Karena Putusan MA, KPU Korupsi




Saya berkeyakinan hingga saat ini bahwa rasuah yang menjerat salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan (WSE) adalah murni hanya dilakukan seorang, tanpa melibatkan komisioner secara keseluruhan. Tidak butuh pendalaman lebih lanjut untuk membuktikan hal itu. Cukup menelusuri dari konsistensi semua komisioner KPU yang tidak tergoda untuk mengganti Riesky Aprilia (RA) dengan Harun Masiku (HM) yang memang suaranya berada di urutan buncit. 

Pasca penolakan terakhir KPU untuk tetap mempertahankan RA sebagai anggota DPR RI, di tanggal 7 Januari 2019, lalu WSE masih menagih sisa uang suapnya dari HM melalui Agustiani Tio Fridelina (ATF). Adalah indikasi kalau WSE tidak punya kekuatan mempengaruhi komisioner lainnya. Beliau hanya mengambil manfaat tapi tidak mampu memberikan keuntungan bagi orang yang telah menyuapnya. 

Proporsional Terbuka 

Peristiwa suap yang menimpa WSE jangan dijadikan sebagai ajang untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Atau pemikiran lainnya untuk kembali mengadopsi sistem proporsional tertutup dalam pemilihan legislatif. Justru, dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, peluang untuk terjadinya korupsi bisa dicegat lebih awal. 

Pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak serta keputusan KPU yang bersifat kolektif kolegial adalah rumus menutup peluang korupsi. Bisa dibayangkan, sekiranya partai politik bebas menentukan kursi atas calon yang telah diusungnya dalam kontestasi, kemudian cukup KPU memberikan persetujuan dan pengesahan. Korupsi berjamaah sudah dapat dipastikan terjadi antara calon, partai politik (terutama ketua umum, sekretaris jenderal) dan KPU. Calon yang berlimpah rupiah akan menyogok partai politik dan KPU, sehingga melenggang mulus ke Senayan. Ujuk-ujuknya kemudian, parlemen akan dihuni kumpulan para gundik, calon penilap uang rakyat. 

Putusan MA 

Naluri kekuasaan dan keserakahan bagi manusia memang tidak mengenal kata selesai. Desain pemilu dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak sebagai hadiah MK untuk rakyat Indonesia, kembali dibajak. 

Beruntung KPU RI tidak ikut terbajak dari sekelompok elit yang menggunakan senjata putusan MA tentang pengujian PKPU No 3 dan No 4 Tahun 2019. Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2019, pada pokoknya telah menggeser sistem proporsional terbuka yang sudah dianut dalam UU Pemilu. 

Pengujian PKPU yang digawangi oleh Ketua Umum dan Sekjen PDI P, setidak-tidaknya menunjukkan masih ada partai politik yang tidak suka dengan sistem proporsional terbuka. 

Dan kendatipun permohonan uji materil itu selanjutnya dikabulkan sebagian oleh MA, perlu diberikan catatan. Keliru MA mengabulkan permohonan Pasal 54 ayat (5) huruf k, huruf l Juncto Pasal 55 ayat (3) PKPU Nomor 3 Tahun 2019. Bahwa suara sah dari calon yang meninggal dunia harus “….dinyatakan sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon….” 

Ketentuan dalam PKPU sebelumnya, mengatur bahwa suara dari caleg yang meninggal dunia, adalah menjadi milik partai. Putusan MA tidak begitu, sah untuk calon yang meninggal dunia, kemudian suara dari calon yang meninggal dunia dialihkan oleh partai politik ke calon yang disuka, terserah kepada partai politik mau mengalihkan suara terbanyak itu ke calon siapa saja, biar yang tidak memenuhi syarat sebagai calon peraih suara terbanyak kedua misalnya, bisa dialihkan. 

Patut kembali dipertanyakan independensi MA saat mengabulkan permohonan tersebut. Putusan MA a quo telah mendistorsi nomenklatur PKPU Nomor 3, PKPU Nomor 4, dan PKPU Nomor 5 Tahun 2019 sebagai satu kesatuan perundang-undangan. Begitu dinyatakan bahwa “suara sah yang meninggal dunia adalah suara sah partai politik bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon” maka penentuan caleg terpilih dalam hal calon yang mendapatkan suara terbanyak meninggal dunia dialihkan ke calon peraih suara berikutnya di PKPU Nomor 5 Tahun 2019, akan menjadi teks hukum yang mati. 

Pada saat yang sama Pasal 426 ayat 3 UU Pemilu yang mengatur tentang calon terpilih yang meninggal dunia digantikan oleh calon peraih suara terbanyak berikutnya. Juga akan menjadi “barang mati” gara-gara perolehan suara dari yang meninggal dunia dialihkan ke calon yang dikehendaki oleh partai politik pengusung. 

Pasal 54 ayat 5 huruf k dan l serta Pasal 55 ayat 3 PKPU Nomor 3 Tahun 2019 adalah ketentuan yang sudah ideal, harmonis dengan Pasal 426 UU Pemilu, termasuk sudah harmonis dengan PKPU Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2019. Datang Putusan MA, justru memporak-porandakan cara penghitungan suara dan cara penentuan caleg terpilih yang selama ini dibangun dengan susah payah, agar sejalan dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. 

Nyata sekali di depan mata, putusan MA itu hendak memaksa kita kembali ke sistem pemilu yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Partai politik diberikan kebebasan sebesar-besarnya menentukan caleg terpilih, meskipun tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan. 

Dari situlah sebenarnya dimulai, WSE terjaring OTT KPK. Putusan MA dijadikan sebagai bargaining position partai politik untuk “memaksa” KPU mengganti RA dengan HM. Dan karena Putusan MA itu tidak diindahkan, HM melalui Saeful (SAE) dan ATF menyusupi seorang komisioner yang berinisial, WSE. Untung saja, pagar keputusan KPU masih menganut kolektif kolegial. Jika tidak, habis sudah riwayat KPU dari jegal korupsi berjamaah.

Sumber Gmabar: https://www.republika.co.id/

[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors