Merindukan Bulan Suci Ramadhan, Selamanya!



Sayang seribu sayang, sebagai ummat Islam, acapkali kita hanya merasa wajib untuk menunaikan ibadah puasa selama bulan suci ramadhan. Banyak puasa sunnah, jenis dan keadaan lainnya luput dari perhatian kita.

Tidak salah, dan barangkali dapat diterima sebagai sosio-empiris kalau setiap datangnya bulan suci ramadhan, terdapat sebuah pertunjukan, parade, dagelan, sandiwara, yang menghantarkan “manusia” agar meninggalkan masa-masa jahiliyanya.

Kebijakan pemerintah menjadi seiya-sekata dengan beberapa perusahaan swasta, bahwa segala macam usaha dan kegiatan yang dapat merusak afdal-nya orang yang sedang berpuasa harus dihentikan. Tempat prostitusi diliburkan, bersamaan dengan itu, rumah-rumah hiburan lainnya, seperti tempat karoke juga harus ditutup.

Pada akhirnya, suasana tontonan media televisi kita pun di rumah, berubah 180 derajat. Semua siaran pertelevisian tersaji dalam konten Islami. Tidak ada lagi konten agak atau sedikit “porno,” yang menghiasi media pertelevisian. Artis yang dulunya tampil seronok, ayak-ayakan, tiba-tiba “dijatuhi” iman, berpose ala islami, menutup aurat.

Merindukan

Mungkin masih terang di ingatan publik semua, fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang banyak memenuhi pemberitaan akhir-akhir ini. Banyak yang menuding, bahkan kita mungkin ikut pula mengamini tudingan tersebut, bahwa penyebab dari banyaknya kasus kekerasan seksual sedemikian itu, semua karena imbas dan perannya media yang banyak menyajikan konten yang tak ayal dinikmati oleh orang yang belum dewasa.

Silahkan diantara kita semua, melakukan perbandingan pada setiap konten media antara masa bulan suci ramadhan dengan masa yang 11 bulan, bukan masanya bulan suci ramadhan. Boleh jadi hanya pada bulan suci ramadhan, kita terhindar dari serangan media yang berbau “porno,” namun selebihnya, di luar bulan suci ramadhan itu, lagi-lagi kita “terperangkap,” terjurumus dalam gelimang dosa yang diparadekan oleh berbagai media.

Jika memang benar adanya, peran media begitu tajam mempengaruhi setiap lini kehidupan kita. Saya termasuk pihak yang mau menggugat, bagaimana kalau ummat Islam menjalankan ibadah puasa selama setahun penuh saja?

Terus terang, dan jujur, sejujur-jujurnya, acapkali saya selalu merindukan bulan puasa agar dijalankan selamanya saja. Biar saja pemerintah beserta dengan perusahaan sekuler tak punya lagi ruang, mengembalikan kehidupan dalam keadaan bebas ibarat kehidupan jahiliya. Biar saja kita punya alasan, agar setiap tempat prostitusi, tempat hiburan, tempat penjualan minuman keras, ditutup pula untuk selama-lamnya. Biar saja, media pertelevisian, media cetak, dan media online, menyesuaikan diri dengan masa “keberimanan” ummat manusia yang tak lagi terikat oleh ruang dan waktu.

Memang menjadi kewajiban, kalau pesona bulan suci ramadhan, harus memberi manfaat bagi hamba yang menjalankannya. Ia yang suci dan bersih dari segala dosa, tidak lagi akan mengulangi “perbuatan dosa” pada waktu yang lainnya. Menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, akan menghantarkan manusia dalam “pertaubatan” penuh pula. Tidak mau lagi bersentuhan dengan “kejahatan” yang akan merusak imannya.

Tapi apa yang terjadi? Keadaannya justru berbalik dari yang diharapkan. Dalam konteks ini, masa-masa jahiliya memang kembali seperti sedia kala. Sebuah titik poin yang harus menjadi peringatan bagai pengemban amanah di negeri ini. Dirinya mengaku sebagai khalifah, tentunya punya peran dan andil besar menjaga manfaat dan konsistensinya setiap orang dalam menjalankan puasa, selama sebulan penuh.

Sekeras-kerasnya seorang menahan godaan dan mengindari perbuatan mungkar pada bulan di luar ramadhan, toh pada akhirnya tidak mampu kalau sang pemimpinnya masih mengizinkan dan membolehkan kembalinya segala instrumen pemicu kemungkaran, pasca bulan suci ramadhan itu.

Tentu “dosa” dan beratnya tanggungan seorang pemimpin memang maha berat. Tatkala banyaknya orang yang menjadi rugi dengan puasa yang pernah dijalankannya, tidak memberikan manfaat apa-apa, dalam perubahan kehidupannya. Lalu ternyata pemimpinlah yang telah membawa mereka dalam pusaran kenistaan, sang pemimpin itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Selamanya

Tidak dibutuhkan pekerjaan yang ekstra bagi pemimpin di negeri ini, andai ingin mengantarkan warga dan penduduknya menjadi damai dan tenteram. Penduduk yang nihil kekerasan, kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan segala bentuk kedukaan negeri lainnya. Hanya dibutuhkan keseriusan, seberapa besar kemauan itu untuk mengakhiri dan menutup segala tindak-tanduk jahilia, yang menyebabkan banyaknya orang menjadi bengis dan culas dalam tata lakunya.

Hukuman kebiri tak perlu dihadirkan untuk para pelaku kekerasan seksual anak, andai saja rakyat dan pemimpin republik ini, bersatu padu menjalankan tata-tertib saluran pemberitaan, TV, media cetak, media online, seperti keadaannya di bulan suci ramadhan itu.

Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, puasa bukan hanya menahan untuk berkata dan berpikiran kotor, sebab akan merusak kadar “amal” yang diperoleh dari ibadah tersebut. Ibadah puasa, seharusnya, bukan hanya orang sadar menjauhi perbuatan dosa pada bulan itu-itu juga. Tetapi di luar bulan lainnya, ia sudah dianggap, akan terbiasa dengan perbuatan amal kebajikan. Semuanya amal kebajikan itu menjadi gampang untuk dikerjakan, sebab ia sudah menjalani fase latihan selama sebulan.

Kalau begitu, Mengapa pula segala kebijakan jahiliya masih tampak setelah ramadhan berakhir di peraduannya? Padahal segala kebijakan itu juga telah “dipuasakan,” televisi berpuasa, artis berpuasa, dan tak kurang pula iklan menyajikan menu hidangan puasa.

Apa yang kurang dari semuanya? Gagalkah kita memeroleh manfaat dari yang kesemuanya itu? Sehingga pada akhirnya ibadah puasa tidak memberi apa-apa, sedikitpun, kecuali lapar dan dahaga saja.

Kehidupan kembali kacau-balau, muncul kembali kasus pemerkosaan, kasus korupsi, kasus pembunuhan, pemalakan, hingga kasus perselingkuhan yang melibatkan nama-nama beken dari mereka yang menjadi wakil kita di sana. Pada intinya, saya merindukan bulan suci ramadhan, selamanya. Bulan yang akan mengebiri nafsu birahi, sehingga tak ada lagi, laku culas dan bengis di bumi persada ini.* 
Sumber Gambar: beritacenter.com

[Read More...]


Puasa, Piala Eropa, dan Money Politic Pilkada



Panitia kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat telah mengumumkan hasil revisi Undang-Undang Pilkada untuk penyelenggaraan pemilihan 2017 mendatang. Kerja tuntas dewan kehormatan kita lekas usai dikala tamu agung, bulan suci ramadhan itu kian dekat di titiannya. Dan bersamaan dengan itu pula, momentum ibadah puasa sebulan penuh akan turut “terwarnai” dengan perhelatan akbar Euro 2016 yang resmi di buka 10 Juni, di Prancis.

Dua even inilah, puasa dan Piala Eropa 2016 dapat menjadi pelajaran berharga dalam menyongsong Pilkada 2017 nanti. DPR telah menunjukan keseriusannya untuk melahirkan Pilkada demokratis, dengan mengokohkan pelanggaran berupa money politik harus ditindak secara tegas bagi pelakunya. Tak pandang pemberi janji atau materinya saja kepada pemilih yang akan mendapatkan hukuman, pun dengan getolnya pemilih juga dihadang ancaman pidana, kalau dengan sengaja menerima “materi” berupa uang atau yang dipersamakan dengan itu, siap-siap saja akan menjadi penghuni Lapas, binaan masyarakat yang kurang lebih 7 tahun lamanya.

Puasa vs Money Politic

Akan tetapi perlulah diingat, bahwa setegas-tegasnya dan sekerasnya hukuman yang mengancam para calon pelakunya, ada kalanya pelaku jauh lebih cerdik dan lihai menyusun “kedok” agar tidak terjerat laku jahatnya sebagai peristiwa pidana.

Bahwa demokrasi electoral yang diharapkan, agar ceruk pasar pemilih menjauh dari praktik jual beli suara, ada-ada saja kondisi dilematis yang menyanderanya, sehingga tetap mendapat imbalan dari “kandidat” yang mencari dukungan.

Sebuah fakta yang selalu berkutat dengan carut marutnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Belum ada kesadaran pemilih menjadi pendukung Paslon tertentu, datang mendegarkan visi-misi Paslon, bahkan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), jika tidak ada insentif yang diperolehnya secara langsung.

Tengoklah alotnya sidang DPR ketika membahas “kriminalisasi” jual beli suara ini. Terpaksa biaya makan dan biaya transportasi untuk mengundang simpatisan pemilih dalam ajang helat kampanye, dikecualikan sebagai money politic Pilkada. Konon ketentuan demikian muncul demi menyesuaikan kondisi masyarakat kita.

Kalau memang demkian ceritanya, mari kita belajar dari tujuan dasarnya dalam melakoni ibadah puasa selama satu bulan penuh ini. Adakah orang yang mengaku dirinya sebagai hamba beriman di hadapan Tuhannya, menunggu bayaran baru merasa wajib menunaikannya? Saya kira tidak. Setiap orang yang menjalankan rukun Islam yang ketiga itu, pastinya dengan ketulusan dan keikhlasan semata, demi meraih syafaat Allah SWT.

Dengan ibadah puasa, di situlah kejujuran dan sportivitas manusia sedang di uji oleh Tuhannya. Ada tidaknya orang yang menyaksikan kita, lapar dan dahaga tetap ditahan sepanjang hari. Di sinilah sportivitas manusia sedang diuji, jika kepada sang khalik saja mampu berlaku ikhlas, qanaah, mengapa tidak perwujudan hak politik untuk memilih, agar memerankan diri secara “ikhlas” pula; dalam memberi dukungan, mendengarkan visi-misi calon, sebab merupakan kewajiban memilih pemimpin yang amanah untuk sesama.

Lalu siapakah termasuk orang yang berbuat aniaya, dan perbuatannya itu malah menganiaya dirinya sendiri? Demikianlah orang-orang yang dalam menjalankan kewajibannya tetapi mengharapkan imbalan, bukan karena ridho dan syafaat-Nya Allah SWT ia berbuat.

Menetukan pilihan, kepada siapa hati berlabuh untuk dipilih sebagai pemimpin, haruslah dengan ketulusan dan keihlasan di atas segala-galanya. Money politic pilkada tidak punya ruang dalam hal mengantarkan calon pemimpin amanah.

Piala Eropa Vs Money Politic

Berbanding lurus dengan itu, tak jauh beda pula dengan perhelatan akbar sepak bola, Euro 2016 ini, sebuah kontestasi yang lagi-lagi jatuh tempo bersamaan dengan masa bulan suci ramadhan.

Karakter, fair play, dan sportivitas merupakan tiga kredo dalam sepak bola yang selalu dijunjung tinggi. Masih ingat dengan kisah kelam sepak bola Gajah antara PSS Sleman vs PSIS Semarang dua tahun lalu. Gara-gara dituding menghancurkan prinsip fair play dalam sepak bola, akhirnya didiskualifikasi oleh komisi disiplin PSSI. Kedua tim kawakan itu memerankan sepak bola alah hara kiri, sama-sama mencari kekalahan sebab tidak mau ketemu dengan tim kuat Borneo FC di fase berikutnya. Simak pula kisah terhormat, Presiden FIFA lima kali terpilih, Sepp Blatter yang akhirnya mengundurkan diri sebagai pemimpin sepak bola dunia, karena sorotan kasus tajam korupsi yang menyeret-nyeret namanya. Semuanya kisah kelam dan kisah memiriskan itu, terkunci dalam satu kalimat: “kompetisi atau kontestasi menolak adanya praktik curang.”

Puasa dan Piala Eropa 2016, di sanalah ketulusan sedang diuji bersama, tulus beribadah semata kepada Allah SWT, feat kompetisi sepakbola menjadi wajib pula untuk tulus menerima kekalahan. Dan pemilih sebagai “bandul” utama demokrasi, juga diuji ketulusannya untuk mengantarkan pemimpin dalam singgasananya, tanpa laku curang ala money politic pilkada.

Sembari merebut hikmat dan puncak iman dalam bulan suci ramadhan nanti, menjadi hamba yang suci, bersih dari segala dosa. Semoga republik yang selalu dihujani duka: bencana alam, korupsi, pemerkosaan, dan berbagai bentuk ujian lainnya. Kelak, akan melahirkan pemimpin lokal yang jujur, bersih, dan amanah di hadapan Tuhannya.

Selamat Memasuki Bulan Suci Ramadhan. 
Sumber Gambar: http: inikata.com

[Read More...]


Puasa Sebagai Terapi kebangsaan




The power of kepepet merupakan slogan yang sering “ditempelkan” kepada mahasiswa, yang hobinya baru mau belajar, manakala ujian akhir semester telah mepet waktunya. Model ini sering pula dinamakan program Sistem Kebut Semalam (SKS).

Entah ada hubungannya atau tidak, antara mahasiswa zaman dulu yang boleh jadi telah berstatus sebagai stake holder bangsa, dengan kondisi republik dewasa ini, sepertinya mereka terjebak, mungkin juga keenakan, menempu jalan keselamatan dengan dalih “sedang kepepet.”

Jadilah kita bangsa kepepet, setiap permasalahan yang datang menyemai, menghadang, menjadi perbincangan alot di media sosial, pemerintah dengan “bersikeras,” lalu gegas menyikapinya sebagai kegentingan memaksa.

Ya…! Benar-benar kepepet, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dianggap sebagai solusi jitu, untuk mengatasi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Lagi dan lagi, keadaan kepepet lainnya juga terjadi dengan revisi Undang-Undang Pilkada secara “maraton,” konon “dipercepat” demi Pilkada 2017 yang tidak lama lagi akan diselenggarakan tahapannya pada bulan ini.

Pertanyaannya, betulkah kita sebagai bangsa yang lupa diri, kalau waktu itu berjalan cepat dan kita tidak mau memanfaatkan seefektifnya? Betulkah pula kalau harga otak dari jutaan rakyat di negeri ini jauh lebih mahal dengan otak orang-orang barat, sebab anugerah teristimewa itu, kita malas menggunakannya, kita malas mencari akar penyebab meningkatnya kejahatan seksual di negeri beradab dan bersopan santun ini.

Bodohkah orang-orang kepercayaan kita di Senayan, sehingga hasil revisinya tentang UU Pilkada terkesan setengah hati? Yang pasti, kita patut merenunginya semua keadaan itu, mumpung ibadah puasa sering “menyandera” hampir semua ummat muslim, berikut dengan segala ritualnya, “seolah-olah” sadar akan menemui Tuhan-Nya yang maha agung ketika bulan suci ramadhan sedang tiba.

Terapi Kebangsaan

Bulan ramadhan yang mewajibkan bagi kaum muslim, menahan lapar dan dahaga di siang hari, jika ditinjau secara mendalam, pada hakikatnya memliki banyak manfaat bagi yang menjalankannya.

Konon, dunia kedokteran mendaulat kalau iabdah puasa mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang terdapat di dalam tubuh. Senada dengan itu, dalam wilayah teologik, puasa tidak hanya bermanfaat dalam ‘terapi kesehatan” akan tetapi berdayaguna pula dalam membersihkan segala pikiran-pikiran tercela. Jiwa akan kembali dalam asalinya, untuk selalu menyemburkan kebaikan dan kebenaran buat sesama.

Kalau saja, dengan ibadah yang kita jalankan itu setulus-tulusnya, seikhlas-ikhlasnya, jadilah kita manusia yang serba penyabar. Dengan sabar, kita bisa menjadi teliti, cermat, tidak gegabah, serta solutif dalam menyikapi setiap permasalahan.

Dan tak ada yang menafikan kalau di negeri ini, ummat Islam-lah yang menjadi mayoritas. Tak perlu dinanya pula, kalau dari setiap perangkat kekuasaan pulik adalah pejabat yang rata-rata beragama Islam. Oleh sebab itu, para pejabat yang dirinya mengaku “Iam Moslem,” tak mengapa kita memiliki harapan yang sama, semoga puasa mereka dapat menjadi terapi untuk bangsa ini. Sepintar-pintarnya-lah mereka, merebut manfaat dan hikmat dari puasa yang dilakoninya.

Mereka harus tahu, mengerti, dan memahaminya, bahwa ibadah puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tidak sekedar melantunkan ayat suci al-qur’an sepanjang waktu, tidak sekedar memberi buka puasa kepada kaum fakir. Lebih dari itu semua, ibadah puasa yang pada sesungguhnya melatih kesabaran, membersihkan jiwa dan pikiran, seharusnya kelak ia menjadi pejabat yang cermat dan hati-hati. Tidak boleh lagi bekerja dengan “asal,” apalagi kebablasan karena “situasi mepet” sedang menyerempetnya.

Tidak! mereka tidak boleh gagal dalam menyelami manfaat dan dahsyatnya bulan suci ramadhan. Ia harus menghantarkan bangsa ini keluar dari krisis multidemensi yang melandanya.

Pelipur Lara

Bulan suci ramadhan harus menjadi “terapi kebangsaan” buat mereka, agar bisa menemukan dirinya yang hilang. Sebab boleh jadi, diri meraka yang sejati belumlah ia peroleh, sehingga nyatanya kita menjadi bangsa serba adanya, bangsa yang serba kepepet.

Di pundak mereka inilah, di pundak para pejabat kita, wakil-wakil kita di sana. Ada terpantik asa, dengan ibadah puasa sebulan penuh, “revolusi mental” tidak hanya fasih di lisan saja, tetapi dapat dibuktikan dengan kerja, dan kerja.

Kerjanya, jangan kebablasan, jangan karena kepepet, sebab hasilnya pasti tiada guna. Itulah yang dimaksudkan, kalau banyak orang yang merugi, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasanya. Sebab dari puasa yang telah dijalankannya itu, tidak memberikan manfaat dan terapi dalam kehidupannya.

Semoga saja, dengan ramadhan yang akan menemui kita di awal bulan ini, mampu mengembalikan para pejabat dalam kebangsaannya. Bangsa yang di ridhoi, bangsa yang mengutamakan hajat bersama, bangsa yang senantiasa mendapat syafaat dari Allah SWT.

Sekali lagi, semoga dengan puasa yang kita jalankan, kita tidak lagi menjadi bangsa yang kepepet, sebab kita telah menjadikan ibadah tersebut, sebagai terapi kebangsaan di negeri ini. Ingat! Puasa dan pejabat bukan sekedar pelipur lara.* 
Sumber Gambar: newponsel.com

[Read More...]


HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK



Asal mula hukum ialah penetapan oleh pimpinan yang sah dalam negara. Hukum adalah hukum yang berlaku pada suatu negara, disebut hukum plus rakyat meminta supaya tindakan-tindakan yang diambil adalah sesuai dengan norma yang lebih tinggi dari norma hukum dalam UU. Norma yang tinggi itu dapat disamakan dengan prinsip keadilan (Hujbers, 1982: 86)

Manusia adalah makhluk sosial selalu hidup berkelompok yaitu saling berhubungan satu dengan yang lain, lebih dikenal bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia menganut cara pandang integralistik dan bukan individualistik atau makhluk bebas. Maka cara pandang integralistik, hubungan antara individu dengan masyarakat, dengan demikian maka masyarakat yang lebih diutamakan harkat, martabat, dan HAM tetap dihargai.

Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari adanya suatu aturan atau hukum sebagai rambu-rambu yang mengatur masyarakat menjalankan roda kehidupan agar dapat berjalan dengan tertib. Dalam teori ilmu hukum “tiada masyarakat tanpa hukum”. Demikian pula masyarakat Indonesia tidak terlepas dari dalil tersebut.



HUKUM ITU APA ATAU APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN HUKUM?

1. Victor Hugo, hukum adalah kebenaran dan keadilan;

2. Padmo Wahyono, hukum adalah alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial;

3. E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan;

Hukum adalah alat atau sarana untuk menjaga dan mengatur ketertiban guna mencapai suatu masyarakat yang berkeadilan dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial yang berupa peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi bagi yang melanggar baik itu untuk mengatur masyarakat ataupun aparat pemerintah sebagai penguasa.



Ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam hukum:

1. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang;

2. Tujuan mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat;

3. Mempunyai ciri memerintah dan melarang;

4. Bersifat memaksa agar ditaati;

5. Memberikan sanksi bagi yang melanggarnya (Muchsin: 2001)



APA RELEVANSI ANTARA HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK? KETERKAITAN ANTARA KEDUANYA YAITU PADA KONSEP DASAR HUKUM ADALAH DENGAN ADANYA DUA KONTEKS:

1. Tentang keadilan, menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil di sekian banyak dinamika dan konflik di tengah masyarakat;

2. Aspek legalitas, menyangkut hukum dan artinya sebuah aturan ditetapkan oleh kekuasaan yang sah dan dalam pemberlakuan dapat dipaksakan atas nama hukum.



Antara hukum dan kebijakan publik memliki kesamaan, karena ketika melihat antara proses pembentukan hukum dengan proses formalasi kebijakan publik kedua-duanya sama-sama berangkat dari realita yang ada di tengah masyarakat dan berakhir pada penetapan sebuah solusi atas realitas tersebut.

Bahwa produk hukum (UU) memberikan sebuah kekuatan dan kemapanan dari kandungannya. Sedangkan kebijakan publik pada dasarnya berorientasi kepentingan publik.



KEBIJAKAN PUBLIK SEBUAH PROSES POLITIK

Kebijakan publik adalah sebuah kompleksitas tarik-menarik pengaruh dan berbagai pihak yang begitu beragam, mulai dikondisi politik internasional sampai pada elemen politik original domestik.

Hakekat proses kebijakan adalah sebuah proses politik, sehingga segala kompleksitas persoalan yang muncul di tingkat politik juga ditemui pada tingkat kebijakan publik.





John Herry Marryman, model strategi pembangunan hukum dapat dibedakan:

1. Strategi ortodoks yang mengutamakan peran negara dan parlemen dengan produk Perundang-Undangan;

2. Model responsif, yang mengutamakan peran pengadilan, yang berarti besarnya partisipasi masyarakat.

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DIBEDAKAN ATAS

1. Kebijaksanaan pemerintah yang liberal: kebijaksanaan ini mempunyai sifat cepat mengadakan tindakan-tindakan yang berakibat dengan perubahan cepat pula. Biasanya kebijaksanaan tersebut mengarah kepada penghapusan ketidakadilan atau kepincangan masyarakat. Contoh: penetapan perintah tentang kenaikan pajak.

2. Kebijakan pemerintah yang konservatif. Pertimbangan konservatif bahwa kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat sudah memadai, sehingga perubahan-perubahan tidaklah perlu diadakan dengan cepat, tetapi menurut tingkat perkembangan semestinya, melalui proses yang alami (natural process);



KONDISI DI PENGAMBIL KEBIJAKAN:

1. Kegiatan yang diambil dengan kepastian (under condition of certainty) yaitu suatu keputusan yang didasarkan pada data-data dan informasi yang sudah lengkap serta dapat pula memperhitungkan tujuan secara realistis;

2. Kegiatan yang diambil dengan ketidakpastian (under condition of uncertainty), yaitu suatu keputusan yang terpaksa diambil meskipun perhitungan-perhitungan data dan informasi tidak pasti. Namun tetap harus diambil keputusan, sebab apabila kebijaksanaan tidak diputuskan dan dilaksanakan, kemungkinan akan timbul pengorbanan yang lebih besar (pengambilan keputusan untung-untungan atau spekulasi);

3. Keputusan yang diambil dengan risiko (under condition of risk), yaitu keputusan yang diambil telah diprediksi akan adanya hal-hal yang mengganggu keberhasilannya sehingga berakibat terjadi pengorbanan tertentu;

4. Keputusan yang diambil dengan kondisi konflik, yaitu keputusan yang terpaksa diambil dalam konflik kepentingan. Pengambilan keputusan ini diharapkan paling sedikit akan mengurangi konflik.

Keputusan yang baik dan benar memerlukan data dan informasi yang lengkap, pengetahuan yang cukup mengenai kondisi dan situasi, serta melalui proses yaitu sederhana, urut, efesien, dan bermanfaat. Selain itu, keputusan haruslah rasional, institusional, kondisional, dan situasional.

MACAM KEBIJAKSANAAN PUBLIK INDONESIA

Kebijaksanaan publik di Indonesia merupakan kebijaksanaan pemerintah yang berdasarkan Pancasila. Kebijaksanaan itu tidak hanya memperhatikan keinginan dan kehendak dari rakyat, tetapi juga mengacu pada kepentingan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

Kebijaksanaan tersebut diakomodasi dalam berbagai bentuk Peraturan Perundang-Undangan:

Peraturan Perundang-Undangan menurut UU Nomor 10 Tahun 2004:

- UUD NRI 1945;

- UU/Perppu;

- PP;

- Peraturan Presiden;

- Perda (Provinsi, Kabupaten, dan Kota)

- Peraturan Desa.

Peraturan Perundang-Undangan menurut UU Nomor 11 Tahun 2012:

- UUD NRI 1945;

- Ketetapan MPR

- UU/Perppu;

- PP;

- Peraturan Presiden;

- Perda (Provinsi, Kabupaten, dan Kota). 
 
 
 

Disadur dari Buku Eddy Wibowo, Dkk, 2004, Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: YPAPI

Damang, SH.





[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors