Fathanah’s Effect dan Tsunami Impor Daging PKS



Sumber: kesalahanquran.wordpress.com
Setelah Presiden PKS Anis Matta berhasil meredam tsunami impor daging sapi akhir Januari kemarin. Anis Matta berhasil merangkul kembali konstituen dan mengembalikan kepercayaan kadernya. Bahkan Aher-Deddy yang diusung oleh PKS di Jabar. Dianggap oleh politisi PKS, tsunami impor daging tidak berhasil meluluhlantahkan kepercayaan pemilih terhadap partai padi yang diapit oleh dua bulan sabit itu. Karena pasangan Aher-Deddy menang dengan perolehan suara sah 6.515.313 atau 32,39 persen sebagai Gubernur Jabar bulan Maret kemarin.

Tapi PKS jangan bahagia dulu, tsunami impor daging yang mendera PKS belum juga usai. Berbagai liputan dan informasi media. Masih mengguncang “nama baik” PKS. Sebagai partai yang dikenal bersih, mulia, dan peduli.

Masih seputar impor daging sapi dikembangkan oleh KPK. Dalam formulasi Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPP). Kembali meniscayakan PKS harus berbenah diri. Agar dapat mengembalikan citranya. Dari demoralisasi konstituen. Gara-gara dihantam kumpulan wanita-wanita cantik. Yang sengaja dimanfaatkan oleh Ahmad Fathanah. Dalam mengumpullkan pundi-pundi kekayaannya. Ahmad Fathanah adalah tersangka korupsi impor daging bersama dengan Lutfi Hasan Ishaaq (LHI) yang sudah ditahan oleh KPK (30/1/013).

Wanita Cantik


Penegasana itu dihembuskan oleh Artis cantik senior Ayu Azhari. Ayu menerima uang sebesar Rp 20 juta dan US$1.800 dari Fathanah. Agar Ayu menghibur di sejumlah acara PKS. Meski uang tersebut kemudian dikembalikan Ayu kepada penyidik KPK.

Tak tanggung-tanggung. Sampai di situ sepak terjang Fathanah memanfaatkan wanita cantik. Dalam pusaran korupsi impor daging sapi. Sederet nama-nama artis, model dan wanita cantik sempat menjadi guyonannya. Ada nama Suci Maharani pernah tertangkap tangan bersama Fathanah kemarin. Saat menerima uang sogokan dari direktur PT Indoguna. Kemudian ada nama Vitalia Shesya, seorang model cantik juga dihadiahi dengan barang-barang mahal, seperti berlian, tas dan jam tangan merek Chopard senilai Rp70 juta. Disamping benda-benda mahal itu, Fathanah membelikan satu unit mobil. Honda Jazz berwarna putih dipilih Fathanah untuk diberikan kepada Vitalia, yang kemudian diberi plat nomor B 15 VTA.

Terakhir Fathanah juga diketahui memberikan mobil merek Honda Freed bernomor polisi B 881 LAA kepada Tri Kurnia Puspita. Wanita yang belakangan dikenal sebagai orang dekat Fathanah dan juga seorang penyanyi dangdut. Tri juga ternyata teman dekat istri Fathanah, Sefty Sanustika. Tak hanya mobil, Fathanah juga menghadiahi Tri Kurnia jam tangan merek Rolex dan gelang mewah merek Hermes yang ditaksir bernilai Rp50-70 juta.

Beruntunglah Ahmad Fathanah tidak digugat cerai oleh isterinya. Sefty Sanustika tetap tegar menerima atas semua keadaan yang menimpan suami tercintanya. Harus bagaimana lagi, siapa yang dapat memberi support untuk fathanah. Kalau dirinya juga tidak mau peduli dengan suaminya, demikian penuturan Sefty Sanustika di beberapa siaran TV swasta beberapa pekan ini.

Fathanah’s Effect

Meski para elit politik PKS berkilah, memgelak kalau Ahamad Fathanah tidak ada hubungannya dengan PKS. Karena beliau bukanlah kader PKS. Fathanah sendiri yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan jahatnya. Jadi jangan libatkan nama PKS. Demikian pembelaan Fahri Hamzah sebagai politisi muda PKS, juga sebagai salah satu pendiri Partai keadilan (PKS) di era reformasi. Namun itulah politik, yang memilki muara tersendiri. Jauh lebih cepat efeknya memberikan vonis dari pada vonis sesungguhnya di meja hijau. Politik selalu bertumpu pada opini dan kebenaran ontologis. Sehingga kasus perkasus saling berkelindan dengan kasus yang lainnya. Apalagi Fathanah sudah terlanjur, terekspose ke media sebagai dalang gratifikasi dalam kasus impor daging sapi. Akibatanya tidak ada jalan lain. Bagi PKS dapat menolak tsunami korupsi impor daging, yang ditiupkan oleh Fathanah. Fathanah’s Effects demikian sempurna menohok. Slogan bersih dan moralnya PKS. Politik ibarat bangunan persepsi yang dikelolah sedemikan rupa. Sehingga akar masalahnya meski tidak memiliki keterkaitan. Pasti dikaitkan antara isu yang satu denga isu lain.

Mari kita berkaca pada efek poligami da’i kondang Abdul Gimnastiar (A’Gim). Dalam tinjauan historis maupun syariat Islam. Tidak satupun ayat dan hadit’s mengharamkan poligami. Tapi mengapa A’Gim kemudian ditinggal satu persatu jamaah yang sedari dulu mengelu-elukannya. Itu karena persoalan persepsi saja dari publik, tidak mau jika tokoh panutannya berbuat yang tidak sesuai dengan pengharapannya. Poligami memang tidak melanggar norma agama. Namun perdebatan etis/ tidaknya perbuatan itu masih debatable. Sehingga ranah abu-abu dalam persoalan citra dan popularitas. Seorang harus hati-hati dan cermat mengelolanya.

Setali tiga uang bagi PKS, bukan kadernya yang disoroti karena berpoligami. Tapi korupsi dipucuk pimpinan. Korupsi sudah jelas dan nyata-nyata adalah perbuatan yang menyimpang dari agama. Artinya, perbuatan yang tidak menyimpang saja dari agama, memiliki efek domino terhadap memori kolektif publik. Apalagi perbuatan yang nyata-nyata jauh dari ajaran agama. Maka Fathanah’s effect di sini tidak akan berhenti hingga pemilu dihelat nantinya. PKS akan dihantam terrus menerus badai korupsi impor daging. Sekelumit perbuatan nista Fathanah akan selalu dikaitkan dengan LHI sebagai mantan kader tulen PKS. Bukankah fathanah dan LHI adalah pasangan “duet maut” yang sengaja memainkan proyek anggaran impor daging sapi.

Dibalik slogan PKS: bersih, korupsi, mulia dan peduli. Sebagai partai yang selling pointnya syariat dan agama. Otomatis ketika berada dalam jerat pelanggaran norma agama. Akan disorot tajam oleh publik. Sehingga bukan hal yang latah, lumrah, ketika PKS disudutkan dalam posisi ini. PKS kok korupsi, PKS kok memakai “ikon perempuan” dalam mendulang suara-suara pemilih. Kemanakah agama yang selama ini digembor-gemborkan oleh PKS ?

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh PKS. Saat ini, dalam rangka mengembalikan elektabilitas partai. Dari ancaman demoralisasi massanya. Beberapa PR PKS, diantaranya: pertama, bersikap terbuka atas semua korupsi yang diakukan oleh kadernya. Karena dengan keterbukaan terhadap KPK, PKS tetap mendapat citra sebagai partai yang menabuh genderang terhadap korupsi. Kedua, harus menyediakan stok calon-calon akseptabel sebagai kredibel alternatif. Menuju kontestasi pemilu 2014. Jikalau suaranya ingin dipertahankan seperti sedia kalah. Termasuk perlu melakukan terobosan, dan penetrasi politik, hingga ke tingkat lokal. Sebagai awal mengembalikan kepercayaan kader dan konstituen militannya. Ketiga, mesti berani tampil beda, mengusung calon legislatif dari kalangan kader, bukan caleg karbitan. Apalagi PKS memang terkenal sebagai partai kader (bukan partai massa). Keempat, memulai memeraktikan penyelenggaraan kampanye sederhana, tanpa baliho misalnya. Karena PKS juga dikenal sebagai partai sederhana.

Jika langkah ini berani dilakukan oleh PKS. Praktis publik akan “jatuh hati” pada PKS, dan melupakan dosa-dosa PKS sebelumnya. Bukankah kita semua tahu, kalau bangsa ini adalah bangsa pemaaf dan pelupa. Harapan itu masih ada, karena publik selalu berharap ada partai yang bersih dan peduli. Kemana lagi publik melabuhkan pilihannya. Kalau bukan pada PKS. Semoga!*** 
Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
[Read More...]


Solusi Hukum untuk Susno Duadji



sinarpagiaktual.com
Ibarat bola panas, kasus Susno Duadji semakin menggelinding bak bola liar kemana-mana. Hingga Jaksa Agung dibuat “kerepotan”. Tidak dapat menjalankan eksekusi atas putusan yang telah“mempidanakan” Susno.

Susno dan kuasa hukumnya berdalih bahwa putusan dari tiga pengadilan yang memeriksa kasusnya, batal demi hukum. Pertama, putusan pengadilan tidak mencantumkan perintah untuk tetap menahan Susno, sebagaimana ditentukan Pasal 197 ayat (1) huruf 'k' KUHAP, berakibat putusan batal demi hukum. Kedua, pengadilan keliru dalam menulis nomor putusan kasus Susno.

Hal yang menarik sebenarnya, dari eksekusi yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap kasus Susno. Kejaksaan seolah “terlambat” merespon dan menindaklanjuti putusan pengadilan yang sudah berkekuatan inkracht. Pertanyaan mendasarnya, mengapa kejaksaan baru melakukan eksekusi. Ketika Susno Duadji tercatat sebagai Daftar Calon Sementara, di Partai Bulan Bintang. Partai yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra. Apakah Jaksa telah terseret dalam pusaran intrik politik di tahun politik ini. Yang jelas hukum tetap akan berjalan pada ranahnya sendiri. Janganlah karena permainan “konspirasi” para elit. Sehingga ranah hukum tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa.

Putusan MK ?

Putusan MK yang banyak digunakan sebagai dalih untuk membantah dalih Susno tidaklah beralasan. MK memutuskan bahwa "Pasal 197 ayat (2) huruf 'k' Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum."

Opini yang ditulis oleh Donal Fariz di harian Kompas (1 Mei 2013) seolah membenarkan kejaksaan melakukan eksekusi. Alasannya adalah, putusan MK telah mencabut ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf k. Padahal kalau Donal Fariz jeli tidak mungkin akan berdalih demikian. Bukankah putusan Mk tersebut berlaku prospektif, tidak retrospektif. Putusan atas kasus Susno sudah nyata-nyata diputus oleh MA pada tahun 2011. Dengan demikian argumentasi hukum yang menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-X/2012, tidak berdasar. Lantas, masih adakah solusi hukum yang dapat ditempuh oleh Susno dalam konstruksi hukum acara pidana kita. Dari pada memilih jadi buron dan berada dalam DPO pasca penetapan Jaksa Agung kemarin ?

Solusi

Berdasarkan Surat Edaran Kejaksaan Muda Tindak Pidana Umum Nomor B. 128 E: Tahun 1995. Seorang terpidana dapat memohon penundaan pidana dengan beberapa cara. Pertama secara yuridis, si terpidana dapat mohon penundaan pidana, dengan cara meminta fatwa ke Mahkamah Agung (MA), entah hal itu dilakukan oleh Susno/ kuasa hukumnya. Susno/ kuasa hukumnya, juga dapat berembug bersama kejaksaan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung. Fatwa tersebut bertujuan untuk meluruskan kekeliruan hakim di tiga tingkatan peradilan. Tujuan dari fatwa tersebut bukan hanya Susno dan kejaksaan yang diuntungkan. Tetapi sekaligus Mahkamah Agung dapat mengembalikan kewibawaan kehakiman. Serta mengoreksi kesalahan tersebut. Agar dikemudian hari tidak terjadi lagi.

Kedua, Susno dapat melakukan PK atas adanya kekeliruan Hakim di MA yang tidak cermat untuk memperbaiki putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sebelumnya. Oleh karena Hakim Mahkamah Agung, yang mestinya memeriksa secara judex juris. Sama sekali tidak memperbaiki amar putusan tingkatan pengadilan di bawahnya. Namun cara ini sepertinya Susno dan kuasa hukumnya mungkin “enggan” mengajukan PK. Karena dia sudah diuntungkan dengan putusan penolakan kasasi oleh MA. Saat mengikuti putusan Pengadilan Tinggi dipastikan Susno akan memainkan tafsir gramatikal Pasal 197 ayat 1 huruf k dan ayat 2, yang secara nyata-nyata menguntungkan bagi Susno. Bahwa putusan inkracht yang harus diikuti adalah batal demi hukum. Artinya putusan itu dianggap tidak pernah ada. Otomatis siterpidananya juga gugur perbuatan pidananya.

Selain upaya PK yang dapat ditempuh oleh Susno, juga dapat mengajukan upaya grasi. Lagi-lagi upaya hukum ini, kecil kemungkinan dapat digunakan. Karena Susno bukan terpidana mati. Namun bagi Andi Hamzah (Media Indonesia, 29 April 2013) memberi solusi, upaya yang paling mungkin dilakukan Susno Duadji ialah permohonan grasi kepada Presiden, dengan alasan terjadi ketidakadilan dalam proses penyidikan. Hemat penulis logika hukum yang dibangun oleh Andi Hamzah memungkinkan untuk diterapkan dalam kasus Susno. Karena Sianturi-pun dalam buku “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya” yang ditulisnya, juga mengemukakan bahwa presiden dapat memberikan grasi dengan alasan seandaiya dipandang adanya kekuranglayakan dalam penerapan hukum. Pemeberian grasi tersebut dimaksudkan untuk memperbaii penerapan hukum (1986: 449).

Ketiga, karena alasan prikemanusiaan seperti; hamil tua, sakit keras, gila. Juga seorang terpidana dapat memohon penundaan pidana. Nampaknya cara ini sangat mustahil ditempuh oleh Susno. Karena selama ini beliau sering tampil di media kelihatan sehat-sehat saja dan sama sekali tidak pernah menunjukan dirinya terindikasi sebagai penderita cacat jiwa.

Menjemput Bola

Di sisi lain, tidak dapat juga dibebankan sepenuhnya kepada Susno dan Jaksa Agung agar mengajukan upaya hukum. Dengan harapan putusan pengadilan atas Susno dapat diperbaiki. Karena penyebab utama sehingga putusan nonexecutable, adalah kurang cermatnya hakim pada PN, PT, hingga MA.

Oleh karena itu MA RI lebih elegan kiranya jika dengan sendirinya menjemput bola dan tidak membiarkan eksekusi ini berlarut-larut. Termasuk KY tidak salah, jika dilibatkan ikut menyelesaikan persoalan ini. Bukankah kewenangan KY adalah memelihara dan menjaga harkat dan martabat hakim. Dan bisa ditafsirkan bahwa amar putusan dari sembilan orang hakim di tiga tingkat peradilan tersebut telah melemahkan kewibawaan kekuasaan kehakiman.

Dalam rangka mengembalikan wibawah kehakiman kita, Seyogiayanya MA RI dan KY membentuk tim eksaminasi terhadap putusan PN, PT, dan MA dalam perkara Susno Duadji sebagai pertanggungjawaban dan komitmen kedua lembaga negara tersebut kepada rakyat Indonesia. Bahkan Ketua MA RI, Jaksa Agung, dan Kapolri sepatutnya duduk bersama mencari solusi hukum untuk perkara ini. Agar tidak lagi terulang kasus yang sama dimasa mendatang.***


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com





[Read More...]


Perang Bintang Figur Artis Menuju Senayan




Etape demokrasi menuju senayan. Tinggal menghitung bulan saja. Kira-kira kurang lebih dua belas bulan. Perhelatan menuju kasta legislatif itu. Kian hari makin dekat aromanya tercium dikalangan 14 jumlah partai politik, yang sudah lolos dari “palu godam” verifikasi KPU kemarin.



Gejala tersebut menunjukan, bukan hanya terjadi pertarungan bintang jenderal dari figur militer. Terutama di pertarungan kursi singgasana Capres-Cawapres di tahun politik ini. Tetapi juga terjadi perang bintang selebriti, yang sering tampil dilayar kaca. Entah sebagai penyanyi kondang, bahkan sebagai aktor layar kaca yang pintar “bersilat lidah” di hadapan pemirsa TV.

Sebagian nama-nama itu, selain dipenuhi wajah-wajah artis yang sudah lama “makan garam” di Senayan. Juga diwarnai dengan muka artis yang baru. Dari wajah-wajah tersebut masih dipenuhi dengan tokoh artis berpengalaman. Diantaranya Tantowi Yahya, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Qomar, maupun Nurul Arifin.

Dari kalangan. figur-figur baru dikategorikan sebagai figur “hijau”. Bermunculan nama-nama, seperti Anang Hermansyah dan Ayu Azhari (PAN), Mandala Shoji dan Ridho Rhoma (PKB), Angel Lelga (PPP), Irwansyah (Gerindra), dan Krisdayanti (Hanura).

Kira-kira apa alasannya sehingga banyak partai politik berani “meminang” calon legislatif dari kalangan selebriti, bukan direkrut dari kader partai saja yang bukan artis ? Mengapa pula partai politik lebih senang menobatkan caleg artis “kacang goreng”, padahal tidak punya sumbangsi besar berikut pada partai yang mengusungnya. ?

Sudah jelas, ini semua disebabkan kondisi regulasi partai politik yang liberalistik. Sehingga partai politik lebih ayal “jatuh cinta” pada tingkat popularitas dari pada kapabilitas caleg artis tersebut. Tidak mengherankan jika ada sejumlah pengamat mengusulkan jikalau caleg artis ini mengikuti kursus kilat kepemimpinan. Sebelum bertarung di perhelatan kompetisi politik 2014 nanti.

Permasalahan lain yang menyebabkan sehingga sejumlah partai politik lebih dominan. Merekrut caleg dari kalangan artis. Adalah kondisi sistem partai politik kita yang multipartai dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Akhirnya memaksa semua partai politik mengikuti kurva normal. Hal ini terang benderang diulas oleh Anthony Downs, dalam karya klasiknya, The Economic Theory of Democracy (1957).

Menurut Downs (dalam Burahnuddin Muhtadi: 2013) sistem multipartai ekstrem yang dipengaruhi pendekatan kompetisi elektoral, partai-partai cenderung mengarah ke catch all party, meraup semua segmen pemilih sembari menjauhi pemilih ekstrem yang berjumlah sedikit. Partai dimungkinkan menang justru ketika mereka bermigrasi ke tengah (flight to the center) dan mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka. Pemilih bergerak ke tengah karena dalam sistem multipartai yang terlalu ekstrem, positioning dan diferensiasi ideologis tidak terlihat sempurna.

Krisis ideologi terhadap partai politik tersebut. Pada akhirnya partai menjadi “emoh” dan tidak peduli lagi caleg mesti berasal dari kader. Partai politik lebih mengutamakan caleg pemberi insentif suara, dari pada mempertahankan ideologi mereka. Di posisi inilah artis yang tidak punya garis ideologi, artis melek politik. Mendapat tempat mulia dari partai politik yang sudah amnesia akan garis ideologinya.

Tipologi Caleg Artis

Sah-sah saja jika artis berlomba-lomba masuk di panggung politik. Namun yang perlu menjadi bahan renungan kita bersama. Apakah caleg dari kalangan selebriti itu, memiliki integritas, kredibilitas, dan akseptabilitas sebagai representasi politik rakyat nantinya ? Atau dalam bahasa yang sederhana, Apakah kita membutuhkan caleg sebagai calon pejabat publik berkapasitas sebagai wakil rakyat benaran ? Bukan calon wakil rakyat ibarat kita “dipaksa” memilih kucing dalam karung.

Menurut John Street (2012: 347) tipologi caleg artis dalam ilmu politik dapat dipetakan dalam beberapa tipe. Diantaranya selebritas advokat, selebritas aktivis, selebritas politikus, politikus selebritas, dan selebritas endorser.

Baik selebritas advokat maupun selebitas aktivis merupakan caleg artis dambaan. Oleh karena artis yang terjun dalam dunia politik. Ditunjang nilai plus bakat mereka. Untuk melakukan gerakan sosial sekaligus perubahan. Tipologi ini bisa diamati pada kinerja Rieke Diah Pitaloka yang concern terhadap buruh dan kekerasan perempuan. Begitu juga Reni Djayusman yang artis sekaligus aktivis Granat (Gerakan Anti-Narkotika). Termasuk artis cantik senior, Nurul Arifin yang vokal terhadap masalah otonomi daerah,

Sementara selebritas politikus dimaknai sebagai caleg artis karena ingin mengubah jalan hidupnya. Akhirnya memutar haluan, mencari nakah dari panggung hiburan bergeser ke panggug politik.

Ada juga artis masuk dalam dunia politik hanya bertujuan mengembalikan ketenarannya. Cuma jalan yang dipilihnya bukan lagi dilayar kaca, tetapi dilayar politik, tipologi ini adalah politik sebritas.

Terakhir, selebritas endorser adalah caleg artis yang sengaja dimanfaatkan popularitasnya oleh partai politik. Sebagai vote getter dalam pemilu legislatif. Tidak lain tipologi caleg artis tersebut. Dijadikan penarik simpati publik, guna mendulang insentif suara pada pemilu mendatang. Dengan harapan dapat menambah jumlah kursi di parlemen.

Perang Popolaritas

Persoalan populer atau tidak bagi caleg artis dipanggung politik. Bukan lagi menjadi lahan perdebatan bagi partai politik pengusung. Tidak dapat dipungkiri, dengan modal popularitas dijagat hiburan, perfilman, hingga panggung bioskop. Merupakan modal awal bagi caleg selebriti untuk menghentak panggung Senayan.

Tapi lagi-lagi, panggung politik bukan ajang jual tampang dan cantik saja, selayaknya di jagat hiburan. Kompetisi di dunia selebriti tidak berbanding lurus dengan kompetisi meraih simpati ceruk pasar pemilih. Boleh saja sang artis pernah dinobatkan sebagai pemenang Amy Ward misalnya. Aktris dan aktor terbaik versi pemirsa. Ataukah terpilih sebagai penyanyi top.

Medan laga politik bukan hanya dengan modal dikenal. Dapat meraih elektabilitas alias tingkat kedipilihan yang tinggi nantinya. Rumusnya adalah 3D: dikenal (popularitas), disuka (likeability), dan dipilih (elektabilitas).

Dari segi popularitas boleh saja merupakan nilai tambah bagi caleg artis. Tapi dari perspektif tingkat kedikenalan, tidak semua artis dikenal dengan popularitas yang baik. Mestinya, caleg artis juga ditunjang oleh integritas, kapasitas dan kapabilitas. Sebagai calon credible alternative.

Tentunya, artis senior yang banyak makan garam kemarin. Caleg artis hijau alias pemula ini. Dapat belajar pada mereka yang sudah terbukti sebagai selebritas advokat maupun selebritas aktivis.***
 
 
oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors