Asas-Asas Hukum



Asas merupakan jantungnya hukum. Demikian pernah dikatakan oleh Sadtjipto Rahardjo. Meskipun asas kelihatannya masih bersifat abstrak, tetapi asaslah yang membentuk hukum itu sehingga memiliki sifat kepastian yang nyata, konkret dan jelas.

Namun dengan lahirnya teks pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan itu juga tidak dapat dipungkiri bahwa asas sebagai bahagian yang penting. Berikut ini dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum yang saya bawakan, beberapa asas yang penting kiranya menjadi rujukan:

  1. Actus non facid reum, nisi mens sitrea (sikap batin yang tidak bersalah, orang tidak boleh dihukum).
  2. All men are equal before the law, without distinction sex, race, religion and social status (semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial).
  3. Alterum non laedere (perbuatanmu janganlah merugikan orang lain ).
  4.  Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars (para pihak harus didengar)
  5. Bis de eadem re ne sit actio atau ne bis in idem (mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya)
  6. Clausula rebus sic stantibus (suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar Negara masih tetap berlaku apabila situasi dan kondisinya tetap sama)
  7. Cogitationis poenam nemo patitur (tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya ).
  8. De gustibus non est disputandum (mengenai selera tidak dapat disengketakan)
  9. Eidereen wordt geacht de wette kennen ( setiap orang dianggap mengetahui hukum)
  10. Errare humanum est, turpe in errore perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi,namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan ).
  11. Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus ( sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan ).
  12. Geen straf zonder schuld ( tiada hukuman tanpa kesalahan ).
  13. Hodi mihi cras tibi (ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat ).
  14. Hukum merupakan suatu alat Bantu
  15. In dubio pro reo ( apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa )
  16. Justitia est ius suum cuique tribuere ( keadilan diberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya )
  17. Juro suo uti nemo cogitur (tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya )
  18. Koop breekt geen huur (jual beli tidak memutuskan sewa menyewa ).
  19. Lex dura sed ita scripta atau lex dura sed tamente scripta (undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian ).
  20. Lex specialis derogat legi generalis (undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum).
  21. Lex superior derogate legi inferiori (undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya).
  22. Lex posterior derogate legi priori atau lex posterior derogat legi anteriori (undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama ).
  23. Lex niminem cogit ad impossibilia (undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin).
  24. Manusia dilahirkan sama dan merdeka yang memiliki hak asasi (human rights) sebagai pemberian sang pencipta.
  25. Matrimonium ratum et non consumatum ( perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin ).
  26. Melius est acciepere quam facere injuriam (lebih baik mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan ).
  27. Nu is men he teens,dat recht op the een of andere wijze op de menselijke samenleving is betrokken (umum telah menyepakati bahwa bagaimanapun juga hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat ).
  28. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet ( tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki ).
  29. Nemo judex indoneus in propria ( tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri ).
  30. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu ).
  31. Opinio necessitatis (keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan )
  32. Pacta sunt servanda (setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik ).
  33. Patior est qui prior est (siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung)
  34. Presumption of innocence (seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ).
  35. Princeps legibus solutus est (kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya ).
  36. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio (apa yang berada dalam batas-batas wilayah Negara tunduk kepada hukum negara itu ).
  37. Qui tacet consentire videtur ( siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui ).
  38. Res nullius credit occupanti (benda yang diterlantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiliki ).
  39. Recht is er over de gehele wereld ,overal waar een samenleving van mensen is (hukum terdapat di seluruh dunia,di mana terdapat suatu masyarakat manusia).
  40. Resjudicata proveri tate habetur ( setiap putusan hakim atau pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi).
  41. Restitutio in integrum ( kekacauan dalam masyarakat, haruslah dipulihkan pada keadaan semula / aman ).
  42. Speedy administration of justice ( peradilan yang cepat ).
  43. Summum ius summa injuria (keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi )
  44. Similia similibus (dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih ).
  45. Testimonium de auditu ( kesaksian dapat didengar dari orang lain ).
  46. The binding force of precedent ( putusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama ).
  47. Unus testis nullus testis ( satu orang saksi bukanlah saksi ).
  48. Ut sementem feceris ita metes ( siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya ).
  49. Verba Volant scripta manent (kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada).
  50. Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan ).
















[Read More...]


Teori Kewenangan



Seringkali kita menemukan istilah yang disamakan dengan kata wewenang adalah kekuasaan. Tetapi dalam scope Hukum tata negara kebanyakan ahli hukum tata negara menggunakan istilah wewenang. Wewenang dalam bahasa inggris disebut authority atau dalam bahasa belanda bovedegheid. Yang kira-kira arti singkat dari wewenang adalah kekuasaan yang sah/ legitim.

Kenapa dikatakan sebagai kekuasaan yang sah ? adalah karena undang-undang yang memberikan kewenangan/ kesahihan terhadap pejabat tersebut. Atau dengan kata lain tidak ada kewenangan tanpa undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut asas legalitas yakni berasal dari kata lex yang berarti undang-undang.

Jadi dengan demikian, munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang.
Kemudian muncul pula asas dalam hukum administrasi negara “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.” Oleh karena itu siapapun atau pejabat manapun harus mempertanggungjawabkan setiap tugas dan kewenangannya.

Maka, untuk mengetahui lebih lanjut dari pada siapa yang mesti bertanggung jawab dari pejabat tersebut maka hal ini penting untuk diuraikan tiga cara memperoleh wewenang:
  1. Atribusi adalah pemberian kewenangan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan tersebut. Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menegaskan  “DPR dapat membentuk undang-undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.
  2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan yang satu kepada organ pemerintahan lainnya. Atau dengan kata lain terjadi pelimpahan kewenangan. Jadi tanggung jawab/ tanggung gugat berada pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing.
  3. Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab, melainkan tanggung jawab tetap melekat pada sipemberi mandat. Misalnya instruksi gubernur kepada sekretaris daerah agar ia bertanda tangan untuk keputusan pencairan anggaran pendidikan. Jadi di sini jika jika keputusan yang hendak digugat berarti tetap yang digugat/ sebagai tergugat adalah Gubernur.

Mengenai rumusan mandat, oleh Philipus M Hadjon mengemukakan ”Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau delegasi. Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intim-hirarkis organisasi pemerintahan”

Materi ini juga di sampaikan pada kelas pagi dan kelas sore, dalam mata kuliah hukum administrasi negara di kampus II Unisan Pohuwato
[Read More...]


Mengajar Dengan Kecerdasan Spiritual



Pernah suatu waktu, di sebuah ruangan kelas yang amat sesak, panas menyengat. Maklum karena ruangan itu tidak dilengkapi dengan AC. Sehingga kondisi mahasiswa yang menumpuk di ruangan, harus mandi keringat untuk mengikuti beberapa mata kuliah. Termasuk dosen yang masuk mengajar, sudah pasti akan mandi keringat juga.

Namun kondisi kampus yang serba berkecukupan itu. Tempat saya mengajar. Masih ada beberapa mahasiswa yang antusias untuk belajar, mengikuti dengan serius mata kuliah yang selalu saya bawakan.

Supaya para pembaca, kita sama-sama dapat memetik hikmah. Makna dari  sebuah profesi yang biasa kita jalani. Maka kali ini saya akan mengangkat cerita dari sebuah pengalaman. pribadi saya. Dari keseharian saya mengajar di sebuah Fakultas Hukum, Universitas Ichsan Gorontalo, di Kabupaten Pohuwato.

Ceritanya begini: Sudah empat kali pertemuan dari mata kuliah yang saya bawakan. Mata kuliah pengantar ilmu Hukum, saya sendiri sebagai penanggung jawabnya. Konon mata kuliah ini adalah mata kuliah yang berat, sehingga banyak teman-teman Dosen “phobia” untuk memegang mata kuliah tersebut.

Pada pertemuan yang kelima. Saya ingin mengadakan evaluasi. Bukan dengan ujian tertulis. Hanya ujian lisan. Saya mengatakan kepada Mahasiswa di dalam ruangan. Pada pertemuan kali ini saya ingin menanyakan materi kuliah saya dari beberapa materi kuliah. Yang saya ajarkan pekan lalu.
Baru  saya mengatakan seperti itu, kemudian hampir semua mahasiswa dalam ruangan kelas. Tersontak kaget, seolah-olah saya dianggap orang yang menguji mereka. Agar lulus dalam melamar sebuah pekerjaan.

Singkat kata singkat cerita. Pada waktu tiba saatnya saya menanya setiap mahasiswa satu persatu. Hampir semua tidak dapat menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Padahal sudah berapa kali. Tidak terhitung saya mengulang-ulang dalam setiap pertemuan materi kuliah itu.
Pertanyaan itu adalah materi dasar ilmu hukum, “Sebutkan empat asas hukum yang pernah saya jelaskan ? Dan jawabannya bagi saya sih, cukup muda. Yaitu lex superior derogate legi inferior, lex posterior derogate legi priori, lex specialist derogate legi generale, dan asas nonretroaktif. (ketentuan hukum yang tinggi mengalahkan yang rendah, ketentuan hukum yang baru menglahkan yang lama, ketentuan hukum yang khusus mengalahkan yang umum dan huku itu tidak dapat berlaku surut)

Kelas itu adalah kelas karyawan (reguler sore). Waktu saya menanya seorang mahasiswa. Dan ia tidak mampu menjawab. Saya menyuruh agar ia keluar ruangan dulu dan menghafal ke empat asas yang sudah saya sebutkan tadi di atas. Saya menganggap diri saya berlaku adil. Walaupun itu mungkin justifikasi pribadi saya. Entah keadilan yang sifatnya subjektif saja. Oleh karena semua mahasiswa saya perlakukan sama (equity). Yang tidak mampu menjawab saya mohon agar keluar ruangan dulu. “Silahkan menghafal di luar dulu. Kalau sudah hafal keempat asas tersebut. Baru  kalian masuk ruangan.”

Anehnya dari tindakan saya, bertanya kepada mahasiswa. Seorang mahasiswa yang umurnya saya yakin jauh melampaui umur beberapa dosen di kampus itu. Dia malah melempar, membanting sebuah buku catatan kuliah di hadapan saya. Kemudian dia berlalu, keluar ruangan. Karena memang semua yang tidak dapat menjawab pertanyaan. Maka saya akan memohon, “Tolong sdr/ bapak/ ibu bisa keluar dulu dari ruangan ini. Silahkan hafal di luar ruangan jwaban pertanyaan saya. kalau belum hafal jangan masuk dulu.”

Saya tahu bahwa metode menghafal adalah bukan kebiasaan ilmiah mahasiswa. Namun hal itu terjadi sebagai puncak/ klimaks dari harapan saya. Berharap agar mahasiswa tetap mengerti materi kuliah yang saya ajarkan. meski saya sudah mencoba untuk mengajar, materi kuliah dengan metode analisis, metode memahami kata perkata (verstehen). Namun  masih banyak mahasiswa yang terkesan “cuek” dengan materi kuliah. Yang saya bawakan itu.

Kembali pada peristiwa. Mahasiswa yang membanting bukunya. Respon saya pada waktu itu. Saya tidak menanggapi mahasiswa tadi dengan rasa marah. Walaupun saya mengaku adalah orang Bugis-Makassar. Mengabdi di kampung seberang, milik para tuan tanah di negeri Serambi Madinah itu, Provinsi Gorontalo.

Saya mengaku diriku adalah orang bugis. Yang sangat kental budaya atau adat kampung  dalam bahasa sipakatau, mapatabe (saling memanusiakan). Budaya siri (malu), sampai saya teringat dengan pesan orang tua saya “paentengi sirimu”.

Siri memang adalah siri. Namun dalam konteks ini, budaya akademisi bukanlah budaya kekerasan. Saya tidak perlu memakai filosofi malu karena seorang mahasiswa yang seolah menantang saya berkelahi. Siri dalam arti melawan seseorang karena persoalan mempertahankan ‘harga diri”, justru menghilangkan sisi kemanusiaan kita. Bukankah semua persolan dapat diselesaikan dengan kepala dingin, lalu mengapa kita menempuh dengan adu jotos.

Satu persatu akhirnya mahasiswa antri di depan pintu ruangan. Harus dapat menghafal materi tersebut. Kemudian seterusnya…, Hingga semua mahasiswa satu persatu sudah pada duduk di dalam ruangan.

Kemudian, setelah mereka semua masuk ruangan. Saya tidak jadi melanjutkan materi kuliah. Saya  malah menasehati mereka semua dengan kata-kata kira-kira begini: “Saya tahu bahwa banyak diantara kalian lebih tua umurnya. Ketimbang saya. Namun sekali lagi saya minta maaf, jika terasa menggurui kalian. Tahukah kalian teman-teman, bahwa siapa yang berdosa jika kalian sama sekali tidak mengerti materi kuiah yang saya ajarkan. Jelas jawabannya sayalah yang menanggung dosa itu. Dosa gara-gara saya memakan gaji buta. Bukankah  mengajar adalah tanggung jawab, amanah. Dan kalau kalian tetap tidak mau tahu materi kuliah saya. Maka sama saja teman-teman menjebloskan saya masuk neraka, bahkan bebas tes mungkin masuk di neraka. Karena gaji yang saya terima adalah gaji yang haram alias gaji buta. Dan jika saya memakan makanan dari hasil gaji tersebut. Bukankah akan menjadi segumpal dara, seonggok daging dalam tubuh saya. Jadi konklusinya kalau kalian tidak tegah, saya masuk neraka. Penghuni neraka abadi. Hanya kalian yang dapat menolong saya.”

Dari kisah singkat di atas, setidaknya kita semua penting untuk memahami. Bahwa kemarahan jangan di lawan dengan kemarahan. Katanya para tetua “bahwa api yang panas jangan semakin ditambah perapiannya. Tetapi siramlah dengan air, agar api tersebut padam.”

Menjadi seorang pengajar, pendidik, dosen, guru memang adalah sebuah tugas mulia. Tetapi lebih muliahlah pekerjaan kita jika ditunaikan dalam rasa tanggung jawab, dalam oase keihkhlasan untuk saling berbagi.

Inilah kecerdasan spiritual yang sering digemborkan oleh dunia Barat maupun Timur. Sebuah Kecerdasan ala Danah Zohar dan Ian Marshall dalam titik Tuhan (God spoot) yang dapat menyemai kita pada keberhasilan atau kesuksesan.

Penulis tidak bisa mengklaim berada dalam konteks itu. Pastinya  kita semua bisa berusaha dan saya hanya bisa menulis serta mengajak para pembaca. Mari kita mengajar dengan kecerdasan spiritual. Yaitu sebuah kecerdasan dimana kita sadar akan tanggung jawab pada posisi kita dan menempatkan diri sejajar dengan siapa saja. Karena ilmu yang diajarkan dan diamalkan tidak akan pernah habis. Meski seribu orangpun yang mengetahui apa yang pernah kita ajarkan. Berbeda halnya jika uang yang kita bagi-bagi. Setumpuk gunungpun uang jelas akan habis terbagi. Dan tiada tersisa mungkin di tangan kita.*
[Read More...]


Pudarnya Pesona Partai Golkar (Tanggapan Balik Atas Tulisan Daeng Irfan)



Sudah hampir sebulan. Selama saya menulis di Harian Gorontalo Post. Saya tidak pernah lagi melakukan pencerahan politik terhadap wajah perpolitikan kita. Baik dalam skala nasional maupun skala lokal. Wajah politik yang kian hari carut marut dan mengalami degradasi. Degradasi politik itu disebabkan karena diserang oleh deviasi politik. Gara-gara banyak politisi di parlemen berhianat dengan rakyat yang pernah memilihnya. Termasuk partai Golkar. Yang kadernya juga tidak bersih dari perbuatan korupsi. Kita bisa melihat kasus yang menimpa ZD kemarin dalam korupsi pengadaan Al-qur’an. Belum lagi ZD, videonya muncul di Youtube bersama rekan komisi delapan. Berlagak bodoh saat berplisir ke Australia.

Melihat kasus-demi kasus yang tidak jauh berbeda, partai Golkar dengan partai lainnya. Saya sebagai akademisi sekaligus peneliti. Saya tidak punya kepentingan sama sekali. Dengan partai dan warna-warnanya. Mau warna kuning, merah, biru, hijau atau simbol kotak-kotak. Sebagai akademisi dan semata untuk membuka titik terang dan pencerahan politik kepada warga masyarakat. Maka tanpa mengurangi rasa hormat saya. Kita harus mendiskusikan betulkah partai Golkar memihak rakyat ?
Untuk mengcounter analisis Daeng Irfan, ketika mengatakan bahwa salah satu bukti keberpihakan politisi Golkar adalah pada saat isu Century. Meski katanya partai koalisi. Namun tetap memihak pada suara rakyat. Tanggapan balik saya, malah sebaliknya. Suatu hal yang aneh ketika partai berada dalam lingkaran koalisi. Kemudian menentang lingkaran koalisinya. Meminjam istilah Hanta Yudha. Gejala inkonsistensi yang demikian sebenarnya akan semakin membuat berjalannya sistem presidensialisme dalam setengah hati. Bukan presidensialisme yang ideal.

Partai Golkar yang hidup di dua tempat, seolah hidup di air kemudian kembali di darat. Atau lebih tepatnya mungkin tak salah kalau dikatakan sebagai partai Bunglon. Justeru akan membuat konstituennya semakin bingung dalam menatap perpolitikan nasional ke depan. Dalam konteks ini saudara Daeng Irfan perlu tahu bahwa sikap partai Golkar yang selalu bermanufer, berakrobat. Adalah gejala “anomie” politik. Yang pada akhirnya akan menggiring masyarakat pada gejala apa yang disebut deparpolisiasi. Bahkan deparlemanisasi.

Kemudian yang kedua, Daeng Irfan juga mengatakan bahwa partai Golkar yang paling berperan, kemarin dalam menyikapi, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM. Sekali lagi saya pernah mengulas masalah ini. Sikap partai Golkar yang konon mengatakan dirinya menolak kenaikan BBM. Dalam sebuah artikel saya, juga di harian Gorontalo Post “Akrobat Parpol Vs Politik Zigzag.” Dalam artikel itu saya berkali-kali mengatakan bahwa Golkar melakukan manuver, berakrobat, memakai jebakan batman, dengan memecundangi partai- PKS dan Demokrat.

Ingat, Golkar pada waktu itu dalam sidang paripurna bukan menolak tetapi melakukan pemerkosaan terhadap UU. Secara kasat mata langsung mengubah pasal-pasal tanpa melalui rapat paripurna untuk pembahasan sekaligus perubahan UU.

Golkar sejak itu malah memilih untuk tidak ikut pada opsi pemerintah tapi juga tidak ikut pada opsi rakyat. Dia mengatakan melalui suara “sengau”, suara cempreng, suara ingusan Idrus Marhan mengatakan untuk saat ini, partai kami (baca: Golkar) memilih untuk tidak menaikkan BBM. Dalam bahasa politik ada bahasa yang penuh “pembiasan” alias bahasa bersayap sebagaimana Witgenstein menyebutnya language game atau oleh Derrida itulah yang disebut pembongkaran (dekonstruksi) terhadap teks untuk kepentingan kuasa dan bahasa.

Pudarnya Pesona Golkar

Setelah konfrensi Golkar dan pada akhirnya menobatkan ARB sebagai calon Presiden 2014, bagi saya justeru dari hasil pencalonan ARB. Adalah akhir dari segala harapan Golkar untuk menjadi pemenang 2014 nanti.

Saya menantang, pernahkan saudara Daeng Irfan melihat, memperhatikan baik-baik hasil surfei dari berbagi penelitian (seperti lembaga survey maupun lingkar survey), malah pasca penobatan AVB, langsung kredibiltas dan elekatabilitas Golkar kian merosot ke bawah. Justeru Prabowo meskipun sebagai pelanggar HAM dan dituduh terlibat dalam penculikan aktivis di era 1997 berada di atas popularitas ARB. Mungkin masyarakat yang menjadi responden dari tangan para peneliti, masyarakat itu melupakan atau amnesia terhadap kesalahan Prabowo di masa lalu. Atau boleh jadi karena sejak tahun 1999 hingga tahun 2000-an, media belum terlalu getol menelanjangi aktor-kator politik di zaman itu.

Berbanding terbalik dengan ARB. Justeru masyarakat, hampir semua mengetahui kalau ARB terlibat dalam kasus lumpur Lapindo yang mengorbankan puluhan rumah penduduk di tempat itu. Belum lagi kasus pajak yang menyeret nama dan perusahaannya.

Melihat beberapa hasil survey dan strategi politik saat ini. Bagi partai golkar bagi saya, saatnya untuk mengatakan golkar semakin memudar pesonanya. Bahkan fenomena lompat pagar yang disinyalir oleh Daeng irfan dalam tulisannya “Partai Golkar dan Politisi Lompat pagar” lagi yang demikian itu bahagian dari kelamahan partai Golkar merangkul konstituennya. Kemudian banyak kader yang melompat ke partai lain atau partai baru.

Dalam analisis politik modern, fenomena yang demikian dikatakan sebagai gejala deviasi politik. Atau fungsi partai politik yang diharapkan untuk memperkuat kaderisasi dalam kesamaan haluan (counterpaat), ideologi, dan platform partai, gagal total.

Kalau kita mau berharap kepada partai Golkar yang setidaknya dapat memegang tongkat estafet. Menyederhanakan partai dalam rangka pembentukan sistem presidensial yang murni. Bukan presidensial yang tersandera oleh parlemen. Malah partai golkar tidak memikirkan sistem ini. Agar ke depannya pemerintahan benar-benar memihak rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan.
Kira-kira masihkah kita mengatakan partai Golkar sebagai suara rakyat jika dari partainya kian hari ada partai-partai semakin tumbuh di luar lingkunganya yang mekar bagai cendawan ? Padahal kita tahu bahwa sistem multi partai amat tidak cocok dengan sistem pemerintahan presidensialisme sebagai yang sering diluas oleh Giovanni Sartory dan Scott Mainwaring.

Terakhir, bagi saya melihat partai Gokkar sebagai partai lama. Partai Golkar akan mendapatkan suara dari kelompok-kelompok tradisional yang masih tersandera dengan ideologi Soeharto. Yang selalu mengatakan bahwa jika Golkar menang negara aman.

Golkar hanya bisa mendulang suara dari pemilih tradisional, yang tidak berpendidikan alias yang menengah ke bawah. Dan kita tahu juga bahwa pemilih dalam kelas ini lebih gampang dijanji, disogok, dibohongi dengan isu pendidikan dan kesehatan gratis. Sementara kalau hendak mendulang suara dari kelas elit atau menengah ke atas sepertinya Golkar harus bersabar dulu. Karena pasti ceruk pemilih akan memepertanyakan apa yang pernah dikerjakan oleh partai ini, partai itu.

Lebih-lebih calon presiden pasti akan ditelanjangi rekam jejaknya. Cara menghukum kelompok pemilih ini adalah dengan tidak memilih partai dan calon presidennya, calon DPRnya, calon DPRDnya. Karena dinggap telah menyimpan dosa-dosa politik.

Saatnya sekarang partai Golkar berijtihad, melakukan pertobatan politik. Dan mengakui kesalahan-kesalahannya, terutama kader-kadernya yang telah masuk dalam perangkap korupsi. Termasuk Capresnya harus berani bertanggung jawab terhadap korban lumpur lapindo. Kalau ARB benar-benar serius ingin dipilih oleh rakyat nantinya.

Tak lupa kepada calon-calon legislatif dari partai Golkar yang saat ini sudah menggadang kursi-kursi rakyat. Harus berani mendorong figur-figur mudanya. Yang rekam jejaknya dipercaya oleh rakyat. Karena kemarin, PILGUB di DKI Jakarta yang mengusung Alex-Nono dengan menunggangi kader Golkar adalah pelajaran berharga bagi partai Golkar. Bahwa saat ini ceruk pemilih lebih banyak dihipnotis dengan figur dari pada janji-janji partai. Anda yang akan mencalonkan harus mengenal simbol ini (D3); Dikenal, Disuka dan Dipilih.


Artikel ini juga dimuat di Harian Gorontalo Post 13 November 2012
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors