Pertanyaan Debat Capres, Bocor…!!!



Perhelatan pemilu serentak 2019 menuju hari “H” kian hari menimbulkan drama yang tak berkesudahan. Setelah drama pemilih ODGJ, drama kotak kardus, drama OSO yang hingga kini belum juga usai, muncul lagi drama dengan episode baru; bocornya pertanyaan debat capres. 

Lagi dan lagi, KPU RI sebagai penyelenggara pemilu kembali menempatkan dirinya sebagai tokoh protagonis, untuk tokoh antagonisnya siapa lagi, kalau bukan rakyat pemilih yang sebagian terkanalisasi dalam media jagat sosial. 

Usut penuh usut, ternyata bocornya pertanyaan debat Capres, tidak bersifat rahasia. Dengan gagah berani, seluruh komisioner KPU RI memproteksi tindakannya bahwa penyampaian daftar pertanyaan yang berasal dari panelis yang telah di pilih pada sesi debat pertama (17 Januari 2019 nanti) sudah konsensus bersama antara tim sukses masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden (selanjutnya disingkat paslon). 

Dasar Hukum 

Harus diakui bersama bahwa metode kampanye pemilu dengan debat paslon khusus penentuan babak atau segmennya, berikut dengan berbagai sesinya, adalah wilayah penjabaran tekhnis pemilihan umum. Ironisnya, penjabaran menyangkut tata cara debat capres tersebut tidak dibingkai dalam produk hukum yang mapan. 

Ketidakmapanannya terjadi baik dalam persoalan bentuk (formil) maupun dalam persoalan substansi (materil). Secara formil, ada dasar hukum metode kampanye yang menjadi domain KPU untuk memfasilitasi peserta pemilu, tapi itu terubrikasi dalam produk hukum yang tidak tepat. Seharusnya seluruh tata cara metode kampanye sudah tercakup dalam Peraturan KPU No. 23/2018, tidak boleh lagi terderivasi dalam bentuk Keputusan 1096/PL.01.5-Kpt/06/KPU/IX/2018. Produk hukum berbentuk keputusan (beschikking) sifatnya konkret, individual, final, bukan menyangkut wilayah pengaturan umum. 

Kemudian secara materil, banyak tata cara penyelenggaraan pemilu lupa diatur atau mungkin sama sekali “tidak diketahui” urgensi pengaturannya. Tata cara penyusunan daftar pertanyaan debat paslon hingga layak tidaknya diketahui oleh masing-masing paslon pertanyaan tersebut, sebelum beradu gagasan di medan tempur, merupakan contoh paling konkret tidak mapannya fungsi regulator KPU RI sebagai sentral penyelenggara pemilu. Dalam bahasa yang paling ekstrim, “kekosongan hukum” mengangah lebar, hingga menimbulkan sunami ketidakpercayaan terhadap KPU RI. Area abu-abu menjadi tempat bermain para oknum tak bertanggung jawab, menuding KPU RI sebagai wasit tidak netral rasa petahana. 

Bagaimanapun debat capres merupakan bagian dari metode kampanye pemilu yang esensi dasarnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab (Pasal 267 ayat 1 UU No. 7/2017 tentang Pemilu Juncto Pasal 2 ayat 2 PKPU No. 23/2018 tentang Kampanye Pemilu). Pendidikan politik yang dimaksud tidak bersifat inklusif hanya ditujukan untuk paslon beserta dengan tim suksesnya, tetapi untuk semua masyarakat, tepatnya rakyat pemilih. Dalam nalar yang sama, pertanggungjawabannya jelas tidak mengerucut pada kepentingan golongan, tetapi lagi-lagi pada kepentingan rakyat. 

Itu artinya debat capres hanya akan terverfikasi dalam tujuan memberikan pendidikan politik dengan pelaksanaan yang bertanggung jawab, manakala pertarungan gagasan terukur berdasarkan kapasitas. Dalam hal ini kapasitas masing-masing paslon hanya bisa terukur tanpa mengetahui soal atau materi yang akan diselesaikannya. 

Melegitimasi tindakan dengan mengembalikan pada forum “kesepakatan,” itu sama dengan logika jungkir balik. Tindakan hukum publik yang bersifat istimewa, apalagi yang bersinggungan dengan pengisian jabatan pemerintahan tidak bisa dinegosiasikan. Diskresi yang terbuka lebar adalah ruang bercokolnya para kaum oligark, minim atau bahkan sama sekali tidak ada lagi pengakuan terhadap deliberasi publik. 

Soal kewenangan untuk membocorkan daftar pertanyaan ke masing-masing paslon, tidak bisa ditaksasi melalui kesepakatan bersama. Wewenang yang melekat dalam jabatan (KPU RI) bukan sambal terasi, bukan gado-gado administrasi campur perdata. Kesepakatan dimungkinkan dalam wilayah properti yang tidak berdampak kerugian meluas (publik). Dan oleh karena itu membeberkan pertanyaan jauh-jauh hari sebelum pergelaran debat capres berlangsung, sama saja komisoner KPU RI telah melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of the power). 

Basis Rasional 

Baik secara filsufis maupun secara sosiologis pembocoran pertanyaan debat capres tidak memiliki pijakan atau basis rasional. Aspek filsufisnya adalah meletakkan keadilan pada rakyat pemilih semata. Capres-cawapres belum mendapatkan legitimasi kedaulatan rakyat, sehingganya tindakan itu tidak rasional jika dibangun dalam domain kesepakatan mereka-mereka. 

Yang lebih tepat menyangkut kepatutan pembocoran pertanyaan ke masing-masing paslon disusun dalam kerangka “moral publik.” Dengan konklusinya dilarang membocorkan pertanyaan ke paslon sebelum sesi debat berlangsung. Itu kemudian dituangkan dalam peraturan kebijakan (Juklak, Juknis, Surat edaran), sebab produk hukum semacam ini masih memungkinkan cita rasa undang-undang yang berlaku secara umum. 

Sementara dalam perspektif sosiologis, manfaat pembocoran pertanyaan debat capres jangan dipandang pada kemanfaatan sepihak. Kemanfaatan selalu mengutamakan yang sebesar-besarnya. Mayoritas rakyat pemilih jelas mendambakan otensitas calon yang layak pilih ketimbang pencitraan semata. Mengetahui sedari awal jawaban dari pertanyaan yang akan dikemukakan oleh panelis, itu bukan keaslian, tetapi hanya menampakan tiruan (imitasi). Sebab toh, apa juga gunanya dihadirkan panelis, jika pertanyaan itu sudah digenggaman KPU RI, mengapa pertanyaan dari panelis tidak diwakilkan saja oleh moderator. 

Ini bukan tebak-tebakan, bukan cerdas-cermat, maksud hati ingin mempertunjukkan debat yang bermartabat, apa daya martabatnya sudah “jatuh arisannya” ke penyelenggara pemilu. Jangan paksa pemilih mengambil kesimpulan kalau kontes Miss Universe jauh lebih enak ditonton dari pada debat capres 17 Januari nanti dengan daftar pertanyaan, bocor…!!!


Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Magister Hukum UMI Makassar;
Konsentrasi Hukum Pemilu & Pilkada

ARTIKEL INI JUGA MUAT DI TRIBUN TIMUR, 10 JANURI 2019

Sumber Gambar: tirto.id






[Read More...]


Ketika NA-DP Dilapor ke Bawaslu



Laksana drama kolosal yang sudah hampir tutup episode, perseteruan antar pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden guna merebut simpati pemilih makin hari kian menajam. Penegakan hukum pada akhirnya menjadi “dagelan” sebagai rencana yang sistematis untuk menunaikan hasrat politik minus etika. Aparat penegak hukum dilibatkan bukan dalam rangka mencari keadilan, tetapi ajang balas dendam petahana versus nonpetahana. 

Dan arisan itu kini jatuh di pucuk pimpinan pemerintah daerah, Nurdin Abdullah dan Danny Pomanto (NA-DP). Gubernur Sulawesi Selatan dan Walikota Makassar itu dilaporkan oleh relawan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Pas 08) ke Bawaslu Sul-Sel. Dan Bawaslu Sul-Sel kemudian melimpahkan laporan itu untuk dikaji dan diperiksa oleh Bawaslu Makassar. 

NA-DP 

Pada prinsipnya dalam Undang-undang Pemilu tidak ada pelarangan bagi Gubernur atau Walikota untuk turut serta dalam kegiatan kampanye pemilu, sebagaimana halnya yang diberlakukan untuk jabatan seperti: Hakim, ASN, TNI, Polri, Kepala Desa, dst (Pasal 280 ayat 2). 

Kebolehan untuk terlibat dalam kegiatan kampanye bagi kepala daerah terikat sejumlah persyaratan. Pertama, kalau melaksanakan kegiatan kampanye yang bersamaan dengan hari kerja, maka harus dengan izin cuti. Kedua, kegiatan kampanye yang diikuti di saat hari libur tidak perlu dilengkapi dengan izin cuti. Ketiga, menghadiri atau mengikuti kegiatan kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas dalam jabatannya. 

In qasu NA-DP menghadiri kegiatan kampanye Jokowi pada 22 Desember 2018 memang tidak dalam status sedang menjalani cuti, namun dengan mengingat hari tersebut bertepatan dengan masa akhir pekan (hari sabtu, bukan hari kerja) sehingga keduanya tidak perlu mengajukan izin cuti ke Menteri Dalam Negeri. 

Permasalahan selanjutnya, apakah boleh NA-DP mengacungkan satu jari sebagai bentuk dukungan kepada paslon Jokowi-Amin? Pada sesungguhnya boleh-boleh saja. Dasar argumentasinya, yaitu: jika mereka dibolehkan menghadiri kegiatan kampanye pemilu karena yang bersangkutan adalah anggota partai politik, anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye, secara mutatis-mutandis juga dibenarkan untuk memberikan dukungan kepada paslon yang sedang melaksanakan kegiatan kampanye. 

Dan pada saat menghadiri kegiatan kampanye tersebut memang terpenuhi melakukan tindakan yang kemungkinan besarnya menguntungkan peserta pemilu. Namun perlu diketahui secara pasti bahwa tindakan itu dilakukan tidak bersangkutpaut dengan kualitasnya sebagai Gubernur atau Walikota. Mengapa? Karena secara personal tidak dalam kualitasnya sebagai pejabat, berhubung bukan hari kerja yang mewajibkan adanya izin cuti. 

Terdapat dalil lain bahwa DP melibatkan aparat desa beserta perangkatnya untuk menghadiri kampanye Jokowi di CCC. Apakah kemudian perbuatan tersebut memenuhi sebagai tindak pidana pemilu berdasarkan Pasal 547 UU Pemilu? Tuduhan ini dengan gampang terbantahkan bahwa tindakan yang dilakukannya itu bukan mengatasnamakan dirinya sebagai Walikota Makassar, tidak pula mengundang kepala desa. 

Di berbagai media sosial ada banyak beredar isi undangan tersebut, “…saya DP ana lorongna Makassar atas nama pribadi mengundang saudara-saudara dan sahabat seperjuangan yang terdiri dari para tokoh dan semua kalangan masyarakat….” Kegiatan kampanye yang ia lakukan bukan di hari kerja, dan pada saat yang sama bukan pula mengatasnamakan sebagai Walikota Makassar, sehingganya tidak berdasar hukum untuk ditempatkan melanggar aturan kampanye. 

Yang lebih keliru lagi dengan terdapatnya tuduhan kepada NA, “beliau melanggar Pasal 69 PKPU No. 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu, seorang kepala daerah tidak bisa terlibat dalam kampanye apabila tidak tergabung dalam parpol. Sedangkan NA menjadi dewan pembina tim sukses capres Jokowi-Amin.” 

Pasal 69 PKPU a quo sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai larangan bagi kepala daerah untuk terlibat dalam kampanye, jika bukan anggota parpol. Expresiss verbis dalam ketentuan tersebut mengatur mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dus pejabat yang dilarang untuk dilibatkan dalam kampanye, tanpa ada pelarangan untuk kepala daerah. 

Demikian halnya dengan dalil yang menyatakan kalau NA tidak tergabung dalam parpol kemudian tidak bisa terlibat dalam kampanye. Sekali lagi itu keliru, karena secara tegas dalam Pasal 299 ayat 3 UU Pemilu Junto Pasal 59 ayat 3 PKPU Kampanye Pemilu terdapat syarat eksepsional yang bukan anggota partai politik, dapat melaksanakan kampanye apabila yang bersangkutan sebagai anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye. 

Sanksi Administrasi 

Saya justru berpandangan bahwa kepala daerah yang hendak terlibat dalam kegiatan kampanye lebih cenderung berimplikasi sanksi administrasi, bukan sanksi pidana. Ration de etre-nya adalah menjadi tugas dan kewenangan KPU bersama dengan Bawaslu untuk menjalankan fungsi pencegahan kepada kepala daerah agar tidak menghadiri kegiatan kampanye jika tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Undang-undang. 

Bahkan lebih dari itu, KPU dapat menggunakan kekuasaan istimewanya menerbitkan Keputusan pelarangan bagi kepala daerah yang hendak mengikuti kampanye manakala tidak memiliki izin cuti atau bukan hari libur (Pasal 75 Juncto Pasal 62 PKPU Kampanye Pemilu). Dan kalau ada kemudian kepala daerah diproses hukum gara-gara menghadiri kegiatan kampanye sebab musabab melakukan tindakan yang menguntungkan peserta pemilu, kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada kepala daerahnya saja, tetapi juga karena kelalaian KPU dan Bawaslu dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. (Dmg)* 



Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Konsentrasi Hukum Pemilu & Pilkada
ARTIKEL INI JUGA MUAT DI TRIBUN TIMUR, 17 JANUARI 2019

Sumber Gambar: kabar.news






[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors