Perginya Anak Bangsa: Gayatri Wailisa



Sumber Gambar: viva.co.id
Kita hampir ditenggelamkan dengan berita politik, seputar transisi pemerintahan, riuh gedung Senayan dalam perebutan kekuasaan, hingga detik-detik pelantikan presiden dan wakil presiden (Jokowi-JK). Begitu pesta digelar meriah.

Di saat yang sama pula pemberitaan amat dahsyat, adalah pesta pernikahan Rafy Ahmad dan Nagita Slafina yang di blow up oleh beberapa siaran TV swasta. Bahkan pesta artis gagah itu menghabiskan waktu 24 jam, hanya menyoal seputar dirinya saja terus menerus.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan dua tema pemberitaan tersebut. Namun yang patut disayangkan adalah tidak adanya pemberitaan yang seimbang. Media sudah termakan“candu” kapitalis, hingga melupakan aspek kemanfaatan pemberitaan buat publik itu sendiri.

Adalah anak bangsa yang bernama lengkap Gayatri Wailisa, disaat sakratul maut mnenjemputnya, tak ada pemberitaan yang “live” dari stasiun TV sedianya langsung kita bisa saksikan. Tak ada pemberitaan sedahsyat pesta meriah pernikahan Rafy Ahmad.

Hal ini sangat jauh bertolak belakang dari dua pemberitaan yang bernuansa “pesta” itu. Kabar meninggalnya Gayatri pertama kali dilansir melalui media online Jakarta dan Kaskus dengan mengutip konfirmasi Mantan Panglima Kodam XVI/ Pattimura Mayor Jenderal Eko Wiratmoko pukul 20.00 WIB di RS Abdi Waluyo (23/10/014).

Ada apa sebenarnya dengan diri kita? Ketika jauh lebih perihatin dan takut ketinggalan berita keseharian dari artis ternama, dibandingkan berita kematian anak secerdas Gayatri (yang menguasai 14 bahasa asing).

Bisa dikatakan, mungkin kita sama sekali tidak peduli, bahkan abai atas kelebihan anak asal Ambon Manise itu. Padahal, jika ditelisik lebih jauh kehidupan Gayatri, ada banyak hikmah, keistimewaan yang dapat menjadi teladan untuk kita.

Saya sendiri ketika pertama kali, membaca berita duka kematian Gayatri dari media online. Diberitakan kalau beliau meninggal, karena terjadi pendarahan pada otaknya, hati saya remuk, bulu kuduk saya berdiri, membayangkan anak bangsa yang “layu” sebelum menggapai semua harapannya, hanya untuk mengabdi demi bangsa dan negerinya, saatnya dijemput oleh maut.

Siapa Gayatri?
Sebelumnya tak ada yang kenal Gayatri, namun berkat salah satu program TV swasta (Metro TV) “Kick Andy”, Gayatri popularitasnya kemudian melesat bak meteor, hingga seluruh warga di negeri ini pada mengenalnya.

Simaklah anak yang masih berumur 15 tahun waktu itu, ketika memeraktikan banyak bahasa asing di Kick Andy, beberapa orang dari luar negeri yang hadir di acara Kick Andy, tiba-tiba bulir air mata mereka tak mampu tertahan, dikala menyaksikan Gayatri berkali-kali “pindah bahasa” saat memperkenalkan diri dan segala prestasinya.

Gayatri ternyata adalah Alumnus SMA unggulan Siwalima Ambon. Dia lahir di Ambon 31 Agustus 1995 dari pasangan seorang tokoh religius Deddy Darwis Wailissa, seorang pengrajin kaligrafi dan Nurul Idawaty, wanita keturunan Bugis yang tinggal di JL. Sultan Babula Waihong, kota Ambon.

Gadis ini terlahir meski dari keluarga sederhana. Dia terus menggali segala bakat yang ada dalam dirinya hingga mampu menguasai bahasa asing dengan baik. Diantaranya: bahasa Inggris, Italia, Spanyol, Belanda, Mandarin, Arab, Jerman, Perancis, Korea, Jepang, India, Rusia, China hingga bahasa katalog. Salah satu mimpinya adalah hendak menjadi seorang diplomat, tapi sayang seribu sayang, begitu maut terlalu cepat merenggutnya.

Hingga berbagai “gelar” kemudian menjuluki dirinya, ada yang menyebutnya “Doktor Cilik”, ada pula yang menyebutnya sebagai “anak ajaib”. Dan memang benar gelar demikian, karena bagaimana mungkin nalar sehat dapat membenarkan, anak yang masih tergolong sangat belia, tapi telah mendunia, kala berhasil masuk seleksi untuk menjadi duta anak mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat nasional.

Dari seleksi itu, akhirnya ia terpilih mengikuti seleksi mewakili Indonesia menjadi duta ASEAN untuk anak 2012-2013. Gayatri kemudian terpilih mewakili Indonesia ke tingkat ASEAN dan mengikuti pertemuan anak di Thailand dalam Convention on The Right of The Child (CRC).

Terplihnya Gayatri sebagai ‘duta anak” merupakan nafas awal, mulainya “detak jantung” dari semua anak-anak di negeri ini untuk disuarakan hak-haknya. Bukankah setiap tahun banyak anak-anak yang tidak terlindungi hak-haknya, hingga terjadi peganiayaan, pemukulan, bahkan hingga pembunuhan anak-anak yang kelak akan menjadi penerus dalam memegang estafet kepemimpinan di negeri ini? Gayatri telah berhasil membuktikan perjuangan itu, mewakili salah satu anak Indonesia, punya arti penting. Kemana bangsanya kelak akan mendayung?

Duka Untuknya
Kini apa yang tersisa buat Gayatri? Mungkin benar pepatah “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Ya, Gayatri hanya meninggalkan nama, kebaikan dan segala kelebihannya. Adalah Anak yang patut dicontoh, dteladani oleh anak-anak kita yang saat ini sedang menempuh pendidikan. Bukan hanya anak yang seumur dengannya, mulai dari anak sekolah dasar, menengah, bahkan seorang yang sudah menyandang gelar sarjana-pun, bukan sebuah kemunafikan jika ingin memiliki kapasitas setaraf Gayatri.

Maka di bulan ini, kita punya pemimpin baru yang bernama Jokowi-JK. Semoga upaya memecah kementerian pendikan menjadi dua bagian, sekaligus revolusi mental yang terus digelorakannya. Adalah bahagian dari keseriusannya untuk melahirkan gayatri-gayatri baru untuk Indonesia hebat.

Indonesia, bahkan semua dunia, ketika anak kelahiran Ambon itu mampu menunjukan kepada kanca internasional, bahwa bahasa adalah bukan sekat bagi setiap orang di dunia untuk menjadi pembeda. Kita semua patut melelehkan air mata untuknya, ini merupakan duka anak bangsa, tidak bisa diprediksi entah kapan lagi akan lahir anak sehebat dia. Selamat tinggal Gayatri Wailisa, senyum manismu akan terus dikenang oleh bangsa ini. Semoga engkau tenang dalam pembaringanmu, karena di sanalah masa yang abadi untukmu. (*)


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat FH Unhas
[Read More...]


Merayakan Kematian Demokrasi



(Artikel Ini Juga Muat diharian Fajar Edisi 1 Oktober 2014)
Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.


Dini hari, menjelang subuh, riuh dari gedung Senayan terus bergemuruh. Anak-anak kala itu yang akan menjadi penerus bangsa di negeri ini masih pada tertidur. Hanya sebagian orang yang mungkin peduli dengan bangsa ini, sedang menahan kantuk mereka, guna menanti putusan akhir sang wakil rakyat yang mereka masih percaya.

Dan tibalah masa pada waktunya, saat Fraksi Partai Demokrat yang diharapkan mengunci “kemenangan’ Pilkada langsung ternyata memilih bermanuver, fraksi Demokrat Walk Out dari rapat paripurna.

Kemudian bersamaan dengan itu, bukan hanya suasana gedung senayan menjadi gaduh, tetapi kita yang ikut menyaksikan pentas demokrasi Senayan, sontak hati langsung menjadi gundah-gulana. Harapanpun kemudian menjadi “ciut”, bahwa mustahil opsi Pilkada langsung akan “menang”. Lima fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) mereka kuat dan tangguh untuk dikalahkan.

Benar demikian, kubu pendukung Pilkada langsung hanya memperoleh 135 suara. Sementara kubu pendukung Pilkada via DPRD berhasil memperoleh suara jauh selisihnya dibanding kubu pendukung Pilkada langsung, yaitu 226 suara.

Kematian Demokrasi

Di kala malam merangkak fajar, atas kabar kemenangan yang didendangkan oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Itu bukan kemenangan yang pantas dirayakan. Namun kematian yang harus dikabarkan, sebagai kematian demokrasi yang telah digembok, diamputasi, disunat, dirampas, bahkan dibunuh oleh wakil terhormat kita.

Lalu rakyat di seluruh pelosok tanah air, berduka. Mereka tidak sungkan meluangkan waktu, datang berduyun-duyun di depan gedung Senayan, hanya untuk melampiaskan duka dan tangisan mereka. Ini adalah kematian, tidak ada salahnya jika air mata turut meleleh, saat menyaksikan demokrasi yang telah diperjuangkan “berdarah-darah” kini menemui ajalnya.

Aksi mereka tidak berhenti sampai di situ saja, sekumpulan orang di depan gedung Senayan, masing-masing meletakan rangkaian bunga. Dan gedung parlemenpun, akhirnya menjadi “nisan” kematian demokrasi.

Ironisnya, kematian itu tidak semua orang berempati. Di tempat yang berbeda, ada pula segerombolan pembunuh demokrasi justru merayakannya.

Diantara mereka, ada hadir golongan suci yang membawa misi kenabian, hadir pula golongan reformis yang telah mempertaruhkan banyak “nyawa” melayang, karena dahulu kala pernah memperjuangkan “demokrasi”. Tetapi kini oknum bersangkutan malah membunuhnya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka pada bersorak-sorak, menggelar pesta-pora “kemenangan”, merayakan kematian demokrasi, saat banyak rakyat yang merintih, karena hak-hak mereka telah di rampas, dan karena “daulat ” miliknya telah dibunuh.

Di saat yang sama pula, ketika rakyat banyak berharap pada satu “dewa penolong”. Apa lacur “sang dewa” pun bermuka durja. Alih-alh diharapkan menjadi “juru selamat” justru dialah “pemubunuh berdarah dingin”.

Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.

Lalu ia berkelakar, akan melakukan pembelaan terhadap korban pembunuhan demokrasi. Di garda terdepan ia akan berdiri tegak memperjuangkan hak-hak para korban dari pemubunuh demokrasi tersebut.

Ini patut diwaspadai oleh rakyat kita, karena alih-alih diharapkan sebagai tim pembela, justru nantinya akan menjadi “musuh dalam selimut”. Maka dari itu mulailah waspada dari sekarang.

Kematian Banal

Selain itu, ada hal yang ganjil dari kematian demokrasi pada “jumat keramat” dini hari kemarin. Di dalamnya ada kematian demokrasi, tetapi kenapa ada segelintir orang yang merayakannya?

Mereka pada tertawa terbahak-bahak, sedang melampiaskan kebencian dan rasa dendam yang berlipat-lipat. Ada apa sesungguhnya? Inikah balasan terhadap rakyat yang “menjatuhkan” mereka dari mimpi untuk meraih panggung kekuasaan, tetapi apa daya justru mereka “terperosok” dalam jurang kekalahan?

Kalau benar demikian, inilah kebencian yang tidak akan ada juntrungnya. Dan terus akan membawa “petaka” krisis kemanusiaan di negeri ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Gunn (Yasraf Amir Piliang: 2007, P. 335) bahwa kebencian terjadi karena ikatan positif atau perekat (sosial, kultural, spiritual) dalam bentuk cinta, persahabatan, kasih sayang, dan saling pengertain telah hancur. Bahwa hancurnnya ikatan-ikatan itu, kelak akan menggiring masyarakat ke arah sifat-sifat kebencian (hatred), atau kemarahan yang akhirnya membawa masyarakat ke arah budaya kekerasan atau kekejaman.

Jika ada yang bertanya, benarkah sekarang terjadi kekerasan demikian, sebagai imbas terbunuhnya “demokrasi”. Jawabannya; benar terjadi. Secara kasat mata memang kekerasan itu tidak nampak, tetapi dalam ruang-ruang virtual, tidak sengaja mungkin kita telah melakukannya.

Karena gejolak kesedihan atas kematian demokrasi. Ada banyak orang “melampiaskan” amarahnya di jejaring sosial. Kata-kata, caci-maki, kebencian, hingga ancaman pembunuhan dihantarkan dalam jutaan bit-bit informasi. Ada pembunuhan karakter terhadap aktor-aktor yang ditengarai terlibat dalam pembunuhan demokrasi, ada rekayasa wajah terhadap tokoh-tokoh yang sedang mereka benci. Bahkan ada perkumpulan di media sosial, yang tidak ada seorangpun bisa membendungnya melalui hastek #shameonyouSBY.

Ini semua penting dimaknai, bahwa merayakan kematian demokrasi. Akan melahirkan perayaan-perayaan baru, melalui media sosial. Pembunuhan bukan hanya terjadi dalam wajah dan fisik semata, tetapi karakterpun bisa dibunuh berkali-kali. Kesimpulannya; kematian demokrasi akan melahirkan kematian-kematian baru.

Bahkan kematian kemudian menjadi peristiwa banal sebagai sesuatu yang gampang, ringan, dan sesuatu yang murah. Kematian menjadi strategi yang disebut Baudrillard di dalam “Fatal Strategies” sebagai strategi kesia-siaan (banal strategi), sebagai kematian yang ringan.

Pada saat itu, mereka tidak mau ambil pusing lagi, dengan makna kemanusiaan dibalik kematian; mereka tidak mau tahu dengan hikmah yang dapat ditarik di balik peristiwa kematian; mereka tidak mau peduli dengan kebenaran yang ada dibalik kematian. Kematian telah tercerabut sama sekali dari konteks moral; kematian telah terlepas sama sekali dari konteks kemanusiaan. Kematian telah menjadi “objek kematian” seperti sikat gigi atau sabun mandi. Demikianlah peringatan kematian yang dipesankan oleh Octavio Paz sebagaimana diceritakan ulang oleh Yasraf Amiri Piliang dalam bukunya “Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital”. Semoga ini dapat menjadi renungan kita bersama, di tengah gemuruhnya demokrasi, telah dibabat habis oleh penguasa yang bertindak lalim, keji, dan kejam terhadap demokrasi itu sendiri. (*)








[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors