Kita Berhasil Melawan Covid-19




Sumber Gambar: kemkes.go.id

BOLEH jadi, di luar sana begitu banyak kalangan keberatan dengan pemilihan judul artikel ini, di balik bertambahnya angka pasien covid-19, yang hingga kini sudah menembus angka ribuan. Tapi mohon dengan segala hormat, izinkan saya memancangkan kata “optimisme,” bahwa sesungguhnya kita telah berhasil melawan virus ganas mengerikan, pengirim kabar kematian itu. 

Saya mencoba untuk mengambil bagian dari ratusan juta penduduk Indonesia, mengajak kepada siapa saja, mari kita mengakhiri kutukan, kebencian, kepada pemangku kepentingan soal penanganan dari penyebaran virus, covid-19. Sudah saatnya kita membangun soliditas, bertanya kepada diri kita, apa yang kita bisa perbuat guna mencegah atau setidak-tidaknya menghentikan wabah virus corona di negeri ini. 

Bangun Optimisme 

Soal berapa jumlah orang yang terinfeksi virus corona, Orang Dalam Pemantuan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), korban terinfeksi yang sembuh atau bahkan yang meninggal. Ya…! cukup kita tahu saja, tidak perlu kita mendistribusikan dan/atau menyebarkannya lagi melalui laman-laman media sosial. 

Toh apa juga gunanya kita menyebarkannya. Pun kalau itu dengan maksud agar tidak ada orang lain yang tertular. Bukankah memang sedari awal, kita sudah dianjurkan untuk menjaga jarak (sosial/pshycal distance), bahkan dari kemarin sudah diharapkan agar cukup tinggal di dalam rumah saja (stay at home). 

Tidak rasional, kalau dengan alasan siapa korban korona selanjutnya, lalu kita kemudian bisa menjaga jarak dengan orang tersebut, sebab memang kita secara keseluruhan di luar rumah sudah dianjurkan menjaga jarak. 

Untuk yang sudah positif, bukankah dia sudah diisolasi, atau diperintahkan agar mengisolasikan diri. Untuk ODP & PDP, juga tidak perlu dikhawatirkan, asal penuhi anjuran pemerintah, sekali lagi, jaga jarak. 

Yang dibutuhkan saat ini, adalah membangun optimisme. Marilah kita belajar dari segudang pengalaman dan penelitian yang menghebohkan betapa besarnya kekuatan optimisme menjadikan sejumlah orang meniti kesuksesan. Mungkin kita pernah mendengar, bagaimana besarnya kekuatan optimisme, sehingga orang-orang yang sakit, sudah lama menghuni rumah sakit, ia menjadi lekas sembuh karena rasa optimisme, akan masih panjang umurnya. 

Dugaan itu tidak berlebihan, sebab diamini oleh Donald Cole, ahli kesehatan masyarakat dari institut kesehatan kerja, di Toronto, Kanada. Cole, dari hasil penelitian panjangnya, kemudian menyimpulkan bahwa terdapat pertalian erat antara sistem kekebalan tubuh dan pola pikir. Hati yang riang, banyak ketawa, dan pikiran lapang tanpa stres akan membuat sel-sel sitem kekebalan bekerja lebih giat melawan penyakit. Hasilnya, kesembuhan lebih cepat datang. 

Teruntuk dan mereka yang berkeyakinan keberadaan Tuhan, bahkan agama apapun dari mereka. Tidak ada yang menafikan, bahwa dikabulkannya doa oleh Yang Maha Kuasa, tidak lain dan tidak bukan pula karena faktor optimisme. 

Sesuatu yang mustahil, akan menjadi mungkin, bahkan terwujud, juga sudah banyak dibuktikan oleh para ilmuwan. Bagamaimana dengan Albert Enstein, juga dengan Thomas Alfa Edison, temuannya menggemparkan dunia, karena optimisme yang dibangun oleh mendiang ibunya. 

Bangkit! 

Kita pasti bisa bangkit dari jerat covid-19 ini, kita hanya butuh orang baik yang selalu menebarkan optimisme. Pilihan hidup seorang dokter paru-paru, dr. Handoko Gunawan adalah contoh bagaimana kita untuk memulai dan menyatakan kita berhasil melawan Covid-19. Dia mengabdikan hidupnya untuk merawat pasien korona, pulang hingga jam 03.00 dini hari. Sempat divonis positif terinfeksi covid-19, namun sehari setelah itu ia dinyatakan sembuh. Bolah jadi, kesembuhan dr Handoko, karena optimismenya bisa menyembuhkan banyak pasien korona. Simaklah kata-katanya yang sempat viral, “Kalau saya mati, juga engga apa2, sudah tua, masih bisa lakukan hal berguna bagi orang banyak,” 

Tak kurang dan tak lebih, saya berkeyakinan optimisme itu pula yang sedang dibangun oleh Prof. Idrus Paturusi, di tengah kondisinya berada di ruang isolasi covid-19, beliau menyatakan melalui surat ringkasnya, kita bisa seperti Wuhan, yang berhasil memerangi Covid-19. Bayangkanlah saudara-saudara, tim medis, relawan, dokter, perawat, dan paramedis, kalau kelak kita bisa seperti Wuhan, akan banyak orang terharu, berbaris dengan tertib pada jalan2 yang dilalui kendaraan para relawan. Kita akan dielu-elukan, malah mereka tak sungkan bersujud untuk melepaskan kepergian kita. 

Dari sini, kita akan mulai berkata, kita berhasil melawan covid-19. Bergetar hati kemanusiaan ini, begitu masih banyak berlimpah ummat manusia yang peduli dengan sesama. Seorang pengusaha asal Parepare, menjual dua mobil milik pribadinya, untuk bagikan masker gratis. Anak SMKN 5 Palu yang memproduksi Alat Pelindung Diri (APD) untuk RSU Undata. 

Pada saat yang sama, di DKI Jakarta, Anies Baswedan selangkah lebih awal telah menyediakan fasilitas penginapan kamar hotel, untuk seluruh tenaga medis, dokter dan perawat pasien covid-19. Selain meraka disediakan penginapan, juga dijamin kebutuhan makan, dan kebersihan kamar yang digunakannya. Dan tak ketinggalan, Gubernur Sulsel. Nurdin Abdullah, melakukan hal serupa. Seluruh tenaga medis covid-19, telah disiapkan pula fasilitas hotel dan makanan. Ada hotel Grand Sayang, ada hotel Soetomo. 

Para tenaga medis, presiden, gubernur, bupati, walikota, untuk saat ini butuh kekuatan dan penyemangat berupa optimisme dan prasangka baik agar bisa terus bekerja. Covid-19 hanya bisa dilawan dengan soliditas, mustahil dengan ego sektoral. 

Yakin dan percaya saja, bahwa covid-19 ini, benar adanya akan lekas berlalu sebagaimana yang diramalkan oleh Michael Levitt, pemenang Nobel sekaligus ahli biofisika Stanford itu. Dengan syarat, tetap jaga jarak.




Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi









[Read More...]


Karena Putusan MA, KPU Korupsi




Saya berkeyakinan hingga saat ini bahwa rasuah yang menjerat salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WSE) adalah murni hanya dilakukan seorang, tanpa melibatkan komisioner secara keseluruhan. Tidak butuh pendalaman lebih lanjut untuk membuktikan hal itu. Cukup menelusuri dari konsistensi semua komisioner KPU yang tidak tergoda untuk mengganti Riesky Aprilia (RA) dengan Harun Masiku (HM) yang memang suaranya berada di urutan buncit. 

Pasca penolakan terakhir KPU untuk tetap mempertahankan RA sebagai anggota DPR RI, di tanggal 7 Januari 2019, lalu WSE masih menagih sisa uang suapnya dari HM melalui Agustiani Tio Fridelina (ATF). Adalah indikasi kalau WSE tidak punya kekuatan mempengaruhi komisioner lainnya. Beliau hanya mengambil manfaat tapi tidak mampu memberikan keuntungan bagi orang yang telah menyuapnya. 

Proporsional Terbuka 

Peristiwa suap yang menimpa WSE jangan dijadikan sebagai ajang untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Atau pemikiran lainnya untuk kembali mengadopsi sistem proporsional tertutup dalam pemilihan legislatif. Justru, dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, peluang untuk terjadinya korupsi bisa dicegat lebih awal. 

Pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak serta keputusan KPU yang bersifat kolektif kolegial adalah rumus menutup peluang korupsi. Bisa dibayangkan, sekiranya partai politik bebas menentukan kursi atas calon yang telah diusungnya dalam kontestasi, kemudian cukup KPU memberikan persetujuan dan pengesahan. Korupsi berjamaah sudah dapat dipastikan terjadi antara calon, partai politik (terutama ketua umum, sekretaris jenderal) dan KPU. Calon yang berlimpah rupiah akan menyogok partai politik dan KPU, sehingga melenggang mulus ke Senayan. Ujuk-ujuknya kemudian, parlemen akan dihuni kumpulan para gundik, calon penilap uang rakyat. 

Putusan MA 

Naluri kekuasaan dan keserakahan bagi manusia memang tidak mengenal kata selesai. Desain pemilu dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak sebagai hadiah MK untuk rakyat Indonesia, kembali dibajak. 

Beruntung KPU RI tidak ikut terbajak dari sekelompok elit yang menggunakan senjata putusan MA tentang pengujian PKPU No 3 dan No 4 Tahun 2019. Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, pada pokoknya telah menggeser sistem proporsional terbuka yang sudah dianut dalam UU Pemilu. 

Pengujian PKPU yang digawangi oleh Ketua Umum dan Sekjen PDI P, setidak-tidaknya menunjukkan masih ada partai politik yang tidak suka dengan sistem proporsional terbuka. 

Dan kendatipun permohonan uji materil itu selanjutnya dikabulkan sebagian oleh MA, perlu diberikan catatan. Keliru MA mengabulkan permohonan Pasal 54 ayat (5) huruf k, huruf l Juncto Pasal 55 ayat (3) PKPU Nomor 3 Tahun 2019. Bahwa suara sah dari calon yang meninggal dunia harus “….dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon….” 

Ketentuan dalam PKPU sebelumnya, mengatur bahwa suara dari caleg yang meninggal dunia, adalah menjadi milik partai. Putusan MA tidak begitu, sah untuk calon yang meninggal dunia, kemudian suara dari calon yang meninggal dunia dialihkan oleh partai politik ke calon yang disuka, terserah kepada partai politik mau mengalihkan suara terbanyak itu ke calon siapa saja, biar yang tidak memenuhi syarat sebagai calon peraih suara terbanyak kedua misalnya, bisa dialihkan. 

Patut kembali dipertanyakan independensi MA saat mengabulkan permohonan tersebut. Putusan MA a quo telah mendistorsi nomenklatur PKPU Nomor 3, PKPU Nomor 4, dan PKPU Nomor 5 Tahun 2019 sebagai satu kesatuan perundang-undangan. Begitu dinyatakan bahwa “suara sah yang meninggal dunia adalah suara sah partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon” maka penentuan caleg terpilih dalam hal calon yang mendapatkan suara terbanyak meninggal dunia dialihkan ke calon peraih suara berikutnya di PKPU Nomor 5 Tahun 2019, akan menjadi teks hukum yang mati. 

Pada saat yang sama Pasal 426 ayat 3 UU Pemilu yang mengatur tentang calon terpilih yang meninggal dunia digantikan oleh calon peraih suara terbanyak berikutnya. Juga akan menjadi “barang mati” gara-gara perolehan suara dari yang meninggal dunia dialihkan ke calon yang dikehendaki oleh partai politik pengusung. 

Pasal 54 ayat 5 huruf k dan l serta Pasal 55 ayat 3 PKPU Nomor 3 Tahun 2019 adalah ketentuan yang sudah ideal, harmonis dengan Pasal 426 UU Pemilu, termasuk sudah harmonis dengan PKPU Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2019. Datang Putusan MA, justru memporak-porandakan cara penghitungan suara dan cara penentuan caleg terpilih yang selama ini dibangun dengan susah payah, agar sejalan dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. 

Nyata sekali di depan mata, putusan MA itu hendak memaksa kita kembali ke sistem pemilu yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Partai politik diberikan kebebasan sebesar-besarnya menentukan caleg terpilih, meskipun tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan. 

Dari situlah sebenarnya dimulai, WSE terjaring OTT KPK. Putusan MA dijadikan sebagai bargaining position partai politik untuk “memaksa” KPU mengganti RA dengan HM. Dan karena Putusan MA itu tidak diindahkan, HM melalui Saeful (SAE) dan ATF menyusupi seorang komisioner yang berinisial, WSE. Untung saja, pagar keputusan KPU masih menganut kolektif kolegial. Jika tidak, habis sudah riwayat KPU dari jegal korupsi berjamaah.

Sumber Gmabar: https://www.republika.co.id/

[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors