Menatap Peradaban Kampus Solutif (Refleksi Milad UMI ke-62)



Walau bulan ramadhan dalam suasana matahari yang begitu terik, panas, nelangsa 62 tahun Universitas Muslim Indonesia tetap terhelat dengan meriah.

Tepatnya di uditorium Al Jibra yang dihadiri sejumlah kalangan, Gubernur Sulsel (Syahrul Yasin Limpo), Wali Kota Makassar (Dani Pomanto), Direktur Jendral (Dirjen) Penanganan Fakir Miskin, Kementrian Sosial RI (Andi Zainal Dulung), serta tamu undangan dari berbagai Perguruan Tinggi Swasta lainnya. Rektor UMI Prof Masrurah Mokhtar, berkelakar akan sejumlah prestasi yang telah diraih universitas bercorak hijau itu di hadapan para tamu, Kamis 23 Juni 2016 kemarin.

Pernyataan sang rektor berwajah kemayu bukan sembarang asal bicara. Siapalah yang meragukan pencapaian UMI di usianya yang sudah terbilang menua dengan berbagai hadangan yang merintanginya, untuk menjadi universitas swasta kebanggan se-indonesia timur.

Sebagai kampus yang telah menelorkan banyak alumni, yang kini telah banyak berlaga baik di pentas lokal maupun di pentas nasional, tak sia-sialah kemudian akhirnya diganjar sebagai PTS yang berada di urutan ke-10 dari 3.900 PTS se-Indonesia. Bahkan berdasarkan penilaian Kemenristik Dikti, kini UMI sudah berada di peringkat 34 PTN/PTS. Di tahun ini (2016) UMI juga terpilih sebagai PTS terfavorit di Makassar berdasarkan hasil survey Pusat dan Analisis Tempo.

Kampus solutif

Awalnya, UMI berdiri dengan berangkat dari kegelisahan para cendikiawan, ulama, birokrat, militer, dan raja-raja Bugis-Makassar. Mereka semua menginginkan harus ada perguruan tinggi modern yang dapat mengantisipasi perubahan zaman, akan tetapi tetap konsisten dalam menjaga nilai-nilai ukhuwah dan dakwah Islam.

Lahirlah UMI yang kondisinya sudah demikian pesat sampai sekarang, berbagai fakultas dan penjurusan bernaung di dalamnya, tidak hanya dengan strata satu, tetapi strata dua dan strata tiga kini sudah banyak dibuka di sana.

Dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ukhuwah dan dakwah islamiah bagi setiap insan akademisnya, Universitas yang terletak di tengah-tengah kota ini, sembari tetap memacu kualitas juga telah menjadi PTS yang mengemban amanat sebagai kampus solutif “mencerdaskan kehidupan bangsa” di tengah pesat dan padatnya animo banyak orang hendak melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Ada banyak orang di negeri ini, memiliki tekad kuat untuk menempa pendidikan di perguruan tinggi, akan tetapi dengan makin beratnya kompetisi masuk di perguruan tinggi negeri bergengsi, pada akhirnya terhempas karena kalah dari beberapa orang yang kecerdasannya di atas rata-rata. Padahal kalau kembali ditilik amanat dan tujuan pembangunan nasional di negeri ini, bukankah semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa mempersoalkan multikemampuan mereka.

Dalam konteks inilah, UMI hadir dengan peran para insan akademisnya yang tak perlu diragukan lagi. Sumber daya, sarana dan prasarana yang disediakan pada kenyataannya juga dapat memberi jaminan akan misi Tridarma Perguruan Tinggi yang berwawasan duniawi, dan mampu mengembangkan segi pendidikan yang berwawasan ukhrawi, yang dilandaskan atas kesadaran diri setiap insan yang melibatkan diri di dalamnya sebagai mahluk ciptaan Allah SWT.

PTS Unggul

UMI sebagai perguruan tinggi swasta pertama dan terbesar di kawasan timur Indonesia, saat ini telah mencetak alumni sebanyak 86.491 orang, sejak resmi berdiri pada 23 Juni 1954 silam. Pada kenyataannya memang UMI tidak bisa lagi dipandang sebelah mata, ada berbagai prestasi telah ditorehkannya mulai dari tingkat nasional hingga tingkat internasional. Berbagai kerja sama dengan berbagai institusi dan lembaga telah dijalin UMI selama masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Masrurah Mokhtar. Salah satunya dengan Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan Peternakan (DKP3) kota Makassar Februari 2016.

Sebagai kampus hijau, UMI juga telah mencitrakan dirinya dalam penghijauan kota Makassar di tengah kota metropolitian Makassar yang semakin pengik dengan polusi kendaraan. UMI dan Pemerintah kota (Pemkot) Makassar telah bekerjasama dalam menyukseskan program Lorong Garden (Longgar) dan menciptakan ruang terbuka hijau di Makassar dengan penyerahan 1.600 bibit pohon dan tanaman.

Sebagai PTS yang unggul, Apa yang tidak ada di UMI? fakultas kedokteran yang kerap hanya menjadi kebanggan PTN, UMI juga punya. Fakultas Tekhnik dengan segala penjurusannnya, juga ada di kampus peradaban itu. Bahkan dengan fasilitas laboratorium, ruang praktikum, UMI benar-benar telah menjadi mandiri dalam membina calon-calon abdi negara, yang tidak hanya pada arena profit, tetapi telah menyembur ke insan binaan yang mulia di hadapan Allah SWT.

Dengan pengajar mumpuni, dosen yang telah banyak bergelar profesor di tiap fakultas dan jurusannya, UMI sudah saatnya menjadi perhatian pemerintah guna pengembangan IPTEK dan IMTAK bagi calon-calon generasinya yang akan menjadi pelanjut bangsa ini, ke depannya.

Tidak mengapa, Universitas kebangaan di Indonesia Timur tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggelontorkan “bea siswa” bagi mahasiswa yang berpretasi dan mahasiswa yang tidak mampu, sebab toh pada kenyataannya UMI telah menjawab tuntutan nasional. Bahwa bangsa yang dapat maju, adalah bangsa yang tidak bersikap diskriminatif terhadap warganya yang ingin memberikan sumbangsi buat negerinya, yaitu berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kampus hijau, kampus peradaban, jayalah selalu. 
Add caption

[Read More...]


Dijual Buku: Carut Marut Pilkada Serentak 2015




Judul: Carut Marut Pilkada Serentak 2015

Penulis: Damang Averroes Al-Khawarizmi & Muh. Nursal NS

Penerbit: Philosophia Press

Jumlah Halaman: 206 hlm

harga: Rp. 70.000 belum ongkir

Tahun terbit: 2016

pembelian: silahkan hubungi 085395768887



Ulasan Buku:





Melalui buku ini, kiranya bisa menjadi bukti dari kami berdua kalau pada kenyataannya Pilkada serentak 2015 kemarin belumlah terselenggara berdasarkan prinsip demokrasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat dikatakan “gagal” menderivasi prinsip demokrasi yang diamanatkan UUD NRI 1945.

Hal ini disebabkan oleh dua keadaan: Pertama, pelembagaan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang “ditarik” dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah terjadi inkonsistensi oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden), antara mengembalikan sistem pemilihan langsung atau sistem pemilihan tidak langsung (via DPRD). Hingga pada akhirnya, untuk pertama kali dalam sejarah di Indonesia, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat membatalkan isi Undang-Undang (Pemilihan) secara keseluruhan. Kedua, bersamaan dengan itu, setelah Perppu tersebut disetujui oleh DPR, ditingkatkan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota lagi-lagi “diotak-atik” beberapa ketentuannya, di saat tahapan Pilkada Serentak 2015 kian dekat jatuh temponya.

Jawabannya, semua disebabkan soal waktu yang membatasi DPR dalam merivisi Undang-Undang, sehingga dalam beberapa ketentuannya tidak dapat “direvisi” dengan sempurna. Ketidaksempurnaannya itu terang sekali dalam beberapa hal: suap politik Pilkada, calon tunggal yang tidak diakomodasi, Calon Kepala Daerah yang berstatus mantan Narapidana, Calon Kepala Daerah berstatus keluarga petahana, hingga pada hukum acara yang disediakan untuk segala perkara Pilkada juga terjadi tumpang tindih dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Hampir semua tema dan judul yang terpilih dalam buku ini, kami tidak menuliskannya secara serampangan, akan tetapi selalu diawali dengan diskusi alot terlebih dahulu. Lalu, kami masing-masing menyendiri untuk menuliskan hasil diskusi itu.

Dan satu hal yang selalu ditekankan dalam setiap penulisan, oleh karena tulisan ini merupakan kajian ilmu hukum. Maka, selalu dimulai degan “legal issue” kemudian diakhiri dengan pemecahan masalah (problem solving).

Dari awal kami sudah bertekad, bahwa menghasilkan sebuah karya adalah bisa memberi manfaat bagi pembaca. Sehingganya pun kalau isi dari semua buku ini hanyalah kumpulan opini, kiranya dapat berguna baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis. Dalam tataran teoritis, dengan membaca satu isu saja dalam buku ini, maka seorang calon sarjana hukum akan dibekali masalah hukum, sehingga dapat merumuskan judul skripsi sebagai prasyarat menyandang gelar sarjana di fakultas hukum. Ringkasnya, hampir setiap judul dalam buku ini dapat ditindaklanjuti dengan penelitian yang mendalam untuk memperkaya studi hukum Pemilihan Kepala Daerah. Sedangkan dalam tataran praktis, sudah pasti dengan beberapa solusi yang telah kami tawarkan dari beberapa kejanggalan dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, seharusnya menjadi pedoman dalam revisi Undang-undang tersebut.

Sampai buku ini siap cetak, naskah revisi Undang-Undang Pemilihan, ternyata banyak yang berbeda dari yang sudah ditawarkan dalam buku ini. Sungguh tidak berdasar ketika DPR malah memiliki kehendak untuk mengubah suap politik Pilkada sebagai pelanggaran administrasi dan menerapkan sanksi administrasi. Padahal sedari awal kami sudah menawarkan kalau suap politik Pilkada cukup dipertahankan sebagai “delik pemiihan” dengan ancaman hukuman pidana yang jelas, serta menggunakan mekanisme hukum acara yang telah disediakan oleh Undang-Undang Pemilihan tersebut.

Perlu diketahui bahwa aspek hukum dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota begitu kompleks, di dalamnya terdapat hukum pidana dan hukum administrasi. Sehingganya, dibutuhkan dasar-dasar ilmu hukum yang kuat sebelum membangun setiap ketentuannya. Tidak mungkin, Calon Kepala Daerah dikenakan sanksi administrasi ketika melakukan delik pemilihan “suap politik Pilkada” padahal dia bukan pejabat negara. Hukum administrasi sudah sangat terang, hanyalah pejabat negara yang dapat dikenakan sanksi administrasi sebab itu semata-mata demi menjaga maruah jabatannya. Termasuk pendapat yang sangat keliru pula, kalau terdapat gagasan, tiba-tiba Bawaslu yang dapat menetapkan Calon Kepala Daerah “digugurkan” karena melakukan delik pemilihan suap politik Pilkada. Ingat! Dalam prinsip negara hukum, hanyalah pengadilan yang dapat menentukan bersalah tidaknya seseorang, pun dapat mencabut hak politik (hak untuk dipilih) seseorang tersebut. Sangat gila bagi kami kalau Bawaslu tiba-tiba dapat menjadi pengadilan.

Dalam buku ini, juga terdapat penalaran hukum yang berbeda dengan beberapa Putusan MK atas pengujian beberapa ketentuan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yaitu: putusan tentang calon tunggal Kepala Daerah yang seharusnya langsung saja dilantik, putusuan tentang Calon Kepala Daerah yang bersatus mantan Narapidana; MK yang seolah-olah tidak tahu-menahu perbedaan antara Terpidana dan Narapidana.

Buku ini ditutup dengan tema Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah di MK. Di saat MK pada kenyataannya kembali berfungsi sebagai Mahkamah Kalkulator dan salah memaknai ambang batas perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah sebagai prasyarat mengajukan gugatan.

Dengan demikian, atas banyaknya masalah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, soal kehadiran badan peradilan khusus Pilkada tidak dapat lagi ditunda-tunda. Badan peradilan ini sudah seharusnya terbentuk, agar setiap perkara Pilkada baik yang terjadi pada tahapan maupun pada hasil pemilihannya tidak lagi dicampuradukan. Di atas segalanya, kita butuh penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Prinsip demokrasi. 



[Read More...]


Merindukan Bulan Suci Ramadhan, Selamanya!



Sayang seribu sayang, sebagai ummat Islam, acapkali kita hanya merasa wajib untuk menunaikan ibadah puasa selama bulan suci ramadhan. Banyak puasa sunnah, jenis dan keadaan lainnya luput dari perhatian kita.

Tidak salah, dan barangkali dapat diterima sebagai sosio-empiris kalau setiap datangnya bulan suci ramadhan, terdapat sebuah pertunjukan, parade, dagelan, sandiwara, yang menghantarkan “manusia” agar meninggalkan masa-masa jahiliyanya.

Kebijakan pemerintah menjadi seiya-sekata dengan beberapa perusahaan swasta, bahwa segala macam usaha dan kegiatan yang dapat merusak afdal-nya orang yang sedang berpuasa harus dihentikan. Tempat prostitusi diliburkan, bersamaan dengan itu, rumah-rumah hiburan lainnya, seperti tempat karoke juga harus ditutup.

Pada akhirnya, suasana tontonan media televisi kita pun di rumah, berubah 180 derajat. Semua siaran pertelevisian tersaji dalam konten Islami. Tidak ada lagi konten agak atau sedikit “porno,” yang menghiasi media pertelevisian. Artis yang dulunya tampil seronok, ayak-ayakan, tiba-tiba “dijatuhi” iman, berpose ala islami, menutup aurat.

Merindukan

Mungkin masih terang di ingatan publik semua, fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang banyak memenuhi pemberitaan akhir-akhir ini. Banyak yang menuding, bahkan kita mungkin ikut pula mengamini tudingan tersebut, bahwa penyebab dari banyaknya kasus kekerasan seksual sedemikian itu, semua karena imbas dan perannya media yang banyak menyajikan konten yang tak ayal dinikmati oleh orang yang belum dewasa.

Silahkan diantara kita semua, melakukan perbandingan pada setiap konten media antara masa bulan suci ramadhan dengan masa yang 11 bulan, bukan masanya bulan suci ramadhan. Boleh jadi hanya pada bulan suci ramadhan, kita terhindar dari serangan media yang berbau “porno,” namun selebihnya, di luar bulan suci ramadhan itu, lagi-lagi kita “terperangkap,” terjurumus dalam gelimang dosa yang diparadekan oleh berbagai media.

Jika memang benar adanya, peran media begitu tajam mempengaruhi setiap lini kehidupan kita. Saya termasuk pihak yang mau menggugat, bagaimana kalau ummat Islam menjalankan ibadah puasa selama setahun penuh saja?

Terus terang, dan jujur, sejujur-jujurnya, acapkali saya selalu merindukan bulan puasa agar dijalankan selamanya saja. Biar saja pemerintah beserta dengan perusahaan sekuler tak punya lagi ruang, mengembalikan kehidupan dalam keadaan bebas ibarat kehidupan jahiliya. Biar saja kita punya alasan, agar setiap tempat prostitusi, tempat hiburan, tempat penjualan minuman keras, ditutup pula untuk selama-lamnya. Biar saja, media pertelevisian, media cetak, dan media online, menyesuaikan diri dengan masa “keberimanan” ummat manusia yang tak lagi terikat oleh ruang dan waktu.

Memang menjadi kewajiban, kalau pesona bulan suci ramadhan, harus memberi manfaat bagi hamba yang menjalankannya. Ia yang suci dan bersih dari segala dosa, tidak lagi akan mengulangi “perbuatan dosa” pada waktu yang lainnya. Menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, akan menghantarkan manusia dalam “pertaubatan” penuh pula. Tidak mau lagi bersentuhan dengan “kejahatan” yang akan merusak imannya.

Tapi apa yang terjadi? Keadaannya justru berbalik dari yang diharapkan. Dalam konteks ini, masa-masa jahiliya memang kembali seperti sedia kala. Sebuah titik poin yang harus menjadi peringatan bagai pengemban amanah di negeri ini. Dirinya mengaku sebagai khalifah, tentunya punya peran dan andil besar menjaga manfaat dan konsistensinya setiap orang dalam menjalankan puasa, selama sebulan penuh.

Sekeras-kerasnya seorang menahan godaan dan mengindari perbuatan mungkar pada bulan di luar ramadhan, toh pada akhirnya tidak mampu kalau sang pemimpinnya masih mengizinkan dan membolehkan kembalinya segala instrumen pemicu kemungkaran, pasca bulan suci ramadhan itu.

Tentu “dosa” dan beratnya tanggungan seorang pemimpin memang maha berat. Tatkala banyaknya orang yang menjadi rugi dengan puasa yang pernah dijalankannya, tidak memberikan manfaat apa-apa, dalam perubahan kehidupannya. Lalu ternyata pemimpinlah yang telah membawa mereka dalam pusaran kenistaan, sang pemimpin itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Selamanya

Tidak dibutuhkan pekerjaan yang ekstra bagi pemimpin di negeri ini, andai ingin mengantarkan warga dan penduduknya menjadi damai dan tenteram. Penduduk yang nihil kekerasan, kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan segala bentuk kedukaan negeri lainnya. Hanya dibutuhkan keseriusan, seberapa besar kemauan itu untuk mengakhiri dan menutup segala tindak-tanduk jahilia, yang menyebabkan banyaknya orang menjadi bengis dan culas dalam tata lakunya.

Hukuman kebiri tak perlu dihadirkan untuk para pelaku kekerasan seksual anak, andai saja rakyat dan pemimpin republik ini, bersatu padu menjalankan tata-tertib saluran pemberitaan, TV, media cetak, media online, seperti keadaannya di bulan suci ramadhan itu.

Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, puasa bukan hanya menahan untuk berkata dan berpikiran kotor, sebab akan merusak kadar “amal” yang diperoleh dari ibadah tersebut. Ibadah puasa, seharusnya, bukan hanya orang sadar menjauhi perbuatan dosa pada bulan itu-itu juga. Tetapi di luar bulan lainnya, ia sudah dianggap, akan terbiasa dengan perbuatan amal kebajikan. Semuanya amal kebajikan itu menjadi gampang untuk dikerjakan, sebab ia sudah menjalani fase latihan selama sebulan.

Kalau begitu, Mengapa pula segala kebijakan jahiliya masih tampak setelah ramadhan berakhir di peraduannya? Padahal segala kebijakan itu juga telah “dipuasakan,” televisi berpuasa, artis berpuasa, dan tak kurang pula iklan menyajikan menu hidangan puasa.

Apa yang kurang dari semuanya? Gagalkah kita memeroleh manfaat dari yang kesemuanya itu? Sehingga pada akhirnya ibadah puasa tidak memberi apa-apa, sedikitpun, kecuali lapar dan dahaga saja.

Kehidupan kembali kacau-balau, muncul kembali kasus pemerkosaan, kasus korupsi, kasus pembunuhan, pemalakan, hingga kasus perselingkuhan yang melibatkan nama-nama beken dari mereka yang menjadi wakil kita di sana. Pada intinya, saya merindukan bulan suci ramadhan, selamanya. Bulan yang akan mengebiri nafsu birahi, sehingga tak ada lagi, laku culas dan bengis di bumi persada ini.* 
Sumber Gambar: beritacenter.com

[Read More...]


Puasa, Piala Eropa, dan Money Politic Pilkada



Panitia kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat telah mengumumkan hasil revisi Undang-Undang Pilkada untuk penyelenggaraan pemilihan 2017 mendatang. Kerja tuntas dewan kehormatan kita lekas usai dikala tamu agung, bulan suci ramadhan itu kian dekat di titiannya. Dan bersamaan dengan itu pula, momentum ibadah puasa sebulan penuh akan turut “terwarnai” dengan perhelatan akbar Euro 2016 yang resmi di buka 10 Juni, di Prancis.

Dua even inilah, puasa dan Piala Eropa 2016 dapat menjadi pelajaran berharga dalam menyongsong Pilkada 2017 nanti. DPR telah menunjukan keseriusannya untuk melahirkan Pilkada demokratis, dengan mengokohkan pelanggaran berupa money politik harus ditindak secara tegas bagi pelakunya. Tak pandang pemberi janji atau materinya saja kepada pemilih yang akan mendapatkan hukuman, pun dengan getolnya pemilih juga dihadang ancaman pidana, kalau dengan sengaja menerima “materi” berupa uang atau yang dipersamakan dengan itu, siap-siap saja akan menjadi penghuni Lapas, binaan masyarakat yang kurang lebih 7 tahun lamanya.

Puasa vs Money Politic

Akan tetapi perlulah diingat, bahwa setegas-tegasnya dan sekerasnya hukuman yang mengancam para calon pelakunya, ada kalanya pelaku jauh lebih cerdik dan lihai menyusun “kedok” agar tidak terjerat laku jahatnya sebagai peristiwa pidana.

Bahwa demokrasi electoral yang diharapkan, agar ceruk pasar pemilih menjauh dari praktik jual beli suara, ada-ada saja kondisi dilematis yang menyanderanya, sehingga tetap mendapat imbalan dari “kandidat” yang mencari dukungan.

Sebuah fakta yang selalu berkutat dengan carut marutnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Belum ada kesadaran pemilih menjadi pendukung Paslon tertentu, datang mendegarkan visi-misi Paslon, bahkan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), jika tidak ada insentif yang diperolehnya secara langsung.

Tengoklah alotnya sidang DPR ketika membahas “kriminalisasi” jual beli suara ini. Terpaksa biaya makan dan biaya transportasi untuk mengundang simpatisan pemilih dalam ajang helat kampanye, dikecualikan sebagai money politic Pilkada. Konon ketentuan demikian muncul demi menyesuaikan kondisi masyarakat kita.

Kalau memang demkian ceritanya, mari kita belajar dari tujuan dasarnya dalam melakoni ibadah puasa selama satu bulan penuh ini. Adakah orang yang mengaku dirinya sebagai hamba beriman di hadapan Tuhannya, menunggu bayaran baru merasa wajib menunaikannya? Saya kira tidak. Setiap orang yang menjalankan rukun Islam yang ketiga itu, pastinya dengan ketulusan dan keikhlasan semata, demi meraih syafaat Allah SWT.

Dengan ibadah puasa, di situlah kejujuran dan sportivitas manusia sedang di uji oleh Tuhannya. Ada tidaknya orang yang menyaksikan kita, lapar dan dahaga tetap ditahan sepanjang hari. Di sinilah sportivitas manusia sedang diuji, jika kepada sang khalik saja mampu berlaku ikhlas, qanaah, mengapa tidak perwujudan hak politik untuk memilih, agar memerankan diri secara “ikhlas” pula; dalam memberi dukungan, mendengarkan visi-misi calon, sebab merupakan kewajiban memilih pemimpin yang amanah untuk sesama.

Lalu siapakah termasuk orang yang berbuat aniaya, dan perbuatannya itu malah menganiaya dirinya sendiri? Demikianlah orang-orang yang dalam menjalankan kewajibannya tetapi mengharapkan imbalan, bukan karena ridho dan syafaat-Nya Allah SWT ia berbuat.

Menetukan pilihan, kepada siapa hati berlabuh untuk dipilih sebagai pemimpin, haruslah dengan ketulusan dan keihlasan di atas segala-galanya. Money politic pilkada tidak punya ruang dalam hal mengantarkan calon pemimpin amanah.

Piala Eropa Vs Money Politic

Berbanding lurus dengan itu, tak jauh beda pula dengan perhelatan akbar sepak bola, Euro 2016 ini, sebuah kontestasi yang lagi-lagi jatuh tempo bersamaan dengan masa bulan suci ramadhan.

Karakter, fair play, dan sportivitas merupakan tiga kredo dalam sepak bola yang selalu dijunjung tinggi. Masih ingat dengan kisah kelam sepak bola Gajah antara PSS Sleman vs PSIS Semarang dua tahun lalu. Gara-gara dituding menghancurkan prinsip fair play dalam sepak bola, akhirnya didiskualifikasi oleh komisi disiplin PSSI. Kedua tim kawakan itu memerankan sepak bola alah hara kiri, sama-sama mencari kekalahan sebab tidak mau ketemu dengan tim kuat Borneo FC di fase berikutnya. Simak pula kisah terhormat, Presiden FIFA lima kali terpilih, Sepp Blatter yang akhirnya mengundurkan diri sebagai pemimpin sepak bola dunia, karena sorotan kasus tajam korupsi yang menyeret-nyeret namanya. Semuanya kisah kelam dan kisah memiriskan itu, terkunci dalam satu kalimat: “kompetisi atau kontestasi menolak adanya praktik curang.”

Puasa dan Piala Eropa 2016, di sanalah ketulusan sedang diuji bersama, tulus beribadah semata kepada Allah SWT, feat kompetisi sepakbola menjadi wajib pula untuk tulus menerima kekalahan. Dan pemilih sebagai “bandul” utama demokrasi, juga diuji ketulusannya untuk mengantarkan pemimpin dalam singgasananya, tanpa laku curang ala money politic pilkada.

Sembari merebut hikmat dan puncak iman dalam bulan suci ramadhan nanti, menjadi hamba yang suci, bersih dari segala dosa. Semoga republik yang selalu dihujani duka: bencana alam, korupsi, pemerkosaan, dan berbagai bentuk ujian lainnya. Kelak, akan melahirkan pemimpin lokal yang jujur, bersih, dan amanah di hadapan Tuhannya.

Selamat Memasuki Bulan Suci Ramadhan. 
Sumber Gambar: http: inikata.com

[Read More...]


Puasa Sebagai Terapi kebangsaan




The power of kepepet merupakan slogan yang sering “ditempelkan” kepada mahasiswa, yang hobinya baru mau belajar, manakala ujian akhir semester telah mepet waktunya. Model ini sering pula dinamakan program Sistem Kebut Semalam (SKS).

Entah ada hubungannya atau tidak, antara mahasiswa zaman dulu yang boleh jadi telah berstatus sebagai stake holder bangsa, dengan kondisi republik dewasa ini, sepertinya mereka terjebak, mungkin juga keenakan, menempu jalan keselamatan dengan dalih “sedang kepepet.”

Jadilah kita bangsa kepepet, setiap permasalahan yang datang menyemai, menghadang, menjadi perbincangan alot di media sosial, pemerintah dengan “bersikeras,” lalu gegas menyikapinya sebagai kegentingan memaksa.

Ya…! Benar-benar kepepet, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dianggap sebagai solusi jitu, untuk mengatasi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Lagi dan lagi, keadaan kepepet lainnya juga terjadi dengan revisi Undang-Undang Pilkada secara “maraton,” konon “dipercepat” demi Pilkada 2017 yang tidak lama lagi akan diselenggarakan tahapannya pada bulan ini.

Pertanyaannya, betulkah kita sebagai bangsa yang lupa diri, kalau waktu itu berjalan cepat dan kita tidak mau memanfaatkan seefektifnya? Betulkah pula kalau harga otak dari jutaan rakyat di negeri ini jauh lebih mahal dengan otak orang-orang barat, sebab anugerah teristimewa itu, kita malas menggunakannya, kita malas mencari akar penyebab meningkatnya kejahatan seksual di negeri beradab dan bersopan santun ini.

Bodohkah orang-orang kepercayaan kita di Senayan, sehingga hasil revisinya tentang UU Pilkada terkesan setengah hati? Yang pasti, kita patut merenunginya semua keadaan itu, mumpung ibadah puasa sering “menyandera” hampir semua ummat muslim, berikut dengan segala ritualnya, “seolah-olah” sadar akan menemui Tuhan-Nya yang maha agung ketika bulan suci ramadhan sedang tiba.

Terapi Kebangsaan

Bulan ramadhan yang mewajibkan bagi kaum muslim, menahan lapar dan dahaga di siang hari, jika ditinjau secara mendalam, pada hakikatnya memliki banyak manfaat bagi yang menjalankannya.

Konon, dunia kedokteran mendaulat kalau iabdah puasa mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang terdapat di dalam tubuh. Senada dengan itu, dalam wilayah teologik, puasa tidak hanya bermanfaat dalam ‘terapi kesehatan” akan tetapi berdayaguna pula dalam membersihkan segala pikiran-pikiran tercela. Jiwa akan kembali dalam asalinya, untuk selalu menyemburkan kebaikan dan kebenaran buat sesama.

Kalau saja, dengan ibadah yang kita jalankan itu setulus-tulusnya, seikhlas-ikhlasnya, jadilah kita manusia yang serba penyabar. Dengan sabar, kita bisa menjadi teliti, cermat, tidak gegabah, serta solutif dalam menyikapi setiap permasalahan.

Dan tak ada yang menafikan kalau di negeri ini, ummat Islam-lah yang menjadi mayoritas. Tak perlu dinanya pula, kalau dari setiap perangkat kekuasaan pulik adalah pejabat yang rata-rata beragama Islam. Oleh sebab itu, para pejabat yang dirinya mengaku “Iam Moslem,” tak mengapa kita memiliki harapan yang sama, semoga puasa mereka dapat menjadi terapi untuk bangsa ini. Sepintar-pintarnya-lah mereka, merebut manfaat dan hikmat dari puasa yang dilakoninya.

Mereka harus tahu, mengerti, dan memahaminya, bahwa ibadah puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tidak sekedar melantunkan ayat suci al-qur’an sepanjang waktu, tidak sekedar memberi buka puasa kepada kaum fakir. Lebih dari itu semua, ibadah puasa yang pada sesungguhnya melatih kesabaran, membersihkan jiwa dan pikiran, seharusnya kelak ia menjadi pejabat yang cermat dan hati-hati. Tidak boleh lagi bekerja dengan “asal,” apalagi kebablasan karena “situasi mepet” sedang menyerempetnya.

Tidak! mereka tidak boleh gagal dalam menyelami manfaat dan dahsyatnya bulan suci ramadhan. Ia harus menghantarkan bangsa ini keluar dari krisis multidemensi yang melandanya.

Pelipur Lara

Bulan suci ramadhan harus menjadi “terapi kebangsaan” buat mereka, agar bisa menemukan dirinya yang hilang. Sebab boleh jadi, diri meraka yang sejati belumlah ia peroleh, sehingga nyatanya kita menjadi bangsa serba adanya, bangsa yang serba kepepet.

Di pundak mereka inilah, di pundak para pejabat kita, wakil-wakil kita di sana. Ada terpantik asa, dengan ibadah puasa sebulan penuh, “revolusi mental” tidak hanya fasih di lisan saja, tetapi dapat dibuktikan dengan kerja, dan kerja.

Kerjanya, jangan kebablasan, jangan karena kepepet, sebab hasilnya pasti tiada guna. Itulah yang dimaksudkan, kalau banyak orang yang merugi, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasanya. Sebab dari puasa yang telah dijalankannya itu, tidak memberikan manfaat dan terapi dalam kehidupannya.

Semoga saja, dengan ramadhan yang akan menemui kita di awal bulan ini, mampu mengembalikan para pejabat dalam kebangsaannya. Bangsa yang di ridhoi, bangsa yang mengutamakan hajat bersama, bangsa yang senantiasa mendapat syafaat dari Allah SWT.

Sekali lagi, semoga dengan puasa yang kita jalankan, kita tidak lagi menjadi bangsa yang kepepet, sebab kita telah menjadikan ibadah tersebut, sebagai terapi kebangsaan di negeri ini. Ingat! Puasa dan pejabat bukan sekedar pelipur lara.* 
Sumber Gambar: newponsel.com

[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors