Tsunami Politik Jilid II Akhirnya Datang Juga



Sungguh naas di Jumat malam yang naas. Anas Urbaningrum sang Ketua Umum Partai Demokrat (PD). Akhirnya akan berhenti celotehan dan jenjang karirnya. Untuk tetap bertahan di tubuh partai berlambang Mercy itu. KPK sudah mengumumkan melalui gelar  perkara jumat malam (22/2) dan menyatakan Anas Urbaningrum. Resmi  sebagai tersangka dalam kasus penerimaan suap Mega Proyek Hambalang. Anas disangka melanggar Pasal 12 huruf (a ) atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Artinya berdasarkan konstitusi partai (AD/ART PD) sudah merupakan “keniscayaan”. Mau tidak mau pasti Anas akan di depak dari kursi orang nomor satu. Dari partai pemenang pemilu tahun 2009 tersebut.

Tsunami Jilid II
Inilah Tsunami  jilid II yang tidak berhenti pada satu partai saja. Setelah PKS dihantam badai Tsunami impor dagang sapi. Melalui Presiedennya, Luthfi Hasan Ishaaq LHI). Kini tsunami datang kembali menggulung Partai segitiga biru itu. Partai yang  dikenal sebagi partai, membenci perbuatan dan laku korupsi di tanah air. Melalui slogannya “katakan tidak pada korupsi”. Namun dari kadernya yang banyak terseret dalam perbuatan rasuah. Membuktikan sudah berulang kali mengingkari “sumpah” partainya.

Gelar perkara yang dilakukan oleh KPK  melalui Juru bicara, Johan budi. Anas dijadikan sebagai tersangka. Akan menjadi ancaman PD semakin meradang. Topan badai hasil Survey Saiful Mujani Research And Consulthing belum juga redah. Kini datang lagi tsunami politik jilid II, yang akan semakin mengguncang elektabilitasnya. Menanti kompetisi pemilu 2014.

Dua partai dengan ideologi yang berbeda, antara PKS dan PD. Namun setelah dilanda tsunami korupsi terhadap dua partai tersebut. Rasanya sekarang bukan lagi waktunya untuk memilih partai karena jargon ideologi yang dikemasnya. Oleh karena partai politik sekuler, nasionalis, agamis, islam, sama-sama terindikasi menggarong uang negara. Untuk kepentingan pundi-pundi partainya.

Sungguh ironis negeri ini, dua petinggi dengan latar belakang organisasi keagamaan. Kandas dan mentok karir politiknya. Gara-gara mengikuti syahwat kuasa duaniawi semata. Anas yang dikenal sebagai mantan Ketua Umum HMI. LHI tidak perlu lagi dibahas, PKS tidak pernah mengusung kader yang tidak religius pastinya. Tapi lagi-lagi semua sama saja sifatnya, mencederai hati, jutaan, tangisan dan derita rakyat Indonesia. Tanpa malu-malu, tanpa takut berdosa mengambil harta bukan bagian dari haknya. Sungguh memilukan perbuatan mereka.

Sumber Gambar: detiknews.com
Kalau sudah begini, masihkah ada harapan bagi rakyat indonesia sebagai ladang cerup pasar demokrasi, untuk menentukan, siapa kelak yang akan dipilih dalam memenuhi aspirasinya di pemilu 2014 nanti. Saya kira kembali kepada semua partai-partai. Yang kemarin telah dinyatakan lolos oleh KPU. Sebagai peserta pemilu 2014. Kalau toh rakyat ini masih menyimpan sejuta asa dari beberapa calon politisi yang akan menahkodai negara ini. Karena jangan sampai negara ini akan semakin karam juga. Selayaknya banyak partai yang karam karena tsunami korupsi yang begitu dahsyat menghantam para petingginya.

Dua Petinggi
Bukanlah hal yang mengagetkan jika Anas dan LHI, juga akan meningglakan luka yang sama. Bagi partai yang pernah membesarkannya. Kedua-duanya memiliki kedudukan dan jabatan, sebagai orang nomr satu dipartainya.

LHI sebagi Presiden PKS tersandung suap daging impor diprediksi akan menimbulkan demoralisasi besar-besaran terhadap partai dakwahnya. Di saat yang samapun Anas Urbaningrum adalah ketua umum diguncang wibawahnya. Harus mengundurkan diri. Bukan lagi karena elektabilitas PD merengsek turun. Tapi karena dirinya sudah ditetapkan sebagi tersangka. Dalam kasus penyuapan Mega Proyek Hambalang.

Jika banyak pengamat politk meramalkan kalau LHI yang tersangka kemarin. Sangat berbahaya bagi PKS. Karena posisinya sebagai pimpnan partai. Gejala ini pula yang akan memantik dan menghantam jantung kredibilitas PD. Hingga berada dalam titik nadir, tubir jurang kehancuran. Ketika Sang ketua umum yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Apalagi Anas sedari awal selalu tampil di media, seolah-olah tidak pernah menyentuh “uang haram” Mega Proyek Hambalang.

Bahkan pernyataan Anas beberapa bulan yang lalu “gantung dimonas” jika sekiranya satu rupiahpun dikorupsi. Kini ditagih janjinya oleh publik, agar beliau benar-benar digantung di Monas. Walaupun mustahil hal itu terjadi. Sebab negara kita tidak mengenal sanksi pidana hukum mati dengan cara menggantung terpidana.

Kita bisa fair menilai kalau mau menentukan, dari kedua partai yang dilanda tsunami korupsi itu. Partai yang mana mengingkari janjinya untuk tidak korupsi. Mengingat kedua partai tersebut selling point-nya adalah “memberantas korupsi”. Pasti jika hendak dikalkulasi, kader partai yang paling banyak diseret dalam pusaran korupsi. Adalah Partai Demokrat. Di sana ada Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, lalu kini menyusul Anas Urbaningrum. Menjadi korban pesakitan selanjutnya sebagai kader partai yang korup.

Kalau publik memberi penilaian, tanpa alasan macam-macam. Dari fakta-fakta tersebut. Hal yang wajar jika PD setelah dihantam tsunami korupsi jilid II. Menghukum PD dengan berpindah ke lain hati nantinya. Apalagi basis elektoral PD juga sangat ditentukan oleh pemilih swing voters. Boleh jadi pemilih yang pernah bersimpati ke PD akan berimigrasi besar-besaran ke partai lain. Entah partai yang menjadi pemain baru saat ini. Atau memilih Golput, setelah dirinya merasa dihianati.

Namun bagaimanapun, PD sebagai partai pemenang pemilu 2009. Tsunami politik jilid II adalah titik tolak bagi PD untuk segera berbenah secepatnya. Hal itu sudah pasti disediakan oleh para petinggi majelis partai, dewan pembina, dan para pimpinan DPD dan DPC PD. Untuk segera menguatkan barisan, mengembalikan kepercayaan dan dedikasi PD sebagai parai bersih.

Fenomena kemarin ketika banyak sekali kader yang terseret dalam pusaran korupsi. Jangan lagi diulangi dosa demikian. Saatnya  PD berbenah diri dengan merekrut kader dan mengusung bakal calon legislatif yang berintegritas, bermoral, memiliki rekam jejak bagus, semangat anti korupsi dan akseptabiltas yang baik. Menuju pemilu 2014.

Oleh:  
[Read More...]


Menyehatkan Demokrasi



Beberapa hari pekan kemarin. Ada dua tulisan menarik untuk dicermati. Meski kelihatan tidak saling menyangga tulisan itu. Namun setidaknya, keduanya memiliki persepsi yang berbeda. Dalam menyikapi, memberi komentar, dan mencoba merasionalkan pernyataan Prof. Dr. Hamid  Awaluddin. Perihal gugatan IA (Ilham- Aziz) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas kekalahan IA dalam perhelatan akbar kemarin. Agar Ilham alias Aco katanya, tidak  perlu mengajukan gugatan ke MK. Cukup menyantuni anak yatim saja.
Tulisan pertama, adalah tulisan Aspianor Masrie (11/2) yang berjudul “Dosa Turunan Berdemokrasi”. Sedangkan tulisan kedua adalah tulisan Imran Eka (14/2) dengan judul “MK dan Rintihan Anak Yatim”.

Patut disayangkan, lagi-lagi saya juga mengawali tulisan seperti ini. Seorang Imran Eka dengan latar belakang Ketua Konsorsium Muda Advokat Sul-Sel. Tidak mampu menempatkan dirinya. Sebagai orang yang rasionalitas melihat, dan memberi kritik terhadap, fenomena demokrasi kita. Apalagi dengan latar belakang beliau seorang alumni Fakultas Hukum. Turut membenarkan pernyataan Prof. Hamid yang telah salah jalan, sebagai sosok negarawan. Malah beliau menanggalkan teorinya. Seperti  teori demokrasi, teori konstitusi, dan sekelumit pengetahuan hukum yang dia miliki saat ini.

Seolah tanggapan Imran Eka, dengan memberi ruang “teologis” kepada negara ini. Semua persoalan sengkarut demokrasi akan tuntas. Sebagai seorang jebolan Fakultas Hukum, seharusnya kita mampu memberi ruang bahkan mampu mengkombinasikan antar demokrasi dan terminologi negara hukum (rechstaat).

Tidak salah kiranya kalau demokrasi dikatakan juga adalah bahagian dari wilayah teologis. Namun kalau kita membuka telaah sejarah perkembangan negara. Dari era klasik (zaman Romawi) hingga zaman modern (ada demokrasi liberal, demokrasi konstitusional, demokrasi deliberatif, bahkan demokrasi Pancasila). Maka cara pendekatan teologis yang melebur memjadi teokrasi. Sudah lama ditinggalakan oleh karena konsep negara teokrasi sudah demikian bobrok masa dan era pemerintahannya. Jadi, konsep demokrasi yang ditawarkan oleh sekian jumlah Filsuf  (Hobbes, Hegel, dan Rousseau) mau tidak mau kita mesti terima hari ini.

Demokrasi dan Hukum
Demokrasi dan hukum ibarat tubuh dan jiwa. Demokrasi adalah tubuh sedangkan hukum adalah jiwanya, hukum yang harus membatasinya. Demokrasi yang terkadang liar, membabi buta, penuh tipu daya/ tipu muslihat, nafsu dan syahwat kuasa. Hingga pada akhirnya kita bolah jadi ke era perang semua melawan semua (homo homuni lupus). Maka muncullah hukum  (nomoi) sebagai instrumen yang membatasi demokrasi yang sangat binal itu.

Mahkamah Konstitusi dihadirkan tidak lain sebagai anak kandung demokrasi. MK bertindak berdasarkan tugas dan kewenanganya adalah sebagai pilar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), MK sebagai pilar demokrasi, MK sebagai tuan pengadilnya rakyat. Karena itu bukan hal yang salah, kalau Ilham mengajukan gugatran ke MK.

Hukum memang hadir untuk membatasi demokrasi, yang terkadang culas memanipulasi hasrat. Untuk mendapatakan kuasa. Cacat demokrasi yang kita bisa lihat. Bahkan kita semua, banyak kali menyaksikan, misalnya fenomena politik jekkong terjadi. Pada perhelatan kampanye yang lalu. Ada money politic, serangan fajar, hingga serangan ad-duha menari liar kemana-mana. Gejala yang demikian amerupakan demokrasi yang sakit, demokrasi yang lepas kendali. Oleh karena para kandidat tidak “sadar” diri.  Untuk berdemokrasi secara sehat.

Di depan publik seolah mengajak kita semua berdemokrasi yang sehat. Tetapi di belakang panggung malah sang kandidat menerapkan politik machivellian. Karena itu, terbukanya ruang untuk menguji hasil demokrasi melalui MK. Adalah hak bagi Ilham juga untuk mengetahui dimana letak kesalahan-kesalahan pemikuda kemarin. Juga hak bagi rakyat Sulsel, untuk tahu bagaimana cara berdemokrasi yang sehat.

Sehatkan Demokrasi !
Nah, pertanyaannya kemudian, apakah dengan menyantuni anak yatim. Rintihan anak yatim yang didengar tersebut. Merupakan bagian dari obat, resep negara kita yang terkesan sakit itu. ? Saya kira persolan memberi santunan adalah wilayah teologis yang bersifat pribadi. Sebagaimana Aspianor Masrie menyebutnya dalam wlayah batas vertikal. Menyantuni anak yatim adalah tugas kita semua, yang tidak pandang apa dan bagaimana jabatannya. Jika ingin beribadah secara muamalah. Silahkan membagi harta dan rezeki kita kepada kaum fakir.

Sedangkan persoalan mengajukan gugatan ke MK, karena ingin inembuktikan kecurangan adalah kepentingan manusia itu dalam hubungan dengan sesama manusia. Suatu hubungan dalam dimensi horizontal. Dalam menata keadilan dan memberi kecerdasan politik, memberi pendidikan berdemokrasi yang sehat, berhukum yang benar bagi rakyat Sulsel. Bahwa misalnya, ada ruang, ada instutisi/ lembaga. Seperti MK yang harus kita patuhi. Mari kita dengarkan bersama, jangan turun ke jalan membabi buta. Membakar ban, melempar bom molotof, membakar KPU, menyerang pendukung lawan yang sudah dinyatakan menang. Karena sudah ada lembaga yang menguji kesahihan demokrasi kita.

Meskipun terkesan jauh dari angka, dimungkinkan Ilham-Aziz  menang setelah mengajukan gugatan nanti di MK (karena sekitar selisih 400 ribu jiwa/ 11 % suara). Namun bukanlah itu yang diharapkan, dalam impian menuju alam demokrasi yang sehat. Kita menginginkan supaya tidak ada budaya kekerasan. Dengan cara hukum bekerja pada ruang dan dimensinya. Melalui institusi pengadilan MK.

Dalam konteks itulah sehingga Immanuel Kant pernah mengatakan hukum adalah pengejawantahan kekerasan dengan gaya mulia. Jadi demokrasi yang dipermukaan cenderung berwajah culas. Hukum di situ tampil meredam aksi dari para pelalu demokaris yang brutal itu.

Sumber: euro.harianjogja.com
Mari kita semua  menunggu putusan MK. Mau kalah Ilham bersama pasangannnya Aziz. Yang jelas setelah kita mengetahui semua hasil keputusan MK kelak. Kita bisa mengambil hikmah. Bagi rakyat Sulsel supaya tidak melakukan pembiaran terhadap demokrasi dan politik jekkong, demokrasi yang sakit. Di periode pemilihan gubernur selanjutnya. Karena kita sudah tahu bahwa ternyata salah satu yang menyebabkan demokrasi berbiaya mahal. Kita sendiri yang membiarkan para politisi bermain dalam ruang demokrasi yang sakit.

Akhirnya, bukanlah dengan cara menyantuni anak yatim. Sekali lagi saya tegaskan sebagai langkah mengobati demokrasi yang cenderung sakit ini. Karena kalau demikian logika yang kita bangun. Maka dengan latar belakang Eka Imran  sebagai Seorang Advokat/ Pengacara. Jangan-jangan, besok lusa jika ingin menangani perkara. Anda akan menjawab ke klien anda. Dari pada Ibu/ Bpk habis uangnya berpengadilan. Lebih baik Ibu/ Bpk menyantuni anak yatim saja. Saya yakin kalau itu prinsip hidup anda. Di samping anda tidak berfungsi pengetahuan hukum acaranya selama ini. Juga anda akan kehilangan klien selamanya.***

Oleh:

[Read More...]


Pemakzulan Aceng Fikri (Tanggapan Atas Tulisan Ilham Kadir)



Mencermati tulisan Ilham Kadir (Peneliti LPPI Makassar) di halaman (13) harian ini (Tribun Timur Makassar 13/2) yang berjudul “Aceng Fikri Tak Berpikir”. Meskipun sejauh pengamatan penulis menelaah kata perkata dari tulisan tersebut. Tidak menemukan sisi atau permukaan yang mana yang dimaksud oleh Ilham Kadir, Aceng tak menggunkan pikiran atau nalarnya. Sehingga berimbas pada pemakzulan dirinya sebagai pejabat Kepala Daerah.Entah beliau setuju atau tidak setuju dengan pemakzulan terhadap Aceng Fikri. Namun yang saya amati, dari awal hingga tulisan tersebut ditutup. Ilham Kadir lebih banyak menyorot masalah syarat sah dan rukun perkawinan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, yang menjadi poin bagi saya adalah sejauhmana syarat dan rukun perkawinan dapat mempengaruhi seorang sebagai pejabat publik (ambtenaar).  Ketika ia melangsungkan perkawinan tanpa memenuhi syarat dan rukun perkawinan, yang datur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Apakah dengan tidak mengikuti rukun dan syarat perkawinan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dikategorikan Aceng Fikri telah  melanggar sumpah jabatan ?

www.unikgaul.com
Pertama-tama, yang perlu dijelaskan adalah apa yang dimaksud rukun perkawinan dan syarat perkawinan. Karena terminologi inipun tampaknya dikacaukan oleh Ilham Kadir. Rukun perkawinan adalah faktor penentu bagi sahnya atau tidak sahnya suatu perkawinan yang terdiri atas: calon mempelai (ada pihak laki-laki dan perempuan), wali nikah, dua orang saksi (bagian ini yang dilupakan oleh Iham Kadir), ijab dan kabul. Sedangkan mahar dalam Pasal 34 ayat 1 KHI adalah bukan rukun nikah. Rukun perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 14 KHI yang mana sejalan dengan hadits Rasulullah dalam kitab Al-Bahr dari Nashir Syafi’i dan Zuhar, sebagaimana dikutip dari kitab Nailur Authar jilid 5 bahwa “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat unsur yaitu mempelai laki-laki, aqid yang mengakadkan, dan dua orang saksi maka perkawinan itu tidak sah.”  Artinya dari kesemua rukun tersebut tidak boleh ada satupun yang tidak terpenuhi. Karena semuanya bersifat imperatif kumulatif. Atau dengan kata lain tidak ada perkawinan tanpa semua rukun perkawinan tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan  syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan baik yang ditentukan secara syar’i maupun yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Secara syari’i misalnya ditentukan berdasarkan surah An-Nisa Ayat 22, 23, dan 24 yang menentukan larangan dilakukannya perkawinan karena adanya hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sepersusuan dan larangan poliandri. Sementara yang disyaratkan oleh Peraturan Perundang-undangan misalnya adalah harus melalui pencatatan oleh Pejabat yang berwenang (yaitu KUA) terhadap keberlangsungan perkawinan itu (vide Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan, Pasal 1 UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, Pasal 15 KHI).

Terkait dengan rukun perkawian dan syarat perkawinan tersebut diatas. Penting menjadi catatan, adalah kalau perkawinan itu sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Maka perkawinan itu adalah sudah sah. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 1 UUP, “bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing”. Artinya kalau perkawinan itu sudah dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan agama Islam, memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Maka perkawinan itu sudah sah. Meskipun perkawinan tersebut tidak diikuti dengan pencatatan. Saya kira hal ini yang perlu dicermati oleh Ilham Kadir. Beliau  mestinya tidak perlu menguraikan terlalu jauh bagaimana boleh tidaknya perceraian. Sampai kehilangan esensi dari judul tulisanya yang tidak substantif dengan judulnya. Yang terkesan menyalahkan Aceng yang tidak berpikir.

Pertanyaan kemudian,  bagaimana kasus yang menimpah si Aceng sebagai Kepala Daerah. Apakah perkawinanya itu tidak melalui pencatatan. ? Ya…benar tidak melalui pencatatan.
Namun Aceng melanggar Pasal 4 dan Pasal 5 UUP. Pasal 4 adalah ketentuan yang bersifat wajib bagi suami yang akan melakukan poligami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Sedangkan Pasal 5 terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan (mis: istri tidak dapat melahirkan keturunan). Perkawinan yang melanggar Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut adalah perkawian yang tidak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 UUP. Kalau tidak memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut, tidak ada izin Pengadilan Agama, untuk berpoligami, kemudian tetap melangsungkan kawin poligami tanpa ada pencatatan. Maka perkawinan tersebut tetap sah, kalau telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Meskipun tidak melalui pencatatan. Karena pencatatan hanya persoalan ketertiban saja. Inilah yang disebut perkawinan poligami tanpa pencatatan. Jadi bukan perkawian siri sebagaimana yang ditulis oleh Ilham kadir kalau ditelaah dari Undang-Undang Perkawinan. Karena istilah kawin siri adalah istilah sehari-hari saja. Perkawinan yang tanpa pencatatan sering juga disebut perkawinan yang sah namun tidak teregistrasi.

Analogi demikian dapat ditarik pada peristiwa hukum kepemilikan tanah, yang mana pemiliknya tidak memilki sertifikat hak milik misalnya. Apakah mereka ini disalahkan oleh hukum dan dapat dipidana dengan tidak melakukannya pencatatan terhadap tanahnya di BPN. Demikian halnya apakah orang yang melangsungkan perkawinan kemudian tidak melakukan pencatatan, perkawinan itu tidak sah, dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara, denda. Di sinilah letak kesalahan para perancang undang-undang Pencatatan Nikah, Talak, Dan Rujuk, dahulu. Ketika masalah keperdataan kemudian seorang yang tidak melakukan pencatatan perkawinan diancam dengan sanksi pidana. Lebih ekstrim lagi, apakah gara-gara seorang yang menduduki jabatan pemerintahan (seperti Aceng) karena pelanggarannya dalam hukum privat. Melakukan perkawinan poligami tanpa pencatatan. Harus diberhentikan dari jabatanya. Saya kira kita harus menelaah terlebih dahulu perkawinan dalam ranah hukum yang mana. Dan sebagai Pejabat publik/ kepala daerah  juga dalam ranah hukum yang mana.

Beda Privat Dan Publik
Perkawinan adalah masalah hukum privat atau perdata. Atau yang menyangkut kepentingan individu. Sedangkan menjalankan jabatan sebagai kepala daerah adalah ranah hukum publik, menyangkut fungsi negara. Jadi, masalah yang menyangkut peristiwa hukum perdata juga diselesaikan melalui jalur hukum  perdata. Tidak boleh karena peristiwa hukum perdata yang terjadi pada individu tersebut disangkutpautkan sebagai pejabat publik yang menyelenggarakan tugas negara.

Sederhananya, dapat diajukan pertanyaan, apakah dengan menikahnya seorang kepala daerah kemudian tidak melakukan pencatatan di KUA, melakukan poligami tanpa pencatatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sumpah dan jabatan. Sehingga berujung pada pemakzulan ? Kejadian yang menimpa Aceng Fikri sebenaranya berbahaya ke depan. Sebuah preseden buruk dari putusan Pengadilan (MA) bagi sebagian pejabat publik di negara ini. Oleh karena banyak kepala daerah sebenaranya, selama ini yang melakukan perkawinan hingga   memiliki empat orang isteri. Tanpa melalui pencatatan.

Padahal, ada prosedur hukum yang lebih bermartabat. Mengapa Aceng tidak digugat melalui pengadilan perdata saja? Melalui pengadilan Agama, dengan bantuan Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak. Fani Oktora dengan bantuan Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak dapat menggugat Si aceng di Pengadilan Agama. Hingga jatuh putusan percerain yang benar, dan sah secara hukum. Kemudian si Aceng bisa juga dituntut membayar nafkah terhadap anak tersebut yang sudah diceraikannya. Saya kira, ini jalur yang benar dari pada memberi komentar tanpa tahu benar ranah seorang dapat dikatakan dalam konteks hukum privat atau hukum publik (HTN). Sekiranya misalnya si Aceng sebagai Bupati dalam megeluarkan kebijakan terhadap warga daerahnya salah prosedur/ cacat. Hal Itu baru pantas dapat dijadikan alasan ia melanggar sumpah jabatan. Ataukah ia dituduh korupsi. Maka pantas dan sangat wajar saja ia juga dimakzulkan dari jabatannnya sebagai kepala daerah.***
[Read More...]


Asas Hukum Perikanan



Untuk dapat melakukan pengelolaan perikanan di Negara kita telah diatur asas-asasnya dalam Undang-Undang Perikanan. Dengan asas-asas yang telah ditetapkan digunakan sebagai landasan tempat berpijaknya tingkah laku semua warga masyarakat termasuk pemerintah dalam mengelola perikanan. Ada 10 macam asas pengelolaan yang masing-masing saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu :
Sumber: grafitti05.wordpress.com
  1. Asas Manfaat Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
  2. Asas Keadilan Mengenai asas keadilan diberi pengertian bahwa, pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluan dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga tanpa kecuali.
  3. Asas Kebersamaan, Asas kebersamaan merupakan asas yang khusus digunakan untuk kepentingan masyarakat perikanan agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.
  4. Asas kemandirian, Asas kemandirian adalah asas yang mengatakan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengoptimalkan potensi yang ada. Karena didalam asas inin telah menitikberatkan kepada pengelolaan yang optimal, sebenarnyua lebih tepat disebut dengan asas optimalitas daripada asas kemandirian.
  5. Asas Pemerataan, Yang dimaksud dengan asas pemerataan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.
  6. Asas Keterpaduan, Untuk asas keterpaduan dikehendaki, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efesiensi dan produktivitas.
  7. Asas Keterbukaan, Mengenai yang dimaksud dengan asas ini, pengelolaan perikanan dilakukan dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Asas keterbukaan diperlukan karena pengelolaan perikanan tidak dapat dilakukan secara sepihak tanpa ada dukungan maupun pengawasan dari masyarakat.Asas efisiensi
  8. Asas efesiensi, mengkhendaki bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat dan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal. Mengenai masalah efesiensi dalam pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas keterpaduan diatas, karena keterpaduan tidak dapat dilepaskan dari efesiensi.
  9. Asas Kelestarian, Asas kelestarian mengatakan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam.
  10. Asas pembangunan yang berkelanjutan, Asas yang terakhir adalah asas pembangunan yang berkelanjutan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang.                                                                                  
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors