Tsunami Politik Jilid II Akhirnya Datang Juga



Sungguh naas di Jumat malam yang naas. Anas Urbaningrum sang Ketua Umum Partai Demokrat (PD). Akhirnya akan berhenti celotehan dan jenjang karirnya. Untuk tetap bertahan di tubuh partai berlambang Mercy itu. KPK sudah mengumumkan melalui gelar  perkara jumat malam (22/2) dan menyatakan Anas Urbaningrum. Resmi  sebagai tersangka dalam kasus penerimaan suap Mega Proyek Hambalang. Anas disangka melanggar Pasal 12 huruf (a ) atau b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Artinya berdasarkan konstitusi partai (AD/ART PD) sudah merupakan “keniscayaan”. Mau tidak mau pasti Anas akan di depak dari kursi orang nomor satu. Dari partai pemenang pemilu tahun 2009 tersebut.

Tsunami Jilid II
Inilah Tsunami  jilid II yang tidak berhenti pada satu partai saja. Setelah PKS dihantam badai Tsunami impor dagang sapi. Melalui Presiedennya, Luthfi Hasan Ishaaq LHI). Kini tsunami datang kembali menggulung Partai segitiga biru itu. Partai yang  dikenal sebagi partai, membenci perbuatan dan laku korupsi di tanah air. Melalui slogannya “katakan tidak pada korupsi”. Namun dari kadernya yang banyak terseret dalam perbuatan rasuah. Membuktikan sudah berulang kali mengingkari “sumpah” partainya.

Gelar perkara yang dilakukan oleh KPK  melalui Juru bicara, Johan budi. Anas dijadikan sebagai tersangka. Akan menjadi ancaman PD semakin meradang. Topan badai hasil Survey Saiful Mujani Research And Consulthing belum juga redah. Kini datang lagi tsunami politik jilid II, yang akan semakin mengguncang elektabilitasnya. Menanti kompetisi pemilu 2014.

Dua partai dengan ideologi yang berbeda, antara PKS dan PD. Namun setelah dilanda tsunami korupsi terhadap dua partai tersebut. Rasanya sekarang bukan lagi waktunya untuk memilih partai karena jargon ideologi yang dikemasnya. Oleh karena partai politik sekuler, nasionalis, agamis, islam, sama-sama terindikasi menggarong uang negara. Untuk kepentingan pundi-pundi partainya.

Sungguh ironis negeri ini, dua petinggi dengan latar belakang organisasi keagamaan. Kandas dan mentok karir politiknya. Gara-gara mengikuti syahwat kuasa duaniawi semata. Anas yang dikenal sebagai mantan Ketua Umum HMI. LHI tidak perlu lagi dibahas, PKS tidak pernah mengusung kader yang tidak religius pastinya. Tapi lagi-lagi semua sama saja sifatnya, mencederai hati, jutaan, tangisan dan derita rakyat Indonesia. Tanpa malu-malu, tanpa takut berdosa mengambil harta bukan bagian dari haknya. Sungguh memilukan perbuatan mereka.

Sumber Gambar: detiknews.com
Kalau sudah begini, masihkah ada harapan bagi rakyat indonesia sebagai ladang cerup pasar demokrasi, untuk menentukan, siapa kelak yang akan dipilih dalam memenuhi aspirasinya di pemilu 2014 nanti. Saya kira kembali kepada semua partai-partai. Yang kemarin telah dinyatakan lolos oleh KPU. Sebagai peserta pemilu 2014. Kalau toh rakyat ini masih menyimpan sejuta asa dari beberapa calon politisi yang akan menahkodai negara ini. Karena jangan sampai negara ini akan semakin karam juga. Selayaknya banyak partai yang karam karena tsunami korupsi yang begitu dahsyat menghantam para petingginya.

Dua Petinggi
Bukanlah hal yang mengagetkan jika Anas dan LHI, juga akan meningglakan luka yang sama. Bagi partai yang pernah membesarkannya. Kedua-duanya memiliki kedudukan dan jabatan, sebagai orang nomr satu dipartainya.

LHI sebagi Presiden PKS tersandung suap daging impor diprediksi akan menimbulkan demoralisasi besar-besaran terhadap partai dakwahnya. Di saat yang samapun Anas Urbaningrum adalah ketua umum diguncang wibawahnya. Harus mengundurkan diri. Bukan lagi karena elektabilitas PD merengsek turun. Tapi karena dirinya sudah ditetapkan sebagi tersangka. Dalam kasus penyuapan Mega Proyek Hambalang.

Jika banyak pengamat politk meramalkan kalau LHI yang tersangka kemarin. Sangat berbahaya bagi PKS. Karena posisinya sebagai pimpnan partai. Gejala ini pula yang akan memantik dan menghantam jantung kredibilitas PD. Hingga berada dalam titik nadir, tubir jurang kehancuran. Ketika Sang ketua umum yang sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Apalagi Anas sedari awal selalu tampil di media, seolah-olah tidak pernah menyentuh “uang haram” Mega Proyek Hambalang.

Bahkan pernyataan Anas beberapa bulan yang lalu “gantung dimonas” jika sekiranya satu rupiahpun dikorupsi. Kini ditagih janjinya oleh publik, agar beliau benar-benar digantung di Monas. Walaupun mustahil hal itu terjadi. Sebab negara kita tidak mengenal sanksi pidana hukum mati dengan cara menggantung terpidana.

Kita bisa fair menilai kalau mau menentukan, dari kedua partai yang dilanda tsunami korupsi itu. Partai yang mana mengingkari janjinya untuk tidak korupsi. Mengingat kedua partai tersebut selling point-nya adalah “memberantas korupsi”. Pasti jika hendak dikalkulasi, kader partai yang paling banyak diseret dalam pusaran korupsi. Adalah Partai Demokrat. Di sana ada Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, lalu kini menyusul Anas Urbaningrum. Menjadi korban pesakitan selanjutnya sebagai kader partai yang korup.

Kalau publik memberi penilaian, tanpa alasan macam-macam. Dari fakta-fakta tersebut. Hal yang wajar jika PD setelah dihantam tsunami korupsi jilid II. Menghukum PD dengan berpindah ke lain hati nantinya. Apalagi basis elektoral PD juga sangat ditentukan oleh pemilih swing voters. Boleh jadi pemilih yang pernah bersimpati ke PD akan berimigrasi besar-besaran ke partai lain. Entah partai yang menjadi pemain baru saat ini. Atau memilih Golput, setelah dirinya merasa dihianati.

Namun bagaimanapun, PD sebagai partai pemenang pemilu 2009. Tsunami politik jilid II adalah titik tolak bagi PD untuk segera berbenah secepatnya. Hal itu sudah pasti disediakan oleh para petinggi majelis partai, dewan pembina, dan para pimpinan DPD dan DPC PD. Untuk segera menguatkan barisan, mengembalikan kepercayaan dan dedikasi PD sebagai parai bersih.

Fenomena kemarin ketika banyak sekali kader yang terseret dalam pusaran korupsi. Jangan lagi diulangi dosa demikian. Saatnya  PD berbenah diri dengan merekrut kader dan mengusung bakal calon legislatif yang berintegritas, bermoral, memiliki rekam jejak bagus, semangat anti korupsi dan akseptabiltas yang baik. Menuju pemilu 2014.

Oleh:  
[Read More...]


Menyehatkan Demokrasi



Beberapa hari pekan kemarin. Ada dua tulisan menarik untuk dicermati. Meski kelihatan tidak saling menyangga tulisan itu. Namun setidaknya, keduanya memiliki persepsi yang berbeda. Dalam menyikapi, memberi komentar, dan mencoba merasionalkan pernyataan Prof. Dr. Hamid  Awaluddin. Perihal gugatan IA (Ilham- Aziz) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas kekalahan IA dalam perhelatan akbar kemarin. Agar Ilham alias Aco katanya, tidak  perlu mengajukan gugatan ke MK. Cukup menyantuni anak yatim saja.
Tulisan pertama, adalah tulisan Aspianor Masrie (11/2) yang berjudul “Dosa Turunan Berdemokrasi”. Sedangkan tulisan kedua adalah tulisan Imran Eka (14/2) dengan judul “MK dan Rintihan Anak Yatim”.

Patut disayangkan, lagi-lagi saya juga mengawali tulisan seperti ini. Seorang Imran Eka dengan latar belakang Ketua Konsorsium Muda Advokat Sul-Sel. Tidak mampu menempatkan dirinya. Sebagai orang yang rasionalitas melihat, dan memberi kritik terhadap, fenomena demokrasi kita. Apalagi dengan latar belakang beliau seorang alumni Fakultas Hukum. Turut membenarkan pernyataan Prof. Hamid yang telah salah jalan, sebagai sosok negarawan. Malah beliau menanggalkan teorinya. Seperti  teori demokrasi, teori konstitusi, dan sekelumit pengetahuan hukum yang dia miliki saat ini.

Seolah tanggapan Imran Eka, dengan memberi ruang “teologis” kepada negara ini. Semua persoalan sengkarut demokrasi akan tuntas. Sebagai seorang jebolan Fakultas Hukum, seharusnya kita mampu memberi ruang bahkan mampu mengkombinasikan antar demokrasi dan terminologi negara hukum (rechstaat).

Tidak salah kiranya kalau demokrasi dikatakan juga adalah bahagian dari wilayah teologis. Namun kalau kita membuka telaah sejarah perkembangan negara. Dari era klasik (zaman Romawi) hingga zaman modern (ada demokrasi liberal, demokrasi konstitusional, demokrasi deliberatif, bahkan demokrasi Pancasila). Maka cara pendekatan teologis yang melebur memjadi teokrasi. Sudah lama ditinggalakan oleh karena konsep negara teokrasi sudah demikian bobrok masa dan era pemerintahannya. Jadi, konsep demokrasi yang ditawarkan oleh sekian jumlah Filsuf  (Hobbes, Hegel, dan Rousseau) mau tidak mau kita mesti terima hari ini.

Demokrasi dan Hukum
Demokrasi dan hukum ibarat tubuh dan jiwa. Demokrasi adalah tubuh sedangkan hukum adalah jiwanya, hukum yang harus membatasinya. Demokrasi yang terkadang liar, membabi buta, penuh tipu daya/ tipu muslihat, nafsu dan syahwat kuasa. Hingga pada akhirnya kita bolah jadi ke era perang semua melawan semua (homo homuni lupus). Maka muncullah hukum  (nomoi) sebagai instrumen yang membatasi demokrasi yang sangat binal itu.

Mahkamah Konstitusi dihadirkan tidak lain sebagai anak kandung demokrasi. MK bertindak berdasarkan tugas dan kewenanganya adalah sebagai pilar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), MK sebagai pilar demokrasi, MK sebagai tuan pengadilnya rakyat. Karena itu bukan hal yang salah, kalau Ilham mengajukan gugatran ke MK.

Hukum memang hadir untuk membatasi demokrasi, yang terkadang culas memanipulasi hasrat. Untuk mendapatakan kuasa. Cacat demokrasi yang kita bisa lihat. Bahkan kita semua, banyak kali menyaksikan, misalnya fenomena politik jekkong terjadi. Pada perhelatan kampanye yang lalu. Ada money politic, serangan fajar, hingga serangan ad-duha menari liar kemana-mana. Gejala yang demikian amerupakan demokrasi yang sakit, demokrasi yang lepas kendali. Oleh karena para kandidat tidak “sadar” diri.  Untuk berdemokrasi secara sehat.

Di depan publik seolah mengajak kita semua berdemokrasi yang sehat. Tetapi di belakang panggung malah sang kandidat menerapkan politik machivellian. Karena itu, terbukanya ruang untuk menguji hasil demokrasi melalui MK. Adalah hak bagi Ilham juga untuk mengetahui dimana letak kesalahan-kesalahan pemikuda kemarin. Juga hak bagi rakyat Sulsel, untuk tahu bagaimana cara berdemokrasi yang sehat.

Sehatkan Demokrasi !
Nah, pertanyaannya kemudian, apakah dengan menyantuni anak yatim. Rintihan anak yatim yang didengar tersebut. Merupakan bagian dari obat, resep negara kita yang terkesan sakit itu. ? Saya kira persolan memberi santunan adalah wilayah teologis yang bersifat pribadi. Sebagaimana Aspianor Masrie menyebutnya dalam wlayah batas vertikal. Menyantuni anak yatim adalah tugas kita semua, yang tidak pandang apa dan bagaimana jabatannya. Jika ingin beribadah secara muamalah. Silahkan membagi harta dan rezeki kita kepada kaum fakir.

Sedangkan persoalan mengajukan gugatan ke MK, karena ingin inembuktikan kecurangan adalah kepentingan manusia itu dalam hubungan dengan sesama manusia. Suatu hubungan dalam dimensi horizontal. Dalam menata keadilan dan memberi kecerdasan politik, memberi pendidikan berdemokrasi yang sehat, berhukum yang benar bagi rakyat Sulsel. Bahwa misalnya, ada ruang, ada instutisi/ lembaga. Seperti MK yang harus kita patuhi. Mari kita dengarkan bersama, jangan turun ke jalan membabi buta. Membakar ban, melempar bom molotof, membakar KPU, menyerang pendukung lawan yang sudah dinyatakan menang. Karena sudah ada lembaga yang menguji kesahihan demokrasi kita.

Meskipun terkesan jauh dari angka, dimungkinkan Ilham-Aziz  menang setelah mengajukan gugatan nanti di MK (karena sekitar selisih 400 ribu jiwa/ 11 % suara). Namun bukanlah itu yang diharapkan, dalam impian menuju alam demokrasi yang sehat. Kita menginginkan supaya tidak ada budaya kekerasan. Dengan cara hukum bekerja pada ruang dan dimensinya. Melalui institusi pengadilan MK.

Dalam konteks itulah sehingga Immanuel Kant pernah mengatakan hukum adalah pengejawantahan kekerasan dengan gaya mulia. Jadi demokrasi yang dipermukaan cenderung berwajah culas. Hukum di situ tampil meredam aksi dari para pelalu demokaris yang brutal itu.

Sumber: euro.harianjogja.com
Mari kita semua  menunggu putusan MK. Mau kalah Ilham bersama pasangannnya Aziz. Yang jelas setelah kita mengetahui semua hasil keputusan MK kelak. Kita bisa mengambil hikmah. Bagi rakyat Sulsel supaya tidak melakukan pembiaran terhadap demokrasi dan politik jekkong, demokrasi yang sakit. Di periode pemilihan gubernur selanjutnya. Karena kita sudah tahu bahwa ternyata salah satu yang menyebabkan demokrasi berbiaya mahal. Kita sendiri yang membiarkan para politisi bermain dalam ruang demokrasi yang sakit.

Akhirnya, bukanlah dengan cara menyantuni anak yatim. Sekali lagi saya tegaskan sebagai langkah mengobati demokrasi yang cenderung sakit ini. Karena kalau demikian logika yang kita bangun. Maka dengan latar belakang Eka Imran  sebagai Seorang Advokat/ Pengacara. Jangan-jangan, besok lusa jika ingin menangani perkara. Anda akan menjawab ke klien anda. Dari pada Ibu/ Bpk habis uangnya berpengadilan. Lebih baik Ibu/ Bpk menyantuni anak yatim saja. Saya yakin kalau itu prinsip hidup anda. Di samping anda tidak berfungsi pengetahuan hukum acaranya selama ini. Juga anda akan kehilangan klien selamanya.***

Oleh:

[Read More...]


Pemakzulan Aceng Fikri (Tanggapan Atas Tulisan Ilham Kadir)



Mencermati tulisan Ilham Kadir (Peneliti LPPI Makassar) di halaman (13) harian ini (Tribun Timur Makassar 13/2) yang berjudul “Aceng Fikri Tak Berpikir”. Meskipun sejauh pengamatan penulis menelaah kata perkata dari tulisan tersebut. Tidak menemukan sisi atau permukaan yang mana yang dimaksud oleh Ilham Kadir, Aceng tak menggunkan pikiran atau nalarnya. Sehingga berimbas pada pemakzulan dirinya sebagai pejabat Kepala Daerah.Entah beliau setuju atau tidak setuju dengan pemakzulan terhadap Aceng Fikri. Namun yang saya amati, dari awal hingga tulisan tersebut ditutup. Ilham Kadir lebih banyak menyorot masalah syarat sah dan rukun perkawinan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, yang menjadi poin bagi saya adalah sejauhmana syarat dan rukun perkawinan dapat mempengaruhi seorang sebagai pejabat publik (ambtenaar).  Ketika ia melangsungkan perkawinan tanpa memenuhi syarat dan rukun perkawinan, yang datur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Apakah dengan tidak mengikuti rukun dan syarat perkawinan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dikategorikan Aceng Fikri telah  melanggar sumpah jabatan ?

www.unikgaul.com
Pertama-tama, yang perlu dijelaskan adalah apa yang dimaksud rukun perkawinan dan syarat perkawinan. Karena terminologi inipun tampaknya dikacaukan oleh Ilham Kadir. Rukun perkawinan adalah faktor penentu bagi sahnya atau tidak sahnya suatu perkawinan yang terdiri atas: calon mempelai (ada pihak laki-laki dan perempuan), wali nikah, dua orang saksi (bagian ini yang dilupakan oleh Iham Kadir), ijab dan kabul. Sedangkan mahar dalam Pasal 34 ayat 1 KHI adalah bukan rukun nikah. Rukun perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 14 KHI yang mana sejalan dengan hadits Rasulullah dalam kitab Al-Bahr dari Nashir Syafi’i dan Zuhar, sebagaimana dikutip dari kitab Nailur Authar jilid 5 bahwa “setiap pernikahan yang tidak dihadiri oleh empat unsur yaitu mempelai laki-laki, aqid yang mengakadkan, dan dua orang saksi maka perkawinan itu tidak sah.”  Artinya dari kesemua rukun tersebut tidak boleh ada satupun yang tidak terpenuhi. Karena semuanya bersifat imperatif kumulatif. Atau dengan kata lain tidak ada perkawinan tanpa semua rukun perkawinan tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan  syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan baik yang ditentukan secara syar’i maupun yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Secara syari’i misalnya ditentukan berdasarkan surah An-Nisa Ayat 22, 23, dan 24 yang menentukan larangan dilakukannya perkawinan karena adanya hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sepersusuan dan larangan poliandri. Sementara yang disyaratkan oleh Peraturan Perundang-undangan misalnya adalah harus melalui pencatatan oleh Pejabat yang berwenang (yaitu KUA) terhadap keberlangsungan perkawinan itu (vide Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan, Pasal 1 UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, Pasal 15 KHI).

Terkait dengan rukun perkawian dan syarat perkawinan tersebut diatas. Penting menjadi catatan, adalah kalau perkawinan itu sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Maka perkawinan itu adalah sudah sah. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 1 UUP, “bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing”. Artinya kalau perkawinan itu sudah dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan agama Islam, memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Maka perkawinan itu sudah sah. Meskipun perkawinan tersebut tidak diikuti dengan pencatatan. Saya kira hal ini yang perlu dicermati oleh Ilham Kadir. Beliau  mestinya tidak perlu menguraikan terlalu jauh bagaimana boleh tidaknya perceraian. Sampai kehilangan esensi dari judul tulisanya yang tidak substantif dengan judulnya. Yang terkesan menyalahkan Aceng yang tidak berpikir.

Pertanyaan kemudian,  bagaimana kasus yang menimpah si Aceng sebagai Kepala Daerah. Apakah perkawinanya itu tidak melalui pencatatan. ? Ya…benar tidak melalui pencatatan.
Namun Aceng melanggar Pasal 4 dan Pasal 5 UUP. Pasal 4 adalah ketentuan yang bersifat wajib bagi suami yang akan melakukan poligami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Sedangkan Pasal 5 terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan (mis: istri tidak dapat melahirkan keturunan). Perkawinan yang melanggar Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut adalah perkawian yang tidak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 UUP. Kalau tidak memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut, tidak ada izin Pengadilan Agama, untuk berpoligami, kemudian tetap melangsungkan kawin poligami tanpa ada pencatatan. Maka perkawinan tersebut tetap sah, kalau telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Meskipun tidak melalui pencatatan. Karena pencatatan hanya persoalan ketertiban saja. Inilah yang disebut perkawinan poligami tanpa pencatatan. Jadi bukan perkawian siri sebagaimana yang ditulis oleh Ilham kadir kalau ditelaah dari Undang-Undang Perkawinan. Karena istilah kawin siri adalah istilah sehari-hari saja. Perkawinan yang tanpa pencatatan sering juga disebut perkawinan yang sah namun tidak teregistrasi.

Analogi demikian dapat ditarik pada peristiwa hukum kepemilikan tanah, yang mana pemiliknya tidak memilki sertifikat hak milik misalnya. Apakah mereka ini disalahkan oleh hukum dan dapat dipidana dengan tidak melakukannya pencatatan terhadap tanahnya di BPN. Demikian halnya apakah orang yang melangsungkan perkawinan kemudian tidak melakukan pencatatan, perkawinan itu tidak sah, dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara, denda. Di sinilah letak kesalahan para perancang undang-undang Pencatatan Nikah, Talak, Dan Rujuk, dahulu. Ketika masalah keperdataan kemudian seorang yang tidak melakukan pencatatan perkawinan diancam dengan sanksi pidana. Lebih ekstrim lagi, apakah gara-gara seorang yang menduduki jabatan pemerintahan (seperti Aceng) karena pelanggarannya dalam hukum privat. Melakukan perkawinan poligami tanpa pencatatan. Harus diberhentikan dari jabatanya. Saya kira kita harus menelaah terlebih dahulu perkawinan dalam ranah hukum yang mana. Dan sebagai Pejabat publik/ kepala daerah  juga dalam ranah hukum yang mana.

Beda Privat Dan Publik
Perkawinan adalah masalah hukum privat atau perdata. Atau yang menyangkut kepentingan individu. Sedangkan menjalankan jabatan sebagai kepala daerah adalah ranah hukum publik, menyangkut fungsi negara. Jadi, masalah yang menyangkut peristiwa hukum perdata juga diselesaikan melalui jalur hukum  perdata. Tidak boleh karena peristiwa hukum perdata yang terjadi pada individu tersebut disangkutpautkan sebagai pejabat publik yang menyelenggarakan tugas negara.

Sederhananya, dapat diajukan pertanyaan, apakah dengan menikahnya seorang kepala daerah kemudian tidak melakukan pencatatan di KUA, melakukan poligami tanpa pencatatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sumpah dan jabatan. Sehingga berujung pada pemakzulan ? Kejadian yang menimpa Aceng Fikri sebenaranya berbahaya ke depan. Sebuah preseden buruk dari putusan Pengadilan (MA) bagi sebagian pejabat publik di negara ini. Oleh karena banyak kepala daerah sebenaranya, selama ini yang melakukan perkawinan hingga   memiliki empat orang isteri. Tanpa melalui pencatatan.

Padahal, ada prosedur hukum yang lebih bermartabat. Mengapa Aceng tidak digugat melalui pengadilan perdata saja? Melalui pengadilan Agama, dengan bantuan Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak. Fani Oktora dengan bantuan Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak dapat menggugat Si aceng di Pengadilan Agama. Hingga jatuh putusan percerain yang benar, dan sah secara hukum. Kemudian si Aceng bisa juga dituntut membayar nafkah terhadap anak tersebut yang sudah diceraikannya. Saya kira, ini jalur yang benar dari pada memberi komentar tanpa tahu benar ranah seorang dapat dikatakan dalam konteks hukum privat atau hukum publik (HTN). Sekiranya misalnya si Aceng sebagai Bupati dalam megeluarkan kebijakan terhadap warga daerahnya salah prosedur/ cacat. Hal Itu baru pantas dapat dijadikan alasan ia melanggar sumpah jabatan. Ataukah ia dituduh korupsi. Maka pantas dan sangat wajar saja ia juga dimakzulkan dari jabatannnya sebagai kepala daerah.***
[Read More...]


Asas Hukum Perikanan



Untuk dapat melakukan pengelolaan perikanan di Negara kita telah diatur asas-asasnya dalam Undang-Undang Perikanan. Dengan asas-asas yang telah ditetapkan digunakan sebagai landasan tempat berpijaknya tingkah laku semua warga masyarakat termasuk pemerintah dalam mengelola perikanan. Ada 10 macam asas pengelolaan yang masing-masing saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu :
Sumber: grafitti05.wordpress.com
  1. Asas Manfaat Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
  2. Asas Keadilan Mengenai asas keadilan diberi pengertian bahwa, pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluan dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga tanpa kecuali.
  3. Asas Kebersamaan, Asas kebersamaan merupakan asas yang khusus digunakan untuk kepentingan masyarakat perikanan agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.
  4. Asas kemandirian, Asas kemandirian adalah asas yang mengatakan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengoptimalkan potensi yang ada. Karena didalam asas inin telah menitikberatkan kepada pengelolaan yang optimal, sebenarnyua lebih tepat disebut dengan asas optimalitas daripada asas kemandirian.
  5. Asas Pemerataan, Yang dimaksud dengan asas pemerataan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.
  6. Asas Keterpaduan, Untuk asas keterpaduan dikehendaki, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efesiensi dan produktivitas.
  7. Asas Keterbukaan, Mengenai yang dimaksud dengan asas ini, pengelolaan perikanan dilakukan dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Asas keterbukaan diperlukan karena pengelolaan perikanan tidak dapat dilakukan secara sepihak tanpa ada dukungan maupun pengawasan dari masyarakat.Asas efisiensi
  8. Asas efesiensi, mengkhendaki bahwa pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat dan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal. Mengenai masalah efesiensi dalam pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas keterpaduan diatas, karena keterpaduan tidak dapat dilepaskan dari efesiensi.
  9. Asas Kelestarian, Asas kelestarian mengatakan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam.
  10. Asas pembangunan yang berkelanjutan, Asas yang terakhir adalah asas pembangunan yang berkelanjutan, bahwa pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang.                                                                                  
[Read More...]


PKS Antara Harapan dan Realita



Terorbitnya PKS sebagai partai politik religius nasionalis kanan, merupakan perjuangan  panjang dari para petuah-petuahnya. Dibidangi kelahiranya, dari Lembaga Dakwah Kampus. Hingga menanjak sebagai organisasi gerakan politik.

Pasca pemilu 2009 mengalami kenaikan suara cukup menanjak. Namun setelah pucuk pimpinannya ditimpah musibah rasuah. kini berada dalam ancaman. Tubir jurang kehancuran
Partai dakwah dengan untaian padi diapit oleh sabit kembar itu. Patut dicatat bahwa gerakan dakwah kampuslah bermula mencetuskannya. Adalah lembaga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang pertama kali berdiri pada 1967. Dipelopori oleh Muhammad Natsir (Mantan Tokoh dan Elit Masyumi).

DDII bahkan digencarkan oleh tokoh-tokohnya. Islam bukan sekedar konstruksi teologis semata. Melainkan juga ideologi politik. Namun  rezim otoritarian Soeharto yang melarang munculnya ideologi, yang akan mengancam posisinya. Maka pada akhirnya DDII memilih revitalisasi dakwah di kampus. DDII pernah berafiliasi dengan LMD (Lembaga Mujahidin Dakwah) yang dipelopori oleh Imadudin Abdulrahim dengan mengkampanyekan doktrin tauhid dan bahaya ghazw al-fikr (perang pemikiran) yang berasal dari ideologi Barat kedunia Islam. Imaduddin menyebarkan ajarannya melalui kurikulum NDP (Nilai Dasar Perjuangan), diadopsi dari pemikiran Norcholis Madjid.

Pada akhir 1970, ketika tindakan represif Soeharto semakin kencang. Kampus sengaja dibonsai melaui Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). NKK melarang aktivitas politik  Mahasiswa dan menggantikan lembaga Mahasiswa yang dulunya independen (Dewan Mahasiswa).

Namun dengan geliat dari peristiwa runtuhnya rezim Iran 1970-an. Memantik jiwa dan semangat dakwah di kalangan Mahasiswa Muslim untuk menjadi bahagian umat Islam seluruh dunia. Gerakan dakwah kampus semakin solid. Karena diikat dengan perasaan kekeluargaan.

Di kalangan kampus kembali terlahirkan semangat melaksanakan nilai-nilai islam.  Begitu ramai tampak dengan penggunaan jilbab dan baju koko diberbagai kalangan Mahasiswi/ Mahasiswa. Mesjid kampus semakin ramai. Hingga terbentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Beberapa pihak pimpinan kampus bahkan mengakui LDK sebagai UKM intrakampus.

Di pertengahan 1980-an LDK resmi didirikan sejumlah Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan dakwah kampus. Tepatnya di Universitas Indonesia. Lembaga Dakwah Kampus kemudian semakin memiliki pengikut. Tersebar di daerah-daerah. Puncaknya,  terbentuklah Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) pada 1986 sebagai metamorfosa dari LDK.

Dengan memanfaatkan pertemuan ke-10 FSLDK di Malang. Dihadiri ratusan Mahasiswa dari seluruh Indonesia. Beberapa aktivis mengumumkan pembentukan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Pada waktu itu.

Momentum krisis 1998 dijadikan peluang  oleh para aktivis KAMMI. Mereka menggelar aksi. Sebagai  protes untuk mempercepat gerakan reformasi. Banyak kelompok ikhwan, tarbiyah turun ke jalan. Sebagai  tanda, gerakan yang pada mulanya bergerak dibidang dakwah ini. Secara perlahan KAMMI. Menjadi gerakan sosial politik. Berlakulah pandangan ‘al-jama’aah hiya al-hizb wa al-hizb huwa al-jama’ah (gerakan adalah partai dan partai adalah gerakan)”

Pasca kejatuhan rezim Soeharto 29 Mei 1998. Tokoh-tokoh KAMMI mulai memikirkan untuk mendirikan Partai Islam. Pada tanggal 20 Juli 1998 berdirilah PK di Jakarta. Sehingga bukan hal mengagetkan. Jika banyak pengamat politik,  mensinyalir  KAMMI sebagai ”sayap Mahasiswa PK/ PKS

Awal dari gerakan partai Islam ini yang bernama Partai Keadilan tampaknya masih belum mendapat simpati publik. Diawal kelahirannya. Oleh  suara partai hanya  diperoleh dari kader dan tarbiyah kampus saja. Partai Keadilan (PK)  masih terkesan inklusif. Sehingga pemilu  1999 PK hanya mendulang suara 1,3 %.

Berlakunya sistem electoral treshold  (UU No 3/ 1999 tentang Pemilu)  mensyaratkan 2 %, suara dari calon yang terpilih pemilu periode sebelumnya. Maka pada 2 Juli 2003 akhirnya PK harus mengubah namanya menjadi PKS. Dan menggabungkan semua anggota Dewan dan kadernya.  PKS menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM. Di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Daerah.

PKS yang memang sedari awal dibentuk sebagai partai kader. Tidak mengenal penokohan .  Sebagai partai egalitarian. Mulai membuka diri sebagai partai Islamis Pancasilais.  Di samping menjual isu-isu Islam.  Seperti protes atas invasi Amerika ke Irak, protes perang Israel-Palestina.  Juga sudah mulai menyorot isu nasional. Dengan slogan partai yang bersih, mulia, tidak korupsi. PKS  membawa angin segar perubahan . Hingga suara diraup pada  pemilu 2004 sebanyak 7, 34 % (45 kursi).

Pemilu yang dihelat di tahun 2009. Nampaknya PKS semakin bergerilya membuka keran politiknya di kalangan eksternal. Dibawah komando Presiden PKS, Tiffatul Sembiring. Secara terbuka menggalang aksi. Turun ke jalan, tidak tangung-tangung. Melibatkan anak-anak kecil, anak punk, perempuan tanpa jilbab. Turun ke jalan menggalang soliditas dalam menyikapi masalah transnasional. Sebut misalnya aksi pembakaran bendera Denmark. Gara-gara kemarahan Islam akibat pemuatan kartun nabi Muhammad. Di salah satu majalah, di negara itu.

Kekuatan basis elektoal PKS di pentas pemilu 2009. Dengan kemampuannya membentuk sebagai partai yang kritis.  Bahkan tak sungkan melakukan pendaftaran relawan jihad  ke Palestina (meski pengiriman tersebut tidak pernah jadi-jadi).  Menguatkan kepercayaan kader-kader di tingkat bawahi. Sebagai partai yang berjuang di jalan dakwah. Pemilu 2009 membuktikan PKS berhasil mendulang suara 7, 9 % (57 kursi).

Kini di era pemerintahan SBY-Boediono. Di  bawah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II.  Banyak pemilih dan kader PKS yang mulai kecewa. Terutama dengan bergabungnya partai dakwah tersebut. Dalam Setgab koalisi SBY. Bahkan terkadang partai bulan sabit kembar ini menjadi koalisi kutu loncat. Kadang memihak pada pemerintah, kadang beroposisi.

Pasca Mukernas  di Bali. Ia mengukukan dirinya. Sebagai partai yang terbuka nonmuslim.  Menyebabkan semakin banyak kadernya yang kecewa. Terutama dari kader-kader akar rumput. Yang sudah berjuang mati-matian. Mereka yang rela merogoh kocek milik pribadi untuk partai. Demi berjuang di jalan Allah. Lalu petingginya, telah memutar haluan hanya untuk kepentingan kekuasaan.
Bulan April  2011 bahkan menjadi tamparan keras bagi Partai dakwa itu. Sebagai partai yang selalu bergerak dalam syariah yang bersih. Ternyata seorang kadernya.  Arifinto kecimprat dari kamera tersembunyi. Sedang membuka video  porno dari telephon genggam milik pribadinya. Dan tak lama, selang beberapa hari Arifinto mengundurkan diri sebagai anggota DPR.

Harapan
Tidak ada kasus yang lebih berbahaya. Selain dari pada  korupsi.yang paling ditakuti para elit politik. Tahun 2013 menjadi musibah, baginya. Musibah bagai nodah partai dakwah. Presiden Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) di jemput  oleh KPK.  Karena tersangkut kasus penyuapan tender impor daging sapi, yang melibatkan PT Indoguna.  Arisan pun jatuh pada pucuk sang pimpinan . Hingga menjadi ancaman demoralisasi bagi kader Partai dakwah itu.  Untuk mempertahankan basis elektoralnya.
Hari esok, lusa, diprediksi suara elektoralnya akan ambruk, rontok, rapuh, hancur berkepnig-keping. Kader yang berasal dari kalangan kampus. Yang tiap harinya memuja murabihnya. Boleh jadi lenyap satu persatu.

Demikian halnya dengan para petingginya. Sebagamana  dilansir beberapa media.  Banyak petingginya bergelimangan harta. Tampil hedonis. Juga semakin menguatkan kalau petinggi-petingginya.  Telah keluar dari jargon partainya, yang ‘sederhana”. Apalagi sebagai partai bersih, sudah bukan lagi waktunya meneriakkan kata itu. Setelah LHI  menjadi tersangka dalam kasus impor daging sapi.

Semoga saja, figur muda Anis Matta yang menggantikan LHI sebagai presiden PKS. Benar-benar lambungnya tidak lagi bersahabat dengan tempat tidur (tatajafa junubuhum anil madhoji). Guna melakukan terobosan radikal. Terutama transparansi kekayaan dari para petinggi partai dakwahnya. Kalau Anis Matta meneriakkan pertobatan nasional. Mungkin cara yang paling radikal mengembalkan kepercayaan kader dan simpatisan (dari kalangan eksternal). Adalah audit secara nasional terhadap semua kader dan petinggi partai. Yang saat ini memiliki kekayaan berlimpah ruah. ***


[Read More...]


Demokrasi dan Pemilu




Dalam Konperensi yang digelar di Bangkok pada Tahun 1965 International Commision of Jurist memberikan defenisi tentang suatu pemerintahan dengan perwakilan atau representative government sebagai government deriving its power and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them, dan untuk adanya suatu representative government under the rule of law, konperensi itu menetapkan salah satu syarat adanya pemilihan yang bebas.


Pemilihan bebas sebagaimana yang dimaksud dalam konpeensi itu, adalah pemilihan umum yang melibatkan rakyat mengejawantahkan hak-hak asasinya dalam bidang politik, guna menentukan pejabat eksekutif dan legislatif sebagai perwakilan yang akan menyelenggaran kebijakan Negara.


Pemilihan umum merupakan anak kandung demokrasi yang dijalankan sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam fenomena ketatanegaraan.

Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.

Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.

Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.

Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.

Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat.

Pemilihan umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dalam sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya.

Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu, yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat sporadik dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.

Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya (Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Ketiga, dalam dunia modern para penguas dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya.

Gramsci bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi. (Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebook, Translation by Q Hoare and N Smith, (New York: International Publisher, 1978)
 
Terkait dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrasi itu sendiri.


Pemilihan akan sistem pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi, kebanyakan dari sistem pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena dipilih, melainkan karena kondisi yang ada di dalam masyarakat serta sejarah yang mempengaruhinya. Untuk menguraikan substansi dalam pemilu, selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan lebih lanjut pendefenisian pemilihan umum.


Pemilihan Umum

Dari berbagai pendekatan dan sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Namun intinya pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan instisari dari pada demokrasi.

Dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum pada bagian pertimbangan, menimbang bahwa untuk memilih anggota dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang aspiratif, berkulitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945. Selanjutnya pada bagian pertimbangan yang lain, dibentuk UU ini (bagian b) bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannnya suara secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur.

Demikian juga dalam Bab I ketentuan umum ditegaskan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Dalam pernyataan umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 21 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas.

Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan tidak dipisahkan dengan hak berikutnya dalam ayat 2 yaitu: bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintahan dalam negerinya.

Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu Negara yaitu: “kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas.”

Pernyataan umum Hak Asasi Manusia PBB Pasal 21 tersebut di atas, terutama Pasal 3 merupakan penegasan asas demokrasi yaitu bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintahan dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Pemilu kini telah menjadi token of membership bagi sebuah Negara jika ingin bergabung dalam sebuah masa peradaban yang bernama demokrasi. Dalam konteks ini pemilu adalah salah satu ornament paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris bagi penyelenggaraan Negara. Pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partsipasi politik di sebuah Negara. Pemilu menjadi arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih.

Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilprespun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Meskipun di tengah masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.

Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.

Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum berarti pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga Negara yang berumur 21 tahun berhak untuk dipilih.

Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga Negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.

Bebas berarti setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakannya setiap waga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan.

Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang brelaku.

Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.

Akhirnya dari semua penjelasan tentang pemilihan umum di atas, membincangkan ranah pemilu sebagai perwujudan Negara demokrasi dan Negara hukum adalah perbincangan yang tidak akan ada ujung pangkalnya. Bagaimana tidak, wacana yang merupakan bagian dari perilaku sosial politik yang bersinggungan dengan problematika kehidupan bermasyarakat terkait dengan hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur politik dan pendistribusian kekuasaan dalam masyarakat yang akan terus berkembang.

Pemilihan umum seringkali disangkutpautkan dengan pesta demokrasi, ketika semua rakyat dari berbagai lapisan dan struktrur sosial berbondong-bondong baik secara personal maupun komunal (Partai) turut serta dalam menentukan pemimpin atau wakil rakyat untuk memimpin roda pemerintahan secara arif dan bijaksana.


[Read More...]


Rontoknya Mesin Elektoral PKS



Aksi KPK yang membuntuti AF (Ahmad Fathanah), sebagai orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) hingga menerima uang dari PT. Indo Guna Utama dari Juar Effendi (JE) dan Abdi Arya Effendi (AAE)  di Kantor PT Indoguna Utama. Akhirnya berbuah hasil pada 29 Januari 2013 pukul 20.20. Setelah AF benar-benar menerima uang dari Direktur PT Indoguna. KPK-pun menangkap AF.  Dan Pada pukul 22.30 WIB, KPK juga menangkap JE dan AAE di kawasan Cakung, Jakarta Timur.

Uang satu  miliar yang sudah ada di tangan AF dan buku tabungan mandiri kemudian menjadi indikasi bahwa, JE dan AAE sebagai tersangka yang akan melakukan penyuapan terhadap petinggi Partai Keadilan Sejahtera itu melalui AF orang dekat LHI. Berdasarkan penggalian keterangan KPK dari ketiga orang tersebut, bahwa JE dan AAE sebagai pihak dari perusahaan pengimpor daging, akan melakukan penyuapan terhadap petinggi PKS untuk melancarkan usaha bisnisnya dalam menguasai pemasukan daging impor. Hanya untuk perusahaannya saja mendapat kuota izin impor daging sapi dalam  jumlah yang banyak. LHI diduga kuat akan menggunakan pengaruhnya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera sekaligus sebagai anggota DPR Komisi I, untuk mengintervensi pihak-pihak yang berwenang mengatur impor daging sapi.

Kemudian,   30 Januari 2013 pukul 20.00 WIB, KPK mengumumkan tiga orang yang tertangkap dan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka. Pada malam itu juga, pukul 23.30 WIB, KPK menjemput LHI untuk diperiksa. Menurut KPK, ada dua alat bukti yang mengindikasikan keterlibatan LHI.

Sebagaimana dalam  gelar perkara yang dilakukan oleh KPK tersebut. Johan Budi mengurai bahwa alat bukti yang dimiliki KPK untuk menjerat LHI tidak hanya diperoleh saat operasi tangkap tangan. KPK telah mengumpulkan bukti sebelum operasi itu. Sebab, KPK telah lama mengikuti pergerakan AF. Salah satu bukti adalah pertemuan LHI dan FH terkait pemberian uang suap tersebut. Informasi dari KPK juga menyebutkan, ada komitmen Rp 40 miliar yang diduga dijanjikan kepada LHI. Komitmen itu dihitung dari banyaknya kuota daging yang diizinkan dikalikan dengan Rp 5.000 Per kilogram daging. Uang Rp 1 miliar yang disita dari proses tangkap tangan KPK diduga sebagai uang muka dari komitmen Rp 40 miliar tersebut.

Dibalik Aksi KPK, lembaga anti rasuah itu dalam “penjemputan paksa”. Terhadap Presiden partai bulan sabit kembar itu. Ramalan  para pengamat politik bukan sekeder ramalan yang “nyeleneh”.

Saat awal mengawali tahun baru, dikatakan oleh para pengamat politik. Bahwa tahun  2013 sebagai tahun yang penuh intrik, tahun kritis, tahun serang-menyerang, tahun politik saling sandera, tahun korupsi. Dan tak sungkan-sungkan, prediksi politik fenomenal. Menobatkan sebuah partai yang dikenal sebagai partai yang bersih dan peduli. Akhirnya terancam juga dalam tubir jurang kehancuran. Seperti partai lainnya. Sebut saja misalnya Partai Demokrat yang sudah “betah” dengan topan badai korupsinya. Dan  PKS juga dilanda sunami besar impor daging sapi.

Dalam menganalisis pelaku korupsi di bidang politik. Terutama yang terkait dengan political corruption. Ada dua ranah yang menyentuhnya. Ranah pertama adalah ranah hukum yang berbicara pada wilayah kebenaran empirik. Ranah kedua adalah ranah politik dengan memakai pendekatan kebenaran logis. Dalam konteks ini  politik kadang jauh lebih kejam menghakimi seorang sebagai pelaku korupsi. Dibandingkan ranah hukum yang harus membutuhkan waktu, sembari menunggu putusan pengadilan yang inkra.

Karena itu, tindakan yang diambil oleh LHI kemarin, di depan gedung KPK. Langsung menyatakan mengundurkan diri. Adalah langkah dan tindakan yang tepat, sebagai petinggi partai. Untuk mengembalikan kepercayaan para kader dan simpatisannya. Kendatipun kader-kadernya mungkin juga kaget, bahkan tidak menyangka. Petingginya terseret juga dalam pusaran korupsi. Sungguh sebuah bencana bagai badai sunami, yang tidak pernah disangka-sangka. Langsung menyeret dan meluluhlanthakan slogan PKS yang dikenal “bersih korupsi, mulia, dan sikap pedulinya.”

Memang, tidak ada yang bisa menafikan siapapun dapat terjerat dalam pusaran kejahaan extra ordinary crime tersebut. Keran korupsi ibarat sebuah naluri yang dapat menyebarkan virus kemana-mana. Tak kenal tokoh agama, uztads, kyai, ulama. Apalagi partai politik yang hanya memperoleh image “bersih dari korupsi” karena bentukan media dan opini public semata.

Lagi-lagi wilayah bersih korupsi. Ibarat iman yang melandasinya, sehingga kejujuran hanyalah ukuran Tuhan dan pribadi manusianya saja. Adapun kalau manusia yang mengukur itu hanya pengklaiman sepihak. Misalnya sebagai orang yang pantas mendapat “peluang surgawi”. Maka tepatlah senandung lirih seorang intelektual besar Mesir, Muhammad Abduh,  “Audzubillah min alsiyasah wa al-siyasiyyin” (Saya berlindung dari godaan politik dan kaum politisi).

Ceruk pasar pemilih PKS menuju 2014, akan teruji dalam menjemput pemilu sekitar satu tahun setengah ke depan. Karena harapan memilih partai intelektual bersih. Kini diserang pucuk pimpinannya dalam hantaman badai sunami korupsi impor daging sapi.

Patut dicatat dan diketahui bahwa kemenangan PKS sebagai partai Islam. Dalam pemilu 2009 mendulang suara sekitar 7.788 % (57 kursi DPR). Semua berasal dari kelompok pemilih kalangan elit, pemilih rasional. Yang jika dikalkulasi rata-rata kelompok demografinya berada di daerah perkotaan. Kelompok jenis ini adalah ceruk pasar pemilih yang gampang pindah dan jatuh cinta ke lain hati. Lebih tepatnya, basis elektoral PKS juga banyak dihuni oleh massa mengambang (swing voters). Jadi sedikit saja mengalami kekecewaan, bisa saja mencari partai alternatif. Kalaupun itu tidak ada partai yang dapat memenuhi aspirasi “hatinya”. Kemungkinan besar akan memilih Golput. Sepertinya, jika PKS kalau tidak cepat berbenah diri. Partai padi yang diapit oleh dua blan sabit ini. Akan semakin suram, rontok, dan buram masa depannya di 2014 nanti.
Jadi, pasca penetapan LHI sebagai tersangka oleh KPK. PKS yang dikenal sebagai partai dakwah harus berani melakukan terobosan radikal. Guna mengembalikan marwah partainya. Dan satu lagi, para elit PKS, jika ingin membuktikan dirinya sebagai partai bersih dari korupsi. Saat ini jangan menutupi kasus yang menimpa petingginya. Kalau memang sebagai partai yang selalu digemborkan sebagai partai jujur.

Seyogianya Hidayat Nurwahid tidak perlu mengatakan: “bahwa penangkapan LHI oleh KPK, KPK telah diskriminatif dan tebang pilih.” Karena “satu kata” dalam politik. Bisa menjadi senjata tajam yang akan memakan tuannya sendiri. Bahkan  dapat melucuti jantung kredibiltas partai politik itu.

Bukankah, juga kita semua tahu bahwa saat ini. Publik lebih percaya (trust) pada KPK dari pada partai politik ?. kita bisa membuka mata bahwa sunami korupsi yang hampir melanda semua partai politik. KPK akhir-akhir ini terkesan sebagai pahlawan.

Di atas semua itu, patut disadari sat ini. Semua partai politik berada dalam pusaran korupsi. Adalah imbas dari partai poitik yang berbiaya mahal. Terutama dalam biaya spending kampanye yang tinggi. Sebagai partai politik yang kepengen besar. Hendak menjadi peringkat tiga di pemilu 2014 nanti. Jelas menaruh “tabungan harapan”. Dari nasabah, kader-kadernya yang berada dalam pos-pos setiap jabatan legislatif dan eksekutif.

Dalam situasi tersebut, mungkin saja tidak salah. Kalau kita menilai jika mantan petinggi PKS. LHI memainkan proyek impor dagang sapi. Untuk kepentingan partai bulan sabit kembarnya.

Dana anggaran partai politik dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, saat ini memang tidak  ditegaskan audit terhadap setoran Caleg. Karena mungkin saja para elit politik sengaja menciptakan regulasi yang remang-remang. Agar mereka semua, semakin senang bermain dalam keremangan.***
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors