Asas-Asas Hukum



Asas merupakan jantungnya hukum. Demikian pernah dikatakan oleh Sadtjipto Rahardjo. Meskipun asas kelihatannya masih bersifat abstrak, tetapi asaslah yang membentuk hukum itu sehingga memiliki sifat kepastian yang nyata, konkret dan jelas.

Namun dengan lahirnya teks pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan itu juga tidak dapat dipungkiri bahwa asas sebagai bahagian yang penting. Berikut ini dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum yang saya bawakan, beberapa asas yang penting kiranya menjadi rujukan:

  1. Actus non facid reum, nisi mens sitrea (sikap batin yang tidak bersalah, orang tidak boleh dihukum).
  2. All men are equal before the law, without distinction sex, race, religion and social status (semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial).
  3. Alterum non laedere (perbuatanmu janganlah merugikan orang lain ).
  4.  Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars (para pihak harus didengar)
  5. Bis de eadem re ne sit actio atau ne bis in idem (mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya)
  6. Clausula rebus sic stantibus (suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar Negara masih tetap berlaku apabila situasi dan kondisinya tetap sama)
  7. Cogitationis poenam nemo patitur (tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya ).
  8. De gustibus non est disputandum (mengenai selera tidak dapat disengketakan)
  9. Eidereen wordt geacht de wette kennen ( setiap orang dianggap mengetahui hukum)
  10. Errare humanum est, turpe in errore perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi,namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan ).
  11. Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus ( sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan ).
  12. Geen straf zonder schuld ( tiada hukuman tanpa kesalahan ).
  13. Hodi mihi cras tibi (ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat ).
  14. Hukum merupakan suatu alat Bantu
  15. In dubio pro reo ( apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa )
  16. Justitia est ius suum cuique tribuere ( keadilan diberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya )
  17. Juro suo uti nemo cogitur (tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya )
  18. Koop breekt geen huur (jual beli tidak memutuskan sewa menyewa ).
  19. Lex dura sed ita scripta atau lex dura sed tamente scripta (undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian ).
  20. Lex specialis derogat legi generalis (undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum).
  21. Lex superior derogate legi inferiori (undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya).
  22. Lex posterior derogate legi priori atau lex posterior derogat legi anteriori (undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama ).
  23. Lex niminem cogit ad impossibilia (undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin).
  24. Manusia dilahirkan sama dan merdeka yang memiliki hak asasi (human rights) sebagai pemberian sang pencipta.
  25. Matrimonium ratum et non consumatum ( perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin ).
  26. Melius est acciepere quam facere injuriam (lebih baik mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan ).
  27. Nu is men he teens,dat recht op the een of andere wijze op de menselijke samenleving is betrokken (umum telah menyepakati bahwa bagaimanapun juga hukum itu ada hubungannya dengan masyarakat ).
  28. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet ( tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki ).
  29. Nemo judex indoneus in propria ( tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri ).
  30. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ( tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu ).
  31. Opinio necessitatis (keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan )
  32. Pacta sunt servanda (setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik ).
  33. Patior est qui prior est (siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung)
  34. Presumption of innocence (seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap ).
  35. Princeps legibus solutus est (kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya ).
  36. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio (apa yang berada dalam batas-batas wilayah Negara tunduk kepada hukum negara itu ).
  37. Qui tacet consentire videtur ( siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui ).
  38. Res nullius credit occupanti (benda yang diterlantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiliki ).
  39. Recht is er over de gehele wereld ,overal waar een samenleving van mensen is (hukum terdapat di seluruh dunia,di mana terdapat suatu masyarakat manusia).
  40. Resjudicata proveri tate habetur ( setiap putusan hakim atau pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi).
  41. Restitutio in integrum ( kekacauan dalam masyarakat, haruslah dipulihkan pada keadaan semula / aman ).
  42. Speedy administration of justice ( peradilan yang cepat ).
  43. Summum ius summa injuria (keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi )
  44. Similia similibus (dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih ).
  45. Testimonium de auditu ( kesaksian dapat didengar dari orang lain ).
  46. The binding force of precedent ( putusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama ).
  47. Unus testis nullus testis ( satu orang saksi bukanlah saksi ).
  48. Ut sementem feceris ita metes ( siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya ).
  49. Verba Volant scripta manent (kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada).
  50. Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan ).
















[Read More...]


Teori Kewenangan



Seringkali kita menemukan istilah yang disamakan dengan kata wewenang adalah kekuasaan. Tetapi dalam scope Hukum tata negara kebanyakan ahli hukum tata negara menggunakan istilah wewenang. Wewenang dalam bahasa inggris disebut authority atau dalam bahasa belanda bovedegheid. Yang kira-kira arti singkat dari wewenang adalah kekuasaan yang sah/ legitim.

Kenapa dikatakan sebagai kekuasaan yang sah ? adalah karena undang-undang yang memberikan kewenangan/ kesahihan terhadap pejabat tersebut. Atau dengan kata lain tidak ada kewenangan tanpa undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut asas legalitas yakni berasal dari kata lex yang berarti undang-undang.

Jadi dengan demikian, munculnya kewenangan adalah membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang.
Kemudian muncul pula asas dalam hukum administrasi negara “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.” Oleh karena itu siapapun atau pejabat manapun harus mempertanggungjawabkan setiap tugas dan kewenangannya.

Maka, untuk mengetahui lebih lanjut dari pada siapa yang mesti bertanggung jawab dari pejabat tersebut maka hal ini penting untuk diuraikan tiga cara memperoleh wewenang:
  1. Atribusi adalah pemberian kewenangan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan tersebut. Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap pejabat yang dituju atas jabatan yang diembannya. Misalnya berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menegaskan  “DPR dapat membentuk undang-undang untuk disetuji bersama dengan Presiden”.
  2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan dari organ pemerintahan yang satu kepada organ pemerintahan lainnya. Atau dengan kata lain terjadi pelimpahan kewenangan. Jadi tanggung jawab/ tanggung gugat berada pada penerima delegasi/ delegataris. Misalnya: pemerintah pusat memberi delegasi kepada semua Pemda untuk membuat Perda (termasuk membuat besluit/ keputusan) berdasarkan daerahnya masing-masing.
  3. Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pada mandat tidak terjadi peralihan tanggung jawab, melainkan tanggung jawab tetap melekat pada sipemberi mandat. Misalnya instruksi gubernur kepada sekretaris daerah agar ia bertanda tangan untuk keputusan pencairan anggaran pendidikan. Jadi di sini jika jika keputusan yang hendak digugat berarti tetap yang digugat/ sebagai tergugat adalah Gubernur.

Mengenai rumusan mandat, oleh Philipus M Hadjon mengemukakan ”Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu atribusi atau delegasi. Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intim-hirarkis organisasi pemerintahan”

Materi ini juga di sampaikan pada kelas pagi dan kelas sore, dalam mata kuliah hukum administrasi negara di kampus II Unisan Pohuwato
[Read More...]


Mengajar Dengan Kecerdasan Spiritual



Pernah suatu waktu, di sebuah ruangan kelas yang amat sesak, panas menyengat. Maklum karena ruangan itu tidak dilengkapi dengan AC. Sehingga kondisi mahasiswa yang menumpuk di ruangan, harus mandi keringat untuk mengikuti beberapa mata kuliah. Termasuk dosen yang masuk mengajar, sudah pasti akan mandi keringat juga.

Namun kondisi kampus yang serba berkecukupan itu. Tempat saya mengajar. Masih ada beberapa mahasiswa yang antusias untuk belajar, mengikuti dengan serius mata kuliah yang selalu saya bawakan.

Supaya para pembaca, kita sama-sama dapat memetik hikmah. Makna dari  sebuah profesi yang biasa kita jalani. Maka kali ini saya akan mengangkat cerita dari sebuah pengalaman. pribadi saya. Dari keseharian saya mengajar di sebuah Fakultas Hukum, Universitas Ichsan Gorontalo, di Kabupaten Pohuwato.

Ceritanya begini: Sudah empat kali pertemuan dari mata kuliah yang saya bawakan. Mata kuliah pengantar ilmu Hukum, saya sendiri sebagai penanggung jawabnya. Konon mata kuliah ini adalah mata kuliah yang berat, sehingga banyak teman-teman Dosen “phobia” untuk memegang mata kuliah tersebut.

Pada pertemuan yang kelima. Saya ingin mengadakan evaluasi. Bukan dengan ujian tertulis. Hanya ujian lisan. Saya mengatakan kepada Mahasiswa di dalam ruangan. Pada pertemuan kali ini saya ingin menanyakan materi kuliah saya dari beberapa materi kuliah. Yang saya ajarkan pekan lalu.
Baru  saya mengatakan seperti itu, kemudian hampir semua mahasiswa dalam ruangan kelas. Tersontak kaget, seolah-olah saya dianggap orang yang menguji mereka. Agar lulus dalam melamar sebuah pekerjaan.

Singkat kata singkat cerita. Pada waktu tiba saatnya saya menanya setiap mahasiswa satu persatu. Hampir semua tidak dapat menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Padahal sudah berapa kali. Tidak terhitung saya mengulang-ulang dalam setiap pertemuan materi kuliah itu.
Pertanyaan itu adalah materi dasar ilmu hukum, “Sebutkan empat asas hukum yang pernah saya jelaskan ? Dan jawabannya bagi saya sih, cukup muda. Yaitu lex superior derogate legi inferior, lex posterior derogate legi priori, lex specialist derogate legi generale, dan asas nonretroaktif. (ketentuan hukum yang tinggi mengalahkan yang rendah, ketentuan hukum yang baru menglahkan yang lama, ketentuan hukum yang khusus mengalahkan yang umum dan huku itu tidak dapat berlaku surut)

Kelas itu adalah kelas karyawan (reguler sore). Waktu saya menanya seorang mahasiswa. Dan ia tidak mampu menjawab. Saya menyuruh agar ia keluar ruangan dulu dan menghafal ke empat asas yang sudah saya sebutkan tadi di atas. Saya menganggap diri saya berlaku adil. Walaupun itu mungkin justifikasi pribadi saya. Entah keadilan yang sifatnya subjektif saja. Oleh karena semua mahasiswa saya perlakukan sama (equity). Yang tidak mampu menjawab saya mohon agar keluar ruangan dulu. “Silahkan menghafal di luar dulu. Kalau sudah hafal keempat asas tersebut. Baru  kalian masuk ruangan.”

Anehnya dari tindakan saya, bertanya kepada mahasiswa. Seorang mahasiswa yang umurnya saya yakin jauh melampaui umur beberapa dosen di kampus itu. Dia malah melempar, membanting sebuah buku catatan kuliah di hadapan saya. Kemudian dia berlalu, keluar ruangan. Karena memang semua yang tidak dapat menjawab pertanyaan. Maka saya akan memohon, “Tolong sdr/ bapak/ ibu bisa keluar dulu dari ruangan ini. Silahkan hafal di luar ruangan jwaban pertanyaan saya. kalau belum hafal jangan masuk dulu.”

Saya tahu bahwa metode menghafal adalah bukan kebiasaan ilmiah mahasiswa. Namun hal itu terjadi sebagai puncak/ klimaks dari harapan saya. Berharap agar mahasiswa tetap mengerti materi kuliah yang saya ajarkan. meski saya sudah mencoba untuk mengajar, materi kuliah dengan metode analisis, metode memahami kata perkata (verstehen). Namun  masih banyak mahasiswa yang terkesan “cuek” dengan materi kuliah. Yang saya bawakan itu.

Kembali pada peristiwa. Mahasiswa yang membanting bukunya. Respon saya pada waktu itu. Saya tidak menanggapi mahasiswa tadi dengan rasa marah. Walaupun saya mengaku adalah orang Bugis-Makassar. Mengabdi di kampung seberang, milik para tuan tanah di negeri Serambi Madinah itu, Provinsi Gorontalo.

Saya mengaku diriku adalah orang bugis. Yang sangat kental budaya atau adat kampung  dalam bahasa sipakatau, mapatabe (saling memanusiakan). Budaya siri (malu), sampai saya teringat dengan pesan orang tua saya “paentengi sirimu”.

Siri memang adalah siri. Namun dalam konteks ini, budaya akademisi bukanlah budaya kekerasan. Saya tidak perlu memakai filosofi malu karena seorang mahasiswa yang seolah menantang saya berkelahi. Siri dalam arti melawan seseorang karena persoalan mempertahankan ‘harga diri”, justru menghilangkan sisi kemanusiaan kita. Bukankah semua persolan dapat diselesaikan dengan kepala dingin, lalu mengapa kita menempuh dengan adu jotos.

Satu persatu akhirnya mahasiswa antri di depan pintu ruangan. Harus dapat menghafal materi tersebut. Kemudian seterusnya…, Hingga semua mahasiswa satu persatu sudah pada duduk di dalam ruangan.

Kemudian, setelah mereka semua masuk ruangan. Saya tidak jadi melanjutkan materi kuliah. Saya  malah menasehati mereka semua dengan kata-kata kira-kira begini: “Saya tahu bahwa banyak diantara kalian lebih tua umurnya. Ketimbang saya. Namun sekali lagi saya minta maaf, jika terasa menggurui kalian. Tahukah kalian teman-teman, bahwa siapa yang berdosa jika kalian sama sekali tidak mengerti materi kuiah yang saya ajarkan. Jelas jawabannya sayalah yang menanggung dosa itu. Dosa gara-gara saya memakan gaji buta. Bukankah  mengajar adalah tanggung jawab, amanah. Dan kalau kalian tetap tidak mau tahu materi kuliah saya. Maka sama saja teman-teman menjebloskan saya masuk neraka, bahkan bebas tes mungkin masuk di neraka. Karena gaji yang saya terima adalah gaji yang haram alias gaji buta. Dan jika saya memakan makanan dari hasil gaji tersebut. Bukankah akan menjadi segumpal dara, seonggok daging dalam tubuh saya. Jadi konklusinya kalau kalian tidak tegah, saya masuk neraka. Penghuni neraka abadi. Hanya kalian yang dapat menolong saya.”

Dari kisah singkat di atas, setidaknya kita semua penting untuk memahami. Bahwa kemarahan jangan di lawan dengan kemarahan. Katanya para tetua “bahwa api yang panas jangan semakin ditambah perapiannya. Tetapi siramlah dengan air, agar api tersebut padam.”

Menjadi seorang pengajar, pendidik, dosen, guru memang adalah sebuah tugas mulia. Tetapi lebih muliahlah pekerjaan kita jika ditunaikan dalam rasa tanggung jawab, dalam oase keihkhlasan untuk saling berbagi.

Inilah kecerdasan spiritual yang sering digemborkan oleh dunia Barat maupun Timur. Sebuah Kecerdasan ala Danah Zohar dan Ian Marshall dalam titik Tuhan (God spoot) yang dapat menyemai kita pada keberhasilan atau kesuksesan.

Penulis tidak bisa mengklaim berada dalam konteks itu. Pastinya  kita semua bisa berusaha dan saya hanya bisa menulis serta mengajak para pembaca. Mari kita mengajar dengan kecerdasan spiritual. Yaitu sebuah kecerdasan dimana kita sadar akan tanggung jawab pada posisi kita dan menempatkan diri sejajar dengan siapa saja. Karena ilmu yang diajarkan dan diamalkan tidak akan pernah habis. Meski seribu orangpun yang mengetahui apa yang pernah kita ajarkan. Berbeda halnya jika uang yang kita bagi-bagi. Setumpuk gunungpun uang jelas akan habis terbagi. Dan tiada tersisa mungkin di tangan kita.*
[Read More...]


Pudarnya Pesona Partai Golkar (Tanggapan Balik Atas Tulisan Daeng Irfan)



Sudah hampir sebulan. Selama saya menulis di Harian Gorontalo Post. Saya tidak pernah lagi melakukan pencerahan politik terhadap wajah perpolitikan kita. Baik dalam skala nasional maupun skala lokal. Wajah politik yang kian hari carut marut dan mengalami degradasi. Degradasi politik itu disebabkan karena diserang oleh deviasi politik. Gara-gara banyak politisi di parlemen berhianat dengan rakyat yang pernah memilihnya. Termasuk partai Golkar. Yang kadernya juga tidak bersih dari perbuatan korupsi. Kita bisa melihat kasus yang menimpa ZD kemarin dalam korupsi pengadaan Al-qur’an. Belum lagi ZD, videonya muncul di Youtube bersama rekan komisi delapan. Berlagak bodoh saat berplisir ke Australia.

Melihat kasus-demi kasus yang tidak jauh berbeda, partai Golkar dengan partai lainnya. Saya sebagai akademisi sekaligus peneliti. Saya tidak punya kepentingan sama sekali. Dengan partai dan warna-warnanya. Mau warna kuning, merah, biru, hijau atau simbol kotak-kotak. Sebagai akademisi dan semata untuk membuka titik terang dan pencerahan politik kepada warga masyarakat. Maka tanpa mengurangi rasa hormat saya. Kita harus mendiskusikan betulkah partai Golkar memihak rakyat ?
Untuk mengcounter analisis Daeng Irfan, ketika mengatakan bahwa salah satu bukti keberpihakan politisi Golkar adalah pada saat isu Century. Meski katanya partai koalisi. Namun tetap memihak pada suara rakyat. Tanggapan balik saya, malah sebaliknya. Suatu hal yang aneh ketika partai berada dalam lingkaran koalisi. Kemudian menentang lingkaran koalisinya. Meminjam istilah Hanta Yudha. Gejala inkonsistensi yang demikian sebenarnya akan semakin membuat berjalannya sistem presidensialisme dalam setengah hati. Bukan presidensialisme yang ideal.

Partai Golkar yang hidup di dua tempat, seolah hidup di air kemudian kembali di darat. Atau lebih tepatnya mungkin tak salah kalau dikatakan sebagai partai Bunglon. Justeru akan membuat konstituennya semakin bingung dalam menatap perpolitikan nasional ke depan. Dalam konteks ini saudara Daeng Irfan perlu tahu bahwa sikap partai Golkar yang selalu bermanufer, berakrobat. Adalah gejala “anomie” politik. Yang pada akhirnya akan menggiring masyarakat pada gejala apa yang disebut deparpolisiasi. Bahkan deparlemanisasi.

Kemudian yang kedua, Daeng Irfan juga mengatakan bahwa partai Golkar yang paling berperan, kemarin dalam menyikapi, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM. Sekali lagi saya pernah mengulas masalah ini. Sikap partai Golkar yang konon mengatakan dirinya menolak kenaikan BBM. Dalam sebuah artikel saya, juga di harian Gorontalo Post “Akrobat Parpol Vs Politik Zigzag.” Dalam artikel itu saya berkali-kali mengatakan bahwa Golkar melakukan manuver, berakrobat, memakai jebakan batman, dengan memecundangi partai- PKS dan Demokrat.

Ingat, Golkar pada waktu itu dalam sidang paripurna bukan menolak tetapi melakukan pemerkosaan terhadap UU. Secara kasat mata langsung mengubah pasal-pasal tanpa melalui rapat paripurna untuk pembahasan sekaligus perubahan UU.

Golkar sejak itu malah memilih untuk tidak ikut pada opsi pemerintah tapi juga tidak ikut pada opsi rakyat. Dia mengatakan melalui suara “sengau”, suara cempreng, suara ingusan Idrus Marhan mengatakan untuk saat ini, partai kami (baca: Golkar) memilih untuk tidak menaikkan BBM. Dalam bahasa politik ada bahasa yang penuh “pembiasan” alias bahasa bersayap sebagaimana Witgenstein menyebutnya language game atau oleh Derrida itulah yang disebut pembongkaran (dekonstruksi) terhadap teks untuk kepentingan kuasa dan bahasa.

Pudarnya Pesona Golkar

Setelah konfrensi Golkar dan pada akhirnya menobatkan ARB sebagai calon Presiden 2014, bagi saya justeru dari hasil pencalonan ARB. Adalah akhir dari segala harapan Golkar untuk menjadi pemenang 2014 nanti.

Saya menantang, pernahkan saudara Daeng Irfan melihat, memperhatikan baik-baik hasil surfei dari berbagi penelitian (seperti lembaga survey maupun lingkar survey), malah pasca penobatan AVB, langsung kredibiltas dan elekatabilitas Golkar kian merosot ke bawah. Justeru Prabowo meskipun sebagai pelanggar HAM dan dituduh terlibat dalam penculikan aktivis di era 1997 berada di atas popularitas ARB. Mungkin masyarakat yang menjadi responden dari tangan para peneliti, masyarakat itu melupakan atau amnesia terhadap kesalahan Prabowo di masa lalu. Atau boleh jadi karena sejak tahun 1999 hingga tahun 2000-an, media belum terlalu getol menelanjangi aktor-kator politik di zaman itu.

Berbanding terbalik dengan ARB. Justeru masyarakat, hampir semua mengetahui kalau ARB terlibat dalam kasus lumpur Lapindo yang mengorbankan puluhan rumah penduduk di tempat itu. Belum lagi kasus pajak yang menyeret nama dan perusahaannya.

Melihat beberapa hasil survey dan strategi politik saat ini. Bagi partai golkar bagi saya, saatnya untuk mengatakan golkar semakin memudar pesonanya. Bahkan fenomena lompat pagar yang disinyalir oleh Daeng irfan dalam tulisannya “Partai Golkar dan Politisi Lompat pagar” lagi yang demikian itu bahagian dari kelamahan partai Golkar merangkul konstituennya. Kemudian banyak kader yang melompat ke partai lain atau partai baru.

Dalam analisis politik modern, fenomena yang demikian dikatakan sebagai gejala deviasi politik. Atau fungsi partai politik yang diharapkan untuk memperkuat kaderisasi dalam kesamaan haluan (counterpaat), ideologi, dan platform partai, gagal total.

Kalau kita mau berharap kepada partai Golkar yang setidaknya dapat memegang tongkat estafet. Menyederhanakan partai dalam rangka pembentukan sistem presidensial yang murni. Bukan presidensial yang tersandera oleh parlemen. Malah partai golkar tidak memikirkan sistem ini. Agar ke depannya pemerintahan benar-benar memihak rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan.
Kira-kira masihkah kita mengatakan partai Golkar sebagai suara rakyat jika dari partainya kian hari ada partai-partai semakin tumbuh di luar lingkunganya yang mekar bagai cendawan ? Padahal kita tahu bahwa sistem multi partai amat tidak cocok dengan sistem pemerintahan presidensialisme sebagai yang sering diluas oleh Giovanni Sartory dan Scott Mainwaring.

Terakhir, bagi saya melihat partai Gokkar sebagai partai lama. Partai Golkar akan mendapatkan suara dari kelompok-kelompok tradisional yang masih tersandera dengan ideologi Soeharto. Yang selalu mengatakan bahwa jika Golkar menang negara aman.

Golkar hanya bisa mendulang suara dari pemilih tradisional, yang tidak berpendidikan alias yang menengah ke bawah. Dan kita tahu juga bahwa pemilih dalam kelas ini lebih gampang dijanji, disogok, dibohongi dengan isu pendidikan dan kesehatan gratis. Sementara kalau hendak mendulang suara dari kelas elit atau menengah ke atas sepertinya Golkar harus bersabar dulu. Karena pasti ceruk pemilih akan memepertanyakan apa yang pernah dikerjakan oleh partai ini, partai itu.

Lebih-lebih calon presiden pasti akan ditelanjangi rekam jejaknya. Cara menghukum kelompok pemilih ini adalah dengan tidak memilih partai dan calon presidennya, calon DPRnya, calon DPRDnya. Karena dinggap telah menyimpan dosa-dosa politik.

Saatnya sekarang partai Golkar berijtihad, melakukan pertobatan politik. Dan mengakui kesalahan-kesalahannya, terutama kader-kadernya yang telah masuk dalam perangkap korupsi. Termasuk Capresnya harus berani bertanggung jawab terhadap korban lumpur lapindo. Kalau ARB benar-benar serius ingin dipilih oleh rakyat nantinya.

Tak lupa kepada calon-calon legislatif dari partai Golkar yang saat ini sudah menggadang kursi-kursi rakyat. Harus berani mendorong figur-figur mudanya. Yang rekam jejaknya dipercaya oleh rakyat. Karena kemarin, PILGUB di DKI Jakarta yang mengusung Alex-Nono dengan menunggangi kader Golkar adalah pelajaran berharga bagi partai Golkar. Bahwa saat ini ceruk pemilih lebih banyak dihipnotis dengan figur dari pada janji-janji partai. Anda yang akan mencalonkan harus mengenal simbol ini (D3); Dikenal, Disuka dan Dipilih.


Artikel ini juga dimuat di Harian Gorontalo Post 13 November 2012
[Read More...]


In Memoriam Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H. - Maha Guru yang Reporter



Hari masih pagi  ketika teman Amiruddin PR menelepon saya 17 Juni 2012. Dia mengatakan bahwa di twitter beredar informasi duka, Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H. berpulang ke rakhmatullah. Amir – begitu yunior yang satu ini akrab saya sapa – menanyakan kebenaran informasi melalui jejaring sosial tersebut. Saya katakan, akan mengecek dulu informasi tersebut melalui teman-teman di Unhas.
Sejenak termenung, mungkin informasi itu benar adanya. Beberapa hari sebelumnya saya dapat informasi bahwa  maha guru Sosiologi Hukum kelahiran Makassar  9 November  1952 itu dirawat di Rumah Sakit Unhas. Prof.Dr.dr.Idrus A Paturusi sempat membesuknya beberapa hari yang lalu.
Saya mengontak adinda Prof.Dr.Farida P., S.H., M.H., salah seorang kerabat dan yuniornya, setelah ponsel Prof.Dr.Musakir, S.H., M.H. yang dikontak  sedang off. Prof. Ida – nama yang biasa saya sapa padanya – membenarkan informasi tersebut.
Setelah memperoleh informasi tersebut, saya pun meneruskan SMS dari salah seorang teman ke sepupu saya yang juga mahasiswanya yang selalu almarhum banggakan, Dr.Hamdan Zoelva, S.H., M.H,  Kebetulan juga, saat berita duka tersebut, saya sedang berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta mengantar KH Muhammad Hasan, B,.A,, ayah Hamdan, yang juga ipar dari ayah saya.
Pikiran saya kemudian ter-rewind ke 37 tahun silam, ketika saya dengan almarhum sama-sama mengikuti Pendidikan Jurnalistik Universitas Hasanuddin November 1975.  Pendidikan tersebut diikuti sejumlah mahasiswa yang berbaur dengan beberapa orang staf administrasi beberapa fakultas. Dua di antara staf administrasi yang menjadi peserta yang masih saya ingat adalah Andi Kartini, almarhumah, adik Kak Andi Syahrir Makkuradde yang ketika itu menjadi pegawai di Fakultas Hukum dan Pak Syamsuri staf Fakultas Kedokteran.
Pendidikan yang dimentori oleh antara lain S.Sinansari ecip (Dr.) dan Anwar Arifin (Prof.Dr.) tersebut juga menjadi ajang menjaring tenaga reporter yang kelak akan memperkuat jajaran redaksi Penerbitan Khusus identitas Universitas Hasanuddin yang baru berusia setahun. Masalahnya, tenaga reporter koran kampus yang jika diibaratkan bayi masih ‘merah’ itu,  mengandalkan para mahasiswa Ilmu Publisistik Fisipol Unhas yang kebetulan juga mahasiswa Pak Anwar Arifin. Mereka yang ditarik memperkuat Identitas pada awalnya adalah Zohra Andi Baso, Nursyam Ibrahim, Amiruddin Bachtiar, dan Marwah Daud.
Setelah pendidikan jurnalistik tersebut, almarhum Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H.,(selanjutnya saya singkat AA)  saya, Marwah Daud, dan Musbini Musa, terdaftar sebagai reporter di dalam boks ‘reporter’ Identitas. Hanya saja, dua dari empat orang ini – Marwah Daud dan saya – dalam praktik di lapangan menjadi reporter koran kampus itu. Sedangkan almarhum AA lebih konsentrasi menulis artikel berbagai masalah yang menjadi minatnya. Sementara Musbini (Ninik) Musa, praktis tidak menulis berita sama sekali.
Puncak ‘karier’ almarhum sebagai pengelola Identitas adalah ketika pada tahun 1987-1988 (jika tidak salah) dipercayakan sebagai Kepala Humas Unhas ex officio Pemimpin Redaksi Identitas.Ketika itu, Identitas masih ‘nyantol’ di Humas Unhas. Setelah saya menjabat Kepala Humas beberapa tahun, Pemimpin Redaksi (Ketua Penyunting) tidak lagi dipegang secara ex officio oleh Kepala Humas Unhas. Dua sosok yang bukan Kepala Humas Unhas yang menjabat Pemred Identitas itu adalah Aidir Amin Daud (Dr., S.H., M.H.) dan SM Noor (Prof.Dr., S.H., M.H.). Tetapi Kepala Humas Unhas tampak ex officio lagi sebagai Ketua Penyunting Identitas setelah saya menjabat pasca SM Noor.
Meskipun almarhum AA secara praktik di lapangan tidak melaksanakan tugas sebagai wartawan, tetapi keterampilan jurnalistiknya, seperti membuat berita, selalu dipraktikkan setelah menjadi dosen dan hingga menjabat maha guru. Beliau kerap mengirim berita press klaar (berita jadi) kepada saya di Harian Pedoman Rakyat, yang berkaitan dengan informasi tentang aktivitas olahraga beladiri Gojukai yang dipimpinnya. Waktu itu, AA yang masuk Unhas tahun 1974, menjabat Ketua Komisaris Daerah (Komda) Gojukai Sulsel. Setelah tidak lagi menjabat Ketua Komda Gojukai, AA yang menyandang DAN 7 International Karate-Do Gojukai Association (IKGA) yang berpusat di Jepang, menjadi salah seorang sensei dan Ketua Dewan Guru Sabuk Hitam Gojukai.
Ketika masih mahasiswa, hubungan saya dengan AA sangat dekat, meski berbeda fakultas. Koran Identitas merekatkan silaturrahmi kami. Kerap almarhum minta saya jalan-jalan ke kamarnya, di bagian belakang (lewat lorong kecil) Toko Buku Hidayat di Jl.G.Lompobattang (di sebelah selatan Bioskop Artis dulu). Di kamar itulah, kami bercanda dan membahas isi buku-buku baru. Setiap meninggalkan kamarnya, selalu saya dibekali  satu buku. Gara-gara almarhumlah saya menjadi ‘rakus’ buku hingga sekarang. Beliau pernah mengirim belasan buku sekaligus kepada saya ketika aktivitasnya lebih banyak di ibu kota negara.
  Setelah sangat aktif sebagai wartawan media umum, pernah sekali saya diajak AA mengikuti perjalanannya ke Maros. Ternyata, hari itu almarhum akan menyampaikan pembelaan (pledoi) terhadap salah satu kliennya selaku pengacara. Saya yang awam hukum (meski pernah berniat juga masuk di Fakultas Hukum) terpesona oleh alasan-alasan sosiologis hukum yang dikemukakan AA dalam membela si pesakitan. Apa yang beliau kemukakan – menurut saya setelah menyesuaikan kondisi sekarang – merupakan salah bentuk sumbangsih kajian Sosiologi Hukum yang jadi kepakaran AA dalam mendukung hak asasi manusia. Ada alasan-alasan sosiologis yang selama ini kurang, bahkan mungkin tidak dikemukakan, dalam wacana membela seorang tersangka. Sayang, ternyata sidang yang saya hadiri itu merupakan ujung jalan bagi almarhum menalak predikatnya sebagai penasihat hukum atau pengacara. Usai itu beliau melanjutkan pendidikan Pascasarjana di UGM dan kembali ke Unhas untuk menyelesaikan pendidikan doktornya pada tahun 1998.
Jejak kemahasiswaan AA tercatat dengan tinta emas dalam kehidupannya.  Baru tiga tahun menjadi mahasiswa, 1977, bertepatan dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum, AA langsung masuk penjara dalam rombongan massal aktivis mahasiswa Unhas yang dikerangkeng di balik sel mesin politik Orde Baru yang bernama Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) yang merupakan kepanjangan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kompkamtib) dengan ‘tolok’-nya Laksamana Sudomo, almarhum. Gara-garanya, kritikan mahasiswa terhadap kasus Malari 1974 yang terus bersambung hingga beberapa tahun kemudian. Tahun 1979, AA meraih sarjana.
Setelah menjadi maha guru, AA selalu ngotot dan konsisten dengan penegakan keadilan dan supermasi hukum. Kalimat yang selalu dia pahatkan dalam berbagai kesempatan berkaitan dengan penegakan hukum ini adalah ‘’jangan menyapu dengan menggunakan sapu kotor’. Harus dengan sapu  bersih. Maksudnya, jika menegakkan hukum harus menggunakan sosok yang bersih dari berbagai kasus hukum.
Saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid almarhum, nama AA pernah mencuat dan hampir-hampir dilantik sebagai Jaksa Agung. Menurut informasi yang disampaikannya  kepada saya, pelantikan gagal, karena malam hari sebelum dilantik, AA bergeming dengan salah satu keinginan pihak penguasa dalam satu bargaining dalam satu sesi lobi di sebuah hotel di Jakarta. AA tidak mau kompromi. Almarhum kemudian dipercaya sebagai salah seorang staf ahli Jaksa Agung Prof.Dr.Baharuddin Lopa, S.H. Jabatan itu, juga dipangkunya hingga akhir hayatnya dari pejabat Jaksa Agung yang lain.
Selamat jalan sahabat, jasamu akan menjadi ‘nisan’ kedua bagi kami yang akan menyusulimu.   

Jakarta, 17 Juni 2012
Oleh M.Dahlan Abubakar - Dosen Fak.Sastra Unhas
lihat jg: http://www.unhas.ac.id/content/memoriam-profdrachmad-ali-sh-mh-maha-guru-yang-reporter
[Read More...]


Diversi & Restorative Justice dalam Peradilan Anak



Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.

Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, sperti pencurian Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun 2000 tercatat dalam statistik criminal kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda, mabes). Kemudian pada tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Konsep Diversi
Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak dalam perspektif HAM internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya h lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum.

Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak.

Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :
• Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
• Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu :
• Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
• Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
• Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan
pidana semata
• Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
• Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive


Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.34 Dengan demikian, pendekatan yang dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
keadilan. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.

Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan dating. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak.

Apabila anak terpaksa harus ditahan ,penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hakhak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara. Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangast menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa.

Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/ pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus seperti apa atau dalam kasus seperti apa jaksa dapat menggunakan kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi.

Peran pekerja sosial juga harus diberdayakan, termasuk pendampingan bagi anak yang baru menyelesaikan pembinaan di dalam lembaga. Karena dalam pasal 33-35 UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak dijelaskan tentang ketentuan pekerja sosial dari Departemen Sosial yang berugas membimbing, membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lapas. Pekerja sosial juga bertugas membantu dan mengawasi anak yang berkonflik dengan hukum yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Soosial untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja.

Kesimpulan
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itupun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi atau restorative justice yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan nonformal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.
Satu hal yang juga penting adalah belum terdeapat mekanisme evaluasi terhadap sistem peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia. Sehingga potensi hancurnya masa depan anak sangat besar akibat sistem peradilan yang kurang tepat baLatar Belakang
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, sperti pencurian Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun 2000 tercatat dalam statistik criminal kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda, mabes). Kemudian pada tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Konsep Diversi
Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak dalam perspektif HAM internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya h lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak. Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :
• Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
• Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu :
• Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
• Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
• Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan
pidana semata
• Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
• Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.34 Dengan demikian, pendekatan yang dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
keadilan. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.
Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan dating. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak.
Apabila anak terpaksa harus ditahan ,penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hakhak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara. Model restorative justice juga berlandaskan dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangast menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa.
Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/ pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus seperti apa atau dalam kasus seperti apa jaksa dapat menggunakan kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi.




http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/





[Read More...]


Cara Menulis Mengirim Artikel Opini ke Media Massa Koran Majalah



Menulis dan mengirimkan tulisan artikel opini yang ditulis ke media massa cetak (koran harian surat kabar) yang dituju membutuhkan perjuangan dan komitmen. Apalagi, kalau tulisan yang dibuat dengan susah payah itu tidak dimuat. Berikut adalah teknik dasar bagaimana cara membuat artikel opini, mengirimkan tulisan dan dimuat! Honor memang bukan pertimbangan utama. Tapi, kalau jumlahnya sampai Rp. 1 (satu) juta per-artikel, dengan panjang tulisan hanya 800 kata, tentu susah untuk ditolak. Betul tidak? :)

DAFTAR ISI

  1. Tips Umum Mengirim Artikel Opini ke Media Massa Cetak (Koran/Surat Kabar)
    1. Apa itu Op-ed dan tajuk rencana?
    2. Syarat artikel opini yang berpotensi dimuat media koran surat kabar majalah
    3. Panjang Tulisan Artikel Opini untuk dikirim ke koran
    4. Jika merasa tidak pede mengirim tulisan ke koran
    5. Cara mengirim artikel ke koran
    6. Kalau artikel tidak dimuat
  2. Tips Khusus Mengirim Tulisan ke Surat Kabar Tertentu
    1. Cara Mengirim Artikel ke Koran Kompas
    2. Mengirim Artikel ke Harian Jawa Pos
    3. Mengirim Artikel ke Harian the Jakarta Post
    4. Mengirim Artikel ke Koran Tempo
    5. Mengirim Artikel ke Harian Republika
    6. Mengirim Artikel ke Koran Sindo (Seputar Indonesia)


I. TIPS UMUM MENGIRIM TULISAN KE MEDIA MASSA KORAN HARIAN SURAT KABAR

Ada aturan umum mendasar yang harus dipenuhi agar tulisan artikel opini kita mendapat perhatian editor koran dan berpotensi dimuat.


Apa itu Op-ed dan tajuk rencana di koran?

Dalam sebuah media cetak, baik koran, majalah atau buletin terdapat satu halaman khusus yang biasa disebut dengan halaman opini. Di koran, halaman tersebut di isi oleh tiga unsur yaitu oleh redaksi, para ahli di bidangnya dan pembaca.

Opini yang ditulis oleh tim redaksi disebut Tajuk Rencana atau Editorial. Yang ditulis oleh ahli disebut op-ed singkatan dari Opini Editorial atau kolom untuk artikel opini di majalah. Sedang yang ketiga ditulis oleh pembaca koran atau majalah terkait. Segmen ini biasa disebut dengan Surat Pembaca, atau Pembaca Menulis, dsb.


SYARAT ARTIKEL OPINI YANG BERPOTENSI DIMUAT MEDIA CETAK KORAN MAJALAH

Penulisan artikel bisa berdasarkan gagasan murni dari si penulis, bisa juga sebagian isinya mengambil dari sumber lain. Misalnya referensi kepustakaan, gagasan orang lain, renungan tokoh masyarakat dan sebagainya. Penulisan artikel tidak terikat dengan waktu, tidak terikat bentuk berita, gaya bahasa, dan teknik penulisan jurnalistik lainnya. Tetapi agar artikel ini dibaca oleh publik, penulisnya harus memperhitungkan aktualitas, gaya penulisan serta panjang pendek artikel.

Di samping itu hal-hal mendasar berikut perlu diperhatikan:

1. Tata bahasa tulisan isi artikel harus memiliki standar dasar sastrawi. Maksudnya, gaya bahasa sesuai dengan panduan bahasa Indonesia yang benar. Baik dalam segi ejaan, tanda baca, pemakaian huruf besar kecil, maupun dalam susunan kata-kata.

2. Mengetahui etika penulisan artikel. Yaitu, tulisan harus orisinal. Bukan plagiat atau jiplakan. Serta mengandung unsur baru.

3. Topik opini bersifat aktual. Yang dimaksud aktual adalah sebagai respons/komentar dari peristiwa yang baru saja terjadi atau sebagai refleksi dari hari besar nasional dan internasional.

Berapa Panjang Tulisan Artikel Opini untuk dikirim ke koran?

Setiap media memiliki kebijakan tersendiri tentang panjang maksimal dari sebuah artikel opini. Kompas, misalnya, mensyaratkan tidak lebih dari 1000 kata. Sedang Jawa Pos sekitar 700 sampai 850 kata. Intinya, panjang tulisan berkisar antara 700 sampai dengan 1200 kata. Untuk mengetahui secara persis panjang tulisan artikel opini di media tertentu, copy sebuah artikel di media tersebut ke MS Word akan tampak di halaman bawah berapa jumlah kata dalam artikel tersebut.

Saya merasa tidak pede mengirim tulisan ke koran

Hilangkan rasa minder. Toh, kita dan redaksi koran tersebut tidak saling kenal. Begitu tulisan selesai, langsung saja kirim ke koran yang dituju.

CARA MENGIRIM ARTIKEL OPINI VIA EMAIL

Cara termudah adalah dengan mengirim via email. Sebagai penulis artikel opini, Anda harus memiliki daftar lengkap email media cetak seluruh Indonesia.

a. Kirim melalui email dengan attachment (sisipan) dalam format MS Word atau rtf. Jangan ditulis di badan email.
b. Di subjek email kasih judul: Artikel Opini (judul artikel tulis di sini)

Sebagai referensi, silahkan lihat daftar email media massa di sini!

KALAU ARTIKEL TIDAK DIMUAT: KIRIM KE KORAN LAIN

Silahkan kirim ke koran lain kalau memang Anda yakin tidak dimuat di koran pertama yang dikirimi artikel tersebut. Biasanya kalau 1 minggu tidak dimuat, dapat dipastikan tulisan Anda ditolak di koran tersebut.

Tapi, untuk menjaga reputasi, ada baiknya kiriman kedua dikirim ke koran yang bersegmen lokal. Jangan sama-sama nasional. Umpama ditolak di Kompas, kirim juga koran Pikiran Rakyat atau Surya atau koran lokal lain tempat di mana tinggal.


II. TIPS KHUSUS MENGIRIM TULISAN KE MEDIA MASSA KORAN HARIAN SURAT KABAR


I.A. MENGIRIM TULISAN KE KORAN KOMPAS

1. Panjang artikel: antara 800 s.d 1000 kata.
2. Alamat email: kompas@kompas.com, opini@kompas.com, opini@kompas.co.id
3. Honor artikel: sekitar Rp 1 (satu) juta.
4. Agar dimuat : selain yang disebut dalam tips umum di atas, (a) ikuti gaya tulisan opini di kompas; (b) Topik opini bersifat aktual. Yang dimaksud aktual adalah sebagai respons/komentar dari peristiwa yang baru saja terjadi, khususnya yang menjadi bahasan di Tajuk Rencana/Editorial koran tersebut atau sebagai refleksi dari hari besar nasional dan internasional.


I.B. MENGIRIM TULISAN KE HARIAN JAWA POS

1. Panjang artikel: 850 kata
2. Alamat email: editor@jawapos.co.id
3. Honor artikel: Rp 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
4. Agar dimuat: Agar dimuat : selain yang disebut dalam tips umum di atas, (a) ikuti gaya tulisan opini di Jawa Pos; (b) Topik opini bersifat aktual. Yang dimaksud aktual adalah sebagai respons/komentar dari peristiwa yang baru saja terjadi, khususnya yang menjadi bahasan di Tajuk Rencana/Editorial koran tersebut atau sebagai refleksi dari hari besar nasional dan internasional.


I.C. MENGIRIM TULISAN KE HARIAN THE JAKARTA POST

1. Panjang artikel: Hendaknya tidak lebih dari 1000 (seribu) kata.
2. Alamat email: editorial@thejakartapost.com, opinion@thejakartapost.com, jktpost2@cbn.net.id
3. Honor artikel: Sekitar USD 100 (atau Rp. 800.000)
4. Agar dimuat: (a) tulis dalam bahasa Inggris (artikel dalam bahasa Indonesia terkadang dimuat asal sangat bagus -- tentu saja setelah diterjemah oleh editornya); (b)komentar dari Editorial sebelumnya; (c) mengandung unsur baru.


I.D. MENGIRIM TULISAN KE KORAN TEMPO

1. Panjang artikel: Antara 800 sampai 1000 kata.
2. Alamat email: koran@tempo.co.id
3. Honor artikel: Rp. 600.000 (enam ratus ribu rupiah)
4. Agar dimuat : selain yang disebut dalam tips umum di atas, (a) ikuti gaya tulisan opini di Koran Tempo; (b) Topik opini bersifat aktual. Yang dimaksud aktual adalah sebagai respons/komentar dari peristiwa yang baru saja terjadi, khususnya yang menjadi bahasan di Tajuk Rencana/Editorial koran tersebut atau sebagai refleksi dari hari besar nasional dan internasional.


I.E. MENGIRIM TULISAN KE HARIAN REPUBLIKA

1. Panjang artikel: 800 s.d. 1200
2. Alamat email: sekretariat@republika.co.id
3. Honor artikel: Rp. 400.000
4. Agar dimuat: selain yang disebut dalam tips umum di atas, (a) ikuti gaya tulisan opini di Koran Republika; (b) Topik opini bersifat aktual. Yang dimaksud aktual adalah sebagai respons/komentar dari peristiwa yang baru saja terjadi, khususnya yang menjadi bahasan di Tajuk Rencana/Editorial koran tersebut atau sebagai refleksi dari hari besar nasional dan internasional.


I.F. MENGIRIM TULISAN KE KORAN SINDO (SEPUTAR INDONESIA)

1. Panjang artikel: 500 s.d. 1000
2. Alamat email: redaksi@seputar-indonesia.com
3. Honor artikel: Opini dan Kolom Budaya 400 ribu. Resensi buku 200 ribu. Cerpen 400 ribu.
4. Agar dimuat: selain yang disebut dalam tips umum di atas, (a) ikuti gaya tulisan opini di Koran Sindo; (b) Topik opini bersifat aktual. Yang dimaksud aktual adalah sebagai respons/komentar dari peristiwa yang baru saja terjadi, khususnya yang menjadi bahasan di Tajuk Rencana/Editorial koran tersebut atau sebagai refleksi dari hari besar nasional dan internasional.

Bacaan lanjutan :

1. http://regional.kompasiana.com/2011/12/16/honor-rp-1-juta-1-artikel-maukah
[Read More...]


Menjiwai Sumpah Pemuda, Jangan Melupakan Kaum Tua



Hari idul Adha 10 Zulhidjah 1433 Hijriah, baru saja berlalu satu atau dua hari kemarin. Seorang pemuda yang kemudian dibaiat, Nabiullah Ismail as menunjukan perjuangan sang pemuda melawan syahwat kuasa duniawi. Di saat yang sama kita juga menggores kenangan, kembali memperingati hari Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), dimana para kaum muda di zaman itu mengumandangkan “khutbah” pemersatu bangsa.
Ironis nan memilukan kondisi akhir-akhir ini. Ketika harapan itu digadaikan pada kaum muda, oleh karena justru berbanding terbalik dengan kondisi anak muda saat ini Ada peristiwa tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, bahkan merembes tawuran antar polisi dan mahasiswa.
Tidak sampai disitu, derita yang menimpah kaum muda kita, sebagai pemakai narkotik, pengedar obat terlarang, kebiasaan seks bebas. Tat kala runyamnya, memutus satu persatu benih dan harapan tunas muda kita. Pertanyaannya kemudian, gagalkah kita menjiwai sumpah pemuda di negeri ini ?
Pidato Soekarno, rupanya hanya polesan kata pemanis bibir, tinggal kenangan ketika beliau pernah mengatakan ” beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Memang dunia telah terguncang dengan aksi kaum muda, tetapi guncangan itu semakin membuat nusantara dalam jurang tubing kegagalan. Dan tidak mungkin kita berharap sejajar dengan Negara maju, apalagi memimpikan Negara super power bak Negara Amerika Serikat.
Memperingati hari sumpah pemuda, tidak berarti kita harus melupakan yang tua atau yang senior. Karena kepada merekalah para kaum muda itu belajar, meneladani dan mencontoh. Stigma negeri gagal sebenarnya bukan dosa kaum muda, tetapi itu semua dicontohkan oleh kaum-kaum tua, politisi senior dan pejabat pejabat senior.
Tidak mungkin ada tawuran kalau tidak ada bibit yang melakukan propaganda, dan hal itu berawal dari provokasi senior-senior kampus. Bahwa fakultasnyalah yang terbaik, bahwa sekolahnyalah yang terbaik.
Tidak mungkin ada koruptor baru dari kalangan muda seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh, Gayus Tambunan dan Waode Nurhayati. Kalau mereka ini tidak belajar dan diajari oleh kaum tua, terik menilap dan menggarong uang milik rakyat.
Tidak mungkin ada penyalahgunaan narkotika Apriani Susanti dan Novie Amilia dari kalangan muda, kalau tidak ada gembong narkotik pemilik pabrik ekstasi sekelas Henky Gunawan yang diampuni dosanya melalui PK. Dari pidana mati, kemudian berubah menjadi lima belas tahun penjara.
Ada lagi, bagaimana mungkin calon-calon penegak hukum muda di negeri ini memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela kalau ada hakim sekelas Puji Wijayanto kedapatan mengonsumsi narkoba. Lebih ironis lagi kalau ini yang terjadi, ketika calon-calon Presiden muda selanjutnya, memberikan grasi kepada gembong narkotik karena sudah ada preseden buruk di masa lalu.
Belum selesai masalah tawuran pelajar dan korupsi. Lagi-lagi hati kita menjadi pilu, kian amat miris mengamati data statistik lima tahun ke belakang. Ketika jumlah remaja yang terlibat kasus Napza sekitar 78% dari 3,2 juta penduduk (SKRRI 2007), di tahun 2009 jumlah remaja yang terlibat narkoba adalah sekitar 1,1 juta pelajar dan mahasiswa (Badan Narkotika Nasional, 2012). Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) juga tercatat, hingga saat ini sudah empat juta menjadi pengguna atau pencandu narkoba, 150.000 di antaranya adalah remaja. Kemudian ditambah dengan hasil riset Universitas Indonesia dan Australian National University pada 2010 mengatakan bahwa sebanyak 20,9% remaja putri di Indonesia, telah hamil di luar nikah karena berhubungan seks dan 38,7% telah mengalami pernikahan usia dini.
Masihkah kita bisa berharap kira-kira dengan tonggak anak-anak muda. Ketika diharapkan menjadi penerus bangsa melihat kondisi yang menimpahnya ? Seandainya bisa berteriak dan mengurai air mata para founding father kita di liang lahat, setelah bersusah payah, memperjuangkan persatuan menuju berbangsa satu, dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.
Mereka pasti akan meneteskan bulir air matanya melihat pemandang sebuah  kehidupan, dimana  negeri ini berada di ambang kehancuran. Terlebih melihat anak-anak muda yang menghabiskan hidupnya hanya dengan kekerasan, kehidupan glamour, dan seks bebas.
Ironi dan ironi, di saat negeri ini kian tak jelas arahnya. Malah ditambah runyam dengan bencana degradasi moral. Pemuda kita seolah mengalami amnesia dari apa yang diamanatkan oleh para pendahulunya.
COMMON ENEMY
Berangkat dari fakta-fakta di atas, merupakan persoalan besar yang harus kita hadapi bersama. Kaum tua dapat mengajari yang junior persoalan kearifan, sikap bajik, sikap bertanggung jawab, kejujuran, dan keterbukaan.
Janganlah kaum tua mengajarkan perilaku destruktif, tindakan saling membunuh, barabarian,  dan memangsa satu sama lain.
Sebagai politisi dan pejabat senior kaaum tua juga mesti menjadi panutan, bersih dari perbuatan curang, tidak  menilap uang rakyat. Tak terkecuali para penegak hukum kita, harus member contoh putusan yang adil, fair (nonimparcial) terhadap pelaku-pelaku tindak pidana narkotika. Agar anak-anak kita yang menjadi tumpuan bangsa tidak lagi digeregoti oleh zat madat yang demikian.
Kaum tua dan kaum muda di hari sumpah pemuda ini. Harus saling bahu-membahu dalam melawan musuh bersama (common enemy). Kaum tua harus mensuport kaum muda untuk memusuhi bersama, yang namanya kemiskinan, kemelaratan, kesenjangan, kebodohan dan kejahatan ekstra (seperti korupsi, teroris, & narkotika).
Jangan kita biarkan hari sumpah pemuda berlalu, bagai nostalgia belaka. Menjiwai sumpah pemuda berarti senior-senior atau kaum tua patut menjadi panutan.
Dengan jiwa muda dan semangat pemuda Indonesia kita berharap tidak akan ada lagi tawuran dan bentrokan antar sesama anak bangsa, korupsi dan penyalahgunaan narkotika.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors