AAL Divonis Bersalah: Jangan Salahkan Putusan Hakim




Akhir tahun, sejenak telah ditinggalkan. Kita memasuki tahun 2012. Tahun baru itu masih hangat penyambutan dan perayaannya diseluruh dunia, tak ketinggalan Indonesia juga merayakan party tahunan tersebut. Namun akhir tahun dan awal penyambutan tahun baru. Kembali negara ini di bawah pemangku kekuasaan, penegak hukum mencederai hati dan nurani jutaan penduduk Indonesia. Seorang pelajar SMK 3 Palu, AAL (15 tahun), harus berurusan dengan prosedur hukum, karena didakwa telah mencuri sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Simson Sipayung.
Simpati jutaan penduduk dan berbagai LSM disalurkan melalui sumbangan ribuan sandal jepit ke Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Tak sampai di situ, bahkan kejaksaan dan kementerian hukum dan HAM, akan dikirimi ribuan sandal, setelah sandal yang banyak itu dikemas dikantor KPAI. Kalau begini, masihkah hukum dihormati, ditaati, dipatuhi dan dipercayai oleh publik, ketika pedang keadilan malah mencederai seorang anak harus diputus bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Palu.
Apa yang terjadi ? sekiranya kasus ini tidak diekspos keruang publik (publik sphere), mungkin saja AAL, sebagai terdakwa pencuri sandal jepit butut merek Ando akan berlarut-larut dalam ruang tahanan, dan Hakim pasti tidak mau ambil pusing setelah kejaksaan menuntut AAL dengan dakwaan 5 tahun, akan mengirim  AAL ke penjara, sebagai pertanggungjawaban atas kejahatan yang telah dilakukannya. Karena ternyata, berdasarkan amar putusan pengadilan hakim Pengadilan Negeri Palu Romel Tampubolon AAL divonis bersalah. Meskipun pada akhirnya tindakan AAL dikembalikan kepada orang tuanya.
Beruntung saja ! media telah bersikap “netral” dan membawa disparitas perlakuan hukum ini, di depan mata jutaan pemirsa. Sehingga Komisi Perlindungan Anak cepat gegas mendampingi AAL. Karena AAL dianggap berada dalam tekanan kejiwaan dari perlakuan penganiayaan. AAL sempat ditampar, dipukul hingga lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Remaja baru gede itu mengklaim sempat tak sadarkan diri.
Kalau seperti ini, setelah beberapa kasus ditahun sebelumnya. Ketika Hukum dianggap main mata. Hukum bagai dagelan di negeri srimulat. Hukum sebagai sarana “keadilan” untuk membela yang tertindas telah roboh. Hukum tak lagi mengenal prinsip equity. All mar are equal before the law hanyalah asas hukum yang mati, ataukah “teks” asas hukum itu mungkin tertidur panjang, sehingga masih ada saja  kasus sekelas AAL. Setelah kita dipertontonkan di tahun-tahun  sebelumnya. Ada kasus nenek Minah dan tiga buah kakao yang dicurinya, kisah yang menimpah Manisih dan Sri Suratmi karena mencuri kapas sebanyak 2 (dua kilogram), Hamdani yang harus mendekam dalam penjara karena memakai sandal bolong milik PT Osaga dan akirnya PT tersebut mem PHK-nya.
Kasus-kasus  tersebut ternyata masih saja berlangsung hari ini. Dan para penegak hukum kita. Kepolisian, kejaksaan, dan hakim di pengadilan tak banyak belajar dari pengalaman kasus-kasus sebelumnya, bahwa jika hukum itu berlaku diskriminasi terhadap kaum minoritas, individu sebagai subjek hukum yang tak berdaya, maka “opini publik” ini akan menjadi tempat tertinggi “keadilan hukum” itu. Pertanyaannya, kasus-kasus “peradilan sesat” itu kita mau meyalahkan siapa ?
Siapa yang Salah ?
Meskipun AAL, tidak mendekam di penjara. Tapi amat disayangkan oleh publik kita. Adalah AAL divonis dan dinyatakan bersalah, dan terbukti melakukan tindak pidana pencurian berdasarkan Pasal 362 KUHP. Padahal dalam ruang persidangan bukti sandal tidak cocok dengan pengakuan AAL. Karena menurut AAL, dia mengambil sandal jelek berwarna hijau.
Bahkan saat dicoba di depan majelis hakim, justru sandal merah yang diakui sebagai bukti oleh jaksa tampak kekecilan di kaki siswa SMKN 3 Palu itu. Sedangkan dari rekan adegan, ujar Kak Seto, ada keganjilan jarak rumah AAL dengan rumah kos kedua anggota Brimob Palu. Jaraknya sekitar 14 meter. Sebelumnya, dinyatakan tempat tinggal mereka bersebelahan.
Dari ruang persidangan mestikah kita menyalahkan hakim yang membacakan hasil akhir putusan (baca: vonis). Oleh karena kesalahan itu terletak pada ucapan dan nalar hukum mereka di lembaran putusan pengadilan. Jika kita mau berpikir “bijak” hakim sudah mengambil jalan terbaik buat AAl (best interest of the child).
Dari putusan bersalah AAL tersebut tidak mesti kita menyalahkan total “sang hakim” melainkan kesalahan itu ada pada budaya hukum kita yang sarat akan litigasi. Setiap permasalahan selalu diakhiri “kita ketemu di pengadilan.” Padahal sejatinya, hukum itu bukanlah ruang keadilan, melainkan sejauh mana kita menciptakan kedamaian, tanpa ada kekerasan serta motif balas dendam yang sekiranya dapat ditekan melaui institusi-institusi hukum.
[Read More...]


Prinsip-prinsip Pencemaran Lintas Batas & Perusakan Lingkungan




A Duty To Prevent Reduce And Control Environmental Harm: 
Hukum internasonal mewajibkan setiap negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengontrol dan menangani  sumber pencemaran global yang serius atau sumber perusakan lintas batas  yang ada dalam jurisdiksi mereka. Dalam kasus Trial Smelter prinsip itu telah dipakai, dimana dewan arbitrase telah memutuskan bahwa Canadian Smelter harus memberikan ganti rugi kepada Amerika Serikat atas pencemaran yang telah ditimbulkannya. Dewan juga menyatakan prinsip “Sic Utere Tuo Alineun Non Laedas menegaskan bahwa: no states has the right to use or permit the use of its territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another and that measures of control were necessary”
Prinsip serupa juga telah dipakai oleh The International Court Of Justice dalm kasus “The Corfu Channel”  walaupun tidak sejelas pada kasus yang pertama. Prinsip pertama ini kemudian diuraikan lebih lanjut dalam prinsip-prinsip khsus sebagai berikut:
Due diligence and harm prevention
Prinsip due dellliegence ini menentukan bahwa setiap pemerintah yang baik, hendaknya memasyarakatkan ketentuan-ketentuan hukum administratif  yang mengatur tindakan-tindakan publik maupun privat demi melindungi negara lain dan lingkungan global. Keuntungan dari standar ini adalah fleksibilitasnya, dan negara tidaklah menjadi satu-satunya penjamin atas pencegahan kerusakan.
Prinsip ini akan diterapkan dengan mempertimbangkan segala segi dari suatu pemerintahan, baik dari segi efektif atau tidaknya pengawasan wilayah, sumber daya alam yang tersedia, maupun sifat dari aktivitas yang dilakukan. Akan tetapi kerugiannya adalah bahwa menjadi tidak jelasnya ketentuan mengenai bentuk peraturan dan kontrol yang diminta dari setiap negara, karena bergantung pada kondisi dari negara yang bersangkutan.
Absolute Obligation Of Prevention
Ketentuan ini mengharuskan setiap negara untuk berusaha semaksimal mungkin melakukan pencegahan terhadap terjadinya pencemaran, dan bahwa negara bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang tidak terhindari atau tak terduga sebelumnya. Akan tetapi prinsip ini dianggap terlalu jauh membatasi kebebasan negara dalam menentukan kebijksanaan mengenai lingkungan di wilayahnya sendiri. 
Prisnip ini juga hanya menitikberatkan kewajiban pembuktian dan tanggung jawab atas kerusakan kepada pihak yang menyebabkan pencemaran, ketimbang menekankan mengenai pengawasan yang sepatutnya.
Foreseeability of harm and the “preacutinary principle”
Berdasarkan prinsip ini, maka negara diharuskan untuk menghitung setiap kebijakannya yang berkenaan dengan lingkungan. Negara wajib untuk mencegah atau melarang tindakan  yang sebelumnya telah dapat diduga akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pasal 206 dari konvensi hukum laut 1982 telah menegaskan bahwa “when states have reasonable grounds for believing that planned activities under their jurisdiction or control may cause substantial pollution of or significant and harmful changes to the marine environment, they shall, as far as practicable assess the potential effects of such activities on the marine environment and shall communicate reports of the result of such assessment.
Precautionary principle telah juga diinterpretasikan oleh the 1990 Bergen Ministerial Declaration On Sustainable Development bahwa “environmental measures must anticipate, prevent and attack the causes of environmental degradation. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainly should not be used as a reason of postponing measures to prevent environmental degradation.”
Transboundary Co- Operation In Causes Of Environmental Risk
Prinsip kedua dalam hukum lingkungan adalah bahwa setiap negara harus bekerja sama dengan negara lain, dalam hal penanggulangan pencemaran lintas batas negara. Hal ini sejalan dengan adanya pengakuan bahwa ada kalanya negara tersebut mempunyai “Shared Natural Resources” yang harus dimanfaatkan bersama. Deklarasi Stockholm Tahun 1972 telah menegaskan bahwa “co-operation through multilateral or bilateral arrangement or other appropriate means is essential to effectively control, prevent, reduce and eliminate adverse environmental effect resulting from activities conducted in all spheres, in such a way that due account is taken of the sovereignty and interest of all states.”
The “Polluters Pays” Principle
Prinsip ini lebih menekankan pada segi ekonomi  dari pada segi hukum, karena mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai kerusakan dan pembebanannya. OECD’s memberikan defenisi “the polluter should bear the expenses of carrying out measures decided by public authorities to ensure that the environment is in “acceptable state” or in other words the cost of these measures  should be reflected in the cost of goods and services  which cause pollution in production and or in consumption.”
Equal Access And Non-Discrimination
Ketentuan dasar dari prinsip ini adalah bahwa pihak asing dapat juga menggunakan ketentuan-ketentuan ganti rugi yang ada dalam hukum nasional suatu negara berkenaan dengan adanya pencemaran lintas batas yang  disebabkan oleh negara yang bersangkutan. Prinsip ini harus diterapkan secara sama tanpa adanya tindakan yang diskriminatif. Prinsip ini meminta perlakuan yang sama baik kepada subyek hukum nasional maupun subyek hukum asing tanpa adanya perbedaan.
[Read More...]


Restorative Justice



Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan konsep restorative justice melibatkan berbagai pihak untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak


Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan:“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implication for the future” (restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).


Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di Amerika, bahwa restorative justice mempunyai pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam proses peradilan. Menurutnya ada 4 (empat) konsep pemidanaan, yaitu: 
  1. Structured sentencing (pemidanaan terstruktur);
  2. Indeterminate (pemidanaan yang tidak menentukan); dan
  3. Restorative/community justice (pemulihan/keadilan masyarakat).
Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”, dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative justice yaitu :
  
  1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;
  2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;
  3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku secara utuh;
  4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;
  5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.
Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses pradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistemik. 

Sedangkan restorative justice menurut Howard Zehr adalah melihat suatu proses peradilan dengan pandangan yang berbeda, yakni kriminal adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain. 

Restorative justice dilakukan untuk memulihkan sesuatu menjadi baik kembali seperti semula dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mengutamakan perbaikan, rekonsiliasi dan perlindungan kembali. Howard Zehr menyebutkan perbandingan antara “retributive justice” dan “restorative justice” adalah : 

  1. Retributive Justice memfokuskan pada perlawanan terhadap hukum dan negara, sedangkan restorative justice pada pengrusakan atau kekerasan terhadap manusia yang berhubungan dengannya.
  2. Retributive Justice berusaha mempertahankan hukum dengan menetapkan kesalahan dan mengatur penghukuman, sedangkan Restorative Justice mempertahankan korban dengan memperhatikan perasaan sakitnya dan membuat kewajiban pertanggungjawaban pelaku kepada korban dan masyarakat yang dirugikan sehingga semuanya mendapatkan hak masing-masing.
  3. Retributive Justice melibatkan negara dan pelaku dalam proses peradilan formal, sedangkan restorative justice melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam suasana dialog untuk mencari penyelesaian.
  4. Dalam retributive justice korban hanya merupakan bagian pelengkap, sedangkan dalam Restorative Justice korban adalah posisi sentral.
  5. Dalam retributive justice posisi masyarakat diwakili oleh Negara, sedangkan restorative justice masyarakat berpartisipasi aktif.


Dalam penanganan kasus anak, bentuk restorative justice yang dikenal adalah reparative board/ youth panel yaitu suatu penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, aparat penegak hukum yang berwenang secara bersama merumuskan sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat. Pelaksananan diversi dan restorative justice memberikan dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan prinsip utama dari diversi dan restorative justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari system peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.







[Read More...]


Penggolongan Kontrak



Hukum Perikatan ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan.  Hukum perdata Eropa, termasuk yang berlaku di Indonesia/ BW (Burgelijk wetboek) [1] mengenal adanya perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang dan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian. [2]
Perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang lazim disebut perikatan dari undang-undang. Adanya hak dan kewajiban timbul diluar kehendak subjek hukumnya. Perikatan ini dapat disebabkan oleh tindakan tidak melawan hukum dan tindakan melawan hukum. Sedangkan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian lazim disebut “perjanjian”, hak dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh subjek-subjek hukum. Hak dan kewajiban itu sering merupakan tujuan dalam menjalankan tindakannya.
Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya, semua perjanjian mengikat mereka yang tersangkut bagi yang membuatnya, mempunyai hak yang oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan berkewajiban melakukan  hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian.[3] Setiap orang dapat mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan para sarjana di atas. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian adalah:
Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:
Ø  Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
Ø  Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
Ø  Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
ØPerjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst;
Ø  Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijke overeenkomst;
Kontrak menurut namanya.
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam Tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.
1.  Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.
2.  Kontrak timbal balik. Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak.
Ø  Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya.
Ø  Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian.
3.  Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
4.  Perjanjian berdasarkan sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.
5.  Perjanjian dari aspek larangannya. Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.
Ø  Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Ø  Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah; Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Ø  Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.
Ø  Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Ø  Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Ø  Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu.
Ø  Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S., jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.[4]



[1] Indonesia yang menggunakan BW (Burgelijk Wetboek) sebagai dasar ketentuan hukum sipil (Perdata), karena pengaruh sistem hukum civil law berdasarkan asas konkordansi dari kodifikasi Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis terdiri dari empat bagian yaitu Code, Digest, Institute, Dan Novella. Periksa Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,2006, hal. 57.
[2] Pasal 1233 BW.
[3] Perjanjian itu mengikat para pihak (Asas Pacta Sunt Servanda)
[4] Salim H.S, op.cit, hal 27-32.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors