Bukan Daulat Rakyat



ARTIKEL INI JUGA MUAT DI HARIAN GORONTALO POST EDISI 30 APRIL 2014


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
BELUM tiba masa penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari hasil pemilihan legislatif kemarin. Dalam beberapa hari terakhir sejumlah partai politik, terutama partai politik yang merasa mendapat suara melimpah berdasarkan hasil hitung cepat. Jauh dari awal, telah “curi start” membangun koalisi, dengan sejumlah partai kecil hingga partai menengah.

Tidak lain koalisi itu sengaja dibangun, sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan bagi partai politik agar memenuhi ambang batas Presidentialy threshold (PT). Yaitu partai politik harus mencapi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara secara nasional lalu dapat mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presiden (vide: Pasal 9 UU Pemilihan Umum Presiden).

Fakta ini seolah mendeskripsikan, dan kembali membuka mata kita semua. Bahwa dipaksanya partai politik agar memenuhi angka Presidentialy threshold, merupakan “dosa” sekaligus “cacat bawaan” yang diwariskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga mau tidak mau, partai politik melakukan segala macam cara, jauh dari cita-cita dan kepentingan rakyat. Dengan hanya untuk memenuhi syarat PT, koalisi dilakukan serampangan, tidak perlu terikat dengan ideologis partai. Sampai pada berujungnya politik dagang sapi. Anda mau berkoalisi dengan saya, maka anda akan disiapkan pos-pos jabatan kementerian kelak.

Hak Istimewa

Aksi yang dipertontonkan oleh masing-masing partai politik saat ini untuk berkoalisi guna memenuhi syarat Presidentialy threshold. Nyaris akan menghilangkan daulat rakyat. Bagaimana tidak, partai politik seolah-oleh hanya memikirkan nasibnya sendiri. Dan secara beruntun mengeliminiasi kepercayaan rakyat yang telah memilihnya.

Kalaupun muncul dalil bahwa dengan adanya syarat 25 persen suara nasional agar dapat mengusng calon Presiden, dianggap dapat menguatkan Presidensialisme. Itu adalah alasan yang bisa diterima, tetapi masih terbuka untuk diperdebatkan.

Bisa saja bukan menjadi alasan fundamental untuk mengikat partai sebagai syarat pengajuan Calon Presiden. Oleh karenanya partai politik bukan merupakan organisasi suprastruktur politik yang turut berperan langsung menjalankan fungsi ketatanegaraan. Melainkan partai politik hanya sebagai infrastruktur politik, yang mana kedudukannya sejajar dengan LSM dan media, sebagai pengontrol berjalannya fungsi organ-organ Negara itu.

Kendatipun, harus diakui kalau kehadiran partai politik untuk mengajukan calon anggota legislatif, juga mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presiden merupakan hak istimewa yang diberikan oleh konstitusi (previlage constitution), untuk memproduksi jabatan-jabatan kenegaraan.Namun hak istimewa yang dilimpahkan kepada partai politik mestinya tidak sampai pada syarat “presidentialy threshold” untuk mengajukan calon Presiden. Karena jika Partai politik diberikan lagi keistimewaan khusus dalam model koalisi. Justru menjadi konspirasi partai politik untuk menjauhkan hak-hak rakyat. Lalu yang diutamakan adalah hak-hak partai politik; sekedar barter kekuasaan, dan menyusun program pemerintahan hanya menguntungkan partai politik tertentu saja.

Logika penguatan Presidensialisme sehingga mesti ada koalisi minimal 20 persen suara di kursi parlemen. Jika dikaji lebih jauh menurut hukum konstitusi kita. Amat sangat tidak berdasar. Sebab konstitusi secara legal, dalam hal tertentu sudah memperkuat hak-hak Presiden, yang tidak perlu ada campur tangan parlemen. Terbukti dalam hal pengangkatan Menteri, termasuk Jaksa Agung, merupakan hak prerogatif Presiden yang sama sekali tidak menjadi urusan parlemen. Dan parlemen tidak mungkin pula dapat menjatuhkan menteri yang sudah diangkat oleh Presiden.

Selain itu, masih terdapat alasan lain. Kalau katanya partai pendukung Presiden tidak kuat di parlemen, kebijakan politiknya bisa digoyang oleh parlemen oposisinya. Dalil demikian jelas terbantahkan pula, karena meski sampai dititik 100 persen semua anggota DPR ingin menjatuhkan Presiden, tetap kesepakatan DPR harus terbukti secara konstitusional di MK. Terkait dengan terpenuhinya syarat pemakzulan Presiden, oleh karena melakukan penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, baru kemudian bisa diberhentikan oleh MPR.

Daulat Rakyat

Saya menduga munculnya ketakukan Presiden sewaktu-waktu, bisa digoyang oleh parlemen. Penyebabnya adalah, dua organ kekuasaan Negara (DPR dan Presiden) “setengah hati” untuk tunduk pada konstitusi.

Dikatakan setengah hati, karena meskipun anggota DPR sudah dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Di parlemen, para anggota DPR tetap setia mengibarkan bendera partainya. Hak-hak yang diberikan kepada DPR oleh konstitusi, untuk menyatakan pendapat, melakukan pengawasan, dan fungsi anggaran, semuanya masih ditentukan oleh sikap partai politiknya dimana dia berasal. Celakanya, sampai penentuan ketua komisi-pun “seolah-olah” menjadi hak partai politik.

Sehingga apa yang terjadi di parlemen, mestinya anggota DPR independen secara personal atas “mandate” konstitusi, sangat jauh dari harapan. Toh satu-persatu anggota DPR tetap menunggu sikap partai untuk menilai kebijakan Presiden.

Jadinya, pemilu yang bertujuan untuk melegitimasi daulat rakyat tidak berjalan. Dan justru yang hadir diparlemen adalah daulat parpol. Pun gejala ini merembes, hingga kemudian menghantui Presiden, takut akan digoyang posisinya oleh parlemen. Karena di sana tetap masih berkibar bendera-bendera partai politik.

Maka ke depan, lebih elok kiranya, kalau semua anggota DPR yang terpilih, sudah harus diberhentikan dari keanggotaan partai politiknya. Termasuk dalam UU Partai Politik harus ada regulasi yang melarang keras, partai politik tidak boleh mengintervensi kemandirian hak-hak-hak DPR untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Saya kira jalan ini yang akan membuka titik terang untuk memutus daulat parpol, dan mengembalikan daulat rakyat pada posisi aslinya, sebagaimana amanat konstitusi kita. *





Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute &
Co-Owner negarahukum.com




[Read More...]


Kutukan Presidensialisme Multipartai



(ARTIKEL iNI jUGA MUAT DIHARIAN TRIBUN MAKASSAR, EDISI 16 APRIL 2014) Dampak koalisi tambun sudah kelihatan efeknya di masa lalu. Bentangan empiris memberi jawaban, bahwa sesungguhnya masa pemerintahan SBY-Boediono sepintas lalu bisa kuat dengan dukungan koalisi mayoritas di parlemen.





Pemilu 9 April 2014, untuk memilih anggota legislatif sudah kita lewati pekan kemarin. Berbagai lembaga survei juga telah merilis perolehan suara dari masing-masing partai kontestan pemilu anggota legislatif. Dalam konteks itu, pemilu sebagai unsur yang paling utama dalam praktik demokrasi elektoral, tidak bisa dilepaskan dari peran rakyat sebagai aktor utama untuk berpartisipasi secara sukarela. Dan lazimnya, ada tiga hal yang selalu ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia setiap kali pemilu usai dihelat. Pertama, siapa yang menjadi pemenang dalam kontestasi itu. Lembaga survei jelas punya jawaban, untuk merilis hasil hitung cepat dan exit poll mereka. Kedua, angka partisipasi warga dalam pemilu, terutama jumlah pemilih, dan jumlah angka golput. Ketiga, bagaimana arah dan peta koalisi dari partai kontestan, untuk mengusung calon presiden ke depannya
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI


Untuk poin ketiga, merupakan masalah krusial, yang harus dibuka titik terangnya ke publik. Karena hal ini menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia lima tahun ke depan. Maka pada poin itu, koalisi Parpol tidak hanya dimaksudkan sekedar memenuhi syarat presidential threshold (20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional). Tetapi perlu dipikirkan pula, terbentuknya koalisi yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan koalisi karena kepentingan pragmatis dari setiap Parpol itu saja.

Terlepas dari sitem presidensialisme yang kita anut. Upaya menghindari koalisi pragmatis nampaknya sulit dihindari. Sudah menjadi semacam “kutukan presidensialisme”, kalau dikombainkan dengan sitem multipartai. Parpol yang terlalu banyak sejatinya akan menciptakan sejumlah kelemahan terhadap sistem pemerintahan. Yang terkait dengan efektif/ tidaknya sitem pemerintahan berbasis kerakyatan.

Kutukan Presidensialisme

Sementara saat ini, terlebih dahulu mari mencermati tren suara partai kontestan yang sudah berlaga dalam pemilihan legislatif kemarin, sebelum real count diumumkan oleh KPU.

Tampaknya berdasarkan hitung cepat, satupun Parpol tidak ada yang berhasil meraih “popular vote” yang bisa dibarter menjadi tiket ke pemilu presiden, tanpa berkoalisi dengan partai lain.

Itu baru untuk syarat pengajuan Capres, belum berbicara pada wilayah Parpol sebagai bagian dari fraksi parlemen, yang harus memperoleh suara (50 % plus satu) agar sistem presidensialisme bisa kuat. Dan tidak lagi diobok-obok fraksi oposisi nantinya.

Berdasarkan hasil hitung cepat, kelihatan suara Parpol terfragmentasi dalam jumlah Parpol yang begitu banyak. Tidak ada Parpol menjadi jawara dominan. PDIP memperoleh 19,8 persen suara, Partai Golkar 14,67 persen suara. Selanjutnya, disusul Partai Gerindra 11,96 persen suara; Partai Demokrat 9,57 persen suara; PKB 9,39 persen suara; PAN 7,48 persen suara; PPP 6,7 persen suara; PKS 6,57 persen suara; Partai Nasdem 6, 56 persen suara; Partai Hanura 5,4 persen suara; PBB, 1,41 persen suara; dan PKPI menempati urutan buncit dengan 0,98 persen suara.

Rata-rata dari dua belas kontestan Parpol tersebut, ada sepuluh Parpol pastinya akan melenggang masuk ke senayan. Hanya PBB dan PKPI yang tidak lolos karena tidak mencapai angka parliamentary threshold (3,5 persen).

Namun sepuluh Parpol bukan angka proporsional untuk melahirkan presidensialisme efektif. Masing-masing Parpol tersebut tetap akan berebut panggung terhadap koalisi pengusung presiden terpilih. Hingga menyebabkan kebijakan yang diusung oleh presiden (dan partai utama pengusungnya) akan terancam dalam “sanderaan” politik parlemen.

Kutukan presidensialisme sudah dapat dihindari, jika jumlah partai yang berlaga dalam pemilihan legislatif tidak terlalu banyak. Tetapi cita-cita demokrasi yang meniscayakan hak dan kebebasan berpolitik, memaksa jumlah Parpol tetap banyak harus berlaga dalam kontestasi pemilu. Maka hingga saat ini, kutukan presidensialisme multipartai tetap sulit dihindari.

Cegah Kutukan

Seandainya saja, Parpol berfungsi sebagai mana mestinya. Terutama merangkul pemilih agar melabuhkan hatinya, kepada dua hingga tiga jumlah parpol menjadi penguasa dominan. Maka Pekerjaan Rumah untuk membentuk presidensialisme efektif, tidaklah terlalu rumit.

Namun fakta berbicara lain, Parpol sudah gagal pada poin itu. Kini, satu- satunya jalan guna mencegah kutukan presidensialisme multipartai, hanya dapat ditemukan melalui perampingan koalisi pengusung Capres.

Taruhlah misalnya, jika PDIP benar adanya mengusung Capres. Cukup PDIP berkoalisi dengan tiga partai dari papan tengah. PDIP dapat berkoalisi, seperti PKB dan Nasdem saja. Itu sudah cukup. Agar tidak tercipta koalisi tambun atau koalisi kegemukan, karena ujung-ujungnya tetap sulit mendisiplinkan kawan koalisinya.
Dampak koalisi tambun sudah kelihatan efeknya di masa lalu. Bentangan empiris memberi jawaban, bahwa sesungguhnya masa pemerintahan SBY-Boediono sepintas lalu bisa kuat dengan dukungan koalisi mayoritas di parlemen. Tetapi alih-alih hendak menguatkan presidensialisme, malah Presiden tidak henti-hentinya “digoyang” oleh kawan Setgab koalisinya sendiri.

Oleh sebab itu, agar pemerintahan ke depan tidak lagi mengulangi kasus serupa di masa mendatang. Patut menjadi catatan, Parpol saat ini agar tidak hanya memikirkan nasib partainya semata. Seyogianya, Parpol disamping mencari titik kesamaan ideologi dan program partai masing-masing koalisinya, untuk membangun negeri ini. Dituntut pula perannya, agar “tidak serakah” mencari kawan koalisi, dalam pengusungan Capres. Parpol sudah mestinya mengutamakan kepentingan utama rakyat, karena pada dasanya pemilu diselenggarakan untuk merealisasikan daulatnya rakyat, bukan daulat Parpol.

Satu dan lain hal kebijakan untuk mengefektifkan sistem presidensialisme. Jauh dari kutukan multipartai. Masih perlu ditambah dengan regulasi yang bisa “memaksa” Parpol agar konsisten dalam satu arus politik saja. Apakah Parpol di parlemen memilih koalisi terhadap pemerintah, ataukah sebaliknya mau beroposisi.

Hemat penulis, kebijakan regulasi dalam rangka pendisiplinan fraksi di parlemen, sudah harus digodok nanti dari anggota DPR terpilih. Regulasinya bisa bernama undang-undang tentang tata tertib fraksi parlemen, ataukah yang serupa dengan itu. Ini penting, agar sistem pemerintahan ke depan tidak lagi menjadi dagelan politik. Tetapi sudah mengutamakan hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. (*)



Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com



[Read More...]


Hantu-Hantu Politik dan Pemilih Skizofrenik



Sikap linglung si pemilih, 
terobati dengan menghilangkan semua unsur godaan sang hantu. 
Walaupun godaan itu terus berdatangan di TPS...


Kini kita telah tiba dibulan yang amat menentukan, bulan dimana para caleg sedang harap-harap cemas. Dikatakan menentukan, karena bulan ini merupakan bulannya hajatan demokrasi, yang akan membuka katup mata kita semua, kira-kira siapa saja nama-nama caleg akan menjadi pemenang dalam kontestasi 9 April nanti.
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Namun sebelum tiba dipenghujung hari “H”, ketika semua pemilih akan datang berduyun-duyun menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS). Satu hal yang menjadi ketakutan bersama (paranoid), jangan-jangan pemilu kali ini jumlah angka golput akan semakin mengalami peningkatan. Ini berbahaya, karena disamping mencederai demokrasi juga menyisakan krisis legitimasi dari anggota legislatif terpilih.

Lantas apa yang menyebabkan pemilih menjadi golput? Ada banyak variannya, namun melalui tulisan ini. Saya memiliki istilah tersendiri sehingga sindrom golput dapat terjadi, yakni karena pemilih kita sedang dilanda “kegilaan” yang saya golongkan berada dalam golongan pemilih Skizofrenik.

Pemilih Skizofrenik 
Istilah skizofrenik di sini tidak bermaksud mensejajarkan pemilih berada dalam kegilaan sungguhan. Tetapi apa yang terjadi terhadap pemilih saat ini, terdapat beberapa kesamaan, berbagai peristiwa yang menimpa pengidap skizofrenik dengan pemilih yang dikhawatirkan menjadi pemilih golput.

Menurut “The oxford English Dictionary” (1989) kata “schizophrenia” (skizofrenia) merupakan adaptasi dari kata dalam bahasa Jerman “schizoprenie”. Kata ini diciptakan oleh Eugen Bleuler (1857-1939) dalam bukunya “Psychiatrisch-Neurol Wochenschr”. Kata dalam bahasa Jerman itu sendiri jika ditelusuri lebih lanjut nampaknya berasal dari bahasa Yunani yaitu “scizein” yang artinya “belah-pisah” (to split) dan “phren” yang artinya “pikiran” (mind). Selanjutnya, Eugen Bleuler kemudian memperkenal istilah skizofrenia, karena penyakit ini menyebabkan terpecahnya antara pikiran, emosi dan perilaku.

Gejala skizofrenia pun sedemikian rupa, tidak menutup kemungkinan akan terjadi bagi pemilih calon anggota legislatif nanti. Setiap pemilih bisa saja mengalami gejala, antara terpecahnya pikiran, emosi dan perilaku mereka.

Kalau pemilih mengalami yang demikian (baca: skizofrenik), dipastikan akan menjadi pemilih golput. Satu penyebabnya, pemilih menjadi skizofrenik, oleh karena caleg dan partai politik menjadi penyebab asal-muasalnya. Segerombolan Caleg beserta partai politiknya kini hadir “bak hantu, setan, iblis” terus mempropagandakan diri, kalau dirinya harus menjadi pilihan setiap pemilih. Jadinya, pemilih sulit menentukan mana caleg layak, mana caleg tidak layak. Semuanya sedang bergerumul, berkumpul, bergerilya; pagi, siang, sore, dan malam terus menjadi “hantu politik” yang tidak berkesudahan melancarkan godaannya.

Kalau seorang pengidap skizofrenia kemana melangkah, apapun yang hendak dan sedang dilakukannya terus dihantui oleh orang ketiga yang kasat mata. Kemudian, dirinya muncul rasa bersalah, hidup tak berguna, maka sewaktu-waktu bisa membunuh orang disekitarnya. Termasuk, mengancam jiwa sendiri hingga terjadi “efek bunuh diri”. 

Sepadan dengan jutaan pemilih saat ini, ketika mereka melangkah hendak keluar rumah, di depan rumah, di jalan, dipohon-pohon, ada banyak bertengger “hantu politik” yang selalu menggoda dan terus merasuki pikirannya. Tidak hanya itu, begitu membuka dan menyalakan remote televisi, wajah hantu itu terus hadir mencekoki sang pemilih. Bahkan membuka harian media cetak, online, begitu banyak hantu bergentayangan terus menggoda. Dan godaan mereka tidak sungkan-sungkan mempermainkan alam pikiran pemilih; dia paling benar, paling baik, dan hantu lainnya, mereka adalah orang yang jahat, berdosa, bersalah, tidak pantas dipilih atau dijadikan sosok (figure).

Apa jadinya kalau seperti ini? Di suatu waktu muncul hantu yang merasa benar, hantu lainnya kemudian di cap sebagai hantu jahat. Lalu diwaktu yang lain, hantu yang sudah dicap sebagai hantu jahat juga berujar demikian dan menyerang hantu sebelumnya. Tentu pemilih berada dalam kebingungan, sulit menentukan siapa sesungguhnya paling benar, dan ujung-ujungnya terjadilah pemilih dengan kepribdain yang terpecah belah antara pikiran, emosi dan perilakunya.

Dititik itu kemudian, pemilih akan menjadi orang berbahaya untuk orang disekitarnya. Gara-gara godaan si “hantu politik” dia bisa membunuh orang yang dianggap mengancam jiwanya, ataukah membunuh dengan alasan demi menyelematkan negeri yang sedang di huninya. Kalau dirinyapun, dianggap tidak mampu memberi solusi, menyesali kehidupannya gara-gara propaganda si “hantu politik tadi” dirinyapun bisa “bunuh diri”.

Namun kalau tidak bunuh diri. Sikap linglung si pemilih, terobati dengan menghilangkan semua unsur godaan sang hantu. Walaupun godaan itu terus berdatangan di TPS, mereka cenderung mengabaikannya. Mereka mengganggap “hantu politik” itu adalah orang lain, sebagai hantu yang bisa merusak alam pikirannya. 

Dan ketika tidak lagi merasa tergoda (di TPS). Pada akhirnya, satu-satunya jalan, tidak memilih pula hantu yang sedang tersaji di hadapan mata mereka semua. Masih untung kalau ada tanda gambar hantu yang dicoblos, tapi dicoblos bukan hanya satu, namun dua, tiga, dan seterusnya. Tapi bagaimana, kalau kertas suara yang banyak sosok hantu itu, sama sekali tidak ada tanda yang membekas. Itulah konsekuensi “hantu politik” yang dapat menyebabkan pemilih menjadi skizofrenik, namun memang hanya golput bisa menjadi satu-satunya jalan bagi pemilih menjadi “sembuh” dari penyakit yang menimpanya.

Cegah Skizofrenik
Pemilih yang kini sedang dilanda penyakit skizofrenia adalah pasien yang harus disembuhkan oleh psikiater. Psikiaternya adalah KPU/KPUD, Panwaslu/Bawaslu, dan pemilih yang masih “sehat” harus mensiasatinya.

KPU/ KPUD harus bekerja keras melakukan “rehabilitasi” terhadap semua pasien skizofrenik tadi, terapi secara terus menerus harus dilakukan agar si pemilih sembuh. Sebelum alam sadar mereka berujar; tak ada “hantu politik” yang baik hati.

Disaat yang sama, dituntut pula peran Panwaslu/Bawaslu mencabut semua gambar-gambar “hantu” yang rentan, potensial, menghantui pemilih. Sebelum tiba hari “H” pemilu 9 April nanti. Kira-kira “terapi politik” demikianlah akan mampu mencegah pemilih yang teridap skizofrenia dari semua hantu-hantu politik yang terus menghantuinya akhir-akhir ini.(*)







Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors