Keberlakuan Hukum (di mata Kelsen)



Hukum akan menjadi benda “mati” jika tidak memiliki daya atau kekuatan berlaku. Oleh karena itu Hans  Kelsen sebagai pemikir positivisme hukum sangat menekankan pentingnya, agar hukum itu dipisahkan dari anasir-anasir ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi dan politik.

Kelsen  membedakan antara keberlakuan hukum dan validitas hukum. Elemen paksaan yang ada dalam hukum bukan merupakan psychis compulsion, tetapi fakta bahwa sanksi sebagai tindakan spesifik oleh aturan yang membentuk hukum. Elemen paksaan relevan hanya sebagai bagian dari isi norma hukum bukan sebagai suatu proses pikiran individu subjek norma. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem moral. Apakah seseorang sungguh-sungguh menaati hukum untuk menghindari sanksi aturan hukum itu atau tidak berkenaan dengan keberlakukan hukum.

Sementara validitas hukum menurut Kelsen adalah eksistensi norma secara spesifik. Norma dikatakan valid jika ia merupakan bentuk pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma tersebut mempunyai kekuatan mengikat (binding force) melalui tekanan sanksi terhadap seorang yang perbuatannya diatur, diperintahkan atau dilarang. Aturan adalah hukum. Dan hukum yang valid adalah norma. Hukum adalah norma yang memberikan sanksi.
Pendapat  yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arief Sidharta (2007), bahwa antara validitas (keabsahan/ geldigheid/ validity)  dan keberlakuan (gelding) itu berbeda. Validitas berkenaan dengan hukum berpikir logis atau kaedah logika. Sementara keberlakuan berkenaan dengan hukum berpikir yang legalis. Dalam konteks “keberlakuan hukum” memang ada gejala-gejala tertentu yang dapat diamati seperti perilaku pejabat, perilaku penegak hukum, dokumen-dokumen, perundang-undangan dan vonis hakim dalam suatu kerangka khusus yang dipahami sebagai suatu referensi khusus dipahami sebagai hukum.
Dari sini tampak bahwa hukum juga merupakan ciptaan pikiran. Keberlakukan normatif dari hukum juga hanya sebagai demikian dapat dimengerti dan dipikirkan. Ia tidak pernah sebagai demikian dapat ditemukan dalam kenyataan. Kenyataan merupakan hal yang dipikirkannya. Dengan demikian pada keberlakuan hukum berlaku preposisi empirik atau informatif.
Lain halnya yang dikemukakan oleh Ulrich klug, ada 9 kategori keberlakuan, diantaranya:
  1. Keberlakuan yuridis, keberlakuan ini mirip dengan positivistik sebagaimana  yang dikemukakan oleh Kelsen.
  2. Keberlakuakn etis, keberlakuan yang terjadi jika sebuah kaedah hukum memiliki sifat kaedah yang mewajibkan.
  3. Keberlakauan ideal, keberlakuan kategori ini dapat terwujud jika kaedah hukum bertumpu pada kaedah moral yang lebih tinggi.
  4. Keberlakuakn riil. Keberlakuan yang terwujud  dari suatu kaedah hukum yang berperilaku dengan mengacu pada kaedah hukum itu.
  5. Keberlakuan ontologis, merupan keberlakuan hukum yang akan kehilangan maknanya jika kaedah hukum dipositifkan oleh pembentuk undang-undang yang mengabaikan tuntutan fundamental dalam pembentukan aturan.
  6. Keberlakuan sosio relatif, suatu kaedah hukum hukum yang tidak memiliki kekuatan berlaku atau kekuatan berkelakukan secara yuridis, etis, dan riil namun masih menawarkan sesuatu kepada para teralamat atau subjek tertuju.
  7. Keberlakuakn dekoratif, keberlakuan kaedah hukum yang memilki fungsi sebagai lambang.
  8. Keberlakaun estetis, keberlakuan pada sauatu kaedah hukum yang memilki elegansi tertentu.
  9. Keberlakukan logical, suatu kaedah hukum yang secara internal tidak bertentangan, memilki keuatan keberlakuan logikal.


[Read More...]


Hantu-Hantu Keadilan




Apa yang terjadi ketika media telah “mengokupasi” prosedur pemeriksaan atas tersangka yang telah dibacakan tuntutannya oleh seorang Jaksa di Pengadilan ? lalu media mempertontonkan aksi-aksi heroik para Penyelidik dan Jaksa yang akan menyeret sang Koruptor ke buih karena tindakan yang dianggap “menilap” uang rakyat dalam jumlah ratusan miliar rupiah.
 Dahulunya, santer dikenal pengadilan jalanan. Di era hukum postmodern, Pengadilan bukan lagi diambil alih melalui sikap main hakim sendiri oleh aktor-aktor sosial yang tak percaya hukum.
Jika Pengadilan jalanan menghakimi Pencuri ayam. Maka pengadilan media memiliki juga peran, identik dengan “pengadilan jalanan” tetapi pengadilan yang sedang berlangsung oleh media adalah pengadilan kebohongan (lie court) pengadilan kepura-puraan (as if), pengadilan artifisial (pseudo court). Media tidak akan pernah memiliki kekuatan eksekusi  “berkekuatan hukum tetap”_krachht van gewijsde.
Media telah menjadi tontonan menarik laksana ruang-ruang pengadilan. Di dalam sebuah diskusi editorial “Nazar Sasar Pejabat” media mengambil alih peran Pengadilan. Media mampu menghadirkan seorang Jaksa, Pengacara, dan Hakim. Masing-masing  personalitas hukum dapat mengajukan argumentasi hukum, sehingga seorang terdakwa seperti Nazar bisa lepas/ bisa dipidana, dan bisa dipenjara/ bisa menjadi saksi wisthblower.
Hukum dan keadilan bukan lagi milik institusi-institusi hukum (baca: Pengadilan) tetapi milik media. Publik sudah terlanjur percaya pada media, sehingga institusi hukum tak ada lagi yang dipercayai oleh publik. Institusi-institusi hukum secara sadar telah menggadaikan barang “keadilan” kepada media melalui permainan citra (image) dan tanda (sign) yang bersifat sementara.
Kini yang disaksikan melalui permainan bahasa media_language game. Hukum sengaja dibuat dalam bahasa yang bias, seperti: akan diselidiki, akan diusut tuntas, aparat hukum telah sungguh-sungguh mengadakan pemeriksaan, bahwa Kejaksaan Agung telah serius dalam penyelidikan, bahwa KPK tidak sama sekali menemukan alat bukti yang terang benderang terhadap kasus Century.
Hukum bagai teater keadilan. Sulit mengharapkan keadilan yang asli. Semuanya serba keadilan yang semu, keadilan artifisial. Hukum bagai simulasi “hantu-hantu” keadilan, yang tidak ada bedanya dengan aksi teaterikal. Nyata, tapi itu hanya ciptaan/ rekaan imajinasi sang “Sutradara”.
Hukum yang dijalankan oleh media, adalah sebuah “hibridisasi” antara keaslian dan kepalsuan. Hukum dikaburkan dengan image dan dan tanda-tanda semiotik. Sehingga tak pelak untuk mengatakan hukum yang diperankan oleh media telah menjadi “hantu-hantu”  bagi publik yang sulit ditentukan antara benar/ salah, Penjahat/ Pahlawan. Tanda-tanda kejahatan disubtitusi dengan tanda-tanda yang lain, seperti kejahatan palsu, pelaku palsu, barang bukti palsu. Dan lama kelamaan akan menggiring pada keadilan palsu_pseudo justice.
Hantu-Hantu Keadilan
Hantu-hantu keadilan adalah istilah metafora yang digunakan untuk pelaku kejahatan dalam menyembunyikan kejahatan, sehingga pelaku kejahatan (dader intelectual) dapat memutus rantai kejahatannya.
Hantu mampu hadir secara faktual (factual) namun ia tidak mampu hadir secara nyata (real), atau dengan kata lain ia tidak bisa eksis mengikuti hukum Newton (gaya & atom). Karena fakta-fakta hukum merupakan permainan citra dalam rangka menyembunyikan kebenaran, maka yang terjadi adalah “hantu-hantu keadilan” atau dalam bahasa Yasraf Amir Piliang (2009) dalam bukunya “Postrealitas” sebuah “fatamorgana keadilan.”
Hantu-hantu keadilan adalah para pelaku kejahatan, seperti korupsi, penculikan, pembunuhan, pembantaian, penembakan siluman, mampu memutus rantai kejahatan dengan aksi dan berbagai macam cara.
Dengan kuasa, bahasa, dan persepsi telah menggiring hukum bagai aksi teater permainan citra (image), tanda (sign), ataukah mengarahkan ke “mutasi isu hukum” lain yang lebih menarik.
Hukum hadir dalam wujud citra dan tanda-tanda yang tak rasional. Namun nyata hadir untuk sementara, menghantui barang sakral milik hukum “keadilan”. Akhirnya, hukum yang telah dipermainkan oleh penjahat dengan simulasi “hantu-hantu keadilan”(-nya) kejahatan telah menjadi sempurna_the perfect crime, untuk menipu harapan publik. Terhadap harapan bahwa semua kejahatan akan selesai diproses berdasarkan hukum yang berlaku (due process of law). Namun selesainya, hukum menuju keadilan hanya sebatas harapan, mimpi dan janji-janji artifisial saja. Entah kapan !
[Read More...]


Penunjukan Kembali (Terugwijzing)



Apa yang menyebabkan sehingga dalam suatu negara terhadap warga negara yang berada dalam suatu negara tertentu, saling lempar tanggung jawab, terhadap permasalahan hukum yang dihadapi oleh warga tersebut, terutama Hakim yang mengadili kasusnya ?
Hal tersebut disebabkan berkenaan dengan status personil yang ditentukan menurut prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Berhubungan dengan adanya dua sistem yang masing-masing berbeda ini maka timbullah renvoi atau penunjukan kembali.
Di indoenesia istilah yang dipakai untuk renvoi adalah penujukan kembali. Istilah-istilah lain seperti renvoi au premier degree atau partial or single renvoi_Perancis, Ruckverweisbung_Jerman, Renvoi ersten Grades, Remission, “remitting” reference back remittal (Inggris, USA), Rinvio Indrieto (Italia), terugwijzing, terugverwijzing (Belanda). 
Sementara istilah penunjukan lebih jauh sebagai pembagian renvoi selain penunjukan kembali diistilahkan renvoi au second degree (Perancis), transmission (anglo saxon), wei-terverweisung, “renvoi emeiten grades (Jerman), verderverwijzing (Belanda).
Dalam teori Hukum Perdata Internasional suatu kaidah HPI (choice of law rule) pada dasarnya dibuat untuk menunjuk (aanwijzen) ke arah suatu sistem hukum tertentu, sebagai sistem hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan masalah HPI yang sedang diahadapi (the applicable law in a given case).
Apa yang dimaksud menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu itu? Pertanyaan semacam itu  timbul karena dalam kenyataan orang dapat melakukan penunjukan dengan dua pengertian yang berbeda yaitu:
1.   Penunjukan ke arah kaidah-kadiah hukum intern (sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukan semacam ini dalam bahasa jerman dinamakan sachnormenverweishung.
2.   Penunjukan ke arah keseluruha sistem hukum tertentu, yang artinya, prima facie adalah kaidah-kaidah HPI (Kollisionsnormen) dari sistem hukum tersebut. Penunjukan semacam ini dinamakan gesamtverweisung.
Renvoi hanya mungkin terjadi bila penunjukan oleh kaidah-kadiah HPI lex fori keseluruh sistem hukum yang bersangkutan (gesamtverweisung). Mungkin terjadi maksudnya, hanya terjadi apabila kaidah-kaidah HPI asing itu menunjuk lagi ke arah suatu sistem hukum ke tiga.
Namun renvoi baru dianggap diterima jika hakim (lex fori) menganggap bahwa penunjukan kembali oleh kaidah HPI asing itu diarahkan ke kaidah-kaidah hukum intern lex fori (sachnormverweisung)
Dalam hukum perdata internasional ada dua kemungkinan renvoi diantaranya:
1. Penunjukan kembali (remission, ruckverweisung, terugverwijzing) yaitu penunjukan oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori.
2.Penunjukan lebih lanjut (transmission, weiterver-weisung, verderverweijzing). Dalam hal ini kadiah HPI asing yang telah ditunjuk oleh lex fori tidak menunjuk kembali ke arah lex fori, tetapi menunjuk ke arah sistem hukum asing lain.
The Forgo Case (1883)
Forgo adalah seorang yang berwarga negara Bavaria (Jerman), ia berdomisili di Prancis sejak berusia lima tahun tanpa memperoleh kewarganegaraan Prancis. Kemudain Forgo meninggal dunia di Prancis secara ab intestatis (tanpa meninggalkan testamen), di mana sebelumnya Forgo adalah seorang anak luar kawin yang telah meninggalkan sejumlah barang bergerak di Prancis. Akhirnya perkara pembagian harta warisan Forgo di ajukan di depan pengadilan Prancis
Permasalahannya adalah berdasarkan pada hukum mana pengaturan pembagian warisan itu dilakukan ? berdasarkan hukum Bavaria ataukah hukum Prancis. Oleh karena kaidah HPI lex fori Perancis menegaskan “persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari tempat di mana pewaris menjadi warga negara.” Sementara Forgo sendiri berasal dari warga negara Bavaria  yang menurut versi HPI Prancis. Kaidah HPi Bavaria menegaskan bahwa “pewarisan benda-benada bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris bertempat tinggal sehari-hari (habitual residence).
dengan mekanisme renvoi Proses penyelesaian masalah tersebut di atas melalui beberapa tahap:
1.    Pada tahap pertama hakim Prancis melakukan penunjukan ke a rah hukum Bavaria sesuai perintah kaidah HPI Prancis.
2. Tampaknya hakim Prancis menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung sehingga meliputi pula kaidah-kaidah HPI Bavaria.
3.   Sementara kaidah HPi Bavaria yang menyangkut pewarisan benda-benda bergerak, menetapkan bahwa hukum yang harus digunakan untuk mengatur hal itu adalah hukum dari tempat tinggal si Pewaris. Jadi kaidah HPI Bavaria menunjuk kembali ke arah hukum Prancis (hukum dari tempat kediaman tetap si Pewaris). Pada tahap ini baru dapat dikatakan terjadi renvoi.
4.    Hakim Prancis ternyata kemudian menganggap bahwa “penunjukan kembali” oleh kaidah HPI Bavaria sebgai suatu sachnormverweisung (penunjukan ke arah kaidah-kaidah hukum intern Prancis) dalam teori HPI sikap hakim lex fori ini dikatakan menerima renvoi.
Beradasarkan anggapan hakim tersebut, hakim lalu memberlakukan kaidah hukum waris Prancis dan pada akhirnya saudara-saudara Forgo tidak bisa mendapatkan harta warisan, oleh karena aturan HPI yang berlaku adalah HPI Prancis. Dan HPI Prancis akhirnya memutuskan terhadap harta Forgo jatuh ke tangan pemerintahan Prancis.
[Read More...]


Konsep Hukum dalam Metode Penelitian Hukum



Radbruch (1950: 148) membedakan dua jenis konep hukum  yakni konsep yuridis relevan (legally relevant consept) dan konsep hukum asli (genuine legal concepts).[1] Konsep hukum asli selanjutnya disebut sebagai konsep hukum. Konsep yuridis relevan merupakan konsep komponen aturan hukum khususnya konsep yang digunakan untuk memaparkan situasi  fakta dalam kaitannya dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan dengan interpretasi, misalnya konsep fakta seperti benda membawa pergi atau mengambil, tujuan atau maksud (intensi). Sementara konsep hukum (genuine legal concepts) adalah konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum (misalnya konsep hak, kewajiban, hubungan hukum, lembaga hukum, perikatan, perkawinan, waris dan jual beli).
Dari konsep hukum di atas maka dikenal lima tipe kajian dalam penelitian hukum. metode penelitian hukum adalah fungsi konsep {M=f (K)}. kelima metode kajian tersebut adalah sebagai berikut[2]:
1.    Tipe kajian filsafat hukum yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. Tipe kajian ini berorientasi kefilsafatan, dengan  menggunakan metode logika-deduksi dari premis normatif yang diyakini bersifat self-evident.
2.   Tipe kajian hukum murni yang mengkaji “law as it is written in the books” yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Berorienrasi positivistis, dan menggunakan metode doktrinal bersaranakan logika deduksi untuk membangun sistem hukum positif.
3.   Tipe kajian American sociological jurisprudence yang mengkaji law as it is by judges through judicial process, yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan tersistematisasi sebagai judge made law. Berorientasi behavioural dan sosiologik serta menggunakan metode doktrinal dan nondoktrinal bersaranakan logika induksi untuk mengakaji “court behaviours”.
4.   Tipe kajian sosiologi hukum yang mengkaji “law as it is an society” yang bertolak dari pada pandangan bahwa hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembaga dan eksis sebagai variable sosial yang empirik. Berorientasi struktural, dan menggunakan metode sosial/ nondoktrinal dengan pendekatan struktural/ makro dan umumnya kuantitatif.
5.    Tipe kajian sosiologi dan/ atau antropologi hukum yang mengkaji law as it is in (human) action, yang bertolak dari pandangan bahwa hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka. Berorientasi simbolik interaksional, dan menggunakan metode sosial/ nondoktrinal dengan pendekatan interaksional/ mikro dengan analisis kualitatif.
Tiep kajian hukum (1) (2), dan (3) berada dalam tipe penelitian hukum yang mengacu konsep hukum sebagai kaidah yang disebut penelitian normatif. Metodenya disebut dengan metode doktrinal-monologik yang bertolak dari kaidah  sebagai ajaran yang mengkaidahi perilaku. Tipe kajian hukum yang mengacu konsep hukum sebagai kaidah dan metode doctrinal adalah metode yang digunakan dalam kegiatan pengembanan teori hukum dan ilmu hukum.
Tipe kajian hukum (5) dan (6) termasuk penelitian hukum yang mengacu konsep hukum sebagai proses atau perilaku yang berulang setiap kali terjadi hal yang sama, yang disebut penelitian sosial atau penelitian empirik. Hukum bukanlah kaidah, melainkan sebagai regularitas atau keajegan perilaku yang berpola. Metodenya disebut metode nondoktrinal nomologik. Metode ini digunakan dalam penelitian sosial terhadap kaidah hukum yang digunakan dalam disiplin hukum yang bersifat empiris seperti sosiologi hukum, dan antropologi hukum.


[1] Gustav Radbruch, Legal Philosophy, 1950, hal. 148.
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi, dalam Jurnal Masyarakat Indonesia, Tahun 1 No 2. 1974,  hal. 89 s/d 98.
[Read More...]


Hukum Antar Tata Hukum



Saat ini Hukum Perdata Internasional (disingkat HPI) atau seting disebut sebagai hukum antar tata hukum (HATH)Njarang menjadi kajian menarik oleh para ahli hukum. Salah saatu alasan yang menyebabkan, sehingga Hukum Perdata Internasional kurang menjadi kajian menarik pasca Penulis utama sekaliber Sudargo Gautama (Raja HPI). Karena Hukum Perdata Internasional sebenarnya bukan dalam klasifikasi Hukum Publik Internasional (seperti: hukum kejahatan internasional_Romli Artasasmita). Bahkan sejak awal, materi Hukum Perdata Internasional, selalu dikatakan bidang kajian hukum yang mengalami contradiction inter minenis_pertentangan di dalam istilah itu sendiri. Mengapa ?
Pertama, yang menjadi pertanyaan, mengapa dikatakan hukum perdata yang internasioanal padahal ia bersifat keperdataan (privat) ? Kedua, seringkali Hukum Perdata Internasional diikuti dengan term negara seperti Hukum Perdata Internasional Indonesia. Mengapa mengikutkan kata negara sebagai nation, jika demikian berarti menyangkut dalam negeri saja, bukan luar negeri ?
Jawaban dari kedua pertanyaan itu, hingga tidak salah untuk mengatakan bahwa Hukum Perdata yang Internasional tetap layak digunakan leter internasional sebagai salah satu istilah dalam kajian Hukum Perdata. Dikatakan internasional karena leter internasional bukan diartikan sebagai law of nation melainkan hukum internasional itu diartikan sebagai ada unsur luar negerinya. Ada unsur dari luar. Ada unsur asingnya (foreign element). Atau dengan kata lain bukan sumber-sumbernya yang bersifat internasional, tetapi hubungannya adalah Internasional.
Terlepas dari penamaan Hukum Perdata Internasional sering dikatakan sebagai hukum perselisihan (conflict of law)[1], oleh karena ada dua kepentingan hukum yang dipertentangkan. Menarik untuk melihat ruang lingkup keberlakuan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Logeman dan Kelsen.
Logeman berbicara ruang lingkup keberlakuan hukum dalam kaitannya dengan  gebeiden atau lingkungan kekuasaan hukum dari pada ambten (jabatan-jabatan). Demikian halnya Kelsen menggunakan istilah daya keberlakuan hukum dalam kaitannya dengan “norma-norma hukum” yakni kata gebeidsleer.
Kelsen membagi lingkungan kekuasan keberlakuan hukum dalam empat kategori berlakunya hukum, yakni lingkungan kuasa waktu (W; the sphere of time), lingkungan kuasa ruang atau tempat (T; territorial sphere/ sphere of space), lingkungan kuasa orang/ pribadi (P; personal sphere) dan lingkungan kuasa soal-soal (S; material sphere).
Keempat pembagian daya keberlakuan hukum tersebut tidak jauh berbeda dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Logeman yakni lingkungan kuasa waktu_tijdsgebeid, lingkungan kuasa tempat_ruimtegebeid, lingkungan kuasa pribadi, lingkungan kuasa orang-orang dan lingkungan kuasa soal-soal (zakengebeid). Tiap-tiap norma hukum berlaku untuk waktu tertentu, mengenai tempat tertentu, mengenai orang/ pribadi tertentu,  dan mengenai soal-soal tertentu.
Dalam Hukum Perdata Internasional, untuk mengenal dan  memahami materi ruang lingkupnya, akar utamanya (rasion de etre-nya)  berdasarkan pada daya keberlakuan hukum tersebut.
Hukum Perdata Internasional atau lazim disebut sebagai hukum antar tata hukum ekstern berada pada skema Hukum Antar Tempat (HAT), karena pada skema ini ruang keberlakukan hukum pada waktu yang sama tetapi tempat, person dan soal hukum yang berbeda. Sementara untuk hukum antar tata hukum yang intern (bukan dalam pengertian atau bahagian kajian HPI) ciri khasnya; yakni, tempatnya sama dan daya keberlakuan (waktu, person, dan soal) berbeda. Satu lagi bagian dari skema Hukum Antar Tata Hukum Intern yakni pada skema Hukum Antar Golongan (termasuk juga Hukum Antar Agama) yang waktu dan tempatnya sama (sementara person dan soal/ materi hukum berbeda).
Kesimpulan akhir Hukum Perdata Internasional yang ditarik dari daya keberlakuan hukum tersebut di atas bahwa Hukum Perdata Internasional menekankan perbedaan pada lingkungan kuasa tempat dan soal-soal atau materi dalam sistem suatu negara dengan negara lain (memilki unsur luar negeri/ unsur asing; foreign element).
 Lengkapnya, Hukum Perdata Internasional merupakan keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu (yang sama: Pen.)[2] memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan   _kuasa_tempat, (pribadi_) dan soal-soal (S. Gautama, 1987: 18)


[1] Menurut S. Gautama Kata yang tepat untuk HPI adalah Hukum Antar Tata Hukum  (HATH) bukan konflik hukum (conflict of law). Bandingkan dengan tulisannya Bayu Seto “Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional”; Wirjono Projodikoro “Asas-Asas Hukum Perdata Internasional.”
[2] Menurut penulis dalam waktu yang sama memperlihatkan pertalian itu yang dimaksud di sini adalah ketika muncul peristiwa hukum akan tuntutan salah satu hak oleh subjek hukum yang satu terhadap subjek hukum yang lain.
[Read More...]


Hukum Pembangunan diantara Pengamat Hukum & Partisipan Hukum



Ada tiga tataran abstraksi refleksi teoritikal atas gejala hukum, yaitu ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Namun filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembangan hukum teoritikal maupun hukum praktikal. Dalam konteks pengembangan hukum praktikal atau hukum kasus, dikenal tiga bentuk pengembangan hukum, yaitu: pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Tema terpenting dari filsafat hukum berkaitan erat dengan hubungan korelatif antara hukum dan etika. Filsafat hukum merefleksikan secara sistematik tentang kenyataan hukum.
Filsafat hukum dalam kaitannya dengan etika dan moral berada dalam tataran ide, konsep dan cita hukum. Kerja kerasnya dari penalaran dalam filsafat hukum (hukum penalaran/ penalaran hukum_Sidartha) memberi sumbangsi besar terhadap esensi dari hukum, agar dapat diterima oleh kalangan umum. Sementara hukum yang dipahami sebagai fakta-fakta sosial jelas akan melibatkan kalangan peneliti hukum dari sudut eksternal.
Peneliti hukum dari sudut eksternal yakni melibatkan peneliti hukum yang meletakkan “hukum” sebagai objek dari kacamata sosial, terlepas dari sudut pandang hukum yang perskriptif. Peneliti hukum dari sudut eksternal tersebut melibatkan peneliti sosial dengan pendekatan sosiologi, psikologi, antropologi dan politik. Kerja penstudi hukum ini mengamati (observer) hukum sebagai objek yang bebas nilai, tanpa terikat pada seperangkat kaidah-kaidah, asas-asas, dan aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga personalitas (baca: pejabat/ ambtenaar/ rechtspraak) hukum, sebagai kaidah yang menjadi presedent bagi pejabat yang akan menerapkan aturan (baca: pasal) pada kasus yang sama. Konsistensi pejabat hukum untuk menerapkan aturan dan kaidah yang sama tidak mengikat bagi peneliti hukum dari kalangan ilmuwan sosial tersebut untuk menganggap hukum akan berjalan/ tidak sebagaimana yang tertera dalam teks undang-undang (law in book).
Peran peneliti ilmu sosial sebagai alat bantu untuk menemukan hukum yang pro-rakyat, tidak dapat diabaikan, oleh karena salah satu dari prinsip negara hukum (rechstaat/ rule of law) adalah menjamin perlindungan HAM, perlakuan yang sama di depan hukum, peradilan yang mandiri, bebas dan tidak memihak. Karena itu Sumbangan para penstudi hukum eksternal[1] tetap diperhitungkan sebagai pembentukan kaidah-kaidah menuju pembaharuan hukum.
Pembaharuan hukum sebagai terjemahan bebas dari a tool as social engineering (Roscoe Pound_mazhab sosiologi hukum/ sociology of law) berkali-kali dari kalangan ilmuwan dan filsuf hukum ingin “membumikan” konsep keadilan dalam dinamika hukum pada masyarakat setempat. Pada tataran ini keadilan yang ingin dibumikan merupakan kerja seorang penstudi hukum. Tampaknya konsep hukum pembangunan berfungsi sebagai pengamat sekaligus partisipan hukum.


[1] Dalam penjelasan Sidharta, di ringkasan disertasinya, Penstudi hukum eksternal digolongkan sebagai peneliti ilmu emprik yang berobjekkan hukum (bukan hukum empirik sebagai pembagian dari lapisan ilmu hukum)
[Read More...]


Kedaulatan Lingkungan



Hampir semua literatur atau kajian hukum ketatanegaraan memaparkan teori kedaulatan sebagai tonggak utama berdirinya suatu negara. Kita dapat menemukan beberapa jenis kedaulatan. Seperti, kedaulatan Tuhan, kedaulatan kerajaan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.
Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 merupakan ciri khas dari lahirnya kedaulatan dalam konsepsi kenegaraan.
Konsep negara hukum yang menempatkan prinsip equity sebagai salah satu bukti, konstitusi menganut kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat terkait dengan prinsip demokrasi. Kedaulatan kerajaan terkait dengan monarki. Kedaulatan tuhan terkait dengan teokrasi. Kedaulatan hukum terkait dengan prinsip nomokrasi, bahkan nomokrasi sering disejajarkan dengan terminologi negara hukum (rechstaat).
Lantas, bagaimana dengan kedaulatan lingkungan ? Apakah diakui keberadaannya sebagai salah satu teori yang mutlak diintegrasikan dalam konstitusi, dibandingkan  kedaulatan lainnya ? Nampaknya Prof. Jimly Asshiddiqie, sadar betul dengan teori kedaulatan lingkungan. Hasil dari buah tangan dan kerja keras Prof Jimly menginventarisasi beberapa konstitusi negara di dunia, seperti Portugal, Spanyol, Polandia, Prancis dan Ekuador. Disimpulkan bahwa hampir semua dari konstitusi tersebut mencantumkan “hak-hak dasar dibidang lingkungan”, sehingga kata yang dapat mengakomodasi semua konstiusi tersebut adalah “green constitution” atau konstitusi hijau.
Digunakannya term “hijau”, karena pemahaman semiotic, tanda (sign), dan simbol-simbol lingkungan yakni warna hijau. Bukankah warna dari pohon, hutan belantara, dan daun-daun pepohonan dominan adalah warna hijau yang mencolok. Demikianpun kebijakan lingkungan untuk memperbaiki kondisi hutan, maka sering didengar istilah penghijauan.
Pemenuhan hak-hak lingkungan relevan dengan lingkungan itu sendiri. Lingkungan diistilahkan sebagai ecology. Jadi, kalau mau ditarik dalam teori kedaulatan lingkungan maka ia terkait dengan ekokrasi. Disamping itu, dalam studi keagamaan sudah lama dipopulerkan oleh Abdul Munir Mulkhan (2007) kata teosentris dan antrhoposentris, olehnya itu tak salahlah kiranya jika ecology disepadankan dengan aspkek batin dari masing-masing “subjek”  hukum tersebut. Manusia telah diakui sebagai subjek hukum, begitupun Tuhan dalam tulisan Jerome Frank “law and modern Mind” juga telah dicoba disepadankan sebagai “sang ayah”, direduksi dalam profesi “hakim” yang melindungi banyak kepentingan. Terlebih “lingkungan hidup” sudah semestinya diakui sebagai “subjek Hukum”.
Dalam tataran filsafat (read: filsufis), dapat diterapkan kebijakan lingkungan sebagai salah satu hak dasar yang mesti dijamin dalam konstitusi, karena terbukti kedaulatan lingkungan itu, terakui ada. Tuhan, manusia dan lingkungan ditempatkan dalam tataran yang sama. Menciptakan harmonisasi diantara ketiga “subjek hukum” tersebut adalah salah satu perwujudan keadilan tertinggi dalam filsafat hukum.
Tataran filsufis hanyalah “ide, konsep, dan belum berjalan dalan tataran praktik” oleh karena itu patut diapresiasi perjuangan Clare Kendall dari the Guardian Inggris pada 24 September setelah membumikan hak-hak lingkungan ini dalam sebuah tulisan “a new law of nature: equador next week Votes on giving legal right to rivers, forest and air. Is this the end of damaging development ? the word is watching.” Inilah pertama kalinya undang-undang dasar suatu negara memberikan hak hukum kepada sungai-sungai, hutan-hutan, udara yang mau tidak mau harus diperhitungkan dalam lalu lintas hukum.
Konstitusi Lingkungan
Bagaimana dengan penerapan hak lingkungan itu di negara kita ? Prof. Jimly mengatakan bahwa konstitusi kita sedikit hijau jika dibandingkan dengan negara seperti Ekuador dan Prancis yang sangat mengutamakan pelayanan hak-hak lingkungan bagi warga negaranya. Hak-hak lingkungan dalm konstitusi kita tampak dalam Pasal 28 h ayat 1 yang menentukan “setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Konstitusi kita sudah secara tegas mengakui hak-hak dasar untuk lingkungan yang sehat. Artinya negara sudah mesti melindungi warga negaranya dari lingkungan yang tidak sehat. Lalu, mengapa masih banyak diantara warga negara ini diabaikan hak-haknya dalam bidang lingkungan. Mari kita tengok kasus Lumpur Sidoajo, Teluk Buyat, PT Freeport. Disanalah terbukti negara ini telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya. Negara di bawah pemangku kekuasaan hukum, nyatanya telah bersikap abai terhadap kepentingan dan hak-hak warga negaranya.
Boleh jadi di satu sisi “budaya para penegak hukum kita yang apatis” namun di sisi lain memang undang-undang di bidang lingkungan hidup ini masih jauh dari  harapan. Masih perlu peningkatan derajat terhadap hak lingkungan dalam konstitusi kita_green constitution. Demikian juga UU lingkungan hidup (UU No 32 Tahun 2009) masih perlu direvisi melalui harmonisasi dengan UU di bidang sektoral lingkungan hidup, seperti UU Pertambangan Minerat dan Batu Bara, UU Kehutanan, dan UU Migas, agar pemenuhan hak-hak di bidang lingkungan oleh negara terhadap warganya dapat terpenuhi.
UU lingkungan hidup sudah selayaknya menjadi payung hukum (umbrella act) terhadap UU sektoral lingkungan hidup. Pertanyaannya sekarang, maukah perancang undang-undang, legilastif, atau wakil rakyat kita merancang UU lingkungan hidup yang pro pada hak-hak rakyat? Jawabannya adalah, hanya wakil rakyat kita yang menduduki jabatan  di legislatif  beserta Tuhan yang mungkin tahu jawabannya.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors