat dipahami oleh rasio (bukan permasalahan metafisis). Aspek epistemologinya yakni empirisme yang menggunakan metode induktif dan deduktif sekaligus rasional. Aspek aksiologinya, teologisme etis dikuti oleh deontologisme.
Empirisme analitis, aspek ontologisnya, yaitu materialisme (realitas yang terobservasi secara inderawi dan dapat dipahami oleh rasio. Aspek epistemologisnya, yakni empirisme (induktif) diikuti secara simultan oleh rasionalisme (deduktif) dan empirisme (induktif). Aspek aksiologinya, hubungan secara simultan antara teologisme etis dan deontologisme etis.
Rasionalisme kritis, aspek ontologisnya, adanya kajian yang dapat muncul baik dari ide maupun materi yang bersifat dualisme. Aspek epistemologisnya, hanya menggunakan metode penalaran deduktif yang rasional. Aspek aksiologisnya, deontologisme etis.
Konstruktivisme kritis, aspek ontologisnya, melihat pada adanya kesenjangan antara materalisme dan idealisme. Aspek epistemologisnya, hubungan secara simultan antara empirisme (deduktif) dan rasionalisme (induktif).
Disamping hukum penalaran, yang mengisi keragaman filsafat hukum dalam pengembanan hukum teoritis, juga dikenal penalaran hukum (law of reasoning). Menurut Neil Mac Cormick (1994:ix) penalaran hukum adalah …. One branch of practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice.
Dengan demikian penalaran hukum, tidak hanya sekedar berpikir teoritis, tetapi juga berpikir praktis untuk mengubah keadaan. Tentunya, sudut pandang penalaran hukum, akhirnya akan bermuara pada aliran-aliran filsafat hukum, yang tetap mengikuti ragaan pencabangan filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Melalui pencabangan filsafat, penalaran hukum dapat kita temukan dibeberapa literatur antara lain: aliran hukum kodrat, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme hukum, teori hukum pembangunan. Bahkan era postmodern, kembali menghidupkan gerakan realisme dengan critical legal study movement (CLS), yang mengarahkan untuk penciptaan aliran “hukum ideal”.

Note:Saya rasa tulisan ini belum lengkap. Apalagi dikatakan sempurna, untuk teman-teman dan pembaca yang budiman, mari kita mengkaji, sisi/aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat hukum, kemanakah hendak Negara kita (Indonesia) bermuara? adalah peran kita semua untuk melihatnya. Saya tunggu ya… semua balasan tulisannya. Thanks sebelumnya
[Read More...]


LAPORAN DAN EKSAMINASI PSIKOLOGI HUKUM



Keterlibatan dari pakar ilmu mengenai perilaku dalam proses hukum biasanya dimulai dan diakhiri dengan  sebuah laporan, baik ditujukan untuk pihak lawan atau, mungkin lebih sering, kepada pihak pengadilan  pada tahap awal. Laporan psikolegal sangat penting  dan dapat mempengaruhi hasil secara substansial dari tindakan hukum. Beberapa elemen y...ang seharusnya ada dalam persiapan membuat laporan tersebut:
  1. Pemahaman pemeriksa mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum yang akan ditanyaikan.
  2. Pemahaman mengenai situasi-situasi yang berhubungan dengan tindakan hukum, termasuk pihak yang mana pemeriksa berpihak ketika melakukan penilaian.
  3. Mengumpulkan dan mereview dokumen-dokumen medis dan legal yang relevan, terutama jika sebelumnya pernah di rawat inap.
  4. Sejarah masa lalu yang adekuat
  5. Melakukan pemeriksaan status mental yang adekuat, dengan focus terutama pada area-area kemampuan atau ketidakmampuan yang relevan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum yang diajukan.
  6. Deskripsi mengenai level ketidakmampuan psikis, yang berhubungan dengan pertanyaan hukum, bersamaan dengan drajat kepercayaan (degree of confidence) medicolegal dari pendapat yang diberikan oleh pemeriksa.
Elemen terakhir merupakan hal penting karena berkaitan dengan drajat kepercayaan medicolegal dari pendapat yang diberikan oleh pemeriksa. Seorang pakar yang kompeten akan memberikan pendapatnya dengan drajat kepercayaan yang didukung oleh data yang ia peroleh. Untuk membentuk suatu opini, pakar membutuhkan waktu yang cukup untuk mengumpulkan data.Hal ini menunjukkan bahwa pakar yang terlibat dalam pemeriksaan psikolegal benar-benar memikul tugas berat, khususnya pada pelayanan umum.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors