Ihwal Napi Bebas Bersyarat di Pilkada



Sabtu, 26 September 2015 kemarin di kolom ini (Persepsi Gorontalo Post) ternyata ada yang menyangga artikel saya yang terbit sepekan sebelumnya “Napi Bebas Bersyarat (Tidak dapat) Ikut Pilkada: edisi Kamis, 17 September 2015. Sanggahan tersebut datang dari kolega saya sendiri, yaitu Sdr Apriyanto Nusa yang saat ini sudah konsetrasi mengabdi sebagai tenaga pengajar di Universitas Ichsan Gorontalo, sekaligus di institusi tersebut telah menjadi pengampu mata kuliah hukum pidana.

Sayangnya, bantahan tersebut tidak tepat sasaran dari artikel yang pernah saya tulis di kolom ini. Padahal isi pokok tulisan saya yang sudah disanggah oleh Apriyanto Nusa adalah mencari kesatupaduan antara empat peristilahan dalam hukum pidana, yaitu antara Terpidana dengan Narapidana; dan antara bebas bersyarat dengan lepas bersyarat.

Sejatinya, sebagai seorang ilmuwan harus objektif dalam berpendapat, itulah yang selama ini selalu saya usahakan dalam mempublisakan pendapat saya di berbagai media. Semoga Apriyanto Nusa kiranya juga mengemban amanah ini. oleh karena itu tidak perlulah sdr Apriyanto Nusa kiranya membanding-bandingkan kasus antara Ismet Mile dengan Ely Lasut, cukup memberikan pendapat dari segi hukumnya saja. Apatah lagi menyalahkan salah satu KPUD.

Judul Salah

Sebelum saya membantah satu persatu kekeliruan Sdr Apriyanto Nusa, saya ingin mengingatkan sdr Apriyanto Nusa terkait dengan pilihan judul untuk menyanggah tulisan saya, bahwa sdr telah salah dalam pemilihan judul berdasarkan bacaan teksnya. Judul sdr “Mantan Terpidana (Bukan) Narapidana” apakah maksud dari judul tersebut yang dapat dibaca dari dua model pelafalan? Pertama, akan terbaca “Mantan Terpidana bukan Narapidana”; Kedua, juga akan terbaca “Mantan Terpidana Narapidana”.

Saya tidak mengerti dengan pemilihan judul tersebut, karena yang logis hanya pada pelafalan Mantan Terpidana, bukan Narapidana sebagaimana sdr Apriyanto Nusa sendiri mengatakannya, bahwa tidak tepat untuk kita menggunakan istilah Mantan Terpidana karena dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan tidak dikenal peristilahan tersebut.

Sepertinya sdr Apriyanto tidak konsisten dalam berpendapat, sebab pada tulisannya sendiri sebelumnya, Dia mengutip Pasal 10 UU Pemasyarakatan dan disitulah terminologi Mantan Terpidana Dia temukan, bahwa setelah peralihan status Terpidana menjadi Narapidana maka pada saat itu pula status Terpidana berakhir, sehinggga konklusi yang ditarik oleh pembaca UU Pemasyarakatan bahwa disitulah di mulai lahirnya istilah Mantan Terpidana.

Sdr Apriyanto Nusa manakalah kembali memilih bahwa tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan, maka hal itu sama saja telah memilih menyeberang ke garis pemikiran saya. Manakalah tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU pemasyarakatan berarti yang dimaksud oleh MK sejatinya memang adalah Mantan Narapidana, bukan Mantan Terpidana sebagaimana yang selama ini sdr Apriyanto kukuh dengan pendapat MK bahwa membolehkan Mantan Terpidana untuk menjadi Calon Kepala Daerah.

Bantahan Saya

Terhadap sanggahan Pertama oleh Apriyanto dalam tulisan saya, sdr mengatakan bahwa “anologi” yang dibuat oleh bapak Damang Averroes “kurang tepat” serta menjadikan kapan berakhirnya status hukum tersebut menjadi “tidak jelas”, Alasannya: jika orang yang sedang menjalani masa hukuman didalam LAPAS atau bebas bersyarat “dimaknai” sebagai Mantan Terpidana seperti dalam amar putusan Mahkamah konstitusi, maka terhadap orang yang menjalani hukuman didalam LAPAS/ bebas bersyarat pun “harus” dimaknai sebagai Mantan tersangka atau terdakwa, yang bukan sebagai “pengecualian” subjek hukum yang dilarang untuk menCalonkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Sejatinya saya tidak memiliki pendapat yang demikian, sebab pemahaman hukum yang saya bangun dalam tulisan sebelumnya perlu pelurusan makna antara Terpidana dengan Narapidana agar ke depannya tidak lagi terjadi kesalahan tafsir dalam hal penyelenggaraan Pilkada terkait putusan MK a quo. Justru saya berpendapat bahwa yang dimaksud oleh MK adalah Mantan Narapidana sehingga Calon Kepala Daerah yang masih dalam status bebas bersyarat tidak memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah, apalagi yang masih berada dalam lembaga pemasyarakatan.

Untuk sanggahan kedua, sudah saya jawab sebelumnya pada awal tulisan ini. Bahwa pendapat sdr Apriyanto Nusa, dengan mengatakan KUHP maupun Undang-Undang pemasyarakatan tidak menggunakan istilah Mantan Terpidana berarti sdr sendiri menyetujui bunyi putusan MK adalah Mantan Narapidana saja yang dapat lolos sebagai Calon Kepala Daerah, tidak untuk Narapidana bebas bersyarat (saya lebih sepakat dengan istilah lepas bersyarat) sebab statusnya masih sebagai Narapidana. Akan berbeda jika sdr Apriyanto Nusa mengatakan putusan MK dimaksudkan untuk Mantan Terpidana, dengan otomatis Narapidana Bebas Bersyarat dapat diloloskan sebagai Kepala Daerah di Pilkada 9 Desember 2015 nanti.

Berlanjut ke sanggahan Ketiga, sdr Apriyanto Nusa membantah tulisan saya sebelumnya, dengan mengatakan saya harus membuka kembali putusan MK Nomor 42/ PUU XIII/2015. Yah … saya membukanya, dan kalau perlu saya menambahkan Putusan MK yang kiranya sdr Apriyanto Nusa perlu baca semuanya sebab relevan dengan permasalahan ini. diantaranya: Putusan Nomor: 14 – 17/ PUU-V/ 2007; Putusan Nomor: 4/ PUU-VII/2009; Putusan Nomor: 120/ PUU-VII/2009; dan Putusan Nomor: 79/ PUU-X/2012.

Sdr Apriyanto tidak perlu memperdebatkan soal ada tidaknya pencabutan hak untuk dipilih harus melalui putusan pengadilan, dalam konsideran Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, itu benar. Makanya kalau ada Mantan Narapidana pernah dicabut hak pilihnya, tetapi masa menjalani pencabutan hak untuk dipilih tersebut masih berjalan lalu sudah menyandang status Mantan Narapidana, berarti Mantan Narapidana tersebut tidak dapat menjadi konstetan Kepala Daerah. Tetapi jauh lebih penting sdr, untuk dicermati dalam amar putusan MK (terdapat pula dalam empat putusan yang saya anjurkan sdr juga baca semua) yaitu: “berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah Mantan Terpidana selesai menjalani hukumannya” Lalu pada syarat berikutnya lagi ditegaskan oleh MK: “dikecualikan bagi Mantan Terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik jika yang yang bersangkutan adalah Mantan Terpidana.”

Apakah maksud dari pada harus menunggu lima tahun, dan bisa tidak menunggu lima tahun manakalah Mantan Terpidana tersebut mengumumkan ke publik terkait status dirinya? Tidak lain ditujukan bagi mereka yang sudah menjalani semua masa pemidanaannya (termasuk melewati masa status bebas bersyarat tersebut) sehingga wajib menunggu lima tahun baru bisa mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah, atau minimal baru bisa mendafatar sebagai Calon Kepala Daerah jika telah mengumumkan status dirinya ke publik, dalam hal ini ketika Mantan Narapidana tersebut tidak mau terikat dengan masa lima tahun itu.

Tahap Penghukuman

Sdr Apriyanto Nusa perlu ketahui apalagi sebagai penanggung jawab mata kuliah hukum pidana di Perguruan Tinggi, bahwa Penghukuman yang diemban oleh Pemasyarakatan pada dasarnya melalui empat tahap: identifikasi Narapidana, pembinaan mental, asimilasi, dan lepas/pembebasan. Dan ingat! masa bebas bersyarat itu masih berlaku tahap pembinaan (namanya pembinaan eksternal).

Dengan demikian pembebasan bersyarat adalah Narapidana yang sedang menjalani hukumannya berupa pembinaan Narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini berarti orang yang menyandang status pembebasan bersyarat masih masuk kategori Narapidana. Sehingga mutatis mutandis tidak sesuai dengan nalar hukum pidana kita, kalau ada yang berpendapat Napi Bebas Bersyarat hendak diloloskan sebagai Calon Kepala Daerah.

Kendatipun demikian saya tidak pernah mengatakan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa dalam putusan MK perlu adanya penafsiran teologis, tetapi dalam konteks sanggah-menyangga untuk poin ini terdapat juga kekeliruan dari pendapat sdr Apriyanto Nusa.dengan tiba-tiba sdr Apriyanto Nusa menarik kesimpulan kalau MK katanya bukanlah pembuat Undang-Undang. Lantas apa namanya kalau MK menambah klausula dalam sebuah pasal dengan dalil “inkonstitusional bersyarat” sebagaimana yang terjadi dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 itu. Ada baiknya sdr Apriyanto membaca buku Hans Kelsen “Theory Of Law and State” (1973).

Dalam istilah Kelsen pada proses legislasi “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation. Hans Kelsen dalam uraiannya juga mengemukakan “lembaga peradilan berwenang membatalakan suatu Undang-Undang atau menyatakan suatu Undang-Undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.” Artinya MK secara negatif bertindak sebagai pembuat Undang-Undang, tetapi tidak dimungkinkan membuat secara keseluruhan dengan nomor, tahun dan nomenklatur UU. Sebab kewenangan demikian adalah fungsi positive legislator yang dimiliki oleh DPR bersama dengan Presiden

Saya tidak bisa membayangkan ke depannya, andaikata kita berdiri di pendapat sdr Apriyanto Nusa, meloloskan semua Calon Kepala Daerah yang masih berstatus bebas bersyarat dan ternyata pada akhirnya terpilih sebagai Kepala Daerah, apalagi kalau Narapidana yang menjalani masa bebas bersyarat hingga 9 bulan misalnya, lalu masih harus berurusan dengan Pihak Lembaga Pemasyarakatan; adakah jaminan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan? Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Daerah tersebut lalu tidak lagi menuruti perintah pegawai Lembaga Pemasyarakatan. Ataukah pihak Lembaga Pemasyarakatan bisa jadi berkonspirasi dengan Kepala Daerah tidak lagi tunduk dengan sistem pemasyarakatan yang dijalankannya, karena pihak Kepala Daerah bersangkutan menyogok pembina Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Segala kemungkinan-kemungkinan itu harus dihindari melalui pencegahan secara dini. Kita harus bijak berpendapat, agar tidak mencederai pada waktunya segala wewenang pemerintahan, termasuk menjaga kepentingan rakyat di atas konstitusi. 
Damang Averroes Al-Khawarizmi











[Read More...]


Alasan Pembenar Money Politic Pilkada



Damang Averroes Al-Khawarizmi
Kendati Undang-Undang Pilkada telah mengalami revisi maraton. Ternyata dalam berbagai pengaturannya masih mengalami kerancuan. Masih terjadi kekaburan norma, antinomi, bahkan masih menyimpan sejumlah kekosongan hukum. Kondisi demikian tegas-tegas terjadi dalam pasal yang mengatur tentang money politic dan bahan kampanye yang dapat dipergunakan oleh Pasangan Calon (Paslon) atau tim kampanyenya.

Tapi sebelumnya, saya ingin mengingatkan sekaligus meluruskan pemahaman yang keliru selama ini dari sebagian orang. Suap politik yang dimaksud dalam UU Pilkada baik itu mahar politik maupun money politic sejatinya bukan makna suap yang terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Sebab terpenuhinya peristiwa pidana berkualifikasi suap dalam UUPTPK mutlak salah satu pelakunya adalah pejabat negara, sementara yang ditegaskan dalam Pasal 47 dan Pasal 73 UU Pilkada, baik paslon, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tim kampanye dan pemilih, satupun dari pelakunya tidak ada yang memiliki kedudukan sebagai pejabat negara. Sehingga mustahil kalau ada “tuntutan” kepada KPK agar melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perbuata suap politik Pilkada. Yang benar, adalah penyelidik dan penyidik dalam suap politik Pilkada hanyalah penyelidik/penyidik Polri yang memiliki kewenangan untuk menelusuri benar/tidaknya suap politik. Laporan perbuatan tersebut ada kemungkinan diperoleh berdasarkan informasi yang dikumpul oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)

Alasan Pembenar

In concreto antara money politic dan alasan pembenar bagi Paslon Kepala daerah dan/atau tim kampanye memberikan bahan kampanye kepada pemilih dengan menggunakan tafsir sistematikal UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada junto PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) Nomor 7 Tahun 2015Tentang Kampanye Pilkada masih mengalami kekaburan norma.

Kekaburannya, yakni terdapat dalam Pasal 73 ayat 1 UU Pilkada yang menegaskan “calon dan/atau tim Kampanye ketika menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih”. Pada dasarnya pasal a quo berimplikasi hukum sanksi pidana dan sanksi administratif. Lalu di sisi lain dalam Pasal 26 PKPU Tentang Kampanye Pilkada masih membuka celah pemberian “materi lainnya” berwujud bahan kampanye pada dasarnya bukanlah bagian dari perbuatan yang dilarang sebagai perbuatan money politic. Kontradiksinya tersimpul dalam pertanyaan; apakah pemberian atau pembagian bahan kampanye kepada pemilih bukan money politic?

Kekaburan ketentuan ini mestinya ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam bentuk pengecualian (sebagai alasan pembenar), bahwa pemberian dan/atau pembagian bahan kampaye dikecualikan dari Pasal 73 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU Pilkada.

Hal tersebut penting untuk diperhatikan agar terdapat kepastian hukum bagi Paslon ketika melakukan kampanye. Kepastian itu penting manakalah Paslon dan/atau tim kampanye membagi-bagikan bahan kampanye kepada pemilih yang sudah dibenarkan dalam PKPU Tentang Kampanye Pilkada; berupa kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan/atau stiker. Jangan sampai kegiatan kampanye tersebut dipahami oleh Panwaslu atau penyidik tindak pidana pemilihan sebagai bagian dari perbuatan yang memenuhi money politic.

Selain itu, dalam PKPU Tentang Kampanye Pilkada terkait dengan klasifikasi bahan kampanye juga mengalami kekaburan norma dalam ihwal bahan-bahan kampanye yang diperbolehkan diberikan kepada pemilih. Apakah bahan kampanye yang dimaksud hanya dalam batasan yang ditentukan berdasarkan Pasal 26 ayat 1 PKPU a quo yang terdiri atas kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan stiker? Ataukah masih bisa dirancang bahan kampanye lainnya seperti pencetakan “buku” yang memuat visi dan misi Paslon bersangkutan? Sepanjang bahan kampanye yang disediakan jika dikonversikan dengan nilai uang masih dalam standar Rp. 25.000, 00 (dua puluh lima ribu rupiah).

Kiranya Pasal a quo dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2015 membatasi saja, bahwa bahan kampanye yang diperbolehkan hanya yang nyata-nyata telah disebutkan dalam ketentuan ini. Tujuannya, agar tidak lagi muncul tafsir lain dari Paslon dan/atau tim kampanye untuk membuat dan/atau menciptakan bahan kampanye yang tidak disebutkan dalam pasal a quo.

Sebab siapalah yang bisa menjamin dan menindak nantinya andaikata dalam kegiatan kampanye ada paslon yang merancang bahan kampanye dalam wujud kado misalnya, yang mana kadonya berisi “sembako” dalam standar Rp. 25.000, 00 lalu dibagi-bagikan kepada pemilih. Bukankah dalam wujud perbuatan tersebut bisa-bisa terjerat sebagai money politic berkualifikasi “memberikan materi lainnya” . Dan sudah pasti memenuhi unsur “mempengaruhi pemilih” agar menjatuhkan pilihan kepada Paslo tertentu. Oleh karena itu pembentukan norma dalam bentuk pengetatan klasifikasi bahan kampanye sudah tepat. Yakni, cukup yang disebutkan saja dalam Pasal 26 ayat 2 PKPU Tentang Kampanye Pilkada.

Tim Penaksir

In casu a quo Pasal 26 ayat 3 PKPU Tentang Kampanye Pilkada penting pula dimaknai, dalam pembatasan bahan kampanye dalam standar konversi nilai mata uang Rp.25.000, 00; bahwa manakalah ada Paslon dan/ atau tim kampanye menciptakan dan/atau membuat bahan kampanye selanjutnya diberikan kepada pemilih melewati standar tersebut (di atas Rp.25.000, 00) maka sudah menjadi perbuatan berkualifikasi money politic.

Pasal 26 ayat 3 PKPU Tentang Kampanye Pilkada dengan Pasal 73 UU Pilkada merupakan satu kesatuan sistematikal; atas pemberian dan/atau pembagian bahan kampanye yang melewati standar Rp. 25. 000, 00 telah memenuhi unsur tindak pidana sebagai pemberian “materi lainnya” untuk mempengaruhi pemilih yang pada dasarnya dilarang dengan penjeratan pidana sekaligus penjeratan administratif (dapat mendiskualifikasi Paslon Kepala Daerah).

Hanya saja, persoalan lebih lanjut yang muncul sebagai bagian dari kekosongan hukum; siapakah yang berwenang untuk melakukan penilaian atau penaksiran terhadap bahan kampanye yang dipergunakan oleh Paslon dan/atau tim kampanye mutatis-mutandis tidak melewati standar Rp. 25.000,00? Sebab hal ini memiliki konsekuensi yuridis dalam upaya pembuktian perbuatan memenuhi sebagai peristiwa pidana “money politic” yang mana titik beratnya terletak pada standar nilai uang dari bahan kampanye tersebut.

Menyikapi kekosongan hukum atau dengan kata lain tidak terdapatnya badan yang berwenang untuk melakukan penaksiran nilai rupiah terhadap bahan kampanye, seyogianya fungsi tim penaksir bahan-bahan kampanye diberikan kepada Akuntan Publik yang telah ditunjuk oleh KPUD.

Hasil penilaian oleh akuntan publik itulah dalam kapasitasnya sebagai tim penaksir bahan-bahan kampanye, kemudian ditindaklanjuti oleh Panwaslu, untuk diproses dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang telah ditentukan prosedur pembuktiannya dalam UU Pilkada.*



[Read More...]


Partai Politik dan Calon Tunggal



Kolega saya sebagai team penulis dalam mengelola website negarahukum.com, Wiwin Suwandi menulis di harian Media Indonesia, 12/8, “Calon Tunggal dan Kritik Multipartai”. Gagasan inti yang ditawarkan oleh Wiwin Suwandi dalam tulisannya, adalah menawarkan opsi dalam bentuk pemaksaan terhadap Partai Politik agar mengajukan calon Kepala Daerah yang berbeda. Preposisi hukum ini dibangun dengan dalil, “karena Partai Politik menjalankan fungsi “rekrutmen dan kaderisasi” maka konon katanya secara konstitusional, Partai Politik benar adanya jika dilakukan pemaksaan untuk mengusulkan calon-calon mereka.”

Sedikit saya mengoreksi, Wiwin Suwandi hanya menawarkan satu opsi dalam hal menyoroti calon tunggal, yaitu opsi pemaksaan Parpol mengajukan calon-calonnya. Sedangkan revisi Undang-Undang dan Perppu untuk mencari solusi terkait sengkarut calon tunggal Kepala Daerah itu bukan dalam klasifikasi opsi, tetapi jalan untuk mengakomodasi berbagi opsi yang banyak ditawarkan saat ini.

Partai Politik
Bahwa memang benar adanya Partai Politik dalam Undang-Undang yang terkait, telah ditegaskan fungsi Parpol yang telah disebutkan oleh Wiwin Suwandi. Namun mengkaji kepartaian sebagai satu-satunya suprastruktur demokrasi, kendati Parpol yang satu-satunya mendapat legitimasi konstitusional “prevelige constitution”, intervensi negara tidak boleh menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap Partai Politik itu. Angin reformasi telah membuka “keran kebebasan” terhadap Partai Politik agar tidak lagi “terlalu” dicampuri oleh kekuasaan.

Partai Politik haruslah dipahami sebagai perpanjangan tangan daulat rakyat, sebagai wajah-wajah dari seluruh rakyat Indonesia kemudian melebur dalam satu lembaga yang bernama Partai Politik. Jika warga negara tidak dapat dipaksakan hak-haknya oleh negara untuk menunaikannya, maka dalam konteks itu Partai Politik sebagai pengejawantahan “individu-individu” yang bergabung dalam sebuah komunitas juga tidak dapat dipaksakan untuk menunaikan hak-haknya. Negara bisa saja membatasi hak-hak warga negaranya, tetapi mustahil dapat memaksakan untuk menunaikan hak-hak dari warga negara itu.

Alhasil, jika kita masih bersikukuh “memaksa parpol agar mengajukan calon-calon mereka, dengan kewajiban harus mengusung calon yang berbeda.” Maka studi yang pertama-tama harus dilakukan, adalah mengubah hak dari Partai Politik itu untuk mengajukan calon Kepala Daerah menjadi sebuah “kewajiban”. Bagaimana caranya? Benang merahnya atau dasar falsafatinya harus digali dari prinsip dasar negara hukum yang membuka “pintu” bagi negara melakukan “intervensi” demi mewujudkan negara hukum demokratis (negara hukum kesejahteraan).

Hanya saja, argumentasi hukum tersebut masih membuka peluang bagi Partai Politik untuk melakukan uji hak konstitusional, manakalah gegabah menerapkan regulasi pemaksaan terhadap mereka untuk mengajukan calon Kepala Daerah. Bukankah konstitusi pun menyebutkan secara tegas “bersamaan kedudukannya dalam pemerintahan”? dan frasa “kedudukan” a quo bermakna sebagai hak.

Terlebih-lebih lagi, kelemahan solusi mengatasi calon tunggal dengan pemaksaan Partai Politik mengajukan calon berbeda, sulit dilepaskan dari munculnya calon boneka. Partai Politik boleh jadi kelihatan “legowo” mengajukan calonnya, tetapi siapa yang bisa menyangka di panggung belakang mereka sudah menjalin transaksi di level elit dengan mengajukan calon boneka, sekedar memenuhi dua pasangan calon saja. Pun model “transaksi” ini harus dipikirkan bersama, bagaimana cara mengatasinya, sebab tindak-tanduk demikian merupakan “anak haram” dari pesta demokrasi yang dicita-citakan untuk mewujudkan daulat rakyat.

Lantik Langsung 
Berpijak dengan anasir-anasir di atas, saya menyimpulkan dan berdiri dalam pendapat yang pada hakikatnya berbeda dengan Wiwin Suwandi. Pemaksaan terhadap Parpol untuk mengajukan calon berbeda adalah pengingkaran terhadap hak fundamental yang melekat dalam Parpol. Dalam kondisi apapun mustahil negara dapat memaksakan agar “hak” segera ditunaikan.

Dan setelah saya menimbang-nimbang dengan matang, tampaknya dari semua opsi yang ada saat ini dalam mensiasati calon tunggal Kepala Daerah, adalah melantik langsung menjadi solusi yang lebih kecil mudharatnya. Pelantikan langsung calon dapat mengatasi “konspirasi para elit” untuk menyandera demokrasi. Berikut saya kemukakan “racio legisnya”

Pertama, melalui penafsiran historical, pelantikan langsung calon tunggal dalam regim sepuluh tahun Pilkada, tidak pernah terjadi hanya tersedia calon tunggal Kepala Daerah. Hal ini berarti, asumsi calon tunggal yang bisa langsung dilantik memungkinkan terjadinya “transaksi elit” tidak dapat terverifikasi. Malah sebaliknya, sejumlah Parpol yang hobi “menjegal demokrasi” pada akhirnya memajukan calonnya agar bisa menghambat calon tunggal yang sedianya bisa langsung dilantik. Pada poin ini bisa dikatakan hukum yang menyediakan alternatif pelantikan langsung calon tunggal, dapat mengkonversi Partai Politik kembali kesifat asalinya menjadi demokratis.

Kedua, pelantikan langsung calon tunggal paling cocok dengan regim Pilkada serentak. Dengan melalui pelantikan langsung calon tunggal, tidak akan mengganggu jadwal Pilkada serentak dan anggaran pembiayaan Pilkada dipastikan tidak akan membengkak.

Ketiga, tidak melanggar UUD NRI 1945 oleh karena prinsip demokrasi atas nama daulat rakyat tetap dalam bingkai prinsip negara hukum. Pada sesungguhnya yang harus dipahami bersama, guna meluruskan kesimpangsiuran makna “daulat rakyat” selama ini, adalah terletak pada calon yang tersedia berdasarkan tahapan-tahapan yang telah disediakan oleh perangkat Pilkada (KPU/D), di situlah daulat rakyat hadir dalam maujudnya. Hak untuk memilih hanya akan muncul jika ada hak untuk dipilih. Logikanya jika memang hanya tersedia satu yang bersedia untuk dipilih, itulah pilihan daulat rakyat.

Kiranya jika opsi pelantikan langsung calon tunggal kembali akan dihidupkan regulasinya, seyogianya regulasi untuk pelantikan langsung calon tunggal harus memiliki batasan-batasan.

Batasan-batasannya yaitu: calon tunggal hanya bisa langsung dilantik, dalam ihwal penyelenggara Pilkada telah menurunkan syarat pengetatan verfikasi calon Kepala Daerah, seperti dukungan kursi perwakilan Parpol atau dukungan calon perseorangan telah diturunkan kuantitasnya.* 
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Owner negarahukum.com
Damang Averroes Al-Khawarizmi



[Read More...]


Menghirup Kembali Roh Alm. Prof. Achmad Ali (Achmad Ali In Memoriam)



Bertepatan 17 Juni 2015, genap sudah tiga tahun kepergian Begawan Sosiologi Hukum “berkacamata” itu. Dialah Professor Dr. Achmad Ali, S.H, M.H. (Prof. AA), beribu salut dan rasa kagum kepadamu. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.

Sungguh! Tak ada alasan untuk tidak merasa “berdecak kagum” kepada beliau, sebab kemanapun dia melangkah semenjak hidupnya, ketenaran dan popularitas tak pernahlah membuatnya “enggan” untuk mengakui kalau dirinya adalah alumni Fakultas Hukum Unhas yang berasal dari Timur, bahwa darah Bugis Makassar-lah senantiasa mengalir dalam dirinya.

Rupa-rupanya benarlah tetuah ternyata selama ini, kehilangan akan benar-benar terasa ketika orang itu telah meninggalkan kita selama-lamanya, mungkin saja saya termasuk berada dalam “jerat” petuah ini. Hingga kini belum ada yang bisa menggantikannya atas jejak-jejak pengabdian untuk Juris merah Fakultas Hukum (FH) Unhas. Itupun kalau sudah ada tokoh pembesar lainnya yang menancapkan kaki di tingkat nasional, terlalu lancang mulut ini kalau “terpaksa” mengatakan “belum setaraf pengabdian Prof. AA yang mengabdikan hidupnya semata-mata untuk pendidikan, bahkan untuk negara ini.”

Menghirup Kembali

Maka dari itu sebuah kesengajaan kemudian saya memilih judul opini melalui tulisan ini “Menghirup Kembali Roh Alm. Prof. AA” karena pertama kali mengenal sosoknya, disela-sela peluncuran tiga karyanya (Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Keterpurukan Hukum Indonesia, & Sosiologi Hukum Kajian Empiris terhadap Pengadilan), waktu itu saya yang masih berkepala “culung” tema peluncuran buku Prof. AA adalah “Menghirup Kembali Roh Alm. Baharuddin Lopa.”

Dugaan saya, Guru Besar bertubuh mungil itu memilih tema demikian, bersamaan dengan peluncuran bukunya, sudah pasti sebagai rangkaian penghormatan besar kepada Gurunya. Setali tiga uang, demikian halnya melalui tulisan ini, semata-mata juga kutujukan kepada Prof. AA sebagai Guru yang bisa dikata belum ada tandingannya di Fakultas hukum Unhas.

Ya..! “menghirup kembali” jasa-jasa dan kebaikan Prof. AA, saat ini sangat pantas untuk kita lakukan, terlebih-lebih FH Unhas, saya kira wajib adanya “menghidupkan kembali” jiwa-jiwa Achmad Ali buat calon-calon pendekar hukum selanjutnya.

Sebab kenapa? Hanyalah Prof. AA, satu-satunya guru besar FH Unhas yang “besar” namanya karena memiliki pembuktian melalui karya-karya melalui 29 judul bukunya. Prof. AA bukanlah guru yang pelit ilmu, semua literatur-literatur asing yang pernah “dilahap” olehnya, sebahagian disadur dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia lalu dibagi-bagikan kepada Mahasiswa dan rekan sejawatnya. Hanyalah dimasa hidupnya Prof. AA juris merah selalu kaya dengan pemikiran hukum kontemporer. Ketika beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia belum banyak yang mempopulerkan “hermeneutika hukum” lebih awal atas keikhlasan dan ketulusannya berbagi ilmu di FH Unhas istilah itu diperkenalkan. Bahkan teori hukum termutakhir sebelum kadung maut menjemputnya, hanya karena kegigihan Prof. AA merogok kocek untuk membeli buku-buku berbahasa asing, maka teori Werner Menski “Triangular Concept of Legal Pluralism” pertama kalinya juga dikenal di FH Unhas.

Lebih dari pada semua itu, termasuk pun kalau anda membenci sosok Prof. AA karena berbeda pendapat dengannya, sulit anda untuk melepaskan diri dari pengaruhnya. Boleh jadi karena Prof. AA-lah anda menjadi hebat, berani, dan lantang bertutur seperti dirinya. Prof. AA adalah guru di atas maha guru, yang mengajarkan kepada anda untuk berani tampil menyampaikan gagasan dan ide-ide cemerlang di hadapan publik.

Prof. AA bukan sekedar pengajar dan pendidik saja, beliau juga adalah motivator ulung yang bisa membuat anda “berbangga diri” dan “merasa beruntung” memilih Fakultas Hukum. Cukuplah sempurna kecerdasan yang dimilikinya; kecerdasan intelektual, kecerdasan psikomotorik dan kecerdasan afektif semuanya hadir dalam dirinya. Sehingga bagi yang pernah melihat dan merasakan diajar oleh Prof. AA, terbukti beliau mengajar, memiliki kemampuan “menghipnotis” sehingga anda serius mendengar segala “celoteh bernasnya”.

Betapa besar pengaruh Prof. AA yang pernah diajar olehnya, dulunya anda Mahasiswa dan kini setelah menjadi alumni, dalam Prof.esi apapun anda ditempatkan saat ini, maka sulit dipungkiri karakter Prof. AA telah bersemayam dalam diri anda secara tidak sadar. Ciri khas Prof. AA dikala mengajar melalui gerakan tangan dan bahu, hingga caranya mengartikulasikan kata-kata, saya berani mengatakan “sebuah kebohongan besar jika tak terimitasi olehnya.”

Mengabadikan Prof. AA

Maka khusus untuk skala lokal, Indonesia bagian Timur (Makassar), dikala kita seolah merasa, “ahli hukum yang sebenar-benarnya ahli kian hari mengalami krisis.” Izinkan saya mengatakan “krisis identitas”. Dengan “menghirup” kembali jiwa-jiwa kebaikan Prof. AA, melalui pengabadian namanya di kota Makassar, itulah penghormatan terbesar dalam mengenang jasa-jasanya.

Tak ada salahnya, setapak lorong yang menuju ke pemukiman Prof. AA yang kini masih dihuni oleh istri tercintanya Dr. Wiwie Heryani, SH. MH diberi nama jalan Achmad Ali. Apalagi FH Unhas akan menjadi sebuah “dosa besar” tat kala orang yang banyak meninggalkan jasa untuk Juris Merah itu, satupun tak ada gedung atau ruangan “terlekang” nama Prof. AA.

Selentingan kabar pernah terucap dari orang dekat dan kerabat Prof. AA, kalau beliau pernah mewasiatkan “separuh buku koleksinya agar disumbangkan untuk Perpustakaan FH Unhas.” Kalau benar adanya wasiat itu, maka melalui tulisan ini, izinkan saya memohon dan bersimpuh di hadapan pimpinan FH Unhas (Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M. Hum.) dan sang wanita lembut Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A. (Rektor Unhas) “aku butuh jiwa muliamu”.

Mungkin tak banyaklah permintaan ini, kalau hanya perpustakaan FH Unhas, tempat gudangnya ilmu agar mengabadikan nama “PERPUSTAKAAN ACHMAD ALI”. Semoga Allah selalu dalam limpahan rahmat-Nya, kepadamu wahai Prof. AA. Aamien Yaa Rabbal A’lamin.(*) 
 
Sumber Gambar: antaranews.com
 
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors