Membumikan Tuhan Dalam Teologi Ramadhan




 
Ada yang menarik ketika penentuan satu ramadhan menjadi arena debat antara pemerintah di bawah naungan kementerian beragama dan  beberapa kader Muhammadiyah. Ada yang melaksanakan puasa pada tanggal 20 (hari Jumat 2012). Ada lagi yang melaksanakannya satu hari kemudian (Sabtu, 21 Juli 2012), bagi yang berjamaah, mengikuti fatwa pemerintah.
Itulah pemerintah yang berkehendak menasionalkan puasa ramadhan sebagai wilayah “prifasi” teologis hambah dengan Tuhannya. Padahal puasa adalah ibadah nan suci yang tidak bisa diganggu gugat oleh tafsir tunggal seorang penguasa.
Tak kala menariknya lagi, di Gorontalo, negeri serambi Madina itu yang dihuni oleh mayoritas Muslim (selebihnya Nasrani, Hindu, Budha dan Konghucu). Menjemput ramadhan dengan berbagai ritual dan perayaan simbolik. Seperti melantunkan dzikir sepanjang malam, memotong ayam untuk syukuran bersama. Dalam menanti tamu agung kebahagiaan, bulan ramadhan.
Di Provinsi Gorontalo tidak ada LSM sekelas FPI (Front Pembela Islam), ataukah setidaknya organisasi yang dapat dikatakan “Polisi surgawi” yang  melakukan aksi, demo, apalagi  memaksa untuk menutup tempat hiburan, warung makan, tempat-tempat penjualan minuman keras. Masyarakat rupanya  sadar dengan sendirinya. Mengakhiri perbuatan “dosa”- nya. Saat bulan ramadhan akan tiba.
Kafe-kafe yang mempertontonkan “syahwat” dunia, Setan yang berkuasa dikala bulan ramadhan belum tiba. Sepertinya bertekuk lutut di hadapan malaikat “suci”. Inilah arti simbolik ketika setan dikerangkek, pada saat bulan ramadhan hadir menjemput manusia untuk menabung berlipat ganda amal. Dan kini tergantikan oleh peran Malaikat mengajak kita melaksanakan segala ibadah dan amal suci. Sebagai adikodratinya  manusia yang harus selalu pasrah kepada Tuhan.
Apa yang menyebabkan sebagian warga di negeri Serambi Madinah ini, ketika ramadhan tiba, semua pada langsung bermetamorfosa bagai Malaikat tidak mau berbuat dosa ? Jika dulunya rajin mengunjungi kafe-kafe, maka kini waktunya diganti dengan shalat tarwih di Mesjid. Jika dulunya pelampiasan lelah dan penat dari tempat kerja diobati dengan meneguk minuman keras, kini bulan ramadhan menggantinya dengan momen berbuka puasa. Tak ada waktu berleha-leha dalam kesenangan. Mesjid bersenandung merdu melantunkan ayat-ayat Tuhan. Memanggil semua jamaah, mereaktualisasi diri. Saatnya berkunjung di rumah Allah. Dalam rangka  melengkapi ibadah puasa. Ibadah  yang telah dilaksanakan sehari, setelah menahan lapar dan dahaga ditengah negeri panas. Sebuah negeri yang berada dalam lintas khatulistiwa.
Seandainya saja bulan ramadhan, tidak hanya hadir dalam satu bulan. Mungkin dengan cepat kebiasaan setan, kebiasaan sekuler demikian akan cepat hilang. Berlalu tanpa perlu Muallim, seorang Ustadz turun bukit, keluar dari mesjid berkhutbah, supaya kita semua mendekatkan diri kepada Tuhan. Tuhan yang maha perkasa. Agar kita sadar akan kematian, sadar akan ganjarannya  di akhirat kelak.
Tuhan memang tidaklah dapat dinalar, disentuh, dihadirkan wujudnya di bumi ini. Karena itulah kelebihan Tuhan. Semakin kita dekat dengannnya. Semakin ia tidak terlihat. Itulah Tuhan yang berbeda dengan materi. Tuhan yang tidak menempati ruang dan waktu.
Hanya dengan melaksanakan perintah, menjauhi larangannya, dan takut pada ancamannya. Manusia dapat melebur diri dalam eksistensi Tuhan yang maha Agung. Dengan melaksanakan ibadah puasa kita akan menjadi bertakwa sebagaimana Tuhan berfirman dalam surah Al-Baqarah (Ayat: 183). 
Dengan bertakwa, manusia sebagai partikel sempurna ciptaan Tuhan. Tuhan benar-benar hadir membumi di bulan suci ramadahan ini. Hanya dengan takwa, kita dapat meninggalkan segala perbuatan keji dan mungkar. Hanya dengan melebur dalam sifat-sifat ke-Tuhanan sebagaimana Sir Muhammad Iqbal, filsuf asal Pakistan itu pernah berkata dalam pusi Ashari al-kuhldi’,   bahwa denga takwa kita akan benar-benar mampu bertindak baik dan normal. Sebagai manusia yang tidak jauh lebih rendah derajatnya dari pada binatang jika berbuat dosa.
Ironisnya, kebiasaan setan tetap akan terulang kembali. Di saat bulan ramadhan telah pergi berlalu. Dan banyak diantara kita terpesona dengan Idul Fitri. Yang membuat kita, konon katanya “kembali fitrah”.  Malah aksi-aksi setan kembali termanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kita setelah merayakan hari Idul Fitri. Ruang-ruang penghibur setan kembali dibuka lebar. Kafe-kafe pengibur “syahwat” dunia terdengar kembali.
Apakah setan yang membumi setelah ramadhan itu kian berlalu hadir kembali ? apalah artinya kita melaksanakan puasa, ketika dosa-dosa telah terampuni. Kemudian setelah ramadhan pergi. Kita kembali berada dalam gelimang dosa. Inikah yang dimaksud manusia terlalu gampang “mengkompromikan” perilakunya dengan kelebihan Tuhan yang Maha Pengampun. Sungguh naïf kita menjadi manusia. Tidak hanya jadi penipu sesama manusia. Tetapi kitapun secara tidak sadar telah menipu Tuhan dengan mentah-mentah dari teksnya yang suci.
Saatnya, perlu ada radikalisasi diri dalam teologi puasa. Satu bulan puasa penuh ini bukan bulan sebagai waktu untuk menyenangkan Tuhan. Tuhan tidak butuh sama sekali ibadah yang kita lakukan. Kita diperintah untuk melaksankan salah satu rukun Islam ini adalah dimaksudkan untuk kepentingan Manusia itu sendiri. Puasa adalah ajang latihan menuju ketakwaan. Menuju  kesempurnaan kita sebagai manusia. Menuju pribadi manusia yang arif. Sebagaimana Murtadha Muthari mengajak kita untuk  “mencapai kearifan puncak-Nya” Tuhan.
Disamping untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan berpuasa kita senantiasan akan membebaskan hasrat duniawi kita sebagai manusia yang kadang tergantung pada kebutuhan fisik semata. Karena sesungguhnya dalam diri kita ada hasrat Jiwa dan ada hasrat fisik kita. Di mana hasrat jiwa yang sudah baik masih terpenjara oleh hasrat fisik yang lebih banyak menaruh kesenangaan pada sifat-sifat sekuler.
Jadi dengan berpuasa adalah momen membebaskan hasrat baik jiwa kita dari keterpenjaraan dan kungkungan  niat kesenangan duniawi. Inilah maksud kita diharapkan tidak makan dan minum di siang hari, tidak boleh berhubungan suami isteri di siang hari. Karena larangan itu tidak lain dimaksudkan untuk melatih kita sebagai manusia bergantung ‘total’ pada kepentingan-kepentingan fisik saja. Agar terbebaskan semuanya,  segala hasrat setan kita. ketika bulan puasa pergi, kita tidak dipertuhankan lagi oleh hasrat fisik itu.
TEOLOGI SOSIAL
Hakikat teologi ramadhan, dengan berpuasa tidak hanya melatih “hasrat baik” dari kepentingan jiwa saja. Bahkan tak lebih, puasa adalah aksi kesadaran sosial. Sebuah aksi kesadaran humanis. Kesadaran dalam konteks teologi sosial.
Dengan berpuasa kita dapat merasakan “menderitanya’menahan lapar yang lebih banyak diperankan oleh orang miskin. Dengan berpuasa seorang penguasa akan sama kegiatannya dengan seorang rakyat jelata. Seoarang yang kaya akan sama rasanaya menahan lapar dan dahaga dengan orang miskin.
Olehnya itu, kita diperintahkan untuk memberi buka puasa pada orang-orang yang berpuasa, kemudian kita diganjar dengan amal yang sama dengan orang yang berpuasa, tanpa mengurangi sedikitpun amal-ibadahnya orang yang berpuasa. Dan sat ini pulalah waktu bagi penguasa, orang kaya, tidak lagi menghamburkan uang melaksanakan buka puasa di hotel berbintang. Ada baiknya dengan menghemat dana buka puasa. Diganti saja dengan memberi buka puasa pada anak jalanan, ataukah pada rakyat miskin.
Bukankah dengan hadir di tengah-tengah anak jalanan, di tengah orang miskin, yang tidak pernah mencicipi hidangan kue lezat. Kemudian hadir berbuka puasa dengan mereka semua. Seolah Tuhan hadir membumi ditengah-tengah kita.  Tuhan menjadi ‘imanen” di hati kita semua. Sebagai manusia yang trans-humant. Sekalipun Tuhan tidak hadir dalam rupa yang maujud-Nya.
Sekiranya kalau masih ada saja seoarang yang berat meninggalkan kebiasaan lama., Terbiasa tidak meninggalkan kebiasaan “setan”, meneguk minuman keras siang hingga malam suntuk, melakonkan tindak-tanduk setan.setelah melaksanakan ibada puasa. Satu bulan penuh. Maka yang demikian ini dimaksud orang-orang yang gagal dan merugi, menjalankan ibadah puasa. Hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.
Dengan bulan puasa dalam waktu satu bulan ini. Janganlah kita menjadi penipu-penipu Tuhan. Ataukah dengan berpikir kekanak-kanakan saja bahwa setan dikerangkeng pada bulan ramadhan. Setelah bulan suci itu berlalu. Kita dapat melakukan perbuatan “dosa” lagi.
Bulan ramadhan bukan ajang untuk berebut pahala, menumpuk pahala dan mengubur dosa-dosa kita di masa lalu. Mari kita menjadi manusia yang melebur dalam “ altar” kesucian Tuhan untuk merajut bahagia “surgawi” tidak hanya di akhirat. Tetapi kita dapat merasakan jua kebahagiaan manusia yang sempurna di muka bumi ini.
Saatnya  meninggalkan segala perbuatan keji. Bertaubatan Nasu’ha di bulan suci ini. Meski kelak bulan ramadhan akan  berlalu meninggalkan kita semua. Karena hanya dengan pertolongan Tuhan. Jika umur kita masih panjang. Kita masih dapat menjemput bulan ramadhan yang suci tersebut. Di tahun depan. Wallahu wa’laam bissowab.
[Read More...]


Belajar Toleransi dan “Perilaku hukum” Dari Desa Banuroja




Penulis tak pernah memikirkan sebelumnya akan menemukan sebuah Desa yang rukun, damai, penduduknya tidak ada yang bertikai, terjadi konflik etnis atas nama agama, konflik horizontal, saling memperebutkan tafsir “Tuhan tunggal” buat mereka.

Di tengah penulis banyak membaca, melihat dan mengamati tulisan dalam berbagai artikel, koran, media cetak hingga tontonan kekerasan atas nama agama yang ditampilkan melalui media televisi. Seperti penyerangan gereja, pembakaran mesjid, aksi bom bom bunuh diri dengan latar “jihad” yang ditafsir untuk mendapatkan peluang surgawi. Rupanya masih ada negeri bisa menjadi guru untuk mengajarkan sikap saling menghargai sesama, dan budaya toleransi yang tinggi. Negeri itu adalah sebuah desa kecil yang terletak di kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Kecamatan Randangan. Desa Banuroja.

Walaupun kampung ini dihuni oleh empat kelompok etnis dari transmigran yang datang dari negeri yang berbeda. Ada yang berasal dari etnis Bali, etnis Nusa Tenggara, etnis Gorontalo dan etnis Jawa. Hingga sekarang belum pernah terdengar konflik dari ke empat etnis tersebut . Padahal jika ditelisik lebih jauh ternyata di sana ada empat agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) dan tempat peribadatan masing-masing saling berdekatan. Namun tidak ada aksi saling menyerang, adu jotos hingga mengakibatkan kematian diantara pihak karena agama mereka yang berbeda.

Uniknya lagi pada saat memasuki desa Banuroja tidak ada yang lebih mencorong daripada bangunan sebuah pura besar di  Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Pura besar yang dikelilingi pura-pura keluarga yang ukurannya lebih kecil. Tapi suasana Hindu itu berakhir di depan bangunan sekolah dengan tulisan yang mencolok pada salah satu temboknya. Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah.
Posisi Kabupaten Pohuwato yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah juga menarik diperhatikan. Ketika konflik bernuansa agama di Sulawesi Tengah merembet ke sejumlah wilayah di Sulawesi, ia tak mampu menembus Pohuwato. Hal ini terjadi karena tokoh-tokoh agama Pohuwato punya kesadaran yang cukup tinggi. Mereka paham bahwa konflik yang terjadi di Palu dan pada awal 2000-an adalah konflik kepentingan elite yang mengorbankan rakyat jelata dengan menggunakan simbol-simbol agama.
Banuroja sendiri berdasarkan hasil pembicaraan penulis dengan Kepala Desa Banuroja Abdul Wahid. Ketika diundang untuk menjadi pemateri oleh Mahasiswa KKLP Unisan Pohuwato angkatan ke II. Dalam penyuluhan hukum “Membangun Kesadaran Hukum Bermasyarakat”. Beliau mengatakan bahwa awal mula terbentuknya kata Banuroja adalah berdasarkan hasil konsensus dari semua warga yang dikumpul hingga akhirnya mereka semua sepakat memakai nama desa BANUROJA (merupakan kepanjangan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa).
Tiba saatnya saya kena giliran sebagai pembicara. Saya tidak bisa mencari kata dan kalimat atas kekaguman saya dengan bapak Kepala Desa itu. Seorang Kepala Desa yang mengaku hanya tamatan SMA. Ternyata memiliki “style” dan paradigma setingkat Abdurrahman Wahid yang sangat menghargai perbedaan. Kepala desa yang mengakui pluralisme.
Akhirnya dengan latar belakang saya sebagai dosen ilmu hukum. Maka cukup saya mengatakan di hadapan para warga masyarkat yang hadir dalam acara penyuluhan hukum itu. Di kampung ini saya yakin saudara-saudara tidak ada yang pernah tahu benar konstitusi yang mewajibkan untuk saling menghargai perbedaan. Mungkin tidak pernah membaca Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945.
Tapi justru pertanyaan yang menggelitik adalah kenapa di negeri kalian ini tidak ada permusuhan seperti yang pernah terjadi di Ambon, di Poso dan beberapa daerah yang menyulut konflik hanya karena atas nama agama ? jawabannya, saya yakin semua itu didasarkan oleh karena “kesadaran personal”  kalian semua. Butuh negeri, desa yang aman dan tenteram. Di sinilah hukum dalam kajian sosiologis dan antropologi bukan sekedar dilihat semata dalam undang-undang. Hukum bukan logika, dan matematika melainkan pengalaman sebagimana disatir oleh Oliver W. Holmes.
Hukum adalah perilaku. Perilaku warga desa Banuroja yang sadar (Identification: H.C kelman) pentingnya nilai-nilai.  Patut untuk saling toleransi antar sesama. Hukum mereka bukanlah lahir dari setumpuk aturan perundang-undangan, tetapi lahir dari perilaku hukum mereka. Pengalaman mereka bermasyarakat.
Perilaku hukum itu Nampak diantara mereka pada saat pembangunan tempat peribadatan. Tidak ada yang berpandangan, bahwa ini bukan mesjid kami, bukan gereja kami, bukan wihara kami, semua sadar secara bergotong royong untuk saling bantu-membantu hingga tempat ibadah mereka masing-masing selesai terbangun. Sebuah kesadaran toleransi yang santer diperjuangkan oleh negeri kecil ini di tengah gempuran media yang semakin hari banyak memberitakan konflik atas nama Sara.
Perilaku hukum mereka adalah hukum yang sadar akan toleransi begitu urgen disematkan sebagai negeri yang tahu “bhineka tunggal ika” sekalipun warga setempat tidak pernah membaca tafsir filsufis pancasila untuk mengakui kemajemukan. Di sinilah membuktikan bahwa hukum itu lahir dari masyarakat (ubi society ibius), hukum sebagai jiwa masyarakat,  jiwa bangsa (Volkgeist: Carl V. Savigni), hukum adalah pencerminan masyarakat.
Ada kesadaran toleransi yang juga tak kalah menariknya di desa Banuroja. Dari hasil pembicaraan lepas penulis dengan pemangku Kepala Desanya. Katanya Saat ummat Muslim sedang melantunkan adzan, melaksankan shalat jamaah, melaksanakan dzikir, maka mikrophon dari wihara para pemeluk agama Hindu di sebelahnya ketika sedang melaksanakan ibadah malah tidak diperbesar suaranya.
Bagi penulis di sanalah, seraya berkunjung ke sana. Kita dapat  merasakan Tuhan benar-benar membumi. Ketika meraka pada sadar untuk tidak saling menyerang tempat peribadatan. Saling toleran ketika pemeluk di sebelahnya sedang melaksanakan ibadah. Tidak terlepas juga dari kepala desa Banuroja, yang mengangkat ketua BPD dari tokoh agama Hindu kemudian anggota BPD-nya ada yang beragama Nasrani, bahkan Pendeta, Muslim, seorang Uztadz. Dengan alasan, katanya ketika ada dana untuk pembangunan, cukup tokoh-tokoh ini yang akan menyampaikan program kerja itu kepada para ummatnya.
Desa Banuroja hemat penulis adalah Indonesia kecil yang mampu menjadi cikal-bakal toleransi dan perilaku hukum untuk “taat” menjalankan hukum masing-masing tanpa memaksakan tafsir “Tuhan tunggal” terhadap pemeluk agama yang berbeda.
Negeri Indonesia yang besar, di nusantara ini dengan masyarakat yang mejemuk mesti belajar cara bertoleransi dari negeri yang kecil ini. Di sanalah terdengar ke damaian ketika suara adzan terdengar merdu di iringi oleh suara lonceng gereja dan pujian Tuhan buat pemeluk agama Hindu yang sedang melaksanakan ibadah di pura-pura mereka.
Sejatinya kata yang tepat bagi mereka, aku cinta pada kalian, namun aku tetap pasrah pada Tuhanku. “Sesungguhnya Ketaatan yang diridhoi oleh Allah adalah agama yang pasrah.”
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors