Ibu, Kaulah Permata Jiwaku




22 Desember banyak orang menyebutnya Hari Ibu. Di jejaring sosial, facebook, twitter, hingga BBM semua pada ramai menuliskan selamat hari ibu. Tapi saya pribadi merasa belum lengkap, jika ucapan itu hanya kutuliskan, melalui media sosial semata.

Lebih berarti dan kiranya sangat bermakna, walau itu tidak mampu juga membayar jasa seorang ibu, jika aku mengisahkannya dalam kalimat hingga pada bait-bait pragraf. Minimal agar suatu waktu, jika aku rindu dengannya, aku dapat membuka kembali catatan-catatan itu.

Ibuku yang bernama Nawa, dia adalah wanita hebat, dapat membesarkan kami dari empat bersaudara, bahkan aku berani menyebutnya; dia akan selalu menjadi intan dan permata yang terus menerangi hidup dan perjuanganku.
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Aku pernah diceritakan oleh Ibuku, dia nikah di usia muda atas kemauan orang tua-nya. Walaupun ia dinikahkan bukan atas kemauannya, tampak ia dapat melakonkan dirinya sebagai istri. Cuma saja ketetapan Tuhan harus ia terima, karena suaminya meninggal saat kami belum bisa mandiri. Dan parahnya lagi, suaminya meninggal dengan cara yang tidak layak, mati dengan cara bunuh diri. Saat itu, ketika jarum jam diputar surut kebelakang, memori kematian ayahku tak pernah terhempas dari benakku. Ia kulihat meneguk racun di rumah-rumah sawah, tempat kami sekeluarga, kadang dikumpulkan jika orang tua kami sedang menggarap sawahnya.

Meskipun orang selalu mengatakan bahwa kematian ayahku, adalah kematian yang tidak dikehendaki, hingga banyak yang menyimpulkan “rohnya” tidak mungkin terterima oleh Allah SWT. Maha puji Allah, dialah yang maha tahu atas semua ketetapan-Nya. Pun doa-doa keselamatan selalu kuhaturkan untuknya, agar kiranya Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.

Terlepas dari kematian ayahku, yang paling merasa terpukul sudah pasti ibuku sendiri. Saat usia kakak saya yang tertua pada waktu itu baru berumur sekitar 7 tahunan. Ibuku yang “terpaksa” harus mengambil lakon seorang ayah pula untuk kami. Ibu saya bukan hanya menjadi ibu rumah tangga, yang mengurusi perlengkapan dapur agar anak-anaknya dapat menikmati makanan seperti anak lainnya. Di luar itu semua, ia pula menjadi seorang petani yang menggarap kebun kami, setelah ayah saya meninggalkannya. Ia tak sungkan mendayung cangkul di atas tanah garapan kami, demi baktinya, kepada semua anaknya

Ibu saya adalah pekerja keras, walau sakit kadang menghampiri dirinya. Ia tidak pernah peduli, ia ingin membuktikan kepada semua orang kalau tuduhan mereka selama ini, dirinya gagal menjadi istri yang baik, dia dituding oleh tetangga saya bahkan sampai keluarga-keluarga saya dari pihak ayahku, menyalahkan ibuku, kalau dialah penyebab kematian ayah saya.

Dalam waktu yang berpuluh tahun, ibu saya walau kadang tidak mampu menahan hinaan, celaan semua orang yang mengenalnya. Kadang air mata bercucuran meleleh di hadapan anak-anaknya, saat menceritakan ada banyak tuduhan yang menghinakan dirinya sebagai istri yang gagal membina rumah tangga. Ia mampu menunjukan kepada dunia, dan menggenggam dunia, kalau hinaan semua itu, adalah pembangkit semangat baginya untuk membesarkan kami berempat.

Ladang perkebunan kami yang terdiri dari tanaman cengkeh, lada, dan kakao akhirnya cukup berhasil untuk membiayai segala kebutuhan keluarga. Ia menyekolahkan anaknya semua hingga tamat di perguruan tinggi. Di saat ada banyak orang yang memiliki orang tua, lengkap ayah dan ibunya, nyatanya mereka tidak sanggup menyekolahkan anaknya seperti kami.

Satu pesan ibuku. Mugkin alasan itu sedikit tidak masuk akal. Alasan dia menyekolahkan anak-anaknya “agar katanya anak yang dilahirkannya itu, tidak mengikuti jejak ayahnya, setiap ada kemarahan lalu memilih jalan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri”.

Bukan berarti aku mensyukuri kematian ayahku, sehingga kadang aku kemudian beralibi, mungkin karena ayah kami cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, sehingga kami semua ditakdirkan untuk mengecap bangku perguruan tinggi. Tapi yang pasti, setiap kisah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk melakoninya, terdapat makna yang harus kita baca sebagai hikmah di atas hikmah, lalu kita bisa bijak membaca tanda-tanda segala kemahakuasaan-Nya.

Andai saja, ayahku hidup sampai sekarang, belum tentu anaknya dapat menjadi orang yang menyandang gelar sarjana. Sebab tradisi kampung kami, seoang ayah selalu merasa selesai menyekolahkan anaknya setelah menamatkan bangku SD, kalaupun sudah selesai SMP itu lebih dari cukup. Apalagi berhasil menamatkan SMA, sudah dianggap sangat sempurna. Dan tak kurang anak-anak di kampung kami, orang tuanya lebih berharap anaknya kelak menjadi petani, agar dapat mewarisi pekerjaan ayahnya, merawat semua tanaman yang selama ini menghidupi mereka.

Ibuku sebagai single parent memang hanya pernah sekolah setingkat SD, itupun tidak tamat, karena dia berhenti di saat ibunya (nenek saya), pada waktu itu katanya sudaah sakit-sakitan. Terpaksa ibu saya walau masih muda, ia berhenti sekolah, ia menggantikan peran mamanya; memasak, pergi ke pasar menjual hasil pertanian, agar ayahnya (kakek saya) ada yang mengurus segala kebutuhan makannya, ketika ia pulang dari bertani.

Keberuntungan tiada taranya, ibuku bisa baca tulis, bahkan bisa membaca ayat Al-Qur’an. Sehingga ia termasuk ibu yang sekaligus menjadi guru membaca aksara Indonesia. Juga mengajarkan kepada anak-anaknya, untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an.

Kendati hanya memiliki kemampuan, mengajari kami untuk membaca dan tidak mungkin lagi menguasai mata pelajaran saat kami di SMP, SMA, apalagi perguruan tinggi. Namun tekadnya selalu kuat dalam doa dan kerjanya, berharap agar kelak anak-anaknya berhasil atas semua mimpi yang dicita-citakannya.

Dia tidak pernah memaksa kami, untuk harus menjadi kaya, memilih jurusan elit di kampus-kampus perguruan tinggi. Semuanya diserahkan kepada anaknya, apa yang kami mampu kerjakan; saya bahagai, kami bahagia, dirinyapun akan ikut bahagia bersama anak-anaknya. Dia memang bukan filsuf, tapi dari kata-kata dan pesan moralnya “bahwa kebaikan dan kebenaran saya kira engkau tahu, maka terserah jalanmu, kau mau memilih yang mana, aku sudah cukup membesarkan dan menyekolahkanmu, ibu sudah bangga.” Ibu kami bisa menjadi filsuf di bilik-bilik keluarga.

Maka hari ibu, bukanlah hari yang cukup untuk merenungi pegorbanan seorang ibu, bahkan semua hari dalam hela napas kita semua, itu tidak cukup untuk menandingi segala kisah dan asa perjuangannya. Air mata dan cucur keringatnya tidaklah mampu terbayar hanya dengan kekuatan materi.

Dari senyum pilu, haru, dan bahagia, yang kelak akan mengantarnya “tenang” ketika dia pun harus dijemput oleh sang kuasa Ilahi. Memang berat kita kehilangannya, karena dia akan selalu hidup bak permata yang bersinar dalam kegelapan; luka dan derita. Jiwanya akan terus membatin dalam setiap derap langkah, kepada anak yang pernah dibesarkannya. Ibu, dosaku amat banyak padamu, maka kuserahkan segala amalku hanya untukmu selalu. Engkau punya hak atas diriku ini. Selamat Hari Ibu.



Tamalanrea, 22 Desember 2014
Sumber Gambar: nizalsyahroni.com


[Read More...]


Perppu Mencabut Undang-Undang?




DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
Pemerintahan era SBY-Boediono memang telah berakhir. Dan kini telah digantingkan masa pemerintahan Jokowi-JK. Tapi patut menjadi catatan, bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada) yang telah diterbitkan oleh SBY kemarin diakhir pemerintahannya. Implikasi hukumnya jelas menjadi warisan pemerintahan selanjutnya, yakni pemerintahan Jokowi-JK.

Implikasi hukum selanjutnya yang dimaksud adalah akan digelar sejumlah Pemilihan Kepala Daerah, baik di beberapa Provinsi, Kabupaten, maupun Kota, yang sudah nyata-nyata berada dibawah kendali pemerintahan Jokowi-JK.

Namun yang penting untuk dipertanyakan atas Perppu Pilkada itu, meskipun secara konstitusional penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak subjektifnya; Apakah Perppu Pilkada sejak diterbitkan sudah mengikuti limitasi hukum ketatanegaraan yang telah ditentukan?

Sekiranya pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya, sebab ruang yang terlalu terbuka bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu, kemungkinan besar Presiden akan “sewenang-wenang” atau dengan kata lain seenaknya saja menerbitkan Perppu.

Bahkan dengan gampangnya Presiden “mengobral” Perppu justru akan melahirkan “abuse of power”. Abuse of power bisa saja terjadi karena proses lahirnya Perppu, bukan dalam wailayah kegentingan memaksa, tetapi hanya karena tendensi politik, dengan gampangnya saja Perppu kemudian lahir.

Setidaknya melalui Putusan MK Nomor: 138/ PU-VII/ 2009, limitasi syarat kegentingan memaksa sudah dapat menjadi landasan formil bagi Presiden menerbitkan Perppu. Yaitu (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan hukum yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang (UU) yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perppu Tidak Dapat Mencabut UU
Bagaimana dengan Perppu Pilkada? Apakah telah memenuhi limitasi kegentingan memaksa yang telah digariskan oleh putusan MK tersebut?

Salah satu hal fundamental lahirnya Perppu Pilkada, yakni ada tindakan awal sebelumnya yang dilakukan oleh Presiden (dalam hal ini SBY pada waktu itu), dengan terlebih dahulu mencabut keberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kemudian pada “detik” itu juga diterbitkan Perppu Pilkada.

Adapun maksud dicabutnya UU Pilkada, agar limitasi kegentingan memaksa, yang mana salah satu unsurnya harus terjadi kekosongan hukum. Bahwa ketika UU Pilkada sudah dicabut berarti sistem Pemilihan Kepala Daerah berada dalam tafsir “telah terjadi kekosongan hukum.”

Dari tindakan penerbitan Pilkada itu ternyata menyimpan sejumlah kejanggalan. Pertama, apakah Presiden memiliki landasan hukum dapat mencabut keberlakuan UU? Jawabannya, dalam perspektif hukum ketatanegaraan tidak dibolehkan. Adapun masa berakhirnya UU yang dapat melibatkan Presiden, hanya dapat terjadi melalui penerbitan UU yang nama dan substansi UU-nya sama. Yaitu dengan pembahasan UU tersebut di DPR, kemudian disetujui bersama (DPR dan Presiden), dan selanjutnya disahkan oleh Presiden. Itu artinya, pencabutan UU Pilkada yang dilakukan sepihak oleh SBY tidak ada basis hukumnya.

Kedua, apakah Perppu dapat mengakhiri keberlakuan UU? Dalam penelusuruan berbagai literatur, tidak terdapat landasan hukum ketatanegaraan maupun landasan teori perundang-undangan, kalau Perppu dapat mencabut keberlakuan UU. Bahwa kembali pada syarat penerbitan Perppu yang telah ditegaskan oleh MK, Perppu hanya dapat diterbitkan dalam tiga prasyarat. Dan syarat yang paling utama, mesti terjadi kekosongan hukum. Satupun dalam prasyarat penerbitan Perppu tersebut, tidak ada teks/ketentuan hukum, Perppu dapat terbit untuk mencabut keberlakuan suatu UU.

Terlepas dari polemik, “kisruh politik” dan kehendak publik selama ini, kalau DPR kelak disaat menguji “objektivitas” Perppu Pilkada (formilnya), dan mereka ingin taat dalam ruang lingkup hukum ketatanegaraan, seharusnya Perppu Pilkada ditolak. Kenapa harus ditolak? Jawabannya sederhana; sebab tidak ada Perppu yang dapat diterbitkan sepanjang tidak ada kekosongan hukum. Bukankah sistem Pemilihan Kepala Daerah sudah ada aturan hukumnya dalam UU Pilkada?

Hakikat dan manfaat lain, perlunya Perppu Pilkada ditolak oleh DPR nantinya, juga bersandar pada alasan, bahwa penolakan Perppu itu bertujuan untuk “mendisiplinkan” agar Presiden tidak semena-mena mencabut UU, oleh karena tidak ada kewenangannya yang diberikan oleh UUD NRI 1945 maupun UU di bawahnya untuk mencabut keberlakuan UU.

Uji Materil UU Pilkada
Oleh karena Perppu yang dapat mencabut keberlakuan UU tidak ada dasar hukumnya. Maka satu yang pasti, meskipun Perppu Pilkada ditolak nanti oleh DPR dalam sidang paripurna berikutnya, mustahil terjadi kekosongan hukum. UU Pilkada itulah yang berlaku. Ingat! UU hanya dapat dicabut dengan UU pula, bukan dengan Perppu.

Dengan demikian, berdasarkan argumen yang telah dikemukakan di atas. Terutama bagi pihak yang pro Pilkada Langsung, wajar saja jika menyayangkan SBY menerbitkan Perppu Pilkada. Perpu Pilkada sudah cacat bawaan sejak lahir, kemudian menutup pula penggunaan mekanisme hukum yang tepat bagi para pihak yang hendak menguji materil UU Pilkada ke MK. Sebab katanya UU Pilkada sudah dicabut keberlakuannya oleh Perppu Pilkada.*






[Read More...]


Perginya Anak Bangsa: Gayatri Wailisa



Sumber Gambar: viva.co.id
Kita hampir ditenggelamkan dengan berita politik, seputar transisi pemerintahan, riuh gedung Senayan dalam perebutan kekuasaan, hingga detik-detik pelantikan presiden dan wakil presiden (Jokowi-JK). Begitu pesta digelar meriah.

Di saat yang sama pula pemberitaan amat dahsyat, adalah pesta pernikahan Rafy Ahmad dan Nagita Slafina yang di blow up oleh beberapa siaran TV swasta. Bahkan pesta artis gagah itu menghabiskan waktu 24 jam, hanya menyoal seputar dirinya saja terus menerus.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan dua tema pemberitaan tersebut. Namun yang patut disayangkan adalah tidak adanya pemberitaan yang seimbang. Media sudah termakan“candu” kapitalis, hingga melupakan aspek kemanfaatan pemberitaan buat publik itu sendiri.

Adalah anak bangsa yang bernama lengkap Gayatri Wailisa, disaat sakratul maut mnenjemputnya, tak ada pemberitaan yang “live” dari stasiun TV sedianya langsung kita bisa saksikan. Tak ada pemberitaan sedahsyat pesta meriah pernikahan Rafy Ahmad.

Hal ini sangat jauh bertolak belakang dari dua pemberitaan yang bernuansa “pesta” itu. Kabar meninggalnya Gayatri pertama kali dilansir melalui media online Jakarta dan Kaskus dengan mengutip konfirmasi Mantan Panglima Kodam XVI/ Pattimura Mayor Jenderal Eko Wiratmoko pukul 20.00 WIB di RS Abdi Waluyo (23/10/014).

Ada apa sebenarnya dengan diri kita? Ketika jauh lebih perihatin dan takut ketinggalan berita keseharian dari artis ternama, dibandingkan berita kematian anak secerdas Gayatri (yang menguasai 14 bahasa asing).

Bisa dikatakan, mungkin kita sama sekali tidak peduli, bahkan abai atas kelebihan anak asal Ambon Manise itu. Padahal, jika ditelisik lebih jauh kehidupan Gayatri, ada banyak hikmah, keistimewaan yang dapat menjadi teladan untuk kita.

Saya sendiri ketika pertama kali, membaca berita duka kematian Gayatri dari media online. Diberitakan kalau beliau meninggal, karena terjadi pendarahan pada otaknya, hati saya remuk, bulu kuduk saya berdiri, membayangkan anak bangsa yang “layu” sebelum menggapai semua harapannya, hanya untuk mengabdi demi bangsa dan negerinya, saatnya dijemput oleh maut.

Siapa Gayatri?
Sebelumnya tak ada yang kenal Gayatri, namun berkat salah satu program TV swasta (Metro TV) “Kick Andy”, Gayatri popularitasnya kemudian melesat bak meteor, hingga seluruh warga di negeri ini pada mengenalnya.

Simaklah anak yang masih berumur 15 tahun waktu itu, ketika memeraktikan banyak bahasa asing di Kick Andy, beberapa orang dari luar negeri yang hadir di acara Kick Andy, tiba-tiba bulir air mata mereka tak mampu tertahan, dikala menyaksikan Gayatri berkali-kali “pindah bahasa” saat memperkenalkan diri dan segala prestasinya.

Gayatri ternyata adalah Alumnus SMA unggulan Siwalima Ambon. Dia lahir di Ambon 31 Agustus 1995 dari pasangan seorang tokoh religius Deddy Darwis Wailissa, seorang pengrajin kaligrafi dan Nurul Idawaty, wanita keturunan Bugis yang tinggal di JL. Sultan Babula Waihong, kota Ambon.

Gadis ini terlahir meski dari keluarga sederhana. Dia terus menggali segala bakat yang ada dalam dirinya hingga mampu menguasai bahasa asing dengan baik. Diantaranya: bahasa Inggris, Italia, Spanyol, Belanda, Mandarin, Arab, Jerman, Perancis, Korea, Jepang, India, Rusia, China hingga bahasa katalog. Salah satu mimpinya adalah hendak menjadi seorang diplomat, tapi sayang seribu sayang, begitu maut terlalu cepat merenggutnya.

Hingga berbagai “gelar” kemudian menjuluki dirinya, ada yang menyebutnya “Doktor Cilik”, ada pula yang menyebutnya sebagai “anak ajaib”. Dan memang benar gelar demikian, karena bagaimana mungkin nalar sehat dapat membenarkan, anak yang masih tergolong sangat belia, tapi telah mendunia, kala berhasil masuk seleksi untuk menjadi duta anak mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat nasional.

Dari seleksi itu, akhirnya ia terpilih mengikuti seleksi mewakili Indonesia menjadi duta ASEAN untuk anak 2012-2013. Gayatri kemudian terpilih mewakili Indonesia ke tingkat ASEAN dan mengikuti pertemuan anak di Thailand dalam Convention on The Right of The Child (CRC).

Terplihnya Gayatri sebagai ‘duta anak” merupakan nafas awal, mulainya “detak jantung” dari semua anak-anak di negeri ini untuk disuarakan hak-haknya. Bukankah setiap tahun banyak anak-anak yang tidak terlindungi hak-haknya, hingga terjadi peganiayaan, pemukulan, bahkan hingga pembunuhan anak-anak yang kelak akan menjadi penerus dalam memegang estafet kepemimpinan di negeri ini? Gayatri telah berhasil membuktikan perjuangan itu, mewakili salah satu anak Indonesia, punya arti penting. Kemana bangsanya kelak akan mendayung?

Duka Untuknya
Kini apa yang tersisa buat Gayatri? Mungkin benar pepatah “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Ya, Gayatri hanya meninggalkan nama, kebaikan dan segala kelebihannya. Adalah Anak yang patut dicontoh, dteladani oleh anak-anak kita yang saat ini sedang menempuh pendidikan. Bukan hanya anak yang seumur dengannya, mulai dari anak sekolah dasar, menengah, bahkan seorang yang sudah menyandang gelar sarjana-pun, bukan sebuah kemunafikan jika ingin memiliki kapasitas setaraf Gayatri.

Maka di bulan ini, kita punya pemimpin baru yang bernama Jokowi-JK. Semoga upaya memecah kementerian pendikan menjadi dua bagian, sekaligus revolusi mental yang terus digelorakannya. Adalah bahagian dari keseriusannya untuk melahirkan gayatri-gayatri baru untuk Indonesia hebat.

Indonesia, bahkan semua dunia, ketika anak kelahiran Ambon itu mampu menunjukan kepada kanca internasional, bahwa bahasa adalah bukan sekat bagi setiap orang di dunia untuk menjadi pembeda. Kita semua patut melelehkan air mata untuknya, ini merupakan duka anak bangsa, tidak bisa diprediksi entah kapan lagi akan lahir anak sehebat dia. Selamat tinggal Gayatri Wailisa, senyum manismu akan terus dikenang oleh bangsa ini. Semoga engkau tenang dalam pembaringanmu, karena di sanalah masa yang abadi untukmu. (*)


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat FH Unhas
[Read More...]


Merayakan Kematian Demokrasi



(Artikel Ini Juga Muat diharian Fajar Edisi 1 Oktober 2014)
Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.


Dini hari, menjelang subuh, riuh dari gedung Senayan terus bergemuruh. Anak-anak kala itu yang akan menjadi penerus bangsa di negeri ini masih pada tertidur. Hanya sebagian orang yang mungkin peduli dengan bangsa ini, sedang menahan kantuk mereka, guna menanti putusan akhir sang wakil rakyat yang mereka masih percaya.

Dan tibalah masa pada waktunya, saat Fraksi Partai Demokrat yang diharapkan mengunci “kemenangan’ Pilkada langsung ternyata memilih bermanuver, fraksi Demokrat Walk Out dari rapat paripurna.

Kemudian bersamaan dengan itu, bukan hanya suasana gedung senayan menjadi gaduh, tetapi kita yang ikut menyaksikan pentas demokrasi Senayan, sontak hati langsung menjadi gundah-gulana. Harapanpun kemudian menjadi “ciut”, bahwa mustahil opsi Pilkada langsung akan “menang”. Lima fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) mereka kuat dan tangguh untuk dikalahkan.

Benar demikian, kubu pendukung Pilkada langsung hanya memperoleh 135 suara. Sementara kubu pendukung Pilkada via DPRD berhasil memperoleh suara jauh selisihnya dibanding kubu pendukung Pilkada langsung, yaitu 226 suara.

Kematian Demokrasi

Di kala malam merangkak fajar, atas kabar kemenangan yang didendangkan oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Itu bukan kemenangan yang pantas dirayakan. Namun kematian yang harus dikabarkan, sebagai kematian demokrasi yang telah digembok, diamputasi, disunat, dirampas, bahkan dibunuh oleh wakil terhormat kita.

Lalu rakyat di seluruh pelosok tanah air, berduka. Mereka tidak sungkan meluangkan waktu, datang berduyun-duyun di depan gedung Senayan, hanya untuk melampiaskan duka dan tangisan mereka. Ini adalah kematian, tidak ada salahnya jika air mata turut meleleh, saat menyaksikan demokrasi yang telah diperjuangkan “berdarah-darah” kini menemui ajalnya.

Aksi mereka tidak berhenti sampai di situ saja, sekumpulan orang di depan gedung Senayan, masing-masing meletakan rangkaian bunga. Dan gedung parlemenpun, akhirnya menjadi “nisan” kematian demokrasi.

Ironisnya, kematian itu tidak semua orang berempati. Di tempat yang berbeda, ada pula segerombolan pembunuh demokrasi justru merayakannya.

Diantara mereka, ada hadir golongan suci yang membawa misi kenabian, hadir pula golongan reformis yang telah mempertaruhkan banyak “nyawa” melayang, karena dahulu kala pernah memperjuangkan “demokrasi”. Tetapi kini oknum bersangkutan malah membunuhnya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka pada bersorak-sorak, menggelar pesta-pora “kemenangan”, merayakan kematian demokrasi, saat banyak rakyat yang merintih, karena hak-hak mereka telah di rampas, dan karena “daulat ” miliknya telah dibunuh.

Di saat yang sama pula, ketika rakyat banyak berharap pada satu “dewa penolong”. Apa lacur “sang dewa” pun bermuka durja. Alih-alh diharapkan menjadi “juru selamat” justru dialah “pemubunuh berdarah dingin”.

Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.

Lalu ia berkelakar, akan melakukan pembelaan terhadap korban pembunuhan demokrasi. Di garda terdepan ia akan berdiri tegak memperjuangkan hak-hak para korban dari pemubunuh demokrasi tersebut.

Ini patut diwaspadai oleh rakyat kita, karena alih-alih diharapkan sebagai tim pembela, justru nantinya akan menjadi “musuh dalam selimut”. Maka dari itu mulailah waspada dari sekarang.

Kematian Banal

Selain itu, ada hal yang ganjil dari kematian demokrasi pada “jumat keramat” dini hari kemarin. Di dalamnya ada kematian demokrasi, tetapi kenapa ada segelintir orang yang merayakannya?

Mereka pada tertawa terbahak-bahak, sedang melampiaskan kebencian dan rasa dendam yang berlipat-lipat. Ada apa sesungguhnya? Inikah balasan terhadap rakyat yang “menjatuhkan” mereka dari mimpi untuk meraih panggung kekuasaan, tetapi apa daya justru mereka “terperosok” dalam jurang kekalahan?

Kalau benar demikian, inilah kebencian yang tidak akan ada juntrungnya. Dan terus akan membawa “petaka” krisis kemanusiaan di negeri ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Gunn (Yasraf Amir Piliang: 2007, P. 335) bahwa kebencian terjadi karena ikatan positif atau perekat (sosial, kultural, spiritual) dalam bentuk cinta, persahabatan, kasih sayang, dan saling pengertain telah hancur. Bahwa hancurnnya ikatan-ikatan itu, kelak akan menggiring masyarakat ke arah sifat-sifat kebencian (hatred), atau kemarahan yang akhirnya membawa masyarakat ke arah budaya kekerasan atau kekejaman.

Jika ada yang bertanya, benarkah sekarang terjadi kekerasan demikian, sebagai imbas terbunuhnya “demokrasi”. Jawabannya; benar terjadi. Secara kasat mata memang kekerasan itu tidak nampak, tetapi dalam ruang-ruang virtual, tidak sengaja mungkin kita telah melakukannya.

Karena gejolak kesedihan atas kematian demokrasi. Ada banyak orang “melampiaskan” amarahnya di jejaring sosial. Kata-kata, caci-maki, kebencian, hingga ancaman pembunuhan dihantarkan dalam jutaan bit-bit informasi. Ada pembunuhan karakter terhadap aktor-aktor yang ditengarai terlibat dalam pembunuhan demokrasi, ada rekayasa wajah terhadap tokoh-tokoh yang sedang mereka benci. Bahkan ada perkumpulan di media sosial, yang tidak ada seorangpun bisa membendungnya melalui hastek #shameonyouSBY.

Ini semua penting dimaknai, bahwa merayakan kematian demokrasi. Akan melahirkan perayaan-perayaan baru, melalui media sosial. Pembunuhan bukan hanya terjadi dalam wajah dan fisik semata, tetapi karakterpun bisa dibunuh berkali-kali. Kesimpulannya; kematian demokrasi akan melahirkan kematian-kematian baru.

Bahkan kematian kemudian menjadi peristiwa banal sebagai sesuatu yang gampang, ringan, dan sesuatu yang murah. Kematian menjadi strategi yang disebut Baudrillard di dalam “Fatal Strategies” sebagai strategi kesia-siaan (banal strategi), sebagai kematian yang ringan.

Pada saat itu, mereka tidak mau ambil pusing lagi, dengan makna kemanusiaan dibalik kematian; mereka tidak mau tahu dengan hikmah yang dapat ditarik di balik peristiwa kematian; mereka tidak mau peduli dengan kebenaran yang ada dibalik kematian. Kematian telah tercerabut sama sekali dari konteks moral; kematian telah terlepas sama sekali dari konteks kemanusiaan. Kematian telah menjadi “objek kematian” seperti sikat gigi atau sabun mandi. Demikianlah peringatan kematian yang dipesankan oleh Octavio Paz sebagaimana diceritakan ulang oleh Yasraf Amiri Piliang dalam bukunya “Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital”. Semoga ini dapat menjadi renungan kita bersama, di tengah gemuruhnya demokrasi, telah dibabat habis oleh penguasa yang bertindak lalim, keji, dan kejam terhadap demokrasi itu sendiri. (*)








[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors