Penggolongan Kontrak



Hukum Perikatan ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan.  Hukum perdata Eropa, termasuk yang berlaku di Indonesia/ BW (Burgelijk wetboek) [1] mengenal adanya perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang dan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian. [2]
Perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang lazim disebut perikatan dari undang-undang. Adanya hak dan kewajiban timbul diluar kehendak subjek hukumnya. Perikatan ini dapat disebabkan oleh tindakan tidak melawan hukum dan tindakan melawan hukum. Sedangkan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian lazim disebut “perjanjian”, hak dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh subjek-subjek hukum. Hak dan kewajiban itu sering merupakan tujuan dalam menjalankan tindakannya.
Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya, semua perjanjian mengikat mereka yang tersangkut bagi yang membuatnya, mempunyai hak yang oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan berkewajiban melakukan  hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian.[3] Setiap orang dapat mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan para sarjana di atas. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian adalah:
Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:
Ø  Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
Ø  Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
Ø  Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
ØPerjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst;
Ø  Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijke overeenkomst;
Kontrak menurut namanya.
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal 1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam Tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.
1.  Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.
2.  Kontrak timbal balik. Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak.
Ø  Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya.
Ø  Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian.
3.  Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
4.  Perjanjian berdasarkan sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia.
5.  Perjanjian dari aspek larangannya. Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.
Ø  Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Ø  Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah; Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Ø  Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.
Ø  Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Ø  Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Ø  Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ø  Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu.
Ø  Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S., jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.[4]



[1] Indonesia yang menggunakan BW (Burgelijk Wetboek) sebagai dasar ketentuan hukum sipil (Perdata), karena pengaruh sistem hukum civil law berdasarkan asas konkordansi dari kodifikasi Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis terdiri dari empat bagian yaitu Code, Digest, Institute, Dan Novella. Periksa Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,2006, hal. 57.
[2] Pasal 1233 BW.
[3] Perjanjian itu mengikat para pihak (Asas Pacta Sunt Servanda)
[4] Salim H.S, op.cit, hal 27-32.
[Read More...]


Prinsip "Kelayakan" dalam Pengadaan Tanah





Pertanyaan yang pertama. Dalam mengukur layak/ tidaknya ganti rugi adalah mengapa “asas kelayakan”, penting menjadi prioritas bagi Pemegang Hak Atas Tanah dalam kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Jelas, jawabannya adalah tanah yang dimilki oleh masyarakat bersangkutan merupakan haknya, sebagai warga negara yang tetap perlu mendapat perlindungan dari negara. Bukankah hal itu ditegaskan dalam Pasal 28 H ayat 4 UUD NRI 1945, “bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI 1945 “dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban hukum dalam suatu masyarakata tradisional.”
Dengan demikian, keberadaan Tim Penilai Harga Tanah, yang ditegaskan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, sebagai lembaga yang bersifat independen dan professional, tidak lain untuk melindungi Pemegang Hak Atas Tanah, dari kebijakan pemerintah yang sewaktu-waktu akan bertindak sewenang-wenang.
Kalau hanya mengandalkan Tim Panitia Pengadaan Tanah. Maka yang akan terjadi Panitia Pengadaan Tanah, akan mengikuti saja keinginan pribadinya, bahwa jalan musyawarah untuk ganti rugi tersebut cepat selesai. Ada beberapa indikasi yang melemahkan fungsi Tim Penilai Harga Tanah. Diantaranya peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Perpres Nomor 56 Tahun 2006. Tugas untuk melakukan jumlah ganti kerugian juga menjadi salah satu tugas Panitia Pengadaan Tanah, sehingga Tim Penilai Harga Tanah, hanya berfungsi sebagai lembaga yang memberi koordinasi saja atau surat penilaiannya hanya menjadi pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah.
Disamping itu, Tim Penilai Haga Tanah. Berat untuk bekerja berdasarkan keahliannya masing-masing. Oleh karena pemerintah setempat, telah menentukan juga standar ganti  kerugian yang akan diterima bagi Pemegang Hak Atas Tanah. Atau dengan kata lain, standar ganti rugi yang akan ditetapkan oleh Tim Penilai Harga Tanah sudah lebih awal ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Dari hasil penilaian yang dilakukan oleh Tim Penilai Harga Tanah setelah melakukan survey, ternyata jumlah ganti rugi yang ditentukan dalam menggunakan  standar ganti rugi dengan berpedoman pada metode  penghitungan penilaian ganti  kerugian (seperti metode lokasi dan metode perbandingan). Nyatanya tidak dijadikan sebagai pedoman bagi Panitia Pengadaan Tanah dalam melakukan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan.
Hal tersebut terjadi berdasarkan pengakuan Tim Penilai Harga Tanah, tidak terlalu ambil pusing jika standar atau jumlah ganti rugi ditolak, oleh karena dalam ketentuan-pun, gampang saja jika Pemegang Hak Atas Tanah tidak mau menerima jumlah ganti rugi setelah diadakan musyawarah berkali-kali. Panitia Pengadaan Tanah cukup menitipkan saja jumlah ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, dimana lokasi pengadilan untuk pengadaan tanah tersebut berada.
Kedudukan Tim Penilai Harga Tanah, yang hanya berfungsi sebagai lembaga koordinasi dari Panitia Pengadaan Tanah. Standar ganti kerugian tetap berpatokan pada standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Berarti Tim Penilai Harga Tanah yang diharapkan independen dan bersikap professional mustahil untuk berjalan sebagai salah satu fungsi Tim Penilai Harga Tanah yang akan memberikan standar ganti kerugian yang layak.
Dengan demikian, “asas kelayakan”, jumlah ganti rugi yang melibatkan Tim Penilai Harga Tanah untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum berjalan atau belum sesuai dengan keadilan bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Diabaikannya sikap professional, Tim Penilai Harga Tanah berarti hak-hak bagi pemegang atas tanah untuk mendapatkan jumlah ganti rugi yang sepadan dengan tanah/ lokasi, dan perumahannya yang akan digunakan untuk pengadaan tanah tidaklah tercapai.
Selain kedudukan Tim Penilai Haga Tanah hanya berfungsi sebagai “stempel” penilai ganti kerugian buat Panitia Pengadaan Tanah. Kendala lain yang menjadi penghambat sehingga jumlah ganti rugi tidak layak bagi pemegang hak atas tanah yakni prinsip yang dipegang oleh pengambil kebijakan selalu mengutamakan prinsip, agar menekan biaya serendah-rendahnya tehadap jumlah ganti kerugian. Prinsip demikian jika berhasil diterapkan dianggap sebagai salah satu kesuksesan bagi Panitia Pengadaan Tanah. Padahal, di sisi lain telah mengabaikan kelayakan atas jumlah ganti kerugian bagi masyarakat sebagai korban kebijakan pengadaan tanah tersebut.

[Read More...]


Syarat Perjanjian yang Sah





Dalam kejadian sehari-hari. Setiap peristiwa hukum yang terjadi entah dengan jual beli, sewa menyewa, perjanjian tukar menukar dan perjanjian utang piutang. Untuk sementara, selalu dikatakan bahwa perjanjian itu sudah sah, jika telah tercapai kesepakatan. Namun masih ada hal pokok yang harus diperhatikan sehingga sahnya perjanjian itu. Syarat sahnya perjanjian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1320 BW yaitu:
·      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
·      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;.
·      Sutu hal tertentu;
·      Suatu sebab yang legal/ halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu[1]. Keempat hal tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Kesepakatan (Toesteming/ izin) kedua belah pihak.
Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus antara pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 BW. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbale balik; sipenjual menginginkan sejumlah uang, sedang sipembeli menginginkan barang dari sipenjual. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak yaitu dengan :
·      Bahasa yang sempurna dan tertulis;
·      Bahasa yang sempurna secara lisan;
·      Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
·      Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
·      Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.[2]
Dalam perjanjian, terkadang kesepakatan telah terjadi, namun terdapat kemungkinan kesepakatan tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan,dan penyalahgunaan keadaan.[3]
Kecakapan bertindak
kecakapan merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Jika seorang sebagai subjek hukum dianggap cakap berarti ia memilki hak dan kewajiban untuk bertindak dalam perbuatan hukum.
Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan perjanjian, jika orang tersebut belum berumur 21 Tahun, kcuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun  ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.
Dalam Pasal 1330 BW, ditegaskan sebagai orang yang belum dewasa,  tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
·      Orang-orang yang belum dewasa;
·      Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
·      Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Dari sudut  dan rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian dan akan terikat dengan perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuata itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena  seorang yang membuat perjanjian berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.[4]
Berkenaan dengan huruf c dalam Pasal 1330, mengenai hak perempuan dalam hal yang ditetapkan dengan undang-undang sekarang ini, tidak dipatuhi lagi karena hak Perempuan dan laki-laki disamakan dalam hal membuat perjanjian, sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian, untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya berwenang membuat perjanjian tertentu.[5]
Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenkomst)
Objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, prestasi itu terdiri atas:
1.        Menyerahkan sesuatu/ memberikan sesuatu;
2.       Berbuat sesuatu; dan
3.       Tidak berbuat sesuatu
Menurut Ahmadi Miru,[6] ketiga pembagian prestasi tersebut bukanlah merupakan bahagian dari bentuk prestasi, melainkan cara melakukannya. Hal tersebut jelas dan logis, karena memberikan, berbuat dan tidak berbuat jelas-jelas adalah metode, tekhnik atau cara sehingga prestasi itu terwujud.[7] Lebih tepatnya bentuk prestasi yakni berupa barang maupun jasa. Sedangkan untuk suatu hal tertentu yang tidak berbuat sesuatu harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antar rumah yang bertetangga.”
Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal) di dalam Pasal 1337 BW hanya ditegaskan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.[8]
Menurut Subekti, Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.[9]



[1] Jika syarat objektif dari perjanjian itu tidak tercapai maka perjanjian tersebut, batal demi hukum (dianggap perjanjian itu tidak pernah ada/ null and void). Sementara syarat subjektifnya yang tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan/ voidable­­_vernietigbaar.
[2] Salim H.S., op.cit, hal.33.
[3] Lihat Pasal 1321 BW “Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu dberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya paksaan atau penipuan.” Dan Pasal 1449 “perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”
[4] Subekti, op.cit, 2003b, hal. 18
[5] Lihat pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
[6] Ahmadi Miru, op.cit, hal. 68
[7] http://negarahukum.com
[8] Menurut Ahmadi Miru, istilah atau kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain kriteria yang disebutkan di atas, bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum; oleh Satrio menambahkan satu; yakni, bertentangan dengan nilai kepatutan. Bertentangan dengan undang-undang sering disamakan dengan istilah perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan undang-undang bukan hanya yang tertulis. Berdasarkan penafsiran luas tentang Pengertian Perbuatan Melawan Hukum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) Negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen. Maka pengertian perbuatan melawan hukum bukan hanya melakukan pelanggaran undang-undang tertulis tetapi meliputi juga perbuatan :
§  Yang melanggar hak orang lain yang dijamin hukum;
§  Yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
§  Yang bertentangan dengan kesusilaan;
§  Yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
[9]Subekti, op.cit, 2003b, hal.  21.
[Read More...]


Asas-asas Pengadaan Tanah



 Mulai dari Kepres Nomor 55 Tahun 1997, hingga Perpres Nomor 65 Tahun 2006 atas perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Tidak ada satupun pencantuman pasal-pasal yang mengatur masalah prinsip-prinsip atau asas yang melandasi sehingga dapat (baca; layak) untuk dilakukan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Artinya semua regulasi yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah minim asas. Untuk melindungi hak dan kepentingan dari pemilik tanah yang menjadi korban atas pengadaan tanah walaupun kelak akan  digunakan untuk kepentingan umum.

Setiap rumusan undang-undang agar tercapai tujuan hukumnya (filsufis, sosiologis, dan yuridis), mestinya memiliki prinsip dasar sehingga undang-undang tersebut dirancang  tidak terkesan sarat pada kepentingan individu semata. Oleh karena itu menarik, melihat tawaran beberapa prinsip. Sebagaimana yang dikemukakan oleh  Sumardjono, perihal prinsip-prinsip hukum yang perlu diakomodasai dalam Peraturan Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah harus dilaksanakan sesuai dengan asas-asas sebagai berikut:
1.     Asas kesepakatan yakni seluruh kegiatan pengadaan tanah dan Pemegang Hak Atas Tanah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan Pemegang Hak Atas Tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat dilaksanakan bila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti kerugian telah diserahkan.
2.     Asas kemanfaatan, pengadaan tanah diharapkan mendatangkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah, masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat luas. Manfaat dari hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai keseluruhan.
3.     Asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena dampak diberi ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomisnya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun nonfisik.
4.     Asas kepastian, pengadaan tanah dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga para pihak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
5.     Asas keterbukaan, dalam proses pengadaan tanah, masyarakat yang terkena dampak berhak memperoleh informasi tentang proyek dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian, jadwal pembangunan, rencana pemukiman kembali dan lokasi pengganti bila ada, dan hak masyarakat untuk mencapai keberatan.
6.     Asas keikutsertaan/ partisipasi, peran serta seluruh pemangku kepentingan dalam setiap tahap pengadaan tanah (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi) diperlukan agar menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat meminimalkan penolakan masyarakat terhadap kegiatan yang bersangkutan.
7.     Asas kesetaraan, asas yang dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak-pihak yang  terkena dampak secara sejajar dalam pengadaan tanah.
8.     Minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial ekonomi, dampak negatif pengadaan tanah sedapat mungkin diminimalkan disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang karena terkena dampak sehingga kegiatan sosial ekonominya tidak mengalami kemunduran.
Dengan demikian, jika seluruh asas tersebut terakomodasi, dengan syarat awal terlebih dahulu memuat keseluruh asas-asas tersebut pada bagian awal pasal-pasalnya (misalnya dalam Pasal 2 Perpres Nomor 65 Tahun 2006), maka pasal tersebut akan menjadi payung hukum (umbrella act), untuk membuat pasal-pasal mekanisme pengadaan tanah guna kepentingan umum, yang tidak mengabaikan kepentingan pemegang hak atas tanah tersebut. Bukankah Salah satu prinsip dasar yang universal dalam pengambilalihan tanah oleh negara adalah bahwa “ no private property shall be taken for public use without just and fair compensation”. Dalam proses perolehan tanah tersebut hendaknya dapat memperhatikan prinsip-prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemegang hak atas tanah.

[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors