Jejak Kisah Seorang Ibu (Refleksi Mother’s Day)




Kita bisa menjadi celaka, durhaka, bahkan dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Andaikata hanya 22 Desember, pada hari itu-itu saja dijadikan sebagai hari untuk mengenang jasa dan pengorbanan seorang Ibu. Ibu yang telah melahirkan kita sebagai “anak” yang pada akhirnya mampu menatap luas dan agungnya cakrawala dunia.

Pun demikian adanya, mengenang hari Ibu sebagai penghargaan sosok perempuan yang telah melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan, lalu 22 Desember lagi-lagi dijadikan sebagai hari Ibu, rasa-rasanya tidak sebanding dengan pengorbanan titisan dari bini Nabi Adam itu.

Jejak Kisah

Maka melalui tulisan ini, kepada para Pembaca budiman, izinkan saya mendedah jejak kisah seorang Ibu. Perihal suka-dukanya bersama dengan sosok Ibu. Dan selanjutnya, titik berat tulisan ini diarahkan pada dua tujuan intisari: Pertama, tulisan ini kutujukan kepada Ibu saya yang dengan perkasanya telah menantang “kerasnya” kehidupan dalam membesarkan kami bersama. Kedua, semoga tulisan ini memberikan pesan “otentik” bagi saya pribadi dan kepada pembaca semuanya.

Begini ceritanya: sejak saya masih berumur 1 (satu) tahun, dalam bilik-bilik keluarga, Ayah-Ibu, dengan sangat “terpaksa” harus menjadi yatim, sebab Ayah saya memilih mengakhiri hidupnya dengan tragis. Ayah saya meninggal dengan cara bunuh diri, meneguk racun di sebuah “rumah persawahan” milik kami sekeluarga.

Saya, Ibu, dan tiga saudara adik-kakak saya ditinggalkan dalam keadaan tidak lagi memiliki orang yang bisa menjadi penopang keluarga. Tetapi di luar itu semua, dalam keadaan kami empat bersaudara yang masih belum mengerti tentang “kematian”. Kami semua belum dewasa. Tampaknya, sosok Ibu yang “single parent” mampu menjungkirbalikan semua kecurigaan orang kebanyakan, jika kiranya “sosok perempuan” tiada mampu mengemban tanggung jawab dalam rangka membesarkan anak-anaknya.

Kala itu, ada banyak cibiran hingga tuduhan dari kerabat Ayah saya yang membuat, kadang Ibu saya menitihkan air mata karena dianggap “gagal” menjadi isteri yang baik untuk suaminya seorang. Ibu saya dicampakan oleh beberapa kerabat ayah saya. Sedangkan saya sendiri ber-empat bersaudara dibiarkan saja merasakan “sakitnya” tak memiliki seorang ayah.

Ibu saya memang tidak pernah tahu apa yang dimaksud sebagai “wanita karir”. Tetapi saya akan menempatkannya Dia sebagai wanita berkualifikasi “Ibu rumah tangga” yang baik, sekaligus “lakon” wanita karir, kepadanya berhak untuk dia sandang. Sebab mengapa? Ibu saya memang wanita yang adikodrati “lemah” dari segi fisik, tetapi pancaran sinar keemasan “mata anak-anaknya” Ia mampu menjadi “permata” untuk kami semua. Ia adalah gadis desa yang dibesarkan dari kehidupan yang hanya menyandarkan diri kepada alam, tepatnya menyandarkan sumber penghidupan hanya dari sektor pertanian saja.

Dialah ibu saya, yang sedari dulu hingga kini, juga adalah ayah saya. Yah.. pengganti ayah saya. Ia bisa menggarap lahan pertanian kami. Ia mendayung cangkul dalam menggarap kebun kami yang telah ditinggal oleh ayah, dari kami “empat bersaudara” harus menjadi yatim.

Dan inilah kebesaran Tuhan, “sungguh Dia tidak akan membebani kepada hamba-Nya manakala dia tidak dapat menanggungnya.” Dengan kesabaran serta keteguhan hati bukanlah waktu yang singkat, lalu kami semua bisa menjadi dewasa.

Dari hasil pertanianlah yang dengan sunguh-sungguh telah menguras leleh keringat seorang Ibu. Kami semua dari 4 (empat) bersaudara bisa menjadi dewasa, bisa mengecap bangku kuliah hingga akhirnya menyandang sarjana. Kalau sudah demikian, maka “kurang apa lagi” yang telah dilakukan oleh seorang Ibu. Ibu yang sebagai penyadang profesi rumah tangga, Ia mampu memasak makanan dengan hidangan lezat untuk anak-anaknya. Ibu yang sebagai “wanita karir” toh Ia sudah menunjukan kepada dunia, air hujan telah bercampur dengan leleh keringatnya, disaksikan oleh “bumi” yang tiap hari digarapnya kalau Ia adalah wanita “pekerja keras” yang sangat jauh berbeda dengan pekerja wanita kantoran.

Bahkan kalau ia mau diegalari sebagai “wanita aktifis” pun saya berani menyanggupi untuk menobatkannya memang dia adalah “wanita akitifis”. Di dunia ini, mana ada wanita, pun kalau ada, mungkin hanya bisa dihitung lima jari temali, dalam kondisi “single parent” Ia menekuni profesi “Petani”.

Lalu, Ia mendermakan bakti untuk anak-anaknya. Semuanya harus menyandang gelar sarjana. Memang dia tidak turun ke jalan meneriakan perlawanan atas sebuah “ketertindasan” bagi sang papa, tetapi dia telah melahirkan dan membesarkan anak-anak yang harus bersikap “kritis” dikala sang pengemban amanah “lupa” akan janjinya.

Hari Ibu

Cerita singkat di atas yang dinukil sendiri dari pengalaman hidup saya bersama dengan seorang ibu yang single parent, terpancar hikmat di atas hikmat. Bahwa kepergiaan seorang ayah, selamanya dari dunia., telah dijadikan “cambuk kenangan” oleh Ibu saya. Suatu waktu Ibu saya pernah berucap: “anakku, semuanya harus bersekolah agar tidak mengikuti tindakan Ayahnya, yang terlalu gampang mengakhiri hidup hanya karena persoalan sepele”

Dan ibu saya benar, bukan berarti karena Ayah saya cepat dijemput oleh Yang Maha Kuasa, lalu kami semua bisa mengecap bangku kuliah. Pesan otentik dari semua itu, hargailah dan sayangi Ibumu lebih dari semuanya. Sebab tiada hari yang luput dari peran seorang Ibu. Mulai anda berada di dalam kandungan, dilahirkan hingga dibesarkan olehnya, semua waktu, fisik, dan tenaga hanya dikorbankan semata-mata kepada anaknya.

Maka jadikanlah semua harimu adalah hari Ibu, hari untuk berbakti selama-lamanya; kepadanya. Dialah wanita yang tidak hanya “menggerakkan” dunia kepada “kemerdekaan”. Tetapi Dia telah memerdekakan kepada semua anak-anak yang saban waktu akan menjadi dewasa. Dia telah memberikan hakmu untuk lahir melihat “cahaya dunia” walau kadung maut bisa-bisa mengancamnya. Dia pula-lah yang rela menahan perut keroncongan, asal anak-anaknya bisa tertawa, bahagia dan tersenyum di hadapannya.

Derita kepiluan, lelehan air mata dan keringatnya. Lalu dengan sekeras apapun kita mencoba untuk membalas jasa-jasa dan pengorbanannya, sungguh tiadalah sebanding dengan apa yang pernah dilakukannnya kepada kita semua. Pada 22 Desember hanyalah pemantik dan sepenggal kisah, jika semua hari dan pada hari-hari selanjutnya, dalam keadaan apapun sangat wajar, amal perbuatan kita diberikan semua, kepada Ibu kita. *Mari menyayangi, mencintai, dan mendermakan bakti kepada ibu kita, Selamat Hari Ibu.* 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
[Read More...]


Ibuku, Pahlawanku (Refleksi Mother’s Day)



Saya tidak sepakat, jika hanya karena persoalan keterlibatan perempuan dalam merebut kemerdekaan di tangan penjajah melalui Kongres Perempuan Indonesia I (yang pertama) 22 s/d 25 Desember 1928 di Yogyakarta. Lalu momentum itu dijadikan sebagai cikal bakal lahirnya hari ibu setiap tanggal 22 Desember. Sebab, lebih dari itu semua lebih pantaslah menjadikan semua “hari” adalah hari bagi kita semua untuk membalas jasa-jasa yang telah dikorbankan seorang ibu, sehingganya kita dapat menyaksikan sekaligus merasakan besarnya kuasa Tuhan di dunia ini.

Bagi saya, adikodrati seorang wanita yang menitiskan kepadanya sosok “keibuan” dengan mengaca pada kongres perempuan pertama. Kemudian menobatkannya sebagai pahlawan kemerdekaan, itu terlalu “kecil” sikap kita untuk menghargai seorang ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan kita dengan segala daya upayanya.

Pahlawanku

Maka dari itu, melalui tulisan ini kepada para pembaca harian Gorontalo Post, izinkan saya untuk menceritakan sepenggal kisah pribadi bersama dengan seorang ibu, sehingga kepadanya pantas sekali kujadikan sebagai pahlawan dalam setiap jejak kisah saya.

Singkatnya, begini ceritanya: saya turut merasakan betapa perihnya perjalanan hidup ibu saya dalam membesarkan kami empat bersaudara. Sebabnya adalah lantaran saya dan adik-kakak, hanya Ibulah harus menjadi penopang satu-satunya dalam keluarga.

Andaikata Ayah saya meninggal dalam keadaan yang lazim. Maka boleh saja tantangan yang harus dilalui oleh ibu saya dalam mengantarkan kami semua menjadi dewasa tidak terlalu berat. Namun ujian-Nya sungguh maha berat, ayah saya meninggal dengan cara tragis, ia meneguk racun di sebuah rumah persawahan milik kami sekeluarga.

Dan karena peristiwa tragis itulah, sehingga akhirnya ibu saya, selain kadang menyesali kematian ayahku, ia juga mendapat cibiran dari beberapa kerabat ayahku yang “meninggal” konon karena ibu saya menjadi penyebabnya. Sungguh kasihan ia, ibuku tersayang, menerima segala tuduhan kalau dia dianggap gagal total menjadi istri yang baik untuk suaminya.

Kadang kutatap bola mata ibu saya kala itu, ketika selalu saja ada yang menyalahkannya. Deengan menahan rasa sakit, pedih, perih, hati tercabik-cabik, bola matanya hanya berkaca-kaca, tidak ingin memperlihatkan kepada kami kalau sesungguhnya dia sedang dilanda duka mendalam.

Tetapi harus kuakui pada konteks inilah, saya menyatakan ibuku, adalah pahlawanku. Segala caci maki yang dituduhkan kepadanya. Dia jadikan cambuk untuk menjalani hidup lebih dari semuanya, yang orang selalu ramalkan.

Dia benar-benar menggantikan posisi ayahku, dia menjadi petani. Tak mau ia berlarut-larut dalam kesedihan, sesadar-sedarnya ia menyadari kalau air mata tidaklah mampu membesarkan anak-anaknya.

Tak ada gunanya selalu bersedih, semua ketetapan Tuhan harus diterima oleh hamba-Nya, demikian pesan yang selalu terngiang dari ibu saya. Selain menjalani kebiasaan ibu rumah tangga kebanyakan, berada di depan perapian untuk menanak nasi dan meramu beberapa hidagan lezat untuk anaknya, ia pula yang menjadi penggarap dari lahan pertanian yang telah ditinggalkan oleh ayah saya. Ia mendayung cangkul untuk merawat seluruh tanaman pertanian milik kami sekeluarga, sebab itulah satu-satunya sumber kehidupan keluarganya.

Lagi dan lagi saya harus menyatakan, dia; ibuku adalah pahlawanku. Umurnya yang kian hari sudah senja adalah saksi semenjana kalau cucur keringatnya tiap hari meleleh demi permata jiwanya. Walau dia wanita, yang seharusnya kulit dan badannya menjadi lembut, tetapi karena “kerja keras” menjadi penggarap kebun, perawakan tangannya sudah berotot seperti laki-laki.

Maka dari itu, kalau saya ditanya, adakah sosok manusia yang engkau cintai selain dirimu, lebih dari dirimu? Maka tak tangung-tanggung untuk kujawab, dialah ibuku. Ibu yang sudah kuanggap tuntas dirinya, memilih untuk menjadi single parent selamanya, demi anak-anaknya semata.

Bukan sebuah keberkahan yang harus menjadi kata syukur, karena ayahku meninggal, lalu ibuku “tersugesti” untuk menamatkan semua anak-anaknya di perguruan tinggi (bahkan tekadnya adalah semua anaknya harus kuliah diperguruan tinggi negeri). Semua niat baik itu sungguh menjadi makbul. Ibuku beralasan, semua anak-anaknya harus menempuh sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi, agar anak-anaknya jangan mengikuti tindakan ayahnya yang terlalu gampang mengakhiri hidup hanya karena persoalan sepeleh.

Memang alasan itu terkesan tidak masuk akal. Tetapi bagi saya, ibuku adalah pembelajar ulung dari masa lalu. Ia harus menggenggam dunia demi anak-anaknya, demi kebesaran jiwa anak-anaknya. Agar kelak menjadi anak yang bisa mandiri, saling-mengasihi, dan bertanggung jawab untuk keluarga. Demikianlah pesan yang selalu diulang-ulang untuk anaknya, sehingga walau ibuku tidak sempat menamatkn sekolah dasar, pun di dalam diri, denyut nadi, jantung dan darahnya mengalir kearifan seorang Filsuf yang selalu mencipta asa untuk anak-anaknya.

Hari Ibu

Dari sepenggal kisah yang saya ceritakan di atas, akhirnya saya berkesimpulan kuat, untuk diri saya, untuk pembaca, kita semua. Semua hari, detik, menit, jam, bulan, dan tahun dalam segala hela nafas, itu semua menjadi milik ibu. Bahwa semua waktu adalah masa untuk membalas jasa-jasanya, kendati balasan itu pastinya tidak akan sebanding dengan apa yang pernah dilakukannya kepada kita.

Ibu adalah pahlawan perkasa, tangguh, sehingga ia bisa melahirkan kita dari masa-masa sulitnya, karena dengan pengorbanannya walau kdaung maut menjadi ancamannya, akhirnya kita bisa mengecap “cahaya kehidupan” di dunia. Lagi-lagi karena sikap kepahlawanan dia yang memantaskan ‘generasi” harapan di masa-masa selanjutnya.

Segala kepedihan dan kepiluan yang telah dirasakan oleh ibu seorang. Dan segala senyum manisnya. Di sanalah membunca “ruah rasa”, menyemai yang bernama cinta dan kasih sayang.

Ajal boleh menjemput siapapun, tidak tanggung-tanggung, tetapi lakukanlah yang terbaik untuk ibu kita selagi ia masih hidup. Tak ada waktu untuk mengatakan sudah terlambat, sebab waktu berbakti dan mengabdi kepada seorang ibu selalu terbuka selagi matahari tidak pernah terbenam di tengah langit. Wahai dikau, Ibu…! Doa sapu jagat akan selalu menyertaimu. Selamat hari ibu.*
 
 
Artikel ini Juga Muat di Harian Gorontalo Post, 22 Desember 2015
Damang Averroes Al-Khawarizmi
 
 
[Read More...]


Mengapa Harus Ibu? (Refleksi Mother’s Day)



Nama lengkapnya Mabah bin Budzkhasyan bin Mousilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Sahrk Al-Isfahani. Lahir di Persia dan Ia lebih dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah dan digelari dengan Salman Al-Khair.

Al-kisah, sebuah situasi yang amat getir sedang melanda Salman Al-Farisi. Dalam keadaan drinya yang papa ternyata ibunya “sangat berkeinginan” naik haji. Terlebih-lebih lagi bukan hanya uang yang tidak dipunya, tetapi ibu yang hendak menunaikan haji di tanah suci itu sudah dalam keadaan sekarat, sakit, tiada ia lagi mampu berjalan.

Namun kemudian Salman Al-Farisi mengandalkan ototnya yang kuat. Ia mengantar sang ibu naik haji dengan cara menggendongnya, ia melintasi sengatnya panas di atas gurun pasir.

Singkat kata singkat cerita, ketika akhirnya Salman Al-Farisi dan ibunya sampai di kota Mekah, dengan wajah sumringah, masih dilanda kelelahan, tiba-tiba ia bertemu dengan rasululullah. Alangkah bahagianya sang anak beserta ibunya itu, ketika mereka bertemu dengan utusan Allah yang sangat mereka cintai dan mereka selalu rindukan.

Hingga terjadilah percakapan antara Salman Al-Farisi dengan Rasulullah. Sang anak bertanya kepada Rasul: “wahai Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya, saya menggendong ibu saya, dipundak saya sambil berjalan dari Madinah sampai kota Mekah untuk menunaikan niatnya beribadah haji”

Lalu denga seketika itu Rasulullah menangis. Rasul menjawab dengan suara tangis yang masih tersedu-sedu: “wahai saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar-benar anak sholeh, tetapi maaf, apapun yang engkau lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orag tuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu.”

Kendatipun demikian dalam sejarahnya, Rasulullah juga mengakui kalau Salman Al-Farisi adalah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT, tetapi perjuangan gigih dari sang anak penuh bakti itu. Lagi-lagi dalam pengakuan Rasulullah pula “sungguh perbuatannya tiadalah sebanding dengan jasa orang tuanya.”

Hari Ibu

Maka dalam konteks itu, merayakan hari ibu dalam momen 22 Desember pun rasanya tidak akan pantas dapat mewakili apa yang telah dilakukan oleh seorang ibu untuk anak-anaknya. Mengapa kita tidak jadikan saja semua hari adalah hari untuk mendermakan bakti kepada ibu? Mengapa hanya sehari saja, kepadanya ia patut direnungi segala pengorbanannya. Tidak! semua hari, detik, jam, bulan dan tahun harus dijadikan cambuk untuk terus mencintai dan menyayangi ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita semua.

Bayangkan saja saat sosok ibu yang dengan kelemahan fisiknya. Ia kuat dengan segala daya upayanya; kita bisa lahir dari rahimnya yang juga harus ditanggung berbulan-bulan. Ia bisa menjadi tersenyum walau segala peluhnya telah habis, untuk melahirkan anak yang disayanginya. Dan tidak hanya itu, kadang pula ia tidak bisa tertidur karena menjaga anaknya dari “suara rintihan” hingga larut malam.

Dan kepadanyalah, dengan segala kelemahlembutan yang tersemat dalam dirinya. Natural seksual yang meniscayakan sebagai sunnatulloh, maka hanyalah sosok ibu yang bisa melahirkan. Pada titik itu, Tuhan telah mengangkat derajat wanita dalam titisannya sebagai “ibu” yang lebih “agung” dari pada laki-laki yang tidak bisa mengandung dan tidak bisa melahirkan.

Rasulullah SAW, junjungan kita semua tak salah pula menyampaikan risalah ketuhanan kepada ummatnya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari No. 5971 dan Muslim No. 2548).

Betapa dahsyatnya sabda Rasulullah tersebut, hingga Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya. (Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan: “bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah.”)

Pelita Harapan

Selain itu, terdapat pula sebuah misteri “kegaiban” Tuhan telah menghadirkan sosok ibu di muka bumi ini. Penting kiranya bagi kita semua menangkap pesan ketuhanan itu, ada apa sehingga sosio historisnya Nabi Adam as yang begitu gagah perkasa ditemani dengan wanita yang maha sempurna dengan kelemahlembutannya? Apakah makna dibalik itu semua sehingga Allah SWT menciptakan dua insan yang saling berkasih sayang, lalu diturunkan “kekuatannya”, dua manusia pertama itu dari generasi ke generasi?

Selemah-lemahnya nalar kita. Semua peristiwa itu menjadi tanda “rahman” dan “rahim-nya” Tuhan kepada Hamba-Nya. Andai tiada wanita, tiada ibu, siapalah yang bisa melunakan hati seorang lelaki, seorang ayah, jikalau dirinya selalu mendahulukan “perselisihan” ketimbang rasa untuk saling mengasihi bersama? Andaikata tiada Ibu yang dengan syahdunya meninabobohkan anak-anaknya yang saban hari akan menjadi pemegang “tongkat estafet” kepemimpinan di negeri ini, maka sanggupkah kita mengecap rasa kedamaian tanpa ajaran dan nilai kasih sayang yang telah dititiskan kepada oleh sang ibu?

Bilik-bilik keluarga, rumah tangga, masyarakat, bangsa, dan negara. Semuanya, menjadi damai sentosa, karena “wajah kedirian” Tuhan sungguh telah dianugerahkan kepada Ibu, dengan rasa cintanya kita semua bisa saling mengasihi.

Pun air mata, derita, luka, kepiluan, haru dan bahagia, semuanya rasa itu hadir dari sosok ibu untuk selalu optimis menyalakan “pelita harapan” bagi segenap ummat manusia. Mari bersyukur kepada Allah SWT, karenanya kita punya sosok ibu yang membuat hidup ini selalu menjadi bermakna. Selamat hari ibu. *
 
 
Artikel ini juga muat di koran Amanah Makassar, 21 Desember 2015
 
Damang Averroes Al-Khawarizmi

[Read More...]


Jalan Pintas, Menghinakan Kehormatan



Tanpa disadari sekelumit kehidupan dasawarsa ini, ada banyak orang yang lebih senang menggunakan jalan pintas, metode instan, dalam meraih kehormatan guna meningkatkan status sosialnya di hadapan publik. Meski kemudian tindakan-tindakan yang dilakukannya itu tidaklah sesuai dengan kapasitasnya.

Inilah penyakit “kronis” yang rata-rata melanda “generasi pelanjut” bangsa. Tak pernah merasakan harga diri, nama baik dan kehormatannya menjadi terhina kalau hanya menggunakan cara-cara instan, agar dirinya bisa menggunakan prestisenya dalam mengumpulkan “puing-puing” rupiah.

Jalan Pintas

Saya merasa gelisah ketika hendak mendobrak “tradisi haram” demikian. Tat kala merelakan harapan, cita-cita, impian, harus menjadi pupus. Dengan keluar dari kelaziman, tidak perlulah merengkuh kehormatan kalau harus melalui jalan pintas.

Ironisnya, setiap kali memberi peringatan kepada mereka yang hobinya memakai jalan pintas, sekonyong-konyong pembelaan datang dari mereka; “bukankah itu memang yang lazim dilakukan saat ini?” Dan rupa-rupanya mereka malah menenggelamkan diri dalam kubangan ‘sistem” yang sudah diketahuinya, dari awal sudah rusak.

Ada berapa banyak calon Sarjana, calon Magister, bahkan calon Doktor tak pernah peduli dengan proses, untuk belajar sendiri dalam rangka meningkatkan kapasitas keilmuannya. Lebih asyik menggunakan formulasi pamungkas, mencari orang yang bisa menyelesaikan tugas akhir mereka. Kerjanya, hanya tampil di ruang sidang ujian dengan sikap, “seolah-olah” sudah mengikuti semua alur penetian yang digariskan, hingga tersaji karyanya di hadap para penguji.

Sebuah kondisi yang mengisyaratkan bahwa calon Sarjana itu, calon Magister itu, calon Doktor itu, harus rela berlaku jujur, kalau kapasitasnya memang tidak bisa merengkuh gelar prestisius yang diharapkannya. Harus memilih mengundurkan diri. Dan itu lebih baik. Karena kejujurannya yang memang “tidak mampu” bisa menjaga kehormatannya.

Apa lacur yang terjadi. Mereka malah bangga. Sesuatu yang tidak sepantasnya menjadi teladan toh menjadi rujukan untuknya. Jangankan memburu gelar akademik yang sungguh prestisius itu dianggap “haram” untuk diperbuat. In casu pimpinan paling terhormat saja yang bernama “wakil rakyat” sudah terpentaskan segala “perbuatan” yang merusak kehormatannya, juga tidak berani berhenti di tengah jalan walau publik mendesaknya.

Mungkin kita krisis keteladanan. Ada benarnya. Lagian guru besar saja yang marah tat kalah tidak dipanggil sebagai Profesor, sulit menjadikannya sebagai sosok teladan. Banyak guru besar tetapi tak ada bedanya dengan calon-calon pemburu kehormatan tadi, juga tak punya kapasitas untuk menelorkan “buah karya” terbaru. Tetapi karena berburu tunjangan, pada akhirnya memaksakan diri menyuruh orang lain menuliskan karya-karya inovatif. Lalu, diklaim “buah karya” itu sebagai miliknya, pribadi. Ironis!

Menghinakan Kehormatan

Sungguh tak sepadan dengan tuntutan yang selayaknya, terwakilkan dalam pertahanan diri, selalu dan selalu menjaga kehormatan dan nama baik. Acapkali dilanda sifat menggebu-gebu melawan terhadap seorang yang datang secara tiba, menuduhkan suatu perbuatan (meskipun itu benar). Lalu, memperoteksinya dengan subjektifitas; “orang itu telah merusak nama baik dan kehormatan anda.”

Kalau orang lain menghinakannya, cepatlah ia bersikap. Tetapi Ia lupa bersikap kalau kehormatannya itu menjadi rusak, karena alih-alih berburuh”kehormatan absurd” yang tidak disanggupi oleh kapasitasnya. Tidak pernah menjadi malu, kalau “kehormatan” yang sudah diburu berada dalam genggamannya, walau menunjukan “kapabilitasnya” tiadalah Ia mampu.

Pada intinya, memang anda harus kehilangan harapan, kehilangan cita-cita. Manakala berniat sungguh-sungguh mengembalikan kehormatan karena kapasitas yang dimiliki tidak mumpuni.

Anda tidak perlu meraih Sarjana, Magister, Doktor, kalau merasa memang tidak pantas. Tidak perlu dipaksakan. Silahkan melepaskan semua harapan itu kalau harus melalui jalan pintas. Harga diri anda akan terenggut, kehormatan anda akan menjadi jatuh dititik nadir kalau tetap kukuh bertahan pada “semunya” kehormatan itu.

Lalu diluar sikap kerelaan itu, mengembalikan harkat dan martabat anda, kendati telah melepaskan semua atribut kehormatan yang absurd. Anda tidak perlu putus asa. Binalah, didiklah diri anda dalam sebuah proses! Silahkan meningkatkan kemampuan diri secara perlahan untuk meraih kehormatan yang selayaknya untuk direngkuh.

Kalau anda merasa sebagai Pengajar, Guru, Dosen, yang pada sesungguhnya telah melalui jalan pintas sehingga tahta kehormatan justru membuatmu menjadi terhina. Saatnya berani mengundurkan diri dari profesi bermartabat itu. Tak perlu takut kehilangan kehormatan, tinggalkan saja. Sebab buat apa berlama-lama kalau situasi demikian justru membuat kehormatanmu menjadi terhina.

Dan pada akhirnya, inilah juga yang harus menjadi pegangan. Kalau tidak mau menjadikannya sebagai “pegangan”, cukup menjadi peringatan dini bagi diri anda. Buat apa kukuh memaksakan diri menjadi Pasangan Calon (Paslon) Kepala Daerah dalam perhelatan “demokrasi electoral” akhir tahun ini, kalau sudah pernah divonis sebagai “terpidana korupsi” dan publik sebagai rakyat pemilih sudah pada mengetahuinya.

Dimana kehormatan dan nama baik yang selalu anda pertahankan selama ini? Kenapa justru anda sendiri yang merusak pribadi dan nama baikmu? Kemanakah “muka malu” anda disimpan sebagai mantan “perampok” uang rakyat, sehingga tetap merasa berbangga diri disaksikan di bilik-bilik suara?

Anda mau terhormat, tidak mempermalukan diri anda , semua tergantung dari sikap anda untuk menghargai proses. Ingat! Tradisi instan dengan motif berburu kekuasaan semata, sama saja menghinakan kehormatan dan nama baik anda.* 
Sumber Gambar: wongalus.files.wordpress.com

[Read More...]


MATERI KULIAH



SDM yang kurang berkualitas tidak akan dapat menghasilkan output yang optimum; SDM yang tidak berkualitas menekan pertumbuhan karena selain tidak menyumbang pada peningkatan produksi juga ikut memakan produksi yang dihasilkan orang lain. Akibatnya produktivitas atau pertumbuhan berkurang. Oleh karena itu ke depannya yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah peningkatan kualitas sumber daya manusianya agar dapat menjadi negeri mandiri dalam mengelolah SDA dan mampu bersaing di arena globalisasi

Sejarah pembentukan UUPA: PANITIA AGRARIA YOGYAKARTA: PANITIA AGRARIA JAKARTA; PANITIA SOEWAHJO; RANCANGAN SOENARJO.


Esensi membangun SAK adalah membakukan atau memantapkan mekanisme penyelenggaraan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil terutama kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian yang dilakukan berbagai instansi terkait didukung dengan sistem informasi yang mampu menghimpun data penduduk dengan tepat waktu dengan cakupan lengkap serta menyeluruh dan dapat dimanfaatkan untuk penerbitan dokumen penduduk dan pelayanan publik lainnya. (b) Untuk melaksanakan program rintisan SAK termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan, perlu diterapkan mekanisme yang berisi persyaratan dan prosedur serta tatacara seperti yang telah dituangkan dalam pedoman termasuk formulir-formulir pelayanan dan blangko dokumen penduduk sekaligus langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pengelolaan informasi.
Penyelenggaraan administrasi kependudukan di Indonesia dengan rekomendasi penyelenggaraan civil registration dari Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak pada re-grouping dan cakupan peristiwa penting yang direkomendasikan, sebagaimana di dalam perbandingan berikut: Adminitrasi  kependudukan/capilIndonesia: Kelahiran : Kematian ;   Perkawinan Perceraian Pengangkatan Anak Pengakuan Anak Pengesahan anak Perubahan Kewarganegaraan. Civil registration/ Vital Evect: Birth (kelahiran), Death (kematian), Foetal Death (lahir mati),Marriage. (perkawinan), Divorce (perceraian), Annulment (pembatalan perkawnan),Judicial Separation (pisah meja ranjang), Adoption (pengangkatan anak), Recognition (pengakuan anak), Legitimation (pengesahan anak)

BPJS membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.  BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.  BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia.
Bentuknya adalah Sebagai badan hukum publik, BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada pejabat publik yang diwakili oleh Presiden.  BPJS menyampaikan kinerjanya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada Presiden, dengan tembusan kepada DJSN, paling lambat  30 Juni tahun berikutnya. BPJS merupakan badan hukum publik karena memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Dibentuk dengan Undang-Undang (Pasal 5 UU BPJS)
  2. Berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 UU BPJS)
  3. Diberi delegasi kewenangan untuk membuat aturan yang mengikat umum (Pasal 48 ayat (3) UU BPJS)
  4. Bertugas mengelola dana publik, yaitu dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta (Pasal 10 huruf d UU BPJS)
  5. Berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional (Pasal 11 huruf c UU BPJS)
  6. Bertindak mewakili Negara RI sebagai anggota organisasi atau lembaga internasional (Pasal 51 ayat (3) UU BPJS)
  7. Berwenang mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 11 huruf f UU BPJS).
  8. Pengangkatan Angggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi oleh Presiden, setelah melalui proses seleksi publik (Pasal 28 s/d Pasal 30 UU BPJS).
Implikasinya:
a.       Penyelenggaran harus secara nasional (Pasal  19, 29, 35, 39, 45);
b.       BPJS (Badan Hukum Publik/Nirlaba), yang sebelumnya berbentuk privat seperti Asabri dan Taspen kini harus berubah status dalam badan hukum publik;
c.       Asabri, Askes, Jamsostek dan Taspen (badan hukum privat) wajib menyesuaikan diri  atau dengan kata lain ikut dengan SJSN;
d.       BPJS selaku badan hukum publik memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur publik melalui kewenangan membuat peraturan-peraturan yang mengikat publik.

Bonus Demografi secara umum dapat di artikan sebagai kondisi dimana penduduk usia produktif (15-60 tahun) meningkat sehingga menyebabkan angka ketergantungan yaitu perbandingan antara penduduk usia produktif (15-59 tahun) dengan penduduk usia non prodiktif (0-14 ditambah 60 tahun ke atas) semakin menurun.
1. Investasi SDM (Sumber Daya Manusia) Berkualitas:Pemerintah harus mendongkrak potensi penduduk usia produktif, terutama anak muda agar memiliki SDM yang berkualitas dan mampu bersaing di pasar Internasional dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan yang merata terhadap masyarakat, sehingga bisa kreatif dan membuat lapangan kerja sendiri.

2. Meningkatkan Pendidikan: Bonus Demografi harus diimbangi dengan pendidikan yang merata dan lama bersekolah juga wajib ditingkatkan. Bidang pendidikan yang dikembangkan harus sesuai kebutuhan pasar.
3. Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja:Pemerintah harus memiliki strategi pembangunan yang mampu menciptakan lapangan kerja layak dan berkelanjutan bagi angkatan kerja yang terus bertambah. Oleh karena itu, kapasitas tenaga kerja yang ada dipasar kerja harus ditingkatkan, diantaranya dengan menyediakan dana untuk berbagai pelatihan dalam rangka memaksimalkan potensi dan skill masyarakat.

4. Menyediakan Lapangan Kerja yang Memadai: Bonus Demografi harus dipersiapkan pemerintah dengan membuka lapangan pekerjaan secara besar-besaran di berbagai bidang untuk menampung sekitar 70% penduduk usia kerja di tahun 2020-2030. Diharapkan pula Pemerintah dapat terus menggenjot industri padat karya, pertanian, industri kreatif serta industri mikro, kecil dan menengah.

5. Memperkuat Investasi di bidang Kesehatan:Besarnya jumlah tenaga kerja harus diimbangi pula dengan meningkatkan jumlah fasilitas sosial dan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dan poliklinik). Selain itu, Pemerintah juga harus meningkatkan fasilitas lain seperti pengadaan obat dengan harga terjangkau, pengadaan asuransi kesehatan bagi tenaga kerja dan menjadikan lingkungan lebih sehat.

6. Meningkatkan Produksi Pangan: Besarnya jumlah penduduk usia produktif harus diimbangi dengan ketersediaan bahan pangan yang cukup memadai sebagai sumber energi mereka dalam meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, bahan pangan juga harus ditingkatkan produksinya serta didistribusikan secara merata ke seluruh daerah.

7. Program Keluarga Berencana (KB) sebagai gerakan nasional: Selain bermanfaat bagi pembangunan, usia produktif juga rawan memicu pertumbuhan penduduk yang tak terkendali (ledakan penduduk). Sosialisasi tentang Keluarga Berencana (KB) yang dikelola langsung oleh BKKBN ini harus tetap dilakukan secara merata di Indonesia agar jumlah anak setiap keluarga dapat semakin dikontrol. Hal positif yang dapat diambil adalah dengan jumlah anak yang semakin sedikit, maka produktivitas mereka dapat dipertahankan bahkan meningkat karena tanggung jawab mereka terhadap anak tidak akan semakin besar.





[Read More...]


Terompet Sangkakala untuk KPK




Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk menasbihkan materialime dialektika historis yang terdapat dalam karya bernas “Das Capital” Karl Marx. Bahwa pada akhirnya kapitalisme akan runtuh dengan revolusi yang dilakukan oleh proletariat, dan saban waktu kapitalisme akan menggali liang kuburnya sendiri. Maka hancur leburlah kapitalisme di atas bendera sosialisme.

Sungguh berbeda dengan peristiwa yang sedang melanda DPR saat ini, menggali kuburannya yang bernama Undang-Undang (UU) “lembaga anti rasuah” (KPK) justeru ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingan kapitalisnya. Bagaimana tidak? kalau kuburan itu telah banyak menelan korban dari rekan sejawat pada periode-periode sebelumnya. Siapa pula yang mau menjadi korban selanjutnya di nisan anti rasuah itu?

Dan tentunya kalau mereka sendiri yang menjadi perancang UU KPK, lalu sedari awal sudah diketahui kalau lembaga tersebut pada akhirnya akan memangsa dirinya. Suatu hal yang tidak perlu kemudian khalayak menjadi kaget manakalah sedikit demi sedikit DPR kukuh untuk kembali menggali liang lahat UU KPK. Agar jangan terlalu gampang menyeret sejumlah anggota legislatif ke nisan UU anti rasuah itu.

Liang Kubur

DPR kembali menggali liang kuburnya. Mengecek satu persatu korban pesakitan korupsi yang sudah terseret ke sana. Mengapa mereka dengan mudahnya dilucuti satu persatu dari tempat terhormatnya yang sudah mengatasnamakan perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia?

Perlahan dan pasti, satu persatu fakta historis dijadikan sebagai pengalaman berharga. Lalu pengalaman itu dintrodusir oleh DPR dalam draf RUU KPK: “Wahai KPK, anak yang tidak tahu diri, anak durhaka, sudah menjadi mali kundang, kini segala hak-hak dan kewenanganmu harus dikurangi agar jangan terlalu ambisius menahan dan menyandera orang tuamu sendiri.”

Maka dalam keadaan demikianlah, memunculkan beberapa niatan agar KPK dibatasi usianya hingga 12 tahun saja. Agar KPK cukup melakukan penyelidikan dan penyidikan, tidak perlu berada dalam proses acara sebagai jaksa penuntut umum. 

Dalam wilayah penyelidikan memang KPK masih diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan, tetapi haruslah denga izin hakim pengadilan. Demikian juga dengan lex specialis atas kewenangannya menangani hanya pada kasus tindak pidana korupsi, pada kewenangan a quo masihlah dipertahankan, namun sedikit diperlemah dengan batas untuk melakukan penindakan kasus korupsi pada nilai 50 milyar ke atas. Ini berbeda dengan “succes story” KPK di masa-masa sebelumnya, ketika garang menindak satu persatu koruptor dengan standar penindakan kasus korupsi pada nilai 1 milyar ke atas.

Wajar kemudian, ketika sikap DPR dalam niatan memperlemah KPK bukan berdiri di atas nalar kepentingan publik, tetapi justeru sebaliknya lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. 

Dalam nuansa kepercayaan publik yang sudah terdegradasi terhadap anggota DPR, nyatanya DPR “tuli” dari teriakan publik agar tetap mempertahankan marwah KPK. DPR adalah kumpulan wakil rakyat yang dimuliakan dalam kata, tetapi dihinakan dalam perbuatan.

Menjadi terhina, oleh karena rasa kepekaannya akan kepentingan rakyat terkalahkan oleh nafsu keserakahannya menumpuk lembaran rupiah. Sebuah fakta yang tidak bisa dinafikan, anggota legislatif yang duduk manis di senayan, mereka rata-rata berasal dari kalangan pengusaha. Kalau bukan dirinya sebagai direksi dalam sebuah perusahaan, mereka memiliki kerabat yang berprofesi sebagai pengusaha. 

Lokalisasi anggaran negara sengaja dialirkan kepada kerabatnya, dengan niatan jahatan pun keuntungan akan mengalir kepadanya. Dan ingat! Dalam keadaan demikian dengan tetap mepertahankan UU KPK saat ini, sudah pasti berkualifikasi korupsi yang rentan menyeret anggota DPR kita yang sungguh terhormat itu ke nisannya sendiri, UU KPK.

Terompet Maut

Ada suatu waktu, ketika KPK dalam juntrungnya segala kewennagan extra sudah dilucuti oleh DPR. Kabut kegelapan akan menyelimuti senayan dari praktik korupsi yang bergerak secara liar. 

DPR tak perlu takut untuk melakukan korupsi dalam batas 50 milyar ke bawah. DPR tidak akan merasa was-was lagi menelephon kerabat dari pengusaha ternama untuk melakukan konspirasi jahat dalam menyalahgunakan keuangan negara. Sebab KPK tidak segampang dulunya menyadap gadgate dari pejabat negara yang terindikasi korupsi. 

Prasyarat penyadapan harus mendapat izin dari hakim pengadilan, lalu KPK memiliki “legalitas” dalam melakukan penyadapan, pada sesungguhnya menyimpan sejumlah peluang besar bagi oknum DPR ketika melakukan transaksi korupsi via elektronik akan menghilangkan jejak-jejak kejahatannya.

Dan kalaupun DPR melakukan korupsi kecil-kecilan saja. Mereka tak perlu pobhia dengan anti rasuah KPK. Regim bisa saja berganti, tetapi pada waktunya mustahil KPK akan mendapat kekuatan politik untuk mengirim koruptor masa lalu menuju liang pekuburan UU KPK untuk mempertanggungjwabkan segala perbuatan tercelanya. Sebab apa daya! Usia KPK akan terhenti dalam denyut nafasnya 12 tahun di masa yang akan datang.


DPR silahkan korupsi! Silahkan menumpuk harta dengan keserakahanmu! Sebab perjuanganmu sendirilah menggali liang lahat UU KPK dari korban koruptor kelas kakap. Sehingga usahamu kian mendekati keberhasilan untuk membunuh anak durhaka yang bernama KPK. Dan selanjutnya lembaga anti rasuah (KPK), yang akan diseret keliang lahat itu. Tidak lama lagi terompet sangkakala untuk KPK akan berdendang dari senayan, dalam masa penantian 12 tahun, itu bukanlah waktu yang lama.*

Sumber Gambar:bantenflash.com/

[Read More...]


Ketika KPK Mengusik Dinasti Limpo




Hanya selang satu, dua jam pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digawangi oleh KPK terhadap Dewie Yasin Limpo bersama kerabat dan temannya yang berinisial (BWA, Ir, YS, Dv, Ir, dan ST), broadcast pemberitaan tersebut akhirnya menjadi ramai di media sosial, mulai dari twitter, facebook, hingga via BBM. Satu persatu akun sosial media menyebarkan link dengan konten “OTT KPK terhadap Dewie Yasin Limpo.”

Ini bukan soal pejabat dari lapangan kekuasaan mana yang disasar ataukah diusik oleh KPK. Sebagai bahagian peristiwa, “seolah-olah” efek dendam DPR yang selalu melemahkan lembaga anti rasuah itu.

Dewie Yasin Limpo memang salah satu anggota DPR RI di Komisi VII. Tapi peristiwa OTT ini efek tindalnya bukan karena jabatan legislatifnya. Toh parlemen kita saat ini, oleh publik sudah terlanjur tidak memercainya lagi.

Mengusik Limpo 

Lantas apa kalau begitu? Causalitas politiknya, bukanlah karena Dia adalah salah satu anggota DPR dari Parpol pengusung Jokowi-JK. Tetapi lebih dari pada itu semua, karena Dewie Yasin Limpo merupakan keluarga dari tanah Bugis-Makassar yang boleh dikata besar pengaruh, dominasi dan hegemoni politiknya di tanah Sul-sel. Tak tanggung-tanggung, siapa sih yang tidak kenal dua saudara kandungnya, Syahrul Yasin Limpo dan Ichsan Yasin .Limpo, adalah tokoh politik yang masing-masing sudah terpilih dalam dua periode Pemilihan Kepala Daerah.

Lalu dengan sekonyong-konyong komisi anti rasuah itu, dengan beraninya mengusik dinasti Limpo. Tindakan hukum KPK ini, sungguh betapa besar efeknya yang akan menghadirkan “peradilan opini publik” dalam memobilisasi isu, lalu kemudian mengancam popularitas, kredibilitas, dan integritas seluruh keluarga Limpo. 

Sejatinya, KPK memang selalu berada dalam arena hukum due process of law, tetapi kondisi politiknya sulit dihindari manakalah KPK mempredeokan pejabat publik ternama. Baha gejala politik selalu menghantui para kerabat dari pejabat publik ternama: akankah ia masih disukai dan dipilih oleh rakyat pemilih nantinya?

Politik selalu berada dalam gerak probabilitas, serba kemungkinan yang kadang sulit diprediksi. Tetapi pada intinya, kasus korupsi kekerabatan yang menimpa Ratu Atut di Banten bisa menjadi pelajaran berharga bagi dinasti Limpo ke depannya. Dalam konteks ini terdapat dua pelajaran yang bisa dipetik atas efek tindal politik, ketika KPK mengusik dinasti dalam sentrum tindak pidana korupsi. 

Pertama, apakah tertangkapnya Dewie Yasin Limpo dalam kasus suap terkait ijon proyek keenergian, juga pada akhirnya akan menyeret beberapa keluarganya dalam lingkaran korupsi berjamaah? Kedua, mutatis-mutandis apakah peristiwa penangkapan terhadap Dewie Yasin Limpo ini akan menjatuhkan popularitas keluarga lainnya yang akan/dan sedang menjadi Calon Kepala Daerah?

Ilmu politik yang selalu menaruh rasa curiga berlebihan pada penegakan hukum, bahwa ada kalanya dengan jatuhnya salah satu keluarga di dinastinya dalam jurang korupsi, menjadi pertanda kekuatan politiknya melemah secara perlahan, dalam menangkal serangan lawan-lawan politiknya. Sehingganya, kasus dan borok kejahatannya di lingkaran kekuasaan pun akan terbuka secara perlahan.

Kondisi ini kemudian pada akhirnya juga mengonfirmasi, Dinasti Limpo yang sedang berjuang mengembalikan tahtanya di kabupaten Gowa akan mengalami hadangan maha berat dari lawan politiknya. Sebab bagaimana tidak! kampanye anti korupsi yang begitu massif dikalangan anak-anak hingga orang tua, bisa saja dijadikan senjata termutakhir untuk melumpuhkan keluarga Limpo. 

Inilah ujian yang harus ditanggung oleh para elit politik yang selalu menyandarkan ketenarannya karena darah bangsawannya. Di satu sisi memang menguntungkan, rakyat pemilih bisa langsung mengenalnya, karena keluarganya yang sudah meroket di pusaran kekuasaan, sehingga dengan begitu gampangnya, pemilih menjatuhan pilihan hanya karena mengenal nama dinastinya, tanpa perlu mengenal kinerja dan integritas. Namun di sisi lain, tunggu dulu! Sebab isu korupsi merupakan senjata mematikan, persepsi publik yang dibangun dalam dunia kecepatan informasi sepersekian detik, pada akhirnya pemilih yang mengenal keluarganya sebagai keluarga “korup”, justru akan meninggalkannya sebagai calon yang layak pilih. 

Soliditas Limpo

Hanyalah soliditas Limpo sendiri yang kini bisa mengembalikan popularitasnya di mata pulik, sehingga menjadi calon kepala daerah yang layak pilih. Kematangan Syahrul Yasi Limpo menjadi petarung tangguh di Pilgub Sulsel kemarin, hingga mampu meraih tahta kursi Gubernur dalam dua periode, bisa saja diturunkan untuk kemanakannya, Adnan yang kini sedang mencoba juga peruntungan guna mengikuti kejayaan ayahnya.

Kalau Syahrul Yasin Limpo bisa saja menghapus “memori publik” atas masa kelamnya, sehingga terbukti terpilih dalam dua periode. Maka bagi Adnan Ichsan Yasin Limpo untuk menangkal ketidaksukaan publik karena keluarganya yang terseret dalam pusaran korupsi. Isu demikian tidaklah terlalu sulit untuk diproteksi, manakalah Syahrul Yasin Limpo “turu gunung” dalam mengambil peran politik, untuk kemanakannya, cukup dengan slogan “don’t look my family”

Beranikah orang nomor satu Sul-Sel ini turut andil dalam merekatkan kembali soliditas dinastinya agar tidak menjadi tumbang pada akhirnya? Saya kira itu bukan tantangan yang berat bagi Adnan. Sebab melumpuhkan saja pasal pelarangan dinasti politik dalam UU Pilkada, hingga harus berjuang mati-matian sampai di Mahkamah Konstitusi, dirinya sudah menunjukan ketangguhan untuk menjaga marwah dinasti Limpo.

Pun titah “wakil Tuhan” saja atas nama Hakim Konstitusi, sudah menunjukan kalau persoalan dinasti bukan menjadi soal untuk maju sebagai Calon Kepala Daerah. Apalagi hanya dengan isu korupsi yang menyeret salah satu keluarga, toh tidak ada dasar hukumnya dalam UU Pilkada, kondisi itu bisa kemudian menjadi syarat agar digugurkan sebagai Calon Kepala Daerah.

Bahwa tindak pidana korupsi yang disangkakan terhadap salah satu keluarga Limpo, bukanlah pertanggungjawaban secara kolektif, yang harus ditanggung oleh seluruh kerabatnya. Itu penting dikampanyekan oleh Adnan sebagai calon Bupati Gowa. Sebab kalau tidak, lalu Adnan gagal menjadi pemenang di Kabupetan Gowa nanti, boleh jadi itulah pertanda akan jatuhnya satu persatu sayap Limpo di lingkaran kekuasaan. Mari kita tunggu!*

Sumber Gambar: makassar.tribunnews.com






[Read More...]


Surat Kemarau Untuk Bupatiku, Sabirin Yahya



Surat Kemarau Untuk Bupatiku, Sabirin Yahya

Di Sinjai



Bapak Sabirin Yahya, tak terasa umur pemerintahanmu, tak lagi dapat dielakkan seperti sedia kala ketika engkau bersama Humasmu (Bpk Sabir Syur) membela diri, terhadap segala kritik saya waktu itu. Engkau mengatakan bahwa tak pantaslah aku mempertanyakan kebijakanmu karena pada waktu itu pemerintahan yang engkau emban barulah seumur jagung.

Aku juga tak lupa ketika Bpk Sabir Syur mengatakan kalau sesungguhnya suratku dahulu adalah kekanak-kanakan. Aku sadar Pak, ternyata kanak-kanak itu jauh lebih mengasyikan dari pada menjadi pemimpin yang dituakan. Bahwa menjadi anak-anak, apalagi anak petani lebih peka akan diriku melihat nasib penduduk di kampungku sendiri. Dibandingkan Bapak-Bapak yang asyik-masuk mempersalahkan saja sikap kritisku.

Hingga hari ini, apa yang pernah kutagih dahulu dari Bapak Bupatiku, sudahkah engkau realisasikan. Mari kita berkata jujur Pak: tidak khan? Adakah perbaikan jalan dari jalan tani yang pernah kutagih dari kampung saya? Adakah kebijakan di sektor pendidikan untuk mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu, padahal mereka itu besar pengharapannya juga untuk lanjut di Perguruan Tinggi? Adakah program di sektor pertanian untuk membantu Petani Lada dan Kakao, karena tanaman mereka diserang hama?

Lagi-lagi, mata tidak dibutakan dengan kenyataan wahai Bapak Bupatiku. Semua pertanyaan-pertanyaan itu, terlalu gampang untuk kita bersama-sama dan serentak mengatakan: “belum ada”

Jalan tani yang kuharap dirimu agar memperhatikannya, hanya sekedar janji, dan janji. Sudah beruntunglah Bapak Bupatiku, warga di kampung saya (di Batuleppa) sudah membangun sendiri jalan yang menuju pada lahan pertaniannya, tetapi pengerasan saja yang diharapkan melalui kebijakanmu, engkau nyatanya tidak mampu.

Terlebih-lebih jika saya harus mempertanyakan untuk sektor pendidikan. Betapa mirisnya hati ini, ketika saya membuka lembaran Koran Harian Tribun Timur, ternyata di salah satu Desa (kecamatan Sinjai Tengah), rupa-rupanya masih ada sekolah yang beratapkan rumbiah dan berdinding papan saja. Tidakkah engkau pernah jalan-jalan ke daerah itu. Sehingga hatimu yang kutahu juga adalah gampang tersentuh, tapi membiarkan saja Calon-calon penerus Sinjai menimba ilmu dalam keadaan yang tidak layak demikian. Ah… mungkin saja aku lagi-lagi mau dicap kekanak-kanakan.

Lantas bagaimana dengan kondisi perkebununan lada dan kakao yang pernah kuminta agar engkau juga memperhatikannya? Ketika Lada dan Kakao mereka sudah tak produktif lagi, gara-gara hama yang merusak semuanya. Kemanakah semua Pegawai Dinas Pertanian yang engkau miliki? Malaskah dia mengunjungi Petani-petani tersebut? Ataukah mereka juga acuh seperti dirimu, hingga aku harus memelas dan selalu memohon akan pengabdian pada masyarakatmu sendiri. Walau pada akhirnya permintaan itu, hilang disapu ‘angin lalu”, kami hanya dibiarkan dalam keadaan menanti, kapan dan kapan?

Bapak Bupatiku, Sabirin Yahya, yang kuhormati, bahkan aku memuliakanmu. Kita sama-sama pada tahu, kampung kita, kini sedang dilanda kekeringan,tengoklah masyarakat di sana yang lagi berjalan hingga berpuluh-puluh kilo, mencari persediaan air untuk kebutuhan rumah tangganya. Pedulikah engkau dengan penderiataan mereka dari keadaan betapa susahnya memperoleh air bersih.

Pun dirimu, wahai Bapak Bupatiku, andaikata engkau tak mampu menyediakan air bersih untuk mereka. Air kotor pun yang bisa diambil dari air sungai yang tak pernah kering, engkau bisa mengambil kebijakan, manfaatkan Dinas Pertanian untuk menyediakan mobil tangki bagi Petani yang sudah kepayahan mencari air agar bisa menyiram tanaman pertanian mereka.

Engkau harus tahu, dan kalau belum dirimu tahu akan hal ini. Lagi-lagi aku harus menyampaikan kepadamu melalui surat ini. Semoga engkau tidak lagi mengabaikannya ibarat angin lalu saja. 

Di kampung saya, di Batuleppa, sungguh banyak Petani Lada dan Petani Cengkeh yang butuh air untuk menyiram tanaman-tanaman pertanian mereka. Dan alangkah menderitanya mereka Bapak Bupatiku, sebab mencari air saja masih susah. Padahal harus Bapak Bupatiku ketahui, mereka memikul air dari jalan yang berpuluhan kilo, demi menjaga tanamannya dari kematian. 

Mereka tidak mau miskin Bapak Bupatiku. Mereka tidak mau menolak kalau anak-anaknya yang lagi kuliah di Perguruan Tinggi, lalu meminta pembayaran SPP, gara-gara tanamannya yang mengering akibat kemarau panjang, dan harus mengatakan kepada anaknya; “tidak ada uang nak karena tanaman pertanian kita yang ditujukan untuk membiayai kuliahmu semua sudah pada mati”

Bapak Bupatiku! Saya sangat mengerti akan hal ini, karena sayapun yang pernah merasakan, bahwa dari tanaman pertanianlah yang dirawat oleh orang tua dan saudaraku, hingga aku bisa menyandang anak Petani bergelar sarjana. 

Bapak Bupatiku yang kuhormati! Bahagialah kita, memiliki warga yang memiliki motivasi besar untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga ke Perguruan Tinggi. Tapi kalau Bapak selalu saja tak peduli akan nasib pertanian mereka, bagaimana mungkin mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya. Maka dari itu aku selalu kuberharap kepadamu, bahkan aku memelas dalam kasihmu untuk semua warga Sinjai, perhatikanlah semua nasib pertanian para Petani itu.

Saya meminta maaf, bahkan kalau perlu beribu-ribu maaf, sebab lagi-lagi mengusik dirimu yang mengemban amanah sebagai pemimpin kami, untuk menyejahterakan seluruh wargamu. Perhatikanlah mereka disaat sudah memiliki niatan untuk membangun daerahnya sebagai penghasil pertanian yang terpandang dari Kabupaten-Kabupaten lainnya. 

Sebab apa sih! Yang tidak dimiliki oleh kampung kita wahai Bapak Bupatiku! Padi, Jagung, Sayur-Sayuran, Rambutan, Langsat, Durian, Cengkeh, Lada, Kakao. Mungkin Bapak saja yang tidak cermat untuk memberdayakan semua hasil pertanian itu. Padahal aku sudah berkali-kali mengingatkanmu. Masihkah engkau akan tidak peduli lagi sebagaimana dulu aku pernah menyuratimu hingga dua kali.

Di akhir surat ini, saya ingin menyatakan bahwa pada suatu hari pernah saya sangat marah kepadamu. Ketika kudapat kabar, salah satu anak miskin dari kampung kita, nyawanya sudah demikian tidak mampu tertolong, maut sudah menjemputnya tetapi lagi-lagi ada sebuah kebijakan yang salah. Sungguh tak tegah mendengar kejadian ini, mayat yang seharusnya diangkut dengan mobil ambulance tetapi karena SOP yang sudah ditentukan, jadinya mobil ambulance tersebut malah tak digunakan untuk menolong wargamu sendiri. 

Bapak Bupatiku, siapapun harus diperlakukan secara manusiawi. Jasadpun haruslah dihargai hak-haknya. Bukan membiarkan mereka dibonceng dengan sepeda motor, seolah dipaksakan dia harus hidup pada waktu itu. Meleleh air mata ini Pak! Mendengar kejadian itu, ketika jasad dari anak yang orang tuanya dalam keadaan miskin, lalu jasadnya dibonceng dalam keadaan, jarak tempuh yang cukup jauh.

Lalu sekonyong-konyong, Bapak Bupatiku mengambil kebijakan, memutasi Kepala Puskesmas tempat anak yang pernah dirawat itu. Itu kebijakan keliru Pak! Bapaklah yang seharusnya berbenah diri terhadap kebijakan dalam sektor kesehatan untuk warga kita. Mengapa tak disediakan ambulance untuk warga yang bisa digunakan kapan saja? Tindakan demikian seolah-olah hanya mencari kambing hitam, tanpa pernah tahu akan diri, siapa sebenarnya penentu kebijakan.

Kuharap melalui surat ini, kepekaan atas segala nasib kampung kita, kampung Sinjai, untuk semua warga Sinjai, tidak hanya berakhir untuk merasa iba saja. Tetapi ambillah tindakan yang bisa menyelesaikan segala keluh kesah semua warga, yang sudah terbuka semua di hadapan kita. Itulah makna Sinjai Bersatu, bukan Sinjai yang tak peduli, apalagi acuh tak acuh akan nasib warganya.





Dariku, 

yang masih kekanak-kanakan sebab lagi-lagi mengkritikmu, 

dan juga tetap bangga sebagai anak petani yang sudah sarjana


Sumber Gambar: ksdasulsel.org













[Read More...]


Ihwal Napi Bebas Bersyarat di Pilkada



Sabtu, 26 September 2015 kemarin di kolom ini (Persepsi Gorontalo Post) ternyata ada yang menyangga artikel saya yang terbit sepekan sebelumnya “Napi Bebas Bersyarat (Tidak dapat) Ikut Pilkada: edisi Kamis, 17 September 2015. Sanggahan tersebut datang dari kolega saya sendiri, yaitu Sdr Apriyanto Nusa yang saat ini sudah konsetrasi mengabdi sebagai tenaga pengajar di Universitas Ichsan Gorontalo, sekaligus di institusi tersebut telah menjadi pengampu mata kuliah hukum pidana.

Sayangnya, bantahan tersebut tidak tepat sasaran dari artikel yang pernah saya tulis di kolom ini. Padahal isi pokok tulisan saya yang sudah disanggah oleh Apriyanto Nusa adalah mencari kesatupaduan antara empat peristilahan dalam hukum pidana, yaitu antara Terpidana dengan Narapidana; dan antara bebas bersyarat dengan lepas bersyarat.

Sejatinya, sebagai seorang ilmuwan harus objektif dalam berpendapat, itulah yang selama ini selalu saya usahakan dalam mempublisakan pendapat saya di berbagai media. Semoga Apriyanto Nusa kiranya juga mengemban amanah ini. oleh karena itu tidak perlulah sdr Apriyanto Nusa kiranya membanding-bandingkan kasus antara Ismet Mile dengan Ely Lasut, cukup memberikan pendapat dari segi hukumnya saja. Apatah lagi menyalahkan salah satu KPUD.

Judul Salah

Sebelum saya membantah satu persatu kekeliruan Sdr Apriyanto Nusa, saya ingin mengingatkan sdr Apriyanto Nusa terkait dengan pilihan judul untuk menyanggah tulisan saya, bahwa sdr telah salah dalam pemilihan judul berdasarkan bacaan teksnya. Judul sdr “Mantan Terpidana (Bukan) Narapidana” apakah maksud dari judul tersebut yang dapat dibaca dari dua model pelafalan? Pertama, akan terbaca “Mantan Terpidana bukan Narapidana”; Kedua, juga akan terbaca “Mantan Terpidana Narapidana”.

Saya tidak mengerti dengan pemilihan judul tersebut, karena yang logis hanya pada pelafalan Mantan Terpidana, bukan Narapidana sebagaimana sdr Apriyanto Nusa sendiri mengatakannya, bahwa tidak tepat untuk kita menggunakan istilah Mantan Terpidana karena dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan tidak dikenal peristilahan tersebut.

Sepertinya sdr Apriyanto tidak konsisten dalam berpendapat, sebab pada tulisannya sendiri sebelumnya, Dia mengutip Pasal 10 UU Pemasyarakatan dan disitulah terminologi Mantan Terpidana Dia temukan, bahwa setelah peralihan status Terpidana menjadi Narapidana maka pada saat itu pula status Terpidana berakhir, sehinggga konklusi yang ditarik oleh pembaca UU Pemasyarakatan bahwa disitulah di mulai lahirnya istilah Mantan Terpidana.

Sdr Apriyanto Nusa manakalah kembali memilih bahwa tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU Pemasyarakatan, maka hal itu sama saja telah memilih menyeberang ke garis pemikiran saya. Manakalah tidak ada istilah Mantan Terpidana dalam KUHP maupun UU pemasyarakatan berarti yang dimaksud oleh MK sejatinya memang adalah Mantan Narapidana, bukan Mantan Terpidana sebagaimana yang selama ini sdr Apriyanto kukuh dengan pendapat MK bahwa membolehkan Mantan Terpidana untuk menjadi Calon Kepala Daerah.

Bantahan Saya

Terhadap sanggahan Pertama oleh Apriyanto dalam tulisan saya, sdr mengatakan bahwa “anologi” yang dibuat oleh bapak Damang Averroes “kurang tepat” serta menjadikan kapan berakhirnya status hukum tersebut menjadi “tidak jelas”, Alasannya: jika orang yang sedang menjalani masa hukuman didalam LAPAS atau bebas bersyarat “dimaknai” sebagai Mantan Terpidana seperti dalam amar putusan Mahkamah konstitusi, maka terhadap orang yang menjalani hukuman didalam LAPAS/ bebas bersyarat pun “harus” dimaknai sebagai Mantan tersangka atau terdakwa, yang bukan sebagai “pengecualian” subjek hukum yang dilarang untuk menCalonkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Sejatinya saya tidak memiliki pendapat yang demikian, sebab pemahaman hukum yang saya bangun dalam tulisan sebelumnya perlu pelurusan makna antara Terpidana dengan Narapidana agar ke depannya tidak lagi terjadi kesalahan tafsir dalam hal penyelenggaraan Pilkada terkait putusan MK a quo. Justru saya berpendapat bahwa yang dimaksud oleh MK adalah Mantan Narapidana sehingga Calon Kepala Daerah yang masih dalam status bebas bersyarat tidak memenuhi syarat sebagai Calon Kepala Daerah, apalagi yang masih berada dalam lembaga pemasyarakatan.

Untuk sanggahan kedua, sudah saya jawab sebelumnya pada awal tulisan ini. Bahwa pendapat sdr Apriyanto Nusa, dengan mengatakan KUHP maupun Undang-Undang pemasyarakatan tidak menggunakan istilah Mantan Terpidana berarti sdr sendiri menyetujui bunyi putusan MK adalah Mantan Narapidana saja yang dapat lolos sebagai Calon Kepala Daerah, tidak untuk Narapidana bebas bersyarat (saya lebih sepakat dengan istilah lepas bersyarat) sebab statusnya masih sebagai Narapidana. Akan berbeda jika sdr Apriyanto Nusa mengatakan putusan MK dimaksudkan untuk Mantan Terpidana, dengan otomatis Narapidana Bebas Bersyarat dapat diloloskan sebagai Kepala Daerah di Pilkada 9 Desember 2015 nanti.

Berlanjut ke sanggahan Ketiga, sdr Apriyanto Nusa membantah tulisan saya sebelumnya, dengan mengatakan saya harus membuka kembali putusan MK Nomor 42/ PUU XIII/2015. Yah … saya membukanya, dan kalau perlu saya menambahkan Putusan MK yang kiranya sdr Apriyanto Nusa perlu baca semuanya sebab relevan dengan permasalahan ini. diantaranya: Putusan Nomor: 14 – 17/ PUU-V/ 2007; Putusan Nomor: 4/ PUU-VII/2009; Putusan Nomor: 120/ PUU-VII/2009; dan Putusan Nomor: 79/ PUU-X/2012.

Sdr Apriyanto tidak perlu memperdebatkan soal ada tidaknya pencabutan hak untuk dipilih harus melalui putusan pengadilan, dalam konsideran Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, itu benar. Makanya kalau ada Mantan Narapidana pernah dicabut hak pilihnya, tetapi masa menjalani pencabutan hak untuk dipilih tersebut masih berjalan lalu sudah menyandang status Mantan Narapidana, berarti Mantan Narapidana tersebut tidak dapat menjadi konstetan Kepala Daerah. Tetapi jauh lebih penting sdr, untuk dicermati dalam amar putusan MK (terdapat pula dalam empat putusan yang saya anjurkan sdr juga baca semua) yaitu: “berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah Mantan Terpidana selesai menjalani hukumannya” Lalu pada syarat berikutnya lagi ditegaskan oleh MK: “dikecualikan bagi Mantan Terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik jika yang yang bersangkutan adalah Mantan Terpidana.”

Apakah maksud dari pada harus menunggu lima tahun, dan bisa tidak menunggu lima tahun manakalah Mantan Terpidana tersebut mengumumkan ke publik terkait status dirinya? Tidak lain ditujukan bagi mereka yang sudah menjalani semua masa pemidanaannya (termasuk melewati masa status bebas bersyarat tersebut) sehingga wajib menunggu lima tahun baru bisa mendaftar sebagai Calon Kepala Daerah, atau minimal baru bisa mendafatar sebagai Calon Kepala Daerah jika telah mengumumkan status dirinya ke publik, dalam hal ini ketika Mantan Narapidana tersebut tidak mau terikat dengan masa lima tahun itu.

Tahap Penghukuman

Sdr Apriyanto Nusa perlu ketahui apalagi sebagai penanggung jawab mata kuliah hukum pidana di Perguruan Tinggi, bahwa Penghukuman yang diemban oleh Pemasyarakatan pada dasarnya melalui empat tahap: identifikasi Narapidana, pembinaan mental, asimilasi, dan lepas/pembebasan. Dan ingat! masa bebas bersyarat itu masih berlaku tahap pembinaan (namanya pembinaan eksternal).

Dengan demikian pembebasan bersyarat adalah Narapidana yang sedang menjalani hukumannya berupa pembinaan Narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini berarti orang yang menyandang status pembebasan bersyarat masih masuk kategori Narapidana. Sehingga mutatis mutandis tidak sesuai dengan nalar hukum pidana kita, kalau ada yang berpendapat Napi Bebas Bersyarat hendak diloloskan sebagai Calon Kepala Daerah.

Kendatipun demikian saya tidak pernah mengatakan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa dalam putusan MK perlu adanya penafsiran teologis, tetapi dalam konteks sanggah-menyangga untuk poin ini terdapat juga kekeliruan dari pendapat sdr Apriyanto Nusa.dengan tiba-tiba sdr Apriyanto Nusa menarik kesimpulan kalau MK katanya bukanlah pembuat Undang-Undang. Lantas apa namanya kalau MK menambah klausula dalam sebuah pasal dengan dalil “inkonstitusional bersyarat” sebagaimana yang terjadi dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 itu. Ada baiknya sdr Apriyanto membaca buku Hans Kelsen “Theory Of Law and State” (1973).

Dalam istilah Kelsen pada proses legislasi “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation. Hans Kelsen dalam uraiannya juga mengemukakan “lembaga peradilan berwenang membatalakan suatu Undang-Undang atau menyatakan suatu Undang-Undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.” Artinya MK secara negatif bertindak sebagai pembuat Undang-Undang, tetapi tidak dimungkinkan membuat secara keseluruhan dengan nomor, tahun dan nomenklatur UU. Sebab kewenangan demikian adalah fungsi positive legislator yang dimiliki oleh DPR bersama dengan Presiden

Saya tidak bisa membayangkan ke depannya, andaikata kita berdiri di pendapat sdr Apriyanto Nusa, meloloskan semua Calon Kepala Daerah yang masih berstatus bebas bersyarat dan ternyata pada akhirnya terpilih sebagai Kepala Daerah, apalagi kalau Narapidana yang menjalani masa bebas bersyarat hingga 9 bulan misalnya, lalu masih harus berurusan dengan Pihak Lembaga Pemasyarakatan; adakah jaminan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan? Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Daerah tersebut lalu tidak lagi menuruti perintah pegawai Lembaga Pemasyarakatan. Ataukah pihak Lembaga Pemasyarakatan bisa jadi berkonspirasi dengan Kepala Daerah tidak lagi tunduk dengan sistem pemasyarakatan yang dijalankannya, karena pihak Kepala Daerah bersangkutan menyogok pembina Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Segala kemungkinan-kemungkinan itu harus dihindari melalui pencegahan secara dini. Kita harus bijak berpendapat, agar tidak mencederai pada waktunya segala wewenang pemerintahan, termasuk menjaga kepentingan rakyat di atas konstitusi. 
Damang Averroes Al-Khawarizmi











[Read More...]


Alasan Pembenar Money Politic Pilkada



Damang Averroes Al-Khawarizmi
Kendati Undang-Undang Pilkada telah mengalami revisi maraton. Ternyata dalam berbagai pengaturannya masih mengalami kerancuan. Masih terjadi kekaburan norma, antinomi, bahkan masih menyimpan sejumlah kekosongan hukum. Kondisi demikian tegas-tegas terjadi dalam pasal yang mengatur tentang money politic dan bahan kampanye yang dapat dipergunakan oleh Pasangan Calon (Paslon) atau tim kampanyenya.

Tapi sebelumnya, saya ingin mengingatkan sekaligus meluruskan pemahaman yang keliru selama ini dari sebagian orang. Suap politik yang dimaksud dalam UU Pilkada baik itu mahar politik maupun money politic sejatinya bukan makna suap yang terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Sebab terpenuhinya peristiwa pidana berkualifikasi suap dalam UUPTPK mutlak salah satu pelakunya adalah pejabat negara, sementara yang ditegaskan dalam Pasal 47 dan Pasal 73 UU Pilkada, baik paslon, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tim kampanye dan pemilih, satupun dari pelakunya tidak ada yang memiliki kedudukan sebagai pejabat negara. Sehingga mustahil kalau ada “tuntutan” kepada KPK agar melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perbuata suap politik Pilkada. Yang benar, adalah penyelidik dan penyidik dalam suap politik Pilkada hanyalah penyelidik/penyidik Polri yang memiliki kewenangan untuk menelusuri benar/tidaknya suap politik. Laporan perbuatan tersebut ada kemungkinan diperoleh berdasarkan informasi yang dikumpul oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)

Alasan Pembenar

In concreto antara money politic dan alasan pembenar bagi Paslon Kepala daerah dan/atau tim kampanye memberikan bahan kampanye kepada pemilih dengan menggunakan tafsir sistematikal UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada junto PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) Nomor 7 Tahun 2015Tentang Kampanye Pilkada masih mengalami kekaburan norma.

Kekaburannya, yakni terdapat dalam Pasal 73 ayat 1 UU Pilkada yang menegaskan “calon dan/atau tim Kampanye ketika menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih”. Pada dasarnya pasal a quo berimplikasi hukum sanksi pidana dan sanksi administratif. Lalu di sisi lain dalam Pasal 26 PKPU Tentang Kampanye Pilkada masih membuka celah pemberian “materi lainnya” berwujud bahan kampanye pada dasarnya bukanlah bagian dari perbuatan yang dilarang sebagai perbuatan money politic. Kontradiksinya tersimpul dalam pertanyaan; apakah pemberian atau pembagian bahan kampanye kepada pemilih bukan money politic?

Kekaburan ketentuan ini mestinya ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam bentuk pengecualian (sebagai alasan pembenar), bahwa pemberian dan/atau pembagian bahan kampaye dikecualikan dari Pasal 73 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU Pilkada.

Hal tersebut penting untuk diperhatikan agar terdapat kepastian hukum bagi Paslon ketika melakukan kampanye. Kepastian itu penting manakalah Paslon dan/atau tim kampanye membagi-bagikan bahan kampanye kepada pemilih yang sudah dibenarkan dalam PKPU Tentang Kampanye Pilkada; berupa kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan/atau stiker. Jangan sampai kegiatan kampanye tersebut dipahami oleh Panwaslu atau penyidik tindak pidana pemilihan sebagai bagian dari perbuatan yang memenuhi money politic.

Selain itu, dalam PKPU Tentang Kampanye Pilkada terkait dengan klasifikasi bahan kampanye juga mengalami kekaburan norma dalam ihwal bahan-bahan kampanye yang diperbolehkan diberikan kepada pemilih. Apakah bahan kampanye yang dimaksud hanya dalam batasan yang ditentukan berdasarkan Pasal 26 ayat 1 PKPU a quo yang terdiri atas kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan stiker? Ataukah masih bisa dirancang bahan kampanye lainnya seperti pencetakan “buku” yang memuat visi dan misi Paslon bersangkutan? Sepanjang bahan kampanye yang disediakan jika dikonversikan dengan nilai uang masih dalam standar Rp. 25.000, 00 (dua puluh lima ribu rupiah).

Kiranya Pasal a quo dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2015 membatasi saja, bahwa bahan kampanye yang diperbolehkan hanya yang nyata-nyata telah disebutkan dalam ketentuan ini. Tujuannya, agar tidak lagi muncul tafsir lain dari Paslon dan/atau tim kampanye untuk membuat dan/atau menciptakan bahan kampanye yang tidak disebutkan dalam pasal a quo.

Sebab siapalah yang bisa menjamin dan menindak nantinya andaikata dalam kegiatan kampanye ada paslon yang merancang bahan kampanye dalam wujud kado misalnya, yang mana kadonya berisi “sembako” dalam standar Rp. 25.000, 00 lalu dibagi-bagikan kepada pemilih. Bukankah dalam wujud perbuatan tersebut bisa-bisa terjerat sebagai money politic berkualifikasi “memberikan materi lainnya” . Dan sudah pasti memenuhi unsur “mempengaruhi pemilih” agar menjatuhkan pilihan kepada Paslo tertentu. Oleh karena itu pembentukan norma dalam bentuk pengetatan klasifikasi bahan kampanye sudah tepat. Yakni, cukup yang disebutkan saja dalam Pasal 26 ayat 2 PKPU Tentang Kampanye Pilkada.

Tim Penaksir

In casu a quo Pasal 26 ayat 3 PKPU Tentang Kampanye Pilkada penting pula dimaknai, dalam pembatasan bahan kampanye dalam standar konversi nilai mata uang Rp.25.000, 00; bahwa manakalah ada Paslon dan/ atau tim kampanye menciptakan dan/atau membuat bahan kampanye selanjutnya diberikan kepada pemilih melewati standar tersebut (di atas Rp.25.000, 00) maka sudah menjadi perbuatan berkualifikasi money politic.

Pasal 26 ayat 3 PKPU Tentang Kampanye Pilkada dengan Pasal 73 UU Pilkada merupakan satu kesatuan sistematikal; atas pemberian dan/atau pembagian bahan kampanye yang melewati standar Rp. 25. 000, 00 telah memenuhi unsur tindak pidana sebagai pemberian “materi lainnya” untuk mempengaruhi pemilih yang pada dasarnya dilarang dengan penjeratan pidana sekaligus penjeratan administratif (dapat mendiskualifikasi Paslon Kepala Daerah).

Hanya saja, persoalan lebih lanjut yang muncul sebagai bagian dari kekosongan hukum; siapakah yang berwenang untuk melakukan penilaian atau penaksiran terhadap bahan kampanye yang dipergunakan oleh Paslon dan/atau tim kampanye mutatis-mutandis tidak melewati standar Rp. 25.000,00? Sebab hal ini memiliki konsekuensi yuridis dalam upaya pembuktian perbuatan memenuhi sebagai peristiwa pidana “money politic” yang mana titik beratnya terletak pada standar nilai uang dari bahan kampanye tersebut.

Menyikapi kekosongan hukum atau dengan kata lain tidak terdapatnya badan yang berwenang untuk melakukan penaksiran nilai rupiah terhadap bahan kampanye, seyogianya fungsi tim penaksir bahan-bahan kampanye diberikan kepada Akuntan Publik yang telah ditunjuk oleh KPUD.

Hasil penilaian oleh akuntan publik itulah dalam kapasitasnya sebagai tim penaksir bahan-bahan kampanye, kemudian ditindaklanjuti oleh Panwaslu, untuk diproses dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang telah ditentukan prosedur pembuktiannya dalam UU Pilkada.*



[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors