Potret Buram Pilwako Gorontalo



Wajah buram demokasi di Negeri Serambi Madinah seakan menguak kisah ambruknya demokrasi dan potrer negara hukum dewasa ini. Dua patron rakyat, seakan tidak lagi memiliki kekuatan dan daya apa-apa untuk dipatuhi oleh penyelenggara demokrasi itu. Bagaimana tidak Pilwakot yang dihelat kemarin menyisahkan sequel drama antara penguasa dan KPU. Hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan kehendak sang diktator. Sampai harus mengorbankan suara dan harapan rakyat. Siapa yang sekiranya pantas menjadi pemimpin di Kota Gorontalo ?

Meski KPU Gorontalo sudah mengumumkan pasangan yang menang dalam Pemilihan Walikota (Pilwali) Gorontalo pada 3 April 2013 kemarin, Pasangan Marten Taha-Budi Doku (Madu). Dengan perlolehan suara mencapai 36.392 suara atau 52,48 persen. Namun hasil pemilihan tersebut bukti gambaran demokrasi yang carut marut ditangan KPU.

Pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan (DAI) yang sudah dicoret namanya oleh KPU. Membuka mata kita kalau KPU Kota Gorontalo “dipaksa” menanggung malu. Karena rakyat tetap menobatkan Adhan Dambea-Irawanto Hasan sebagai wali kota yang masih layak memimpin di kota itu.
Sumber: cahayareformasi.com

Independensi KPU ?

Dimanakah independensi KPU yang sedianya telah diberikan amanat, melalui undang-undang. Harus tunduk pada ketentuan hukum. Tanpa ada intervensi pejabat eksekutif lainnya ?

KPU kehilangan power di saat orang nomor satu di negeri itu. Konon memporak-porandakan segala kewenangan KPU. Kenapa pula KPU tidak berani pasang badan, padahal keduanya adalah lembaga eksekutif yang masing-masing harus tunduk pada kekuatan “negara hukum” yang mestinya jadi panglima ? Inilah hukum yang tak lagi memiliki daya dan kekuatan untuk dipatuhi bersama.

Sejatinya, hukum memang tidak dapat dikatakan otonom, tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya (seperti; ekonomi, politik, dan kekuasaan), dalam melahirkan output yang diharapkan sesuai dengan cita-cita “mulia” hukum. Yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan (Gustav Radbruch).

Ambruknya wibawah KPU Kota Gorontalo di tangan pemilih, setelah dinstruksikan agar tidak memilih lagi pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan. Tidak perlu dengan analisis tajam, analisis yang canggih untuk memaknainya. Sehingga dapat membuka mata kita semua. Jika KPU di Kota tersebut telah diintervensi oleh kepentingan “politik atasan”.

Demokrasi sesungguhnya hanyalah slogan dan pemanis bibir, ketika KPU diharapkan menjalankan kewenanganya secara mandiri. Namun demokrasi yang tampak adalah demokrasi dalam wajah feodal, demokrasi sentralistik, demokrasi Asal Bapak Senang (ABS).

Partai poitik yang seyogianya melahirkan demokrasi yang pantas di hadapan pemilih, juga bermain dalam keremangan, turut menghancurkan kinerja dan independensi KPU. Sebuah bangunan hukum yang birokratif dipertontonkan dengan telanjang oleh KPU beserta para koncoh-koncoh politiknya. Ketika dengan sangat terpaksa mengikuti kehendak salah satu pimpinan “diktator” yang juga masih menjabat, jabatan nomor satu dalam partai politik di negeri itu. Tidak rela jika pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan ikut dalam suksesi pemilihan wali kota Gorontalo.

Surat keputusan pembatalan atas Pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dijadikan sebagai senjata ampuh menandaskan langkahnya. Hingga Pengadilan Tata Usaha Negara Manado yang diharapkan bersikap “tidak memihak”, nyatanya tidak memikirkan sedari awal, akibat putusannya, ketika pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan masih mengajukan banding, hakim PTUN Manado malah tidak mengeluarkan putusan provisi agar KPU menunda penyelenggaraan Pilkada tersebut.

Hingga KPU yang dengan semena-mena mengeluarkan keputusan pembatalan. Padahal jika dicermati dari putusan PTUN Manado yang menginstruksikan kepada pasangan DAI agar melegalisir Surat Keterangan Tamatnya (SKT). Mengapa hal ini tidak ditindaklanjuti oleh KPU kota Gorontalo ? Apakah KPU sudah demikian “ditekan” oleh tendensi-tendensi tertentu sehingga jalan tidak sesuai dengan prosedurpun, akhirnya ditempuh untuk menjegal pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan ? Sedianya jika kita ingin berkaca pada peraturan KPU, bukankah persyaratan untuk mengajukan diri sebagai calon wali kota, terkait dengan persyaratan administrasi pendidikan hanya berpatokan pada Ijazah terakhir. Dan pasangan DAI sudah lolos administratif jika KPU jeli dalam melaksanakan ketentuan undang-undang yang memang harus menjadi acuannya. Sebagai penyelenggara Pilkada.

KPU kota Gorontalo lagi-lagi menggali liang lahatnya sendiri. Membangun rasa ketidakpercayaan terhadap masyarakat. Diberi amanah, agar menanggung amanat rakyat. Dalam menciptkan demokrasi yang ideal. Namun terjungkal dengan “dominasi strukturalnya” sang penguasa.

KPU Digugat Rakyat

KPU Gorontalo sudah mengeluarkan surat edaran, agar sekiranya tidak memilih pasangan DAI. Karena pasangan tersebut sudah dinyatakan tidak sah sebagai peserta calon wali kota yang layak pilih. Namun instruksi tersebut mentah di tangan pemilih. Pemilih rupanya tetap percaya pada pasangan DAI.

KPU Gorontalo benar-benar dan pasti dibuat pusing tujuh keliling. Kenapa masyarakat yang mestinya tidak menjatuhkan pilihan terhadap pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan, tetapi malah pasangan tersebut yang menjadi pengepul suara terbanyak?

KPU jelas sudah berkali-kali mencederai demokrasi. Karena rakyatlah memiliki kekuasaan tertinggi. Hingga kepastian hukum yang dibangun dalam wajah seolah-olah (as if) oleh KPU, justru terang benderang ditangan rakyat sebagai penentu kedaulatan pemerintahan.

Jebakan politik dengan strategi kotor jitunya, bukan pada aspek idealnya politik yang dapat menata demokrasi dan harapan rakyat. Rakyat menggugatnya dengan kemenangan pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan. Pemilih tahu benar jika Adhan Dambea-Irawanto Hasan, yang tidak lagi memakai kendaraan Partai, maju sebagai calon independen, tidak melanggar tujuan hukum dan aspek-aspek demokrasi, untuk kembali terpilih sebagai wali kota Gorontalo.

Dengan analisis yang sederahana saja. Carut marut Pilwakot Gorontalo beberapa pekan kemarin. Adalah pemilihan yang ditunggangi oleh “tendensi politik” yang bergaya feodal.Kenapa mesti pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan setelah maju sebagai calon independen, dan melepaskan atribut partainya. Malah ia ditemukan kejanggalan dalam persyaratan adminstratif sebagai calon walikota. Mungkinkah kelemahan pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan. dibocorkan oleh lawan politiknya. Atau oleh partai yang pernah menjadi rumahnya dahulu. Tidak mahfum jika pasangan DAI kembali memimpin kota Gorontalo. ? Saya kira warga kota Gorontalo yang lebih tahu akan hal itu.

Tinggal kita menaruh harapan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga judicial sekaligus Mahkamah Undang-Undang. Dapat memberi putusan yang seadil-adilnya terhadap kekisruhan Pilwako Gorontalo, karena SK hasil perhitungan suara oleh KPU saat ini masih diperiksa oleh MK.

Secara sepintas lalu, boleh jadi pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dikategorikan tidak memiliki legal standing mengajukan gugatan ke MK sebagaimana kesaksian Prof Patembayadi persidangan MK. Karena pasangan tersebut tidak memiliki kepentingan terhadap hasil perhitungan suara. Apalagi pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan dengan sendirinya telah dinyatakan batal sebagai pasangan terpilih, karena memang sudah dibatalkan sebagai pasangan yang sah untuk dipilih oleh KPU.

Namun kalau MK berani melakukan terobosan radikal, hakim MK progresif dalam melakukan penemuan hukum. Dimana selama ini selalu dikatakan bahwa MK hanya dapat mengadili hasil perhitungan suara, bukan pada proses administratif misalnya sehingga pejabat Kepala Daerah tersebut terpilih. Bukan pada kesalahan KPU menentukan dan membatalkan pasangan calon. Maka pasangan Adhan Dambea-Irawanto Hasan tidak bisa terjungkal hanya karena gara-gara, kineja KPU yang sudah demikian buruk. Hakim MK tentunya tahu jika dalam konstitusi kita, bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang.***
[Read More...]


Asas Hukum Kontrak



Asas yang berlaku dalam hukum perjanjian secara umum dipengaruhi oleh dua sistem hukum yang berpengaruh di dunia. Yakni sistem hukum civil law dan sistem hukum common law. Pada negara yang didominasi oleh sistem hukum common law asas perjanjiannya bertumpuh pada kepastian dan prediktibiltitas, sehingga lebih cenderung menggunakan asas kebebasan berkontrak. Sedangkan pada negara yang menggunakan ssitem hukum civil law bertumpuh pada tujuan hukum keadilan, maka tidak mengherankan jika asas yang mencolok di sini adalah asas itikad baik, dan kesepakatan (Pacta Sun Servanda). Berikut di bawah ini asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata:

Asas Pacta Sunt Servande

Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, ialah semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir karena undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berbeda.
Sumber:www.fapa.bu.edu.eg
Asas Kebebasan Berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 ayat 4 KUH Perdata yang berbunyi “suatu sebab yang tidak terlarang”.

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu sebab yang terlarang, ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”.

Pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

Asas Konsensualitas

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia, memantapkan adanya kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.

Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa, adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan, menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it).

Asas Pelengkap

Asas dalam Buku ke-III KUH Perdata, bahwa ketentuan Undang-Undang boleh tidak diikuti, dikesampingkan, menyimpang dari ketentuan Undang-Undang oleh para pihak yang berjanji.

Asas kepribadian

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, pada umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas norma sendiri/minta ditetapkan suatu janji melainkan untuk diri sendiri.

Asas Obligatoir

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baru taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik, hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan.


[Read More...]


KLB dan Hukum Besi Oligarki SBY



Antiklimaks penetapan siapa yang layak memegang jabatan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) akhirnya terjawab sudah. Melalui Kongres Luar Biasa yang dihelat oleh barisan PD kemarin. di Pulau Dewata (Bali). Mengukuhkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PD.

Terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum PD. Kini semua publik sudah tahu kalau jenderal kelahiran Pacitan itu. Di samping menjabat sebagi Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan. Akhirnya merangkap empat jabatan, setelah menobatkan lagi dirinya sebagai Ketua Umum. Dari partai politik yang membesarkan namanya, hingga dua kali mencicipi kursi nomor satu di republik ini.

Tidak terlalu disayangkan sebenarnya oleh publik. SBY merangkap banyak jabatan dalam partai Mercy biru itu. Yang menyakitkan dan kita tidak bisa menerimanya. Adalah bagaimana mungkin mengefektifkan kebijakannya, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Dalam  mengurusi sengkarut bangsa ini ? Disaat dirinya harus juga meluangkan waktunya. Memperbaiki elektabilitas partai. Padahal SBY bukan “superman” atau ubermansch (mengutip tokoh jelmaan Nietzsche) yang bisa bekerja dua puluh empat jam, tanpa pernah istirahat sedikitpun.
Damang Averroes Al-Khawarizmi

Hukum Besi

Dalam mencermati kembali penobatan SBY sebagai Ketua Umum PD. Bisa dikatakan bukan melalui poses yang demokratis. Karena ia dipilih secara aklamasi. Tanpa melalui proses pemilihan suara mayoritas, sebagaimana kongres yang pernah dihelat di Bandung. Ketika berhasil mengantarkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum sejak itu.

Lagi-lagi Partai Demokrat tidak bias menahan diri. Gara-gara isu topan badai korupsi, hingga berdampak pada elektabilitasnya yang terjun bebas sampai 8 % berdasarkan survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) Desember 2012. Turunnya elektabilitas PD boleh jadi disebabkan hembusan ‘angin” Nazaruddin’s effect. Membuktikan lembaran demi lembaran borok PD. Karena telah menyeret para petinggi dan kader PD dalam “gedung prodeo” KPK.

Dari beberapa peristiwa yang mengawali, sebelum Kongres Luar Biasa yang diselenggarakan di Bali. Sudah tercium aroma, Jika SBY tidak menginginkan ada calon lain selain dirinya. Dapat  menggantikan posisi Anas Urbaningrum.

KLB di Bali hanyalah formalitas belaka. Mulai dari tindakan SBY melalui “tangan besinya” mengumpulkan semua Pimpinan DPD dan DPC di Cikeas. Hingga Manuver SBY, memberi peringatan keras kepada Marzuki Ali melaui via SMS. Agar Marzuki Alie tidak menggoda beberapa pimpinan DPD dan DPP di Jakarta, untuk memilihnya nanti. Karena memang sedari awal. SBY tidak menginginkan ada calon lain, selain dirinya.

Sebagai calon tunggal Ketua Umum PD. Secara tidak sadar SBY yang dikenal santun, beretika, demokratis. Perlahan tapi pasti telah mengidap kekuasaan dengan Hukum Besi Oligraki (HBO)

Karena kondisi darurat, dan kegentingan yang memaksa itulah. Sehingga SBY, rela dihujat dan dicaci maki oleh publik. Menelan pil pahit, hingga menjilat sendiri air ludahnya. Setelah memberi peringatan terhadap menteri-menterinya. Agar fokus pada tugas kenegaraan dari pada tugas partai politik. Namun SBY sendiri mengingkari “fatwanya” sendiri.

Di tahun politik ini. Rupanya SBY “dipaksa” turun gunung bagai Imam Mahdi. Sebagai satu-satunya tokoh “juru selamat”. Dapat menyelamatkan PD dari ancaman tubir jurang. Dari ancaman Pemilu yang akan dihelat 9 April 2014 nanti.

SBY  pada dasarnya lupa adagium yang pernah dilontarkan oleh Manuel  Luis Quezon “My loyality to may party ends where my loylity to my country begins”. Meskipun tidak ada pembatasan hukum pejabat Negara untuk merangkap jabatan sebagai pengurus Parpol. Namun secara etika, seyogianya SBY, Jika tetap ingin menunjukan kenegarawanannya. Ia tidak perlu tergopoh-gopoh “memaksa” diri menjabat sebagai Ketua Umum PD.

Kapital SBY
Disadari bahwa SBY lebih unggul dari calon-calon yang lain, seperti Marzuki Alie dan Saan Mustopa. Dari latar sosiohistori mau tidak mau SBY, dominan yang membesarkan PD hingga mendulang suara sekitar 20 % pada Pemilu 2009 lalu. Atau jika dikerucutkan SBY memegang dua capital yang superistimewa.

Pertama, capital history, bahwa benar PD didalangi dan diinisiasi oleh SBY sehingga PD menjadi partai pemenang Pemilu dan berhasil menjadi partai penguasa parlemen, berkat “magnet elektoralnya”. Dan beberapa “kebijakan sinterklasnya” hingga dirinyapun dinobatkan sebagai Presiden yang kedua kalinya.

Kedua, capital electoral, berkat jasa beliau juga sebagai tokoh sentral “figuritas’ sehingga electoral Demokrat mendulang angka fantastis dalam Pemilu 2009.

Namun nostalgia untuk mengulang kembali kejayaan masa lalu itu. Sepertinya SBY akan “gigit jari” dan menemui banyak hambatan. Sedianya, masa SBY  untuk menjadi Capres sudah diringkus oleh konstitusi. Sehingga lompatan sejarah dalam hal pencitraan, yang dapat menggoda ceruk pasar pemilih. Agar menjatuhkan pilihan terhadap dirinya. Rasanya mustahil lagi terjadi. Kita bisa mengatakan bahwa kemenangan beberapa anggota legislatif menduduki Senayan dalam Pemilu 2009. Tidak terlepas dari figuritas SBY. Sehingga jika figur SBY hendak dijadikan patokan agar nantinya memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif  9 April 2014 nanti.  PD Ibarat si Pungguk merindukan bulan.

Tidak dapat dipungkiri jika SBY yang menjadi Ketua Umum. Faksioanalisasi yang selama ini menggangu PD, diantaranya faksi Cikeas, faksi Anas, dan faksi Senayan akan mampu diredam. Tapi SBY  lupa kerugian besar yang bakal mengancam PD,  jika diurus oleh dirinya. Di samping harus mengemban tugas kenegaraan. Maka tak ada waktu bagi SBY untuk menyolidkan barisan kader di tingkat bawah (baca: daerah). Bahkan mesin partai untuk mendongkrak suara dalam pemilihan legislatif akan terhenti. Karena pekerjaan demikian, hanya bisa dilakukan oleh seorang Ketua Umum yang tidak terpecah pikirannya. Saya kira Anas dahulu sudah berhasil dalam sektor ini. Terlepas dari takdir yang mengantarkannya harus berurusan dengan KPK.

Mengaca pada hasil survey SJN (Survey Jakarta Nasional) sebanyak 77 % tidak menghendaki kalau SBY sebagai Kepala Negara, juga menjabat sebagai ketua umum. Namun SBY tetap “menafikan” suara rakyat kalau dirinya tetap dapat membagi waktu. Antara pekerjaan partai dengan tugas Negara. Bahkan dengan jurus jitunya, SBYmengangkat Syarif Hasan sebagai Ketua Harian Partai Demokrat, Marzuki Alie sebagai Wakil Ketua Majeis Tinggi dan EE Mangindaan sebagai Ketua Dewan Harian Pembina. Konon katanya pekerjaan mengurus partai akan dititik beratkan kepada ketua harian. Namun ironisnya, tetap nantinya Ketua Umum yang bertanda tangan. Dalam penentuan verifikasi daftar calon anggota legislatif dari PD.

Di satu sisi SBY memberi pekerjaan kepada Ketua Harian, di sisi lain malah SBY tetap yang mengurusi masalah administrasi DCT (Daftar Calon Tetap) anggota legislatif PD untuk KPU. Apakah di sini SBY sebagai Ketua Umum dengan hukum besi oligarkinya. Hanya sebagai simbol saja ? Tentunya publik yang lebih tahu jawabannya nanti. Kalau masih menaruh hasrat pada PD. Untuk dipilih sebagai partai yang masih layak mendominasi senayan.***

Oleh;
Damang Averroes Al-KhawarizmiPeneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com

[Read More...]


Perang Bintang 2014 Burhanuddin Muhtadi



Membuka halaman perhalaman buku Burhanuddin Muhtadi yang berjudul “Perang Bintang 2014” seolah kita dihipnotis dengan gaya bahasa Burahnuddin yang sangat lugas diksi dan beberapa pilihan tema disetiap bab tulisannya.

Selain buku Perang Bintang 2014, juga sudah beredar lebih awal buku beliau, yang saat ini dapat ditemui dibeberapa toko buku yang berjudul ‘Dilema PKS Suara dan syariah”. Buku tersebut merupakan tesis Burhanuddin  Muhtadi di ANU, yang menyoroti PKS sebagai Partai dalam dua jerat kepentingan, mempertahankan sisi “religiusnya’ ataukah terbuka menjadi partai nasionalis, dengan tujuan PKS dapat mendulang suara bukan hanya dari kader yang selama ini dibina dalam metode tarbiyah. Namun juga meraih simpati pemilih dari luar binaan kader.

Hal yang paling istimewa dari buku perang bintang 2014, meskipun buku tersebut bagi pembaca rutin harian koran. Tidak menutup kemungkinan karya Burhanuddin Muhtadi tersebut sudah dibaca dari berbagai tulisannya dibeberapa harian.

Namun buku tersebut menyisahkan kesan “karut marut” instabilitas politik yang melanda bangsa ini dari tahun 2009, pasca terpilihnya SBY Boediono. Ada sekelumit potret jejaring kuasa yang mengintervensi partai politik sehingga mau tak mau hampir semua pengamat politik mensinyalir kalau partai politik saat ini adalah akar yang menyebabkan sehingga episentrum korupsi semakin didominasi oleh pejabat publik, yang direkrut dari partai politik.

Oleh karena itu, salah satu yang patut menjadi catatan adalah perbaikan regulasi sistem pemilu kita, perbaikan regulasi sitem partai politik sebagai pilar demokrasi. Seperti tawaran Burhan, agar diupayakan konsitensi penyederhanaan partai politik di parlemen dengan harapan sistem pemerintahan presidensil tidak selamanya berada dalam “tawanan” parlemen.

Burhanuddin Muhtadi dengan berkali-kali mengutip pendapat Scott Mainwaring, menyatakan bahwa dari hasil riset  oleh Mainwaring terhadap tiga puluh satu negara yang pernah menganut sistem pemerintahan presidensil dengan kombinasi mutippartai, tampaknya gagal total mewujudkan pemerintahan yang efektif, pemerintahan yang mampu mewujudkan janji politiknya selama masa pemerintahan.

 Hal tersebut disebabkan tidak lain antara Presiden dan DPR sebagai lembaga legislatif adalah dua lembaga yang mendapat legitimasi dipilih secara langsung oleh rakyat. Terjadi duel legitimacy Sehingga sudah merupakan keniscayaan politik bagi Presiden yang terpilih harus menjaring koalisi di parlemen, dengan mimpi, mampu menguatkan setiap kebijakannnya.

Tapi apa yang terjadi,  dengan sistem pemerintahan presidensil yang dikombinasikan dengan multipartai ekstrem. Tampaknya kecurigaan Mainwaring terbukti sudah, yang menjadi permasalahan adalah munculnya bangunan koalisi yang pragmatis dan terciptanya koalisi sekedar kepentingan trasaksional.

Sebenarnya Pemerinthan SBY-Boediono secara kasat mata sudah dapat dikatakan berhasil memenangi pemilu dengan satu putaran 2009. Permasalahannya, koalisi yang dibangun malah koalisi obesitas, dan parahnya lagi tidak ada kemampuan SBY mendisiplinkan gabungan koalisinya. Gabungan koalisi mendukung atau tidak mendukung sangat ditentukan oleh arah mata angin.  Kadang mengikut, kadang mem”beo, berakrobat, bermanuver untuk kepentingan meraih simpati saja.

Selain Burhanuddin Muhtadi menyoroti masalah sistem kepartain terkait dengan bangunan sistem presidensial. Juga mendeskripsikan beberapa fakta kegagalan partai menjalankan fungsinya dalam tiga tahun terakhir.

Partai Demokrat yang dihantam Nazaruddin affect, dalam kasus korupsi proyek Sport Center Hambalang dan Wisma Atlet hingga menyeret beberapa pettinggi PD:  Angelina Sondakh dari Waksekjen PD, Andi Mallarangeng, dan terakhir publik tahu semua ending  tsunami PD, kasus Hambalang benar-benar menohok partai Mercy itu, nama Anas Urbaningrum tak lepas dari ancaman hotel prodeo KPK saat ini.

TAK pelak kasus yang menimpa partai Demokrat juga diikuti oleh partai lainnya, Partai Golkar meringkus angka satu  korupsi tertinggi, dari kadernya yang telah menduduki kursi pemerintah daerah. Ditambah kasus pengadaan Al-quraan terhadap ZD. Meski diakui partai golkar kurang dihjat oleh media dan publik karena seling poin anti korupsi adalah pruduk politik PD.

Kemudian, disambut dengan politik dagang sapi yang ditegaskan pembuktiannya oleh pucuk pmpinan PKS sebulan silam dalam kasus daging inpor sapi. Tersangkanya LHI menjadi bukti tidak ada partai yang akan memberi harapan kepada calon pemilih kelak. PKS sebagai partai bersih akhirnyapun terserempet dalam permainan syahwat politik  guna mengumpulkan pundi-pundi “uang” sebagai modal awal. Biaya kampanye menjelang hujatan pemilu 2014.

Gejala tersebut memperpanjang sinisme publik terhadap partai politik. Menjelang pemilihan Pileg dan Pilpres 2014. Terjadi “deparpolisai” terhadap calon pemilih. Jangan-jangan  perilaku partai politik yang kena kocok dadu arisan korupsi. Ceruk pasar pemiluh semakin menjauh dari intermediasi partai politik.

Intermediasi pemilih didefenisikan sebagai fungsi afeksi yang mengukur tingkat loyalitas pemilih terhadap partai. Survey yang diakukan oleh Lembaga survei Indonesia pemilih id tersebut hanya berada dalam kisaran 20 %, sehingga membicarakan prediksi 2014 mungkin saja deretan angka golput semakin bertambah. Sangat besar peluang tersebut akan terjadi.

Bergesarnya kepercayaan pemilih terhadap mesin partai politik juga ditunjukan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam Pilgub DKI Jakarta kemarin ketika Jokowi-Ahok berhasil memecundangi Foke-Nara yang  didukung oleh sejumlah partai ‘gajah”. Malah hasil keputusan KPU real qount banyak konstituen partai pendukung Foke-Nara berimigrasi ke Jokowi-Ahok. Ini disebabkan apa yang diistilahkan oleh Burhanuddin Muhtadi, split ticket voting.

Menariknya, Jokowi ia juga berhasil merespon simpati  di berbagi riset sebagai Capres yang digadang-gadang oleh responden. Jokowi menempati suara elektabilitas diharapkan memimpin bangsa Indonesia. Magnet elektoral Jokowi sebagai media darling dan blusukannya memberi sinyal, kalau saat ini pemilih butuh pemimpin yang ‘sederhana” dan tampil apa adanya saja, serta aktif merangkul rakyat setelah pemilu sedianya telah diselenggarakan.

Krisis figur dari pemimpin bangsa Indonesia juga ditampilkan dengan merosotnya kepercayaan publik terhadap beberapa Capres yang diusung oleh partai-partai besar. Aburizal bakri yang sudah dideklarasikan Golkar pada akhirnya, dalam survei dua tahun terakhir, elektabilitasnya hanya bermain dalam angka satu digit (6 % s/d 7 %) merupakan fenomena kegagalan penobatan Capres Golkar. Padahal jika mau kita fair elektabilitas Partai Golkar sudah menempati ururtan teraratas.

Hemat saya jika Golkar tetap bertahan dalam pencapresan ARB mau tidak mau, kursi kekuasaan akan diambil alih oleh partai lainnya. Dan konsekuensinya, lagi-lagi kita mesti lapang dada, Presiden terpilih kelak berasal dari partai lain, yang bukan pemenang legislatif mayoritas. Presiden  akan berada dalam pusaran “sandera” koalisi pragamatis.

Di atas segalanya, memang perlu reformasi partai politik dengan transparansi keuangan  partai politik, terhadap pemasukan dana Parpol dan pengeluarannya.

Janggalnya, UU parpol kita saat ini, sebagaimana yang dicamkan oleh Burhanuddin Muhtadi. Adalah caleg yang tidak pernah diaudit sumbangan yang masuk dikantong pribadinya, sumbangan tersebut misalnya tidak dilaporkan, sebagaimana pendanaan parpol yang diterima dari badan usaha.

Masalah lain, Undang-undang Pemilu kita saat ini minus pembatasan spending kampanye, sehingga potensi penghamburan uang bagi caleg berpotensi besar. Dan tentunya tidak ada yang mau memberi makan siang gratis, sehingga caleg terpilih akan berupaya mengembalikan dana pribadinya, di saat nanti terpilih. Jalannya, sudah pasti dengan laku korupsi disetiap pos-pos pengeluaran anggaran negara.

Silahkan pembaca  membuktikan sendiri, betapa bernasnya karya Burhanuddin Muhtadi ini, dari bukunya “Perang  Bintang 2014”, yang terbagi atas tujuh bab, bahkan fakta politik yang tidak terpikirkan oleh pembaca diulas dalam buku tersebut. Seperti  Koalisi cinta dua partai biru, peran bintang para jenderal, mitos bertuah dalam fersi primbon jawa; ternyata SBY rupanya memeiliki garis tangan dari mertuanya Sarwo Edi. Sehinggi teripilih sebagai presiden dua kali.

Oleh;
Damang Averroes Al-Khawarizmi
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors