Pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Demikianlah substansi yang terdapat dalam perjanjian arisan. Ada waktu untuk menentukan pihak yang mana ? akan kena giliran memperoleh sejumlah uang yang dilaksanakan melalui undian. Kemudian di sisi lain, para pihak itu menyetor sejumlah uang kepada salah satu pihak, biasanya ada pihak yang berperan sebagai pengelola atau pengurus dalam perjanjian arisan tersebut yang disebut Bandar.
Uang yang disetor oleh para pihak sebagai peserta arisan, pada akhirnya juga akan diperoleh dalam jumlah yang sama jika kena giliran atau namanya jatuh dalam nomor undian, sebagai peserta yang mendapat sejumlah uang berdasarkan total dari semua uang yang terkumpul oleh peserta yang terikat dalam perjanjian arisan.
Dalam penggolongan (klasifikasi) perjanjian, perjanjian arisan tidak atau jarang dibahas dalam hukum perjanjian sebagai materi atau salah satu bentuk perikatan. Apakah warisan merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang atau perikatan yang lahir dalam perjanjian. Yang jelasnya perjanjian arisan berdasarkan yang sering terjadi terbentuk berdasarkan kebiasaan saja. Bahkan perjanjian yang diikuti oleh banyak pihak tersebut, tunduk dibawah perjanjian yang tidak tertulis. Sehingga jika ada peserta arisan yang wanprestasi, sulit untuk mengatakan, bahwa peserta yang misalnya, tidak mau lagi menyetor uang tunduk dibawah perjanjian yang telah disepakati bersama, karena sifat dari perjanjiannya adalah perjanjian yang tdak tertulis.
Materi atau substansi yang nampak dalam peristiwa hukum, perjanjian arisan mirip dengan perjanjian pinjam-meminjam. Cuma dalam perjanjian arisan banyak pihak sebagai subjek hukum (kreditur) yang meminjamkan kepada salah satu pihak yang jatuh nomor undiannya. Dan pihak atau Peserta yang jatuh nomor undiannya dapat dikategorikan sebagai debitur, yang mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang (utang) kepada semua peserta arisan lain, untuk selanjutnya diadakan undian. Jadi dalam perjanjian arisan seolah-olah substansi utang-piutang juga ada diantara para pihak. Satu debitur membayar sejumlah utang kepada banyak kreditur, dikemudian hari, yang waktu pembayarannya didasarkan pada waktu yang berbeda. Tergantung waktu dan kapan undian dilaksanakan.
Kemudian, belum jelas siapa peserta yang akan jatuh nomor undiannya. Peserta yang mana akan menerima sejumlah uang yang terkumpul ? belum diketahui oleh semua peserta arisan. Kecuali dalam arisan tembak, pihak pengurus atau Bandar, yang pertama menerima sejumlah uang, karena dibebani sebagai pihak yang harus menutupi pembayaran peserta arisan, jika ada yang menunggak atau terlambat membayar. Karena belum jelas siapa yang akan jatuh nomor udiannya, dalam perjanjian arisan. Selain memilki sifat perjanjian pinjam-meminjam, juga terkandung unsur perjanjian untung-untungan.
Cuma bedanya dengan perjanjian untung-untungan, dalam perjanjai arisan tidak bertentangan dengan asas perjanjian kausa yang halal/ legal. Oleh karena para pihak, semua peserta arisan, kalau semua kesepakatan berjalan seperti yang diperjanjikan (tidak ada wanprestasi). Dari awalnya, perjanjian tersebut tidak ada niat/ maksud (intention) merugikan salah satu pihak. Artinya perjanjian arisan tidaklah bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan nilai kepatutan. Apalagi dalam beberapa kajian dan pendapat agama, mengemukakan perjanjian arisan sebagai salah satu perjanjian yang sifatnya “tolong-menolong.”
Dengan demikian tidak salah kiranya. Jika perjanjian arisan dikategrikan sebagai perjanjian semi perjanjian pinjam meminjam dan semi perjanjian untung-untungan. Walaupun sebagian kalangan mengatakan bahwa perjanjian arisan adalah perikatan biasa, dan memenuhi syarat sebagai perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 BW. Dalam Pasal tersebut tidak mewajibkan perjanjian mesti tertulis, sehingga perjanjian arisan tetap dikatakan sebagai perikatan yang biasa.
Hukum merupakan hal yang bisa dikatakan mempunyai pengaruh yang dominan dalam kehidupan manusia untuk mengarahkan kehidupannnya ke arah yan lebih baik. Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi peran psikologi dalam bidang hukum: psychology in law, psychology and law, psychology of law.
1.Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.
2.Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa.
3.Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.
Pandangan di atas sesuai dengan pendapat Mark Constanzo (2006) bahwa peran psikolog/psikologi dalam bidang hukum:
1.Sebagai penasehat;
2.Sebagai evaluator;
3. Sebagai pembaharu
Isu-isu yang berkaitan dengan kajian aplikasi psikologi dalam bidang hukum berkenaan dengan persepsi keadilan (bagaimana sesuatu putusan dikatakan adil, kenapa orang berbuat kejahatan, bagaimana mengubah perilaku orang untuk tidak berbuat kejahatan). Aplikasi secara detail dalam bidang ini antara lain: forensik, kriminalitas, pengadilan (hakim, jaksa, terdakwa, saksi, dll), pemenjaraan, dan yang berkaitan dengan penegakan hukum seperti kepolisian, dan lain-lain.
Kejahatan: terencana dan dan Tidak terencana : reaksi cepat, emosional
Macam Perilaku Kejahatan:
1.Kriminal biasa : mencuri, mencopet, dll;
2. Kriminal Konvensional: untuk jalan hidup;
3. Kriminal Profesional: dengan keahlian;
4.Kriminal dengan kekerasan: pembunuhan, perkosaan;
5.Kriminal ‘publicorder’: tidak ada korban, tetapi secara etika melanggar;
6.Kriminal politik: menentang pemerintah yg berkuasa;
7.Kriminal occupasional: malpraktek;
8.Kriminal bisnis: manipulasi bisnis, dan menipu konsumen;
9.Yang terorganisasi: mafia, narkoba, dll.
Kenapa orang berbuat kejahatan ?
Pendekatan Tipologi Fisik dalam Kepribadian
· Tokoh yang mempopulerkan pendekatan ini adalah Sheldon dan Kretchmer. Kretchmer mengajukan teori konstitusi dalam kepribadian yang artinya adalah mencari hubungan antara tipe tubuh fisiologis dengan tipe kepribadian seseorang. Menurut Kretchmer ada tiga tipe jaringan embrionik dalam tubuh, yaitu:
1.Endoderm berupa sistem digestif (pencernaan)
2. Ectoderm berupa sistem kulit dan syaraf;
3. Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot.
Menurut Kretchmer orang yang normal itu memiliki perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian.
William Shldon (1949), dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe.
1.Endomorf: Gemuk (Obese), lembut (soft), and roundedpeople, menyenangkan dan sociabel.
2.Mesomorf : berotot (muscular), atletis (athleticpeople), asertif, vigorous, and bold.
3.Ektomorf : tinggi (Tall), kurus (thin), and otak berkembang dengan baik (welldevelopedbrain), Introverted, sensitive, and nervous.
Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal.
Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (shortheads), rambut merah (blondhair), dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotrudingjaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/ dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itu disimpulkan.
Pendekatan Teori Trait Kepribadian
Pendekatan ini menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian.
Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli.
Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara bersama-sama.
Pendekatan Psikoanalisis
1.Freud melihat bahwa perilaku kriminal merupakan representasi dari Id yang tidak terkendalikan oleh ego dan superego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (PleasurePrinciple). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang. Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya.
2.Penjelasan lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya.
3.Psikoanalist lain (Bowlby: 1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.
Pendekatan Teori Belajar Sosial
Teori ini dimotori oleh Albert Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur tertentu (gang) merupakan contoh baik untuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain. Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut. Ada dua cara observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara tidak langsung (melalui vicariousreinforcement).
Pendekatan Teori Kognitif
Penelitian Yochelson & Samenow (1976, 1984) mencoba mengetahui tentang gaya kognitif (cognitivestyles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana memproses informasi. Para peneliiti ini yakin bahwa pola berpikir lebih penting daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan. Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi.(master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bias mengendalikan dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola piker pelaku kriminal itu memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas.
Faktor penyebab perilaku kriminalitas dapat dijabarkan menjadi:
1.Faktor Demografik, yaitu antara lain usia muda, jenis kelamin dan status sosial rendah;
2.Faktor Keluarga, yaitu antara lain kelahiran diluar nikah, ketidakmampuan orang tua memberi pengasuhan, penyaalahgunaan anak atau pengabaian anak, akibat kehamilan yang tidak diharapkan dan kurangnya kelekatan dengan orang tua;
3.Faktor pekerjaan atau sekolah;
4.Faktor kepribadian, yang meliputi antara lain kepribadian sensation seeking atau risk taking yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti berbohong, impulsive dan kesulitan menunda kepuasan, locus of control eksternal, kebiasaan mengkonsumsi alcohol dan penyalahgunaan obat;
5.Faktor yang berkaitan dengan riwayat seksual, seperti usia saat melakukan hubungan seksual pertama kali, jumlah pasangan seksual dan usia saat melakukan pernikahan pertama;
Hampir semua penulis, dalam hukum perikatan. Memberi perbedaan arti dari hukum perikatan, hukum perjanjian dan hukum kontrak. Kecuali Ahmadi Miru dalam buku yang ditulisnya “Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak” tidak membedakan antara hukum kontrak dengan hukum perjanjian.
Secara jelas Ahmadi Miru mengemukakan, “Penulis tidak ingin membedakan anatara hukum kontrak dan hukum perjanjian sehingga dalam buku inipun, keduanya dipergunakan dengan makna yang sama. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW karena dalam BW hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang. Atau secara lengkap dapat diuraikan, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undangundang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.”
Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Pengertian kontrak atau perjanjian, dalam setiap literatur didasarkan pada Pasal 1313, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan degan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/ lebih.
Subekti memberikan uraian tentang perbedaan, perikatan, perjanjian, dan kontrak dengan beberapa ciri khas tersendiri:
1.Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu
2.Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
3.Kontrak merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis.
Baik istilah perjanjian, perikatan, mapun kontrak masing-masing memilki keterkaitan. Oleh karena perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting, ataukah perikatan merupakan pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perikatan sebagai suatu bentuk persetujuan atau persesuaian kehendak diantara para pihak masih bersifat abstrak, tetapi ketika dituangkan dalam perjanjian tertulis, maka hal itu nyata sebagai suatu perjanjian, yang demikianlah disebut kontrak.
Dalam ensiklopedi Indonesia, hukum kontrak adalah rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai persetujuan dan ikatan antara warga-warga hukum.
Defenisi tersebut menyamakan istilah kontrak (perjanjian) dengan persetujuan, padahal antara keduanya berbeda. Kontrak merupakan salah satu sumber perikatan sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya kontrak.Dengan adanya beberapa kelemahan tersebut, maka Salim, H.S, mengemukakan, kontrak adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas menurut para sarjana mengandung banyak kelemahan.
Menurut Muhamad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena:
1.Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya". Kata "mengikatkan" sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan "kedua pihak saling mengikatkan diri" dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.
2.Kata perbuatan "mencakup" juga tanpa consensus. Pengertian "perbuatan" termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata "persetujuan".
3.Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.
4. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 BW tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.
Sedangkan menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.
Para sarjana yang merasa bahwa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini mengandung banyak kelemahan, memberikan rumusan mengenai arti perjanjian.
Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Pendapat lain dikemukakan oleh Rutten, menurutnya perjanjian adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.
Para sarjana memberikan rumusan mengenai perjanjian dengan penggunaan kalimat yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung unsur yang sama yaitu:
1.Ada pihak-pihak. Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.
3. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang.
4.Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5.Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
Senada dengan yang dikemukakan oleh Salim H.S, juga mengemukakan unsur-unsur yang yang tercantum dalam kontrak yakni, adanya kaidah hukum, subjek hukum, adanya prestasi, kata sepakat, dan akibat hukum.
Bulan ini empat tahun lalu, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan setelah perjuangan kelompok perempuan selama kurang lebih 7 tahun. Meskipun lingkup KDRT yang dimaksud dalam UU ini tidak terbatas pada kekerasan suami terhadap istri, namun kasus inilah yang awalnya menggerakkan pembuatan UU ini. Kasus ini memang merupakan kasus KDRT terbanyak, yakni mencapai 74% dari KDRT yang dilaporkan pada tahun 2006.
Sayangnya penanganan kasus ini belum optimal karena relasi intim sebagai suami-istri antara korban dan pelaku. Dimulai dari garda yang terdepan, yakni aparat kepolisian, masih sering mendamaikan korban dengan pelaku dan tidak jarang turut memfasilitasi korban untuk mencabut kembali laporannya. Jika sudah begini, jangan berharap kasus akan diproses lebih lanjut.
Sebenarnya aparat tidak dapat disalahkan sepenuhnya dalam hal ini. Kita pun cenderung bersikap sama dengan mereka. Jika tidak berupaya mendamaikan, kita biasanya cenderung diam karena enggan terlibat. Kita masih memandang KDRT sebagai urusan masing-masing rumah tangga. Apalagi jika pasangan suami istri yang bersangkutan akan berbaikan kembali. Tidak jarang kita menggerutu penuh keheranan bagaimana mungkin istri yang sudah dianiaya masih tetap bertahan dalam perkawinannya itu.
Jika dibiarkan, kebingungan-kebingungan semacam ini dapat berimplikasi negatif pada penanganan korban. Bukan tidak mungkin aparat kepolisian jadi semakin rajin mendamaikan korban yang melapor. Kita juga bertambah yakin bahwa korban akan rujuk kembali dengan pelaku. Padahal yang sering terjadi ketika korban kembali dengan pelaku adalah ia memperoleh kekerasan yang lebih intens. Dan kali ini korban semakin sulit untuk melepaskan diri karena pelaku biasanya menjaganya dengan lebih ketat. Tapi pihak kepolisian malah semakin meyakini bahwa korban sudah baik-baik saja karena toh tidak kembali lagi untuk melapor.
Oleh sebab itu untuk menghindari sikap dan tindak penanganan yang salah, langkah awal yang perlu dilakukan adalah memahami terlebih dahulu mengapa perempuan korban bertahan. Dari pendampingan yang saya lakukan terhadap korban, saya menemukan tidak satupun di antara mereka yang menginginkan kekerasan. Namun hal itu tidak serta merta mendorong korban untuk meninggalkan pelaku karena ada dua mekanisme yang berhasil dibangun pelaku untuk melumpuhkan upaya korban melepaskan diri dari pelaku.
Mekanisme pertama adalah pelaku menciptakan atmosfer menakutkan yang membuat korban merasa tidak mungkin untuk melepaskan diri. Bayangkan seorang korban yang hampir setiap hari disiksa. Setiap kali ia berusaha melawan, pelaku semakin beringas. Belum lagi ancamannya jika korban berani meninggalkannya. Ketika korban telah meninggalkan rumah sekalipun, pelaku selalu berhasil membawanya pulang. Entah dengan melakukan kekerasan ataupun tampil sebagai suami yang baik sehingga menarik simpati. Kedua-duanya efektif dalam membuat orang-orang di sekitar korban meminta korban untuk pulang bersama pelaku.
Mekanisme kedua merupakan perpaduan dari komitmen perkawinan yang dikemukakan Michael P. Johnson, psikolog perkawinan dan siklus KDRT yang ditemukan Lenore Walker, seorang psikolog feminis. Johnson mengungkapkan ada tiga bentuk komitmen perkawinan yang menentukan seseorang untuk bertahan atau melepaskan diri dari perkawinannya. Pertama adalah komitmen personal seperti cinta dan rasa puas terhadap perkawinan. Kedua adalah komitmen moral, yakni rasa bertanggung jawab secara moral karena menganggap pernikahan harus berlangsung sepanjang hidup. Ketiga adalah komitmen struktural, yakni keinginan bertahan karena faktor-faktor penahan seperti tekanan sosial jika bercerai, masalah anak, prosedur perceraian yang sulit, dan sebagainya.
Seorang perempuan korban bukan tidak mungkin masih mencintai pelaku. Hal ini wajar mengingat seperti kebanyakan orang, korban menikah dengan cinta dan harapan bahwa perkawinan mereka akan langgeng. Pelaku umumnya sangat hebat dalam menjaga komitmen personal ini tetap ada pada diri korban. Mereka membawa korban pada tahapan bulan madu dari siklus KDRT. Setelah tahap pertama dimana pelaku membangun ketegangan demi ketegangan yang memuncak di tahap kedua dalam bentuk penganiayaan, pelaku akan mengajak korban untuk memasuki tahap ketiga yang dinamakan tahap bulan madu.
Dalam tahap ini para pelaku menampilkan kesan positif sebagai pria yang baik dan menyenangkan (persona of charming) seperti yang dikenal korban sebelum penganiayaan pertama kali terjadi. Pelaku meminta maaf, menunjukkan penyesalan, dan meyakinkan korban bahwa ia akan berubah.
Lama kelamaan tahap bulan madu hanya menjadi fase yang dingin dan tanpa cinta meskipun tanpa kekerasan. Pada fase inilah menurut saya komitmen struktural memegang peranan penting dalam memengaruhi keputusan korban. Bahkan komitmen ini tetap membuat korban bertahan di saat komitmen personal sudah pudar sekalipun. Johnson memang tidak pernah melihat aspek gender dalam membangun teorinya. Namun saya melihat komitmen struktural memiliki peran lebih besar dalam mengikat perempuan pada perkawinannya dalam masyarakat kita yang patriarkis.
Dalam budaya patriarkis, kepada perempuan telah ditanamkan nilai-nilai kepatuhan dan pelayanan kepada suami. Pelaku menekankan hal ini kepada korban sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukan. Pelaku memaksa korban melakukan sesuatu hal yang tidak disukai atau bahkan menyakiti hati korban. Cukup banyak korban yang meyakini bahwa ia harus melakukannya sebagai wujud kepatuhan seorang istri sehingga tidak menyadari bahwa pelaku telah melakukan kekerasan psikologis kepadanya.
Kewajiban yang juga ditekankan kepada perempuan selaku istri adalah melayani kebutuhan seksual suami. Tidak sedikit korban yang mengaku dipaksa melakukan hubungan seksual termasuk dalam bentuk yang menyimpang sekalipun. Keinginan mereka tidak pernah menjadi bahan pertimbangan pelaku. Namun karena meyakini bahwa melayani kebutuhan suami adalah kewajiban istri, korban tidak mengerti bahwa pelaku sebenarnya telah melakukan kekerasan seksual. Tanpa pemahaman itu, bagaimana mungkin seorang korban merasa perlu untuk melepaskan diri?
Pada perempuan yang perannya dibatasi sebagai ibu rumah tangga, cenderung akan tergantung secara ekonomi kepada suami. Ketika usia semakin bertambah, perempuan akan semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kekhawatiran tidak dapat menghidupi diri sendiri dan anak-anak menjadi salah satu faktor yang membuat korban berpikir berulang kali untuk meninggalkan pelaku. Ditambah lagi dengan memikirkan pandangan umum yang berlaku bahwa anak-anak akan jauh lebih baik bila berada dalam keluarga yang utuh. Karena seorang ibu diharapkan mengutamakan kepentingan anak, korban pun rela bertahan demi anak-anaknya.
Perempuan yang menikah sedapat mungkin juga tidak ingin bercerai karena status janda yang akan mereka terima tidak akan mengundang simpati melainkan sebaliknya antipati. Pemikiran-pemikiran mengenai stereotipe janda seringkali menyurutkan langkah korban untuk bercerai. Dalam budaya kita, perempuan memang selalu ditempatkan sebagai Liyan (Yang Lain), bukan berdiri sendiri sebagai Diri yang utuh. Ketika kehilangan statusnya sebagai istri, eksistensi perempuan tidak lagi dianggap ada.
Berbagai aspek struktural di atas telah menekan korban untuk bertahan dalam perkawinannya meskipun perkawinan itu hanya membawa penderitaan. Lantas apa yang harus kita lakukan setelah memiliki pemahaman yang lebih empatis terhadap korban? Saya kira kita dapat membantu mereka meskipun mereka belum dapat keluar dari kekerasan itu. Pertama, memberitahukan kepada korban bahwa kelak mereka membuktikan bukti konkret jika hendak memproses kasusnya secara hukum. Jadi meskipun saat ini mereka belum ingin melakukannya, sedapat mungkin mereka menyimpan bukti-bukti yang diperlukan. Termasuk bukti medis dari dokter bilamana mereka sakit akibat stres ataupun terluka setelah dianiaya.
Kedua, kita dapat membantu dengan menjadi tempat yang dapat mereka percayai untuk membagikan pengalaman mereka tanpa menghakimi mereka. Dalam hal ini, akan lebih baik bila kita mencatat atau merekam cerita korban agar dapat dijadikan sebagai bukti jika kelak mereka memutuskan untuk melaporkan pelaku.
Kita juga dapat memfoto luka-luka mereka dan membawanya ke dokter untuk mendapatkan surat keterangan medis yang kelak akan diperlukan. Dalam membantu korban, tidak ada yang perlu kita takutkan. Tindakan kita dilindungi secara hukum.
Berdasarkan UU PKDRT, sebagai anggota masyarakat, kita bahkan diwajibkan untuk melaporkan kekerasan yang dialami korban. Jadi perbuatlah sesuatu untuk membantu korban. Mungkin bukan dengan melaporkan pelaku tanpa persetujuan korban. Tapi setidaknya kita dapat memahami terlebih dahulu psikologi korban untuk dapat bersikap dengan lebih empatis .