Mesin Pembunuh Parpol Bernama Korupsi



Alegori politik menyatakan “tidak ada reformasi partai politik tanpa reformasi sistem keuangan partai politik.” Untuk itu, perlu beberapa langkah strategis yang mesti ditempuh melalui beberapa pembenahan terhadap sistem keuangan tersebut sebagai bentuk reformasi pendanaan partai politik




Jamak diketahui tanpa ditanyapun para elit partai saat ini, mereka semua pasti akan sepakat menjawab, sejatinya korupsi dapat menjadi “mesin pembunuh” secara perlahan terhadap partai politiknya. Analogi ini kemudian tersimpul, berpangkal, dan bermuara dalam beberapa rilis survey, menunjukan partai politik yang terseret dalam pusaran korupsi, akan merangsek hingga terjun bebas elektabilitasnya di mata publik.
Damang Averroes Al-Khawarizmi

Pertanyaan kemudian yang mengemuka adalah kalau seperti itu fakta yang terkuak, mengapa partai politik tetap “enjoy-enjoy” saja mengubur diri dalam kubangan korupsi? Tidak sadarkah mereka kalau korupsi berkelanjutan terus-menerus yang dilakukan itu, merupakan “bunuh diri” politik, sehingga tinggal menunggu waktu saja partai itu hilang dari memori kolektif publik. Yang pasti, tidak satupun partai politik menginginkan yang demikian terjadi, sebagai bentuk “penghukuman” persepsi publik. Oleh karena itu patut menjadi catatan, kenapa partai politik sampai terjerat dalam mesin pembunuh yang bernama korupsi?

Mesin Pembunuh

Sengaja saya menggunakan terminologi mesin pembunuh dalam tulisan ini, berangkat dari argumen, bahwa korupsi politik yang menimpa beberapa elit partai (seperti: Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa ode Nurhayati, Zulkarnain Djabar, Luthfi Hasan Ishaq dan masih banyak lagi sederet fungsionaris partai lainnya) tidak bisa “penghakiman” itu tertuju pada “aktornya” saja. Logikanya, kalau ada akibat juga pasti ada penyebab, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. 

Sebabnya, sudah pasti ditimbulkan oleh partai politik yang membutuhkan anggaran partai untuk dua dimensi anggaran yaitu campaign finance dan party finance (Muhtadi, 2013). Campaign finance adalah keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Sedangkan party finance merupakan keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk kegiatan partai di luar masa kampanye dalam rangka menggerakan infrastruktur dan jaringan partai. Saat ini, anggaran yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan yang dibolehkan menurut Undang-Undang Partai Politik yang terdiri atas iuaran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan Negara yang bersumber dari APBN.

Mengacu pada studi Mietzner, ada suatu situasi ketika partai hanya berharap dari bantuan Negara tidak cukup menutup biaya kampanye partai. Hasil pemilu 1999 misalnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51/ 2001 setiap tahun peserta pemilu mendapat Rp. 1000 persuara hasil pemilu, oleh Mietzner melalui risetnya (2011) setidaknya subsidi itu dapat menutupi 50 % untuk pembiayan kampanye. 

Tetapi peraturan itu tidak bertahan lama pasca keluarnya PP No. 5/2009, ketika partai politik hanya dapat bantuan dari Negara Rp. 108 per suara dengan mengacu pada pemilu 2009. Praktis partai politik mau tidak mau akan “dipaksa” untuk mencari anggaran di luar bantuan Negara, dengan cara “ngobyek” kemana-mana, melalui kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki. Proyek-proyek melalui pos kementerian menjadi ajang “perburuan rente” sekaligus “lahan basa” hingga “ATM Parpol” oleh pejabat teras yang sementara menjabat di pos kementerian itu, untuk mencukupi anggaran yang dibutuhkan dalam pembiayan partainya.

Dititik itu, tidak berlebihan untuk mengatakan, kalau korupsi yang menyeret sejumlah partai gara-gara pejabat terasnya ibarat “roda mesin” yang berjalan dalam satu sistem. Antara partai politiknya sendiri dengan fungsionarisnya yang dituntut mencari “sumbangan” terhadap partai politik dimana dia berasal.

Oleh karena itu, diperlukan formula yang tepat untuk “mengamputasi”, memutus, atau menghentikan “mesin Pembunuh” itu. Tidak boleh dengan serta-merta kita membiarkan partai politik, satu persatu jatuh dan mati secara perlahan. 

Disamping partai politik merupakan keniscayaan dalam Negara demokrasi fungsi partai politik saat ini juga memiliki peranan penting dalam perekrutan pejabat publik. Mulai dari tingkat Presiden, hingga Kepala Daerah peran perekrutan partai politik sulit dilepaskan. Pemilihan Kapolri, Hakim Agung, KPK, duta besar dan lain-lain mesti melalui fit and proper test di DPR yang merupakan representasi partai politik.

Reformasi Parpol 

Sebuah alegori politik menyatakan “tidak ada reformasi partai politik tanpa reformasi sistem keuangan partai politik.” Untuk itu, perlu beberapa langkah strategis yang mesti ditempuh melalui beberapa pembenahan terhadap sistem keuangan tersebut sebagai bentuk reformasi pendanaan partai politik.

Pertama, tranparansi keuangan partai politik---berharap kepada Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu untuk saat ini mustahil, karena UU tersebut sudah diketok palunya, dimungkinkan hanya bisa diatur melalui UU sendiri, melalui UU khusus yang mengatur sistem pendanaan Parpol yang transparan dan akuntabel disertai dengan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melanggarnya. Melalui UU ini, diatur transparansi pengelolaan keuangan partai secara detail baik terhadap standar laporan keuangan partai, pemisahan aset partai dengan para fungsionarisnya, audit keuangan partai politik juga caleg yang diusungnya, hingga pada akses yang muda dan terbuka bagi publik untuk membaca laporan keuangan partai.

Kedua, limitasi “spending” kampanye---selama ini melalui UU Partai Politik sudah ada pembatasan terhadap sumbangan terhadap partai. Namun pengaturan tersebut menjadi “pincang” karena bagaimana mungkin pada sektor hulunya dibatasi, sementara pada sektor hilirnya (pembiayaan kampanye) dibiarkan jor-joran. Melalui pembatasan spending disertai pula sanksi yang tegas jika ada yang melanggarnya, bagi caleg dan kampaye partai jelas akan “memaksa” partai ”memutar haluan” agar berkompetisi pada gagasan, tidak lagi berdasarkan finansial semata.

Regulasi spending kampanye untuk saat ini memang sudah mulai diterapkan oleh KPU sebagai badan penyelenggara pemilu, setiap calon legislatif dianjurkan melaporkan harta kekayaannya termasuk dana pembiayaan kampanye, tetapi ke depan sebaiknya diformulasikan dalam bentuk UU tersendiri, karena ini menyangkut hajat hidup partai politik, juga kita menginginkan demokrasi yang berlandaskan pada sistem meritokrasi. (*)









Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com

[Read More...]


Surat dari Timur, Untuk Hamdan Zoelva



 Bukan berlebihan jika banyak orang bersenandung di negeri ini. Untuk jabatan MK, “wakil Tuhan” yang agung itu, dibutuhkan manusia-manusia malaikat yang berani menanggalkan “baju” kemewahannya, tanpa lagi memikirkan untuk menumpuk harta selagi melanggengkan kuasa.
(Artikel ini juga muat diharian Tribun Timur Makassar, 8 November 2013
 
 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
SUNGGUH menyayat hati, ada yang menerima, ada yang tidak percaya, ada pula yang hakul yakin, kalau peristiwa naas yang menimpa seraya merobohkan benteng konstitusi kita adalah pucuk pimpinannya sendiri. Masih lekas, belum berlalu dingatan kita semua, Akil Mochtar dijemput “paksa” oleh KPK selang waktu menuju sepertiga malam, bak halilintar di siang bolong yang menghunjam, pun kejadian itu menimbulkan kepanikan massal. Bagai disatroni listrik, negeri ini dihadang kiamat, hingga fungsi-fungsi Negara ditakutkan pula akan berhenti bekerja, roda konstitusi pada waktunya, dinyatakan “tiba saatnya berhenti bekerja.

Tapi tidak, jangan berlarut duka dalam isak tangis berkepanjangan, lalu kita hanya mau meratapi, topan korupsi yang melanda pemegang “wakil tuhan” tertinggi itu. Tak patah arang, mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti, badai dahsyat yang menerpa, MK harus terus menabuh genderang keadilan, menunjukan kalau mereka masih ada.

Nila setitik merusak susu sebelanga, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari, meski esok langit akan runtuh, konstitusionalisme terus didendangkan, semangat terus….semangat terus…!!! Yakin dan percaya mereka yang terpilih adalah negarawan yang tidak mungkin membiarkan repubik ini merana, apalagi mendayungnya dalam jurang nista apalagi kematian. Selangkah lebih maju, tanpa menunggu people power, mereka telah mencari “nahkoda” baru. Hamdan Zoelva, bergelar Doktor ilmu hukum bidang tata Negara, alumni FH Unhas, kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, menggantikan Akil Mochtar.

Saban waktu bersamaan dengan putusan akhir majelis kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHK) menjatuhkan pelanggaran etika atas AM. Di awal bulan November ini tercatatlah nama dari timur: Hamdan Zoelva, terpilih sebagai nahkoda keempat yang akan mendayung “perahu keadilan” di negeri ini beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dari timur mewakili harapan teman-teman agar dapat mengetuk hati, kutulis surat rindu untuk Hamdan Zoelva, surat ini adalah surat untuk keadilan, surat untuk bangkit dari keterpurukan, bangkit dari pembaringan tipu daya, berdoa sambil bekerja, semoga benih-benih keadilan terus menebar di bumi pertiwi.

Inilah isi surat itu; Hamdan Zoelva! engkau tidak banyak muluk-muluk, tidak banyak janji, namun harapan rakyat dipundakmu, pulihkan citra MK. Toh engkau menjawab harapan itu, seraya berharap asa, doa dari ratusan juta rakyat Indonesia, agar engkau dapat mengemban amanat konstitusi kita semua

Marwah MK yang kini telah ditelan badai dan gelombang korupsi, dari Sabang sampai Merauke rakyat berharap gelombang rindu untukmu, engkau berbicara, bernalar, menorehkan tinta keadilan di lembaran putusan-putusanmu. Mereka pada berteriak, jangan ada dusta diantara kita, kami percaya, engkau juga percaya pada kami. Maka diamlah jika itu baik bagimu suatu waktu, atas putusan yang telah engkau telorkan, kalau memang itu lahir dari hati nurani, karena sudah pasti itulah harapan rakyat menanti keadilan bukan hanya untuk segelintir orang, tapi semua orang, tidak ada yang diabaikan hak-hak konstitusionalitasnya

Sungguh pula ada perbedaan denganmu, Akil Mochtar, ataukah Mahfud MD. Ketika semua orang berseloroh, jangan ada hakim konstitusi dari anggota partai politik, peringatan itu lebih keras lagi datang dari sang kepala Negara. Semua rakyat Indonesia tahu pasti kalau dirimu adalah eks. Partai Bulan Bintang. Pernah lama “makan garam” di parlemen, tetapi engkau telah lama meninggalkan lama gelanggang DPR itu. Akil adalah perwakilan DPR, sementara dirimu adalah perwakilan Presiden

Semua perbandingan itu tidak penting, kalau engkau dapat menunjukan kerja dan kinerjamu. Engkau tahu mana yang layak menjadi teladan, tidak mungkin engkau akan menjebak diri, jatuh di jurang yang sama sebagaimana rekan sekolegamu dulu, bahkan dia adalah pucuk pimpinanmu. Pemimpin tak selamanya diikuti, karena sesungguhnya pemimpin yang kuasa adalah hati nuranimu sendiri. Dengarkan mereka kalau benar, jika salah, tanyalah hati nuranimu, sungguh itu lebih benar dari apapun yang menggodamu di luar sana.

Nun jauh, kampus fakultas Hukum Unhas di sini, pada bangga menyebut dirimu. Konon semakin banyak alumni FH Unhas menduduki jabatan kenegaraan di ibu kota kenegaraan itu. Guru dan pembesarmu Prof Laica Marzuki hanya mampu menjabat wakil ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi engkau lebih dari itu, engkau menjadi Ketua, bukan wakil yang bisa didelegasikan jabatan oleh atasan. Engkaulah penentu kebijakan atas maju mundurnya “rumah keadilan” konstitusi itu.

Ayam jantan dari timur, paentengi sirimu (dahulukan malumu), itulah slogan yang tak pernah lekang oleh waktu, menjadi pengobar semangat kampus merah, kampus pertama yang pernah mendidik dan membesarkanmu, hingga kini duduk “dikursi” konstitusi. Demi Tuhan, demi rakyat, demi hukum, demi UUD, norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum bekerjalah karena rindu dan gamangnya rakyat pada keadilan. Jadikan rindu untuk keadilan itu, ibarat Tuhan para musafir, para suhuf, para sufi, para alim yang tidak pernah puas akan rindu spiritual yang dijajaki setiap menit, detik, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya.

Putusan yang menikam “rasa keadilan”, karena godaan harta dan wanita tolong diabaikan. Jangan ada konspirasi dibalik rumah keadilanmu, rumah untuk rakyat pula. Peristiwa kemarin: sengketa Pilkada Lebak Banten, sengketa Gunung Mas (Kalimantan selatan), sengketa Pilkada Bali, cukup sudah jual beli keadilan itu, berakhir tahun ini, jangan terulang lagi. Hamdan Zoelva! kuburkan gejala itu, tidak ada konstitusionalisme yang macam itu, bukan lagi lucu, tapi itu sudah konyol

Jangan lupa! Konstitusi adalah perjuangan harkat dan martabat setiap warga Negara. Mayoritas maupun minoritas tidak boleh ada yang terluka karena putusan-putusanmu. Oleh karena itu bukan berlebihan jika banyak orang bersenandung di negeri ini. Untuk jabatan MK, “wakil Tuhan” yang agung itu, dibutuhkan manusia-manusia malaikat yang berani menanggalkan “baju” kemewahannya, tanpa lagi memikirkan untuk menumpuk harta selagi melanggengkan kuasa.

Adakah dikau yang tersebut itu, wahai Hamdan Zoelva, sang ketua MK yang kemarin ditasbihkan sebagai pemimpin tertinggi konstitusi. Betulkah engkau manusia-manusia malaikat? Oleh konstitusi bernada dan bertutur lain, betulkah engkau negarawan “dialtar” konstitusi itu yang bisa menuangkan “cawan” keadilannya, satu untuk semua, hingga keadilan membumi di hati sanubari rakyat Indonesia. Hanyalah waktu dan sejarah yang akan mengujimu. (*)






Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni FH UNHAS (SAKSI 2004) & Co-Owner negarahukum.com














[Read More...]


Mencari “Negarawan” di Hari Kurban




PASCAPENANGKAPAN Akil Mochtar tiba-tiba semua orang berbicara tentang “negarawan”. Bahwa diciduknya Akil dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK mengonfirmasi kalau hakim konstitusi dari jatah DPR itu salah dalam proses pengorbitannya sebagai negarawan. Padahal boleh dikata hanya hakim konstitusi dalam proses perekrutannya, oleh undang-undang dipersyaratkan calon hakim tersebut harus negarawan.

Terlepas dari itu semua syarat “negarawan” abstrak dalam pendefenisiannya. Serupa namun tidak sama deskripsi dan sasarannya, mengukur orang beriman dan negarawan sama-sama sulit. Takaran beriman, taqwa adalah ukuran Tuhan, sedangkan takaran negarawan dibentuk melalui persepsi publik. 
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Hal ini tergambar dalam diri Mahfud MD, melalui putusan-putusan progresif-nya sejak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan pencitraannya di media, seperti; memberi respon atas penindakan dan pencegahan kasus-kasus korupsi yang marak di tanah air. Maka seiring berjalannya waktu anak binaan PKB itu ditasbihkan sebagai negarawan. Namun gara-gara penangkapan mantan sekoleganya (Akil) image kenegarawan Mahfud perlahan pudar. 

Maka dihari raya haji, idul adha besok bukan hal yang salah jika ditafsir ulang makna “napak tilas” Ibrahim, bersikap pasrah kepada Tuhannya. Nenek moyak dari para agama moneteis itu meski kental risalah yang disampaikannya lebih dominan berbicara pada aspek ketauhidan, namun sikap Ibrahim yang melepaskan segala kepentingan dan urusan duniawinya menuju kearifan puncak ---- meminjam bahasa Murtadha Muthari---- tidak jauh berbeda dengan karekteristik negarawan yang selama ini didambakan. Ibrahim as merelakan anaknya Ismail, yang sekian lama dinanti, bertahun-tahun, hingga istrinya Hajar sudah mulai uzur baru dikaruniai anak, itupun hanya anak semata wayang.

Bisa dibayangkan dalam kehidupan yang serba modern saat ini, tidak ada seorangpun yang berani menjadikan anaknya sebagai “sesembahan” untuk dikurbankan. Apalagi anak yang lama dinanti baru kunjung lahir. Itulah nilai ketulusan, keihkhlasan, suka rela yang diajarkan oleh Ibrahim mengandung historisitas yang tidak akan pernah habis untuk ditafsir terus-menerus, demi kepentingan serta kemajuan zaman yang terus berjalan.

Di awal merayakan hari kurban, dibalik peristiwa naas yang melanda bangsa ini, atas deretan sengkarut korupsi. Ketika Republik tercinta sudah berada dititik nadir, ketika tak ada lagi manusia yang memiliki nilai ketulusan dan keikhlasan memegang amanat yang dipercayakannya. Ketika Bangsa ini mengalamai krisis keimanan hingga melunturkan rasa tanggung jawab sebagai “wakil tuhan”. Yang dengan “tega” menggadaikan kepercayaannya dan berlaku culas menjual nama “keadilan” yang telah disakralkan. Jejak langkah Nabi Ibrahim perlu dihidupkan dalam sanubari kita semua, benih-benih negarawan tidak menutup kemungkinan hadir pasca kita menjajaki masa lebaran Idul adha, karena ritual kurban pasca merayakan lebaran dengan menyembeli seekor hewan merupakan simbol mengahdirkan ajaran Ibrahim dalam masa kekinian

Tafsir Menyembelih
Mencari negarawan ditahun politik 2013 dalam tafsir kurban, denga menyembelih seekor hewan, bukan hanya sampai disitu kita akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda. Karena bagi orang yang bergelimang harta kekayaan, memotong seekor hewan bukanlah perkara sulit, bahkan hewan impor berbiaya mahal dapat dibeli oleh mereka. Sementara orang yang tinggal di pedalaman, areal perkampungan justru menjadikan hewan piaraan sebagai tempat menabung harta, sembari menunggu hewan tersebut tumbuh dan harganya mahal di masa lebaran kurban.

Oleh karena itu patut dihadirkan makna otentik yang diwahyukan Tuhan kepada Ibrahim sebelum sesembilahan Ibrahim as yang bernama Ismail (anaknya sendiri) dibarter dengan seekor domba di zaman itu. 

Tafsir pertama, hari kurban merupakan momentum untuk kembali merenungi agar Ibrahim “menyembelih” kemewahan yang berlimpah atas dirinya. Patut menjadi catatan bahwa diusia senja Ibrahim as, telah dikaruniai kekayaan yang berkecukupan. Saat Ibrahim merasa hidupnya sudah cukup, ditanyalah oleh Allah SWT dalam riwayat mimpi, sesungguhnya apakah yang engkau sayangi dalam dirimu, dalam batin Ibrahim dijawab, “anakkulah yang aku amat kusayangi ya Rabbku”. Oleh Karena, simbol kemewahan yang dimiliki oleh Ibrahim adalah anaknya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus merelakan anaknya untuk diserahkan kepada yang maha kuasa. Berbanding terbalik, bagi pejabat yang sudah hidup serba kemewahan saat ini, dengan rumah, hotel dan mobil mewah yang berlimpah justru sikap tulus, dan keikhlasan berbagi terhadap sesama, hari kurban tidak dimaknai untuk menyembelih harta kekayaannya. Jadi, kalau hendak melihat negarawan saat ini, maka tengoklah mereka yang tidak mengenal waktu mendermakan harta kekayaannya. Mereka tidak mau mengumpul harta untuk tampil memesona hanya pada tampilan fisik saja.

Tafsir kedua, sejatinya kurban diajarkan pula untuk “menyembelih” sifat ketamakan juga keserakahan. Di bumi pertiwi ini bukanlah peristiwa langkah, menatap para pejabat sudah hidup berkecukupan. Isteri dan anak-anakanya sudah dapat dipenuhi segala kebutuhannya, namun selalu “takut “ kekurangan, takut sewaktu-waktu kemiskinan akan mendera anak cucunya hingga tujuh turunan. 

Akil Vs Ibrahim
Andaikata Akil tahu akan hal itu, agar menyembelih segala ketamakannya, tidak mungkin tergoda untuk menerima suap dari seorang calon pejabat kepala daerah. 

Namun nasi sudah jadi bubur, pintu taubat bagi Akil harus dibayar mahal terpisah dengan sanak keluarganya, penjara sudah menanti untuk merenungi segala ketamakannya. Bahwa menjalankan amanat konstitusi untuk kemaslahatan bersama memang penting ketulusan dan keikhlasan untuk selalu ditumbuhkan.

Siapa yang rela menyembelih di hari kurban, janji Allah sudah lama menanti. Namanya akan selalu diabadikan sepanjang masa. Hingga kini nama Ibrahim as berulang kali namanya disebut dalam bacaan shalat tahiyatul awal dan akhir. Akil justru sebaliknya, malah abadi sepanjang masa bukan karena “kebaikannya”. Nama Akil “abadi” pertama kali tertoreh dalam sejarah dunia, mencatatkan diri, culas bermain mata, menjual keadilan untuk menumpuk harta.

Terakhir, kerelaan dan diskusi bersama antara Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail sebelum menjalankan “titah” Tuhan. Tidak hanya bisa hadir dengan sendirinya, bukan hadir karena perjuangan pribadi semata. Melainkan dibutuhkan dukungan dan semangat keluarga pula. Siti Hajar tidak pernah melarang Ibrahim menyembelih anakanya, demikian pula Ismail taat atas wayu Tuhan. Semuanya diserahkan kepada Tuhan yang maha Pengasih dan penyayang. Pada akhirnya Ismail diganjar sebagai Nabi yang bisa meneruskan jejak langkah ayahnya. 

Seandainya ada pejebat saat ini meneladani Ibrahim, tidaklah sulit kita mencari negarawan yang bisa menahkodai “kapal” Republik Indonesia. (*)



Oleh: Damang S.H
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas



[Read More...]


Faksionalisme Golkar dan Pilwakot Makassar



Faksionalisasi dalam sebuah partai merupakan gejala yang wajar dan tidak serta merta harus ditolak keberadaannya. Belloni (1978) membagi tipologi faksionalisme partai ke dalam tiga jenis. Pertama, faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu politik. Biasanya tak berusia panjang, sangat insidental,dan informal. Kedua, faksi yang terbentuk karena pola patron-klien. Jenis ini dipengaruhi oleh faktor karisma tokoh yang memiliki basis sosial jelas. Ketiga, jenis faksi yang paling formal dan terorganisasi.

Mencermati Pilwakot Makassar, tinggal dalam hitungan hari lagi. Menarik untuk melihat kondisi partai Golkar yang terkesan “mendua”. Dikatakan Menarik, karena boleh dikatakan Sul-Sel merupakan “lumbung padi” Golkar yang baru kemarin mengantarkan Syahrul yasin Limpo “mencicipi” kursi Gubernur untuk kedua kalinya. Antitesa ini, jelas mempengaruhi pula pemilihan wali kota Makassar, Golkar menjadi kendaraan yang menarik dalam meraih kursi wali kota yang didambakan oleh kader-kadernya.

Yang lainnya, menarik pula partai Golkar untuk menjadi bahan kajian, karena sulit dipungkiri Partai Golkar merupakan partai peninggalan orde baru yang sudah menancapkan kekuasaannya, sudah lama mengakar di kalangan pemilih. Sehingga banyak pemilih, yang diklasifikasi sebagai pemilih “tradisional” setia pada Golkar. Golongan pemilih ini tidak mau tahu siapa yang diusung, atau wakil dari partai itu, yang jelas karena Golkar maka orangnyapun mesti dipilih.

Tampaknya, faksionalisasi bukan hanya menjadi “makanan empuk” bagi sentral kekuasaan partai. Dalam hal ini di pusat, untuk penentuan, penetapan presiden ditubuh partai beringin itu. Namun di lintas electoral, sekalipun selalu dikatakan partai hanya menjadi “pelengkap penderita” karena selebihnya pekerjaan menarik simpati ceruk suara. Ada pada tugas sang kandidat, mulai dari dana kampanye, hingga relawan yang harus dibayar “murni” ditanggung oleh kandidat itu. Tetapi untuk Partai Golkar pengaruhya terhadap pemilih boleh dikatakan masih ada.

Pemilihan wali Kota Makassar, dengan majunya Irman Yasin limpo-Busrah Abdullah, melalui slogan NONE (diusung PPP dan PAN) menyebabkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar Supomo Guntur-Kadir Halid (SUKA). Kader dan anggota partai politik yang memberikan dukungan terpecah dalam dua faksionalisasi yaitu Faksi NONE (bisa juga dikatakan faksi Limpo) dan faksi SUKA.

Faksi
Majunya Irman sebagai adik Syahrul Yasin Limpo dengan slogannya “saya None saya Golkar”. Patut menjadi catatan, partai Golkar di wilayah kota Makassar (DPD Golkar Makassar). Tidak mampu diredam model faksionalisasinya, agar tersegmentasi, bahwa konstituen dan kader “mutlak” mendaulat calon kepala daerah (wali kota) hanya satu kandidat yang “layak pilih”.

Tipologi faksioanalisme yang terjadi, lebih cocok pada tipologi ketiga yakni terbentuk karena pola patron-klien. Ada sekelompok kader di partai Golkar yang loyal terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai ketua DPD I Golkar, sehingga patron-klien lebih mendominasi, seolah-olah ingin menurunkan kekuasaan, sekaligus mengokohkan “dinasti” Limpo dalam tubuh Partai Golkar di daerah-daerah (baca: Makassar).

Kondisi ini semakin terang-benderang, ketika SYL tidak memberikan dukungan baik kepada adiknya sendiri maupun kepada Supomo Guntur. Ada sebuah kondisi “inkonsitensi” yang diciptkan sedemikan rupa, dimainkan oleh SYL. Meskipun sebagai ketua DPD I Golkar Sul-sel tidak pernah “terang-terangan memberi “restu” kepada Supomo Guntur.

Sikap diam SYL terhadap dua kandidat yang sama-sama mengklaim sebagai anggota partai Golkar. Memberi petunjuk kepada kita, kalau adiknya SYL (Irman) dikehendaki pula untuk mendapat “insentif suara” popularitas Golkar, karena adiknya juga adalah bahagian dari kader Golkar.

Kondisi ini, menunjukan rapuhnya institusionaliasi partai politik. Sehingga terjadi dualisme dalam tubuh internal partai. Dalam kesepakatan rapat DPP, hanya Supomo Guntur yang diusung oleh partai Golkar sebagai satu-satunya kandidat dapat memakai Golkar sebagai kendaraan politik. Di saat yang sama, Irman dengan memakai nama “NONE” juga mengaku-ngaku sebagai kandidat yang punya loyalitas di Partai Golkar.

Tidak ada kekuatan AD/ART partai politik sebagai UU yang patut “ditaati” bersama, agar faksi tersebut, tunduk pada keputusan partai. Bukan hanya Golkar, tetapi partai lainpun (seperti Partai Demokrat, PKB, Gerindra, PDIP) derajat kesisteman atas partai masih lemah. Bisa diukur pada sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan dan bagaimana mereka menyelesaikan konflik internal berdasarkan AD/ART partai mereka.

Pada intinya partai politik kita mempunyai “veto player” melalui figur sentral Partai sebagai magnet electoral. Sehingga kasus Pilwakot Makassar, posisi partai Golkar tidak mampu meredam konflik internal yang terjadi dalam tubuhnya sendiri. Sekalipun berkali-kali misalnya ditegaskan oleh Nurdin Halid sebagi perwakilan DPP Partai Golkar “Golkar punya mekanisme tegas dan transparan, DPP mengikat seluruh kader dengan surat keputusan, mereka harus patuh atas aturan partai” Toh, pada akhirnya banyak kader Golkar di Makassar yang terang-terangan mendukung Irman. Hal ini terlihat, ketika sederet nama-nama anggota partai Golkar dicabut “keangotaannya oleh DPP Golkar” namun oleh DPD Kota Makassar tidak mengakui pemberhentian atas sejumlah anggota partainya, yang memberi dukungan pada Irman.

Konflik
Fasionalisasi yang terjadi di Pilwakot Makassar ini, tidak boleh dipandang “sebelah mata” oleh para elit politik Golkar. Bukan hal yang berlebihan, konflik yang terjadi di tingkat DPD malah akan merembes ke tingkat pusat. Sehingga konflik internal selanjutnya adalah konflik DPD versus DPP.

Sekiranya, Partai Politik sudah “dilimitasi” oleh larangan merangkap jabatan sebagai pengurus partai, jika memiliki jabatan kenegaraan. Mungkin saja “lebih muda” untuk meredam faksionalisasi yang terjadi pada usungan partai Golkar di kota Makassar. Tuah-nya harus ditanggung sendiri oleh partai politik karena dalam AD/ART-nya tetap “betah” mendaulat rata-rata kepala daerah sebagai ketua partai. Ataukah, sudah ada pembatasan terhadap keluarga kepala daerah, agar tidak maju menjadi kepala daerah pula di tingkat kota/ Kabupaten (tempat lain). Sebagaimana yang digadang-gadang, sebagai aturan dalam revisi UU Pemda. Tidak mungkin pula ada kondisi dilematis, bagi kepala daerah meski sebagai pengurus partai, tidak tanggung-tanggung, untuk memberi restu atas kandidat yang diusung oleh partainya.

Di atas segalanya, konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai kuning itu seraya menanti perhelatan Pilwakot Makassar, yang jelas “keputusan akhir”, penalty, ditentukan oleh hasil pemilukada nantinya. Apakah Golkar yang menjadi pemenangnya, ataukah “dinasti” Yasin Limpo semakin menancapkan kekuasaannya di partai beringin itu. Mari kita tunggu!*
Sumber: rakyatsulsel.com

OLeh; Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti dan Analis Politik Republik Institute





[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors