Memanusiakan Literasi




Di dunia ini banyak penulis, tetapi kurang karena karyanya akan menjadi tenar dalam jagat literasi. Dalam dunia sastra beberapa nama penulis yang cukup populer, diantaranya: Sir Walter Scott (1771-1832 ), Emile Zola, Victor Hugo (1802-1885), Alexander Dumas (1802-1870), Charles Dickens (1812-1870),Leo Tolstoy (1828-1910), Oscar Wilde (1854-1900), Rabindranath Tagore (1861-1941), Rudyard Joseph Kipling (1865-1936), Maxim Gorky (1868-1936), Jack London (1876-1916), Frans Kafka (1883-1924), Ernest Hemingway (1899-1961),John Ernst Steinbeck (1902-1968), Jean Paul Sartre (1905-1980), Albert Camus (1913-1960).

Mungkin nama-nama yang saya sebutkan di atas, masih banyak yang tidak mengenalnya. Maka marilah kita menoleh ke sastrawan kita sendiri, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Disampng kedua sastrawan tersebut pernah berseteru di zamannya, pasti kedua-duanya tak ada yang mengingkari kalau karya-karyanya menjadi abadi, disukai oleh banyak orang, kendati sudah berpuluh-puluh tahun dijemput maut.

Tingkat kedisukaan suatu karya hingga mampu melintasi zamannya, tiada lain disebabkan oleh sang empunya sendiri yang meniupkan jiwa dalam karyanya. Simaklah salah satu karya Pramoedya yang berjudul “Gadis Pantai” satu persatu kalimatnya tersusun rapi menceritakan tentang feodalisme masyarakat Jawa yang dilakukan oleh golongan priyayi pada saat itu. 

Senada dengan itu pula, percikan jiwa Hamka dapat ditelusuri dalam salah satu novelnya “Terusir” yang mengisahkan seorang perempuan diusir oleh suaminya, hidup dalam dunia pelacuran, tetapi cinta pada sang anak membawanya di meja persidangan hingga kematian menjemputnya pula.

Resep Literasi

Kata kuci yang menjadi resep literasi, ciptakanlah sebuah karya ibarat manusia. Memanusiakan literasi. Jika organ tubuh manusia memiliki susunan, organ-organ tubuh, panca indera, sistem pernafasan, sistem pencernaan, semuanya itu tersusun secara sitematis. Maka, demikian halnya dengan karya yang bernama “tulisan” susunlah kalimatnya secara sistematis pula. Sebab kalimat yang tiada terangkai, tidak memiliki hubungan sama sekali,sistemnya mustahil terbentuk.

Sulit, memang perkara sulit, merangkai kalimat dengan kalimat selanjutnya tidak segampang merangkai kata. Tetapi pada intinya jika anda mampu merangkai kalimat tanpa menggunakan lagi kalimat penghubung, pada poin itu sesungguhnya anda telah menapaki tingkatan penulis yang patut disimpan namanya “di hati” pembaca.

Seringkali saya membaca artikel, kalimatnya tak ada keterkaitan dengan kalimat sebelumnya, porak-poranda di sana-sini, bahkan antar pragraf tidak terdapat sinkronisasi. Sehingga terpaksa harus membacanya berulang-ulang. Bagaimana dengan pembaca yang malas mengulang-ulang? Sudah pasti akan menghentikan untuk membaca karya tersebut, sebab sang empunya karya tidak pernah memahami kemauan dan rasa sang pembaca. Jangan marah jika pada akhirnya, karya semacam itu akan dilempar ke tong sampah. Itu, karena anda sendiri sebagai penulis terlalu egois dengan bahasa (yang mungkin) terasa bombastis, tetapi apa guna kalau pembaca tiada memahaminya.

Soal menarik dan bagusnya suatu karya cipta bukanlah ditentukan oleh gelar sarjana, magister, doktor, bahkan professor. Mau tidak mau, bagi penulis yang sudah terkenal akan membeberkan resep literasi, bahwa yang namanya menulis butuh kerja keras ekstra, latihan, dan ketelatenan. Salah besar, jika media tertentu hanya mengutamakan memuat sebuah karya di hariannya dengan gelarnya semata, tanpa memperhatikan substansi tulisannya yang bisa dipahami oleh pembaca.

Paling penting di atas semua itu, selain kalimatnya terangkai secara sitematis, maka manusiakanlah literasi dengan memberilnya nyawa dan jiwa. Bernyawa dan berjiwanya sebuah tulisan merupakan satu kesatuan dengan kalimatnya yang saling berangkai. Jadikanlah tulisan anda mengalir ibarat air yang jernih, deras mengalir, semakin deras alirannya maka semakin larutlah pembaca dalam tulisan itu.

Kerap kali diksi (pilihan kata) sangat mempengaruhi nyawa dan jiwa sebuah literasi, asal saja dengan kalimat yang muda dipahami. Akan tetapi nyawa dan jiwa sebuah karya, klimaksnya amat ditentukan oleh “makna” ataukah “pesan” yang akan disampaikan oleh penulisnya. Yang demikianlah menjadi penyebabnya, seseorang akan merasa bermanfaat membaca karya tersebut, sebab hati dan pikirannya meruah, seolah-olah sang penulis sedang berbicara, hadir di depannya.

Dunia fiksi adalah dunia emosi, pembaca kerap dibuat marah, sedih, bahkan tak sadarkan diri ia akan menitikan air mata. Di situlah hebatnya sang penulis mengaduk-aduk hati pembacanya.

Literasi Opini

Bagaimana dengan artikel yang bukan berlatar fiksi, seperti artikel biasa lainnya, khususnya opini? Apakah dibalik itu juga memerlukan resep literasi? Ya… itu sudah pasti.

Bahkan dalam beberapa opini yang sering ditulis oleh penulis kawakan seperti Yudi Latif, Hamid Awaluddin, Reza Indragiri Amriel. Tulisan mereka sering menggunakan bahasa sastra, tetapi masing-masing tema perihal “ negara, hukum, dan psikologi” yang disampaikannya tidak menjadi hilang.

Di saat yang sama, memang ada pula yang memilih untuk menulis opini dengan bahasa datar-datar saja, tidak ada kata yang satir dan sarkastis. Namun bahasa dan kalimatnya runut, jiwa dan nyawa tulisannya pula tergambarkan melalui hasil olah pikirnya akan solusi dari masalah yang sedangmeresahkan dirinya.

Pada akhirnya dunia literasi adalah dunia kekayaan alam raya dengan segala isinya. Mereka yang hobinya mengumpulkan berita, lebih cocok jadi wartawan, bukan penulis opini. Penulis opini, namanya saja opini maka sebuah tunutan kepadanya untuk mengemukakan pendapat dan usul pribadi yang belum lazim diketahui oleh banyak orang.

Kita bisa berkaca pada karya cipta lainnya dalam memahami betapa pentingnya “nyawa dan jiwa” dari karya itu sendiri. Ebit G. Ade adalah seorang penyanyi dengan karya tak pernah dilapuk oleh zaman, karena lagu yang diciptakannya penuh makna, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga para pendengarnya. Silahkan putar sendiri lagunya yang berjudul “Camelia.” Ataukah kita juga bisa belajar dari kegigihan Leonardo Da Vinci melalui karya lukisannya “Mona Lisa” yang dikerjakan selama bertahun-tahun, dan hingga kini lukisan bergambar manusia itu masih simpang siur, entah berjenis kelamin apa. Jika lagu dan karya menjadi tenar, maka demikian halnya dengan “tulisan” di saat penciptanya mampu meniupkan nyawa dan jiwa ke dalam karyanya itu. 

Pilihannya, mau menjadi penulis dengan motif ketenaran, tetapi mengabaikan resep literasi, sebaiknya memikirkan dulu untuk terjun dalam profesi ini. Hanyalah pada jiwa yang resah, sedang terasuki gelisah, akan merasakan betapa bahagianya dengan menuliskan apa yang ada di hati, jiwa dan benaknya.*


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Penulis dalam Kumpulan cerpen “Menetak Sunyi"

Artikel ini Juga muat di harian Tribun Timur, 14 Oktober 2015
Sumber: makassar.tribunnews.com 






[Read More...]


Nursal NS, Selamat Berbahagia Kawanku



10 sd. 11 Oktober 2016, karibku Muh. Nursal NS, hari, tanggal, bulan, dan tahun itu merupakan peristiwa penting bagimu. Jangan pernah kita “menghakimi” waktu, karena sesungguhnya pada waktulah kita banyak belajar tentang diri kita.

Seringkali saya mengatakan, bahwa salah satu yang sering dilupakan oleh manusia, adalah perkara “jodoh.” Soal kelahiran dan kematian janganlah ditanya, semua orang tahu pastinya kalau demikian sudah menjadi “sunnatullah.” Dengan melihatmu kawanku bersanding dengan wanita pilihanmu, semakin saya percaya jikalau yang namanya “jodoh” pun adalah kekuasaan Tuhan yang tiada dapat dielakkan.

Sekalipun hari bisa menjadi gelap, pastilah ia akan disiangi dengan cahaya mentari. Dan sekalipun langit merintihkan “hujannya” pada akhirnya juga akan redah pada waktunya.

Pada alam kita dapat belajar segala kemahaagungan-Nya. Diriku yang terlalu banyak “tidak tahunya” bahkan banyak belajar darimu. Engkaulah yang pernah menerangkan kepadaku jalan seorang “yuris” sehingga ia kemudian layak dikatakan sebagai yuris. Untuk konteks ini, sulit kututupi masih banyak hal yang harus kupelajari dirimu. Suatu waktu masih akan meminta waktumu, walau tidak sebanyak dahulu lagi, terangkanlah kepadaku jika ada soal dan perkara yang dalam nalarmu berbeda dengan pendapat dan pengamatanku.

Saya termasuk “kawan” yang paling inklusif, untuk perkara “pernikahan” sayalah (mungkin) pantas untuk dikatakan “egois” dan tidak pernah memerhatikannya sebagai “kebahagiaan” yang harus dirajut bersama. Hanya dan baru kali ini, seorang kawan yang baru kenal akrab setelah saya dan dirimu sarjana, betapa pentingnya bagi diriku untuk hadir di pesta pernikahanmu. Sebab mengapa? Saya sangat dan betapa percayanya pada yang namanya kekuatan doa, lamat-lamat doa yang selalu diutarakan kepada-Nya, yakin dan percaya pastilah ia akan menjawab-Nya.

Untukmu teman yang maaf jika saya harus mengatakan kalau dirimu terkadang “keras kepala,” egois, dengan pendapatmu sendiri yang tidak mau dianggap “salah.” Saya selalu “memakluminya” sebab dalam “sendiriku,” selalu dan selalu merenungkan kembali kata-katamu yang cukup dibalut dengan ‘argumentasi” logis, kerap memang harus demikian adanya.

Jika dirimu dalam keadaan “marah” pun saya tahu rumus pamungkasnya, engkau tak perlu dilawan, cukup dengan nada diam, beberapa saat setelah itu, engkau akan menyesalinya jika perbuatan dan tutur demikian memang tidaklah pantas. Berdosa dan kualat mungkin diriku, jika saya harus mengatakan kalau hal yang seperti ini haruslah dipelajari dan dipahami oleh istrimu.

Bukan teman, bukan sahabat, jika diantaranya tidak pernah berselisih paham, lalu setelah itu kembali menjadi akrab, tanpa menyimpan lagi rasa dendam di hatinya. Janganlah pernah menuntut maaf dari orang yang pernah membuatmu kesal, tetapi “maafkanlah” saja, sebab potensi teragung yang dimiliki oleh manusia, adalah merenungi kembali apa yang pernah diperbuatnya.

Sebagaimana lazimnya, ketika orang pada ramai mengucapkan selamat dan dendangan doa kepada dua insan yang dipertemukan dalam kasih dan sayangnya, maka terimalah jua ucapan dan doaku, berbahagialah dirimu selamanya, walau rasa-rasanya kata-kata ini sangat dan teramat miskin pada kenyataannya.

Sudah engkau tunjukan, bahwa “pernikahan” itu hanya butuh kesungguhan dan kemauan, bukan soal “finansial.” Akh..engkau terlalu berani kawan, tetapi apapun itu, saya harus percaya sebab di depan mataku sendiri, engkau mampu membuktikannya. Maka dari itu, jika memang saya harus melewati fase demikian, silahkanlah menyelipkan hasratku pula dalam setiap doamu. Sebab pada kekuatan doa-lah yang tidak akan pernah memisahkan diantara kita semua, yang kerap dimaknai waktu dan tempat selalu membatasinya.

Berlebihan anganku, kalaulah kebersamaan akan dipertemukan pada waktunya dalam “turunan” anak manusia yang jauh lebih dari kita pada hari-hari kemarin, saling adu “ilmu” dan pengetahuan, tentunya mereka itu jangan sampai melupakan “kuasa” di atas “kusa-Nya.”

Mengguruimu soal istri yang harus banyak belajar “agama Islam,” keluarga yang selalu berikrar “syukur” kepada-Nya, itu sangat berlebihan jika saya yang menyampaikannya. Engkaulah yang lebih banyak makan garam dan matang untuk soal demikian, lebih-lebih lagi engkau sudah menjalaninya, sementara diriku ini masih dalam batas rencana.

Kawanku...! pada hari-hari selanjutnya bukan lagi saya yang akan mengingatkan dirimu, mengurus makan siang dan malammu, sebab di sana sudah ada yang lebih berkapasitas untuk mengurusinya. Namun sewaktu-waktu jika engkau merasa kangen dengan “masakanku” yang ala kadarnya, datanglah sekali-kali berkunjung bersama dengan istrimu. Tak ada salahnya manusia mengingat “kenangannya” asal itu kebaikan dan menjalin silaturahmi toh akan bernilai “ibadah” di sisi-Nya. 

Tak perlulah engkau mendengarkan mereka, soal “suami-istri” harus begini, harus begitu, termasuk sayapun ada-ada saja perkataan yang tidak pantas soal itu. Jalani saja, asal engkau selalu mengedepankan agama Islam di pundakmu, maka ridho dan syafaat-Nya pastilah akan melimpahkan kurnia untukmu, terus-menerus.

Ada-ada saja “peristiwa” keluarga yang menjadi gonjang-ganjing di luar sana. Tetapi satu yang dapat kupelajari darimu kawan, janganlah sampai pertengkaran itu diketahui oleh orang-orang di luar sana. Untuk konteks ini, saya harus mengatakan sungguh memang benar dan lebih pantas jika harus dirahasiakan.

Tiada kebahagiaan, kalaulah tidak pernah dilanda kesedihan, dan tiada manfaatnya manusia dikaruniai kelebihan kalau tiada mampu belajar dari masa lalunya. Jangan pernah menghakimi masa lalu, sebab dengan masa lalu seorang akan menjadi pembelajar yang baik guna menyingkap segala tirai kemanfaatan yang dilimpahkan Allah yang maha kuasa.

Katanya, jika berselisih paham dengan pasanganmu, janganlah lelaki mengadu kepada wanita lain, demikian juga sebaliknya, janganlah wanita mengadu kepada lelaki lain. Kumandangkanlah adzan dan tunaikanlah shalat berjamaah bersamanya, mengadulah kepada Allah. Setelah itu silahkan bersitatap dengannya, di sana engkau akan menemui damai, cinta, dan kasih-sayang yang telah dianugerahkan kepadamu.

Semoga Allah menganugerahi anak dan cucu yang berpegang di tali agama, “Islam.” Perjuangan ini adalah perjuangan menegakkan kalimat “tidak ada Tuhan selain Allah.” Allah SWT, Tuhan penjaga semesta dan pemberi jalan yang akan menerangi hamba yang selalu memuji-Nya. 

Kawanku, Muhammad Nursal NS, maaf aku masih terbiasa menuliskan nama NS di belakang namamu, nama kedua orang tuamu, saya bangga dengan huruf itu (NS) sebab tanpa dia kita tidak akan pernah besar seperti ini. Hargai dia selalu, doakan dia selalu, penerangan jalan itu sungguh sangat berpengaruh berkat jasa dan segala amal baktinya, yang tiada pernah menagih balas budi.

Maafkan saya, jika anak yang junior ini terlalu banyak memberi nasihat. Pandanglah nasihatku sebagai doa. Saya harap engkau pula akan selalu berkenan menasihatiku ke jalan yang benar, doamu kuharap selalu menyertai juga niat baikku. 

Berbahagilah selalu kawanku, saudaraku.


Pinrang ---- Makassar, 12 Oktober 2016







[Read More...]


Ayam Jantan Penabur Rindu (Refleksi Milad Ke-60 Universitas Hasanuddin)



Kala malam merangkak fajar, riuh ayam jantan perkasa kini kembali menjagakan anak rantau dengan mersik kokoknya. Dari timur sedang terlirih bait-bait rindu, mereka yang telah melangkah jauh, perlahan dan pasti terpanggil kembali, tuk menemui tanah lapang dan kampung halamannya, di Universitas Hasanuddin (Unhas). Kampus kebanggaan kita semua.

Dan biarpun duka mendekam dalam nestafa, sekalipun layar terbentang surut kita berpantang, tetapi siapalah anak yang dibesarkan dalam rahim gagah berani, selama usia belum diusaikan oleh maut, tiada tenggelam di lautan, semuanya pasti akan rindu untuk merajut pertemuan di altar suci nan menawan itu.

Cerita kemudian meruah nan asa masa lalu, enam puluh tahun silam, 10 September 1956, Universitas Hasanuddin pertama kalinya diresmikan oleh wakil presiden RI pertama pula, Drs. Muhammad Hatta. Momentum 10 September itu kemudian tak pernah disia-siakan, dirayakan tetapi tidak menjadi lupa untuk selalu memancangkan Unhas yang jaya selalu.

Seakan menguak segala memori itu, Wakil Presiden RI, H. Mumahammad Jusuf Kalla, walau Makassar juga Unhas sebagai tanah permai kelahirannya, ia kembali merajut memori 60 tahun silam, antara JK dan Hatta sama-sama Wakil Presiden datang berkunjung ke markas ayam jantan dari timur itu. JK dan Hatta juga memiliki kesepadanan sebagai ekonom yang namanya sudah mendunia.

Entah mengapa, sang proklamator kemerdekaan itu pula, Ir. Soekarno yang begitu dikenal lihai menggali falsafah kebangsaan, ketika berpidato di Gubernuran Makassar (1954) menyarankan agar nama “Sultan Hasanuddin” yang tiada lain sebagai pahlawan nasional sekaligus raja Gowa XVI (1654-1670) kepincut untuk mengabadikannya dalam pendirian universitas negeri yang pertama itu di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Demikianlah sebab-musabab sehingga orang di kampung, orang di kota, pada ramai menuntun anaknya agar menjadi bahagian dari Universitas Hasanuddin.

Universitas Hasanuddin telah menghapus segala dinding perbedaan, anak kampung dan anak kota sama-sama berhak mengenakan jas merah kebesaran guna memanggul cita-cita nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak ada lagi permusuhan, kebencian; Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar dipertemukan dalam satu gelanggang merah, raihlah cita-citamu, tunjukan keberanian dan akal cerdasmu, terampil demi pertiwi Indonesia.

Sekelumit fakta telah tersaji di depan mata, anak-anak Unhas, alumni Unhas selalu dan selalu memperteguh kehormatannya, paentengi sirimu, malu jika tidak behasil. Falsafah itu kemudian telah mengantarkan banyak alumni Unhas memegang jabatan strategis di segala lini, mulai dari tingkatan lokal hingga nasional.

Sederet nama dan cerdik pandai Universitas Hasanuddin telah membahanakan kokok ayam jantan seanteror Indonesia, Jusuf Kalla dengan kemahiran pikirnya sebagai Wapres RI, Amran Sulaiman Menteri Pertanian di Kabinet Kerja Jokowi-JK, Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si, D.fm sebagai Hakim Konstitusi RI, Sir Laode Syarif sebagai komisioner anti rasyuah (KPK).

Tak kurang dan tak lebih, telah banyak pula anak-anak muda Unhas sebagai sastrawan cukup dikenal di medan nasional. Siapa yang tak kenal dengan AAN Mansur ketika salah satu puisinya diabadikan dalam film AADC II, siapa pula yang tak kenal dengan novelis seperti dul abdul rahman dengan beberapa karyanya (Pohon-pohon Rindu, Daun-daun Rindu, Perempuan Poppo, Sarifa, Sabda laut, La Galigo) telah menjadi bacaan menarik untuk seluruh anak-anak Indonesia. Ada lagi, lelaki penggenggam puisi postmo dengan pintas kearifan wajah Bugis Makassar, Aslan Abidin. Inilah yang semakin memadatkan kalau anak-anak jebolan dari kampus berlogo ayam jantan perkasa itu, sukses di luar sana. Sayangnya, kerap kita lupa melirik mereka, di saat Unhas menaburkan segala rindu syahdu kejayaannya.

Tepian Rindu

Ayam jantan bertadu syahdu, bukan hanya milik para petinggi yang kuasa. Suara dan ringkih kokoknya tak ada garis perbedaan untuk membangunkan semua “majikannya.” Di altar tepian rindu, ada alumni Unhas yang sukses membangun rumah tangga yang sakinah, ada alumni Unhas yang menggoreskan penanya untuk ibu pertiwi, ada alumni Unhas memancangkan tangan manusiawinya menolong rakyat papa.

Dan tepian rindu itu akan memecah haru bahagia, seandainya mereka, semuanya berbaur dalam satu nama kebesaran, kampus merah, Universitas Hasanuddin. Di sini ada pemimpin, di sini ada pujangga, di sini ada politikus, di sini ada negarawan, di sini ada ibu rumah tangga, di sini ada rohaniwan. Tampilkanlah mereka semua, sebab kerinduannya akan menaburkan semangat pemberani untuk calon generasi muda berikutnya.

Walau mentari memanas, keringat mengucur dahi, anak-anak Unhas tak pernah dilanda putus asa. Indonesia adalah ibu pertiwi, Unhas juga adalah ibu pertiwi. Wajah kemayunya akan memintas segala perbedaan, ibu cantik yang rindu pada anaknya, anak yang rindu pada ibunya, hendak kembali dalam pelukan sang bunda tapi karena “egoisme” apa daya pertemuannya tak kesampaian.

Mari melepaskan segala ego kepalsuan, singkirkan setiap pagar-pagar pembatas diantara kita. Unhas sudah jaya, Unhas sudah mandiri, Unhas sudah juara, Unhas sudah populer, Unhas tidak lama lagi akan mendunia. Kelak jika ia menjadi “World Class University” jangan kita memicingkan mata, lalu di belakang diam-diam kita tersenyum sambil mengelus dada, Unhasku aku rindu padamu yang dahulu.

Kembang akan selalu mekar dan menyebarkan semerbak mewanginya dimanapun ia tumbuh. Ayam jantan tak akan pernah berhenti “mengumandangkan” kokok “cerdas dan gagah beraninya” selama mentari masih terbit dari ufuk timur juga cahaya kebenaran dan kejujuran masih kita genggam erat bersama di tepian rindu itu. Ayam jantan penabur rindu, di pagi cerah senja nan teduh, nyiur beringin memancangkan bakti padamu selalu, terima, terimalah cinta dan cita kami.

Met Milad Unhas ke-60. * 
Sumber Gambar: http: makassar.tribunnews.com

[Read More...]


Petani Sinjai, Kapan Merdeka?




Sebelum saya mendeda haru-birunya sederet petani Sinjai yang masih sengsara, belumlah ia merdeka. Izinkan saya memohon lagi berterima kasih pula kepada Harian Tribun Bone atas dimuatnya tulisan ini. Seribu maaf pula kepada semua warga Bone atas pemberian kesempatan kepada penulis, mengurai segala pekik permasalahan petani Sinjai yang masih jauh dari kata sejahtera. Penulis bukanlah anak yang dilahirkan di tanah Bone, akan tetapi sepengatahuan saya selama ini, Harian Tribun Bone juga beredar di Sinjai, sebagai harian yang terbaca oleh jajaran Pemkab Sinjai (Bupati dan DPRD), sehingganya menjadi layak kalau melalui media ini saya kembali “berkhalwat” dengan mereka.

Toh antara Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjai dua keturunan serumpun (Bugis), bertetangga, juga banyak mengandalkan petani sebagai penopang ekonomi daerahnya. Oleh karena itu, menceritakan nasib derita petani Sinjai sama saja hikmatnya memperjuangkan senasib sepenanggungan dari mereka, ditakdirkan sebagai petani (di bone dan di Sinjai) dalam mengelola kekayaan alam yang melimpah ruah di negerinya sendiri.

Petani Sinjai

Fokus ke petani Sinjai. Di daerah ini (Kabupaten Sinjai), walaupun luas wilayahnya dalam keadaan secukupnya (sijai-jai) harus diakui kalau kebesaran Ridho Allah Yang Maha Kuasa, dengan iklim panas-dingin, curah hujan tinggi, maka potensiallah pengembangan cocok bertanamnya.

Di tahun 1990-an hingga tahun 2003, banyak petani di Sinjai mengalami kejayaan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya petani membangun rumah bertingkat, rumah batu permanen, ada yang membeli mobil, ada yang naik haji, hingga tak bisa terhitung berapa jumlah anak-anak petaninya berderap langkah menuju kota Makassar, Jakarta, Yogyakarta, bahkan ke luar negeri menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi ternama.

Dan sayup-sayup kejayaan itu perlahan runtuh, memudar. Lahan pertanian yang dulunya menjadi “pergantungan nasib” mereka, tidak dapat diandalkan lagi. Berpuluh-puluh hektar tanaman pertanian terserang hama dan penyakit. Tanaman kakao mereka diserang hama penggerek buah, buah kakao menghitam sehingga tidak layak panen dan dijual lagi. Demikian juga yang terjadi pada tanaman lada (merica), juga diserang busuk akar, sehingga pohonnya tiba-tiba mati kering mengenaskan.

Dalam keadaan itu, banyaklah petani yang beralih menanam cengkeh, tapi apa daya pohon cengkeh kadang juga mati sebelum masa panennya tiba, sebab tidak dapat bertahan dikala musin kemarau tiba yang berlangsung selama 2 (dua) hingga 3 (tiga) bulan.

Saya sebagai anak petani, pastinya merasa tak punya pemimpin di negeri kami sendiri, walaupun selalu datang memilih mereka yang mengatasnamakan calon Bupati dan Calon Anggota DPRD. Dua jajaran dalam institusi pemerintahan itu, kerap saya merasakan bukanlah wakil kami. Perhatian yang ditunjukan melalui kinerja untuk warganya yang berprofesi petani, sama sekali tidak ada. Berkali-kali saya atas nama pribadi, sebagai warga, anak petani yang sudah sarjana, menyurati sang Bupati Bapak Sabirin Yahya melalaui media sosial, facebook, twitter, tapi respon dan aksi kebijakannya seakan dihempas angin lalu. Dengan pongahnya Kabag Humas & Protokol Setdakab. Sinjai, Muh. Sabir Syur, S.Sos, malah saya dicap kekanak-kanakan di suatu harian lokal. Ternyata hanya anak-anak yang bisa berjiwa emas memikirkan nasib dan derita sesamanya yang ditakdirkan sebagai petani. Pemimpin yang dihujani amanah, ia memang dewasa, tapi menghuni rumah jabatan pun kadang tak dapat, ia sempatkan diri.

Kapan Merdeka?

Maka melalui hari kemerdekaan Indonesia yang ke -71 kemarin, inilah momentum yang tepat bagi saya mengingatkan kembali amanah yang diemban oleh sang Bupati Sinjai, Sabirin Yahya beserta dengan Anggota DPRD-nya. Kita bolehlah merayakan kemerdekaan sebagaimana pusat dan seluruh daerah menasbihkannya, dengan segala ritual doa lagi penghormatan kepada pahlawan yang telah membebaskan kita dari belenggu penjajahan.

Anda sebagai pemerintah daerah sebagaimana tercatat dalam undang-undang an sich, sebagai Bupati dan DPRD memegang tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan bagi warga petani di daerah sendiri, yang nasibnya masih terseok-seok, bahkan jalan ditempat.

Kapanlah warga Sinjai yang berprofesi sebagai petani dikatakan merdeka, kalau lahan pertanian yang menjadi penopang keluarga dan anak cucunya tak pernah diperhatikan oleh pemimpin daerahnya sendiri? Mereka tak ada kata kemerdekaan, hidupnya sengsara, pohon kakao, lada, karena diserang hama dan penyakit, mereka tak pernah patah arang. Ada yang menebang pohon kakaonya digantikan dengan tanaman lada dan/atau tanaman cengkeh, tetapi nasib deritanya sama saja, belum tiba masanya dipanen, mati lagi.

Apalah arti kemerdekaan bagi mereka, jikalau musim kemarau tiba, banyak petani yang mencari air guna menyiram tanaman pertaniannya. Berpuluh-puluh kilometer mereka berjalan sambil membawa air demi mempertahankan tanamannya dari ancaman kekeringan, badannya menjadi letih, tulang belakang terasa patah, demi tanaman pertanian yang diharapkan bisa menghidupi sanak keluarganya.

Seolah warga Sinjai tak punya Bupati, tak punya wakil di dewan. Kemerdekaan dari “perut yang masih kosong” ditentukan oleh warga Sinjai sendiri, bukan ditentukan oleh Bupatinya, bukan pula oleh anggota DPRD-nya. Jalan tani yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah, justru petani sendiri yang bergotong-royong membangun jalan tani yang bisa memudahkan mengangkut hasil pertaniannya. Sama sekali tak ada peran dari kedua institusi yang terhormat itu.

Maka saat ini, wahai Bupatiku, anggota DPRD-ku, anda semuanya tidak dapat lagi mengelak, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani masih dalam perencanaan, dengan dalih usia pemerintahan masih seumur jagung.

Khusus untuk bapak Bupati, Sabirin Yahya, masa jabatan anda tinggal 1 (satu) tahun lebih. Saya mewakili seluruh warga Sinjai yang berprofesi sebagai petani, dua kebijakan yang perlu anda prioritaskan: Pertama, aktifkan Dinas Pertanian dan PTH Kabupaten Sinjai guna mengatasi hama dan penyakit tanaman lada, kakao dan cengkeh. Bimbing dan arahkan para petani Sinjai, cara bercocok tanam, cara mencegah penyakit yang selalu menimpa tanaman pertaniannya. Kedua, pemerintah Kabupaten Sinjai perlu pengadaan mobil tangki, sebagai persiapan menjemput musim kemarau, silakan dengan mobil tangki itu anda menjual air ke beberapa petani dengan harga terjangkau, sebab memang banyak petani yang butuh air untuk menyiram tanaman pertaniannya di kala musin kemarau sedang tiba.

Terima kasih yang sebesar-besarnya jika permintaan tersebut ditindaklanjuti, tapi kalau sebaliknya saya hanya dianggap “radio rusak,” kekanak-kanakan, nasib anda ditentukan pada 2018 nanti. Baik Bupati maupun calon yang sudah menggadang-gadang diri untuk memimpin Sinjai, anda semua perlu tahu, bahwa destinasi dan pariwisata di daerah sebaiknya ditempatkan diurutan kedua. Hasil pertanianlah yang bisa membesarkan dan memerdekakan Sinjai, sehingganya Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertambah, guna pembangunan selanjutnya (seperti pariwisata). Tea temmakua, pada idipa najaji.*


Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Petani Sinjai yang Sudah Sarjana 
Opini: Tribun Bone, 19 Agustus 2017 
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI









[Read More...]


Merdeka dari Penjajahan Narkoba




Sederet pahlawan nasional gugur di medan peperangan, bersimbah darah demi kemerdekaan tanah air dan tekad kuat mengibarkan sang merah putih. Kini, tibalah pengulangan hari kemerdekaan itu yang ke-71. Tetapi sayang seribu sayang, eforia kemerdekaan Republik Indonesia juga bersamaan dengan kabar duka yang melanda sang dewi themis keadilan.

Air mata para “direh” mengucuri sang dewi themis (Θέμις), pedang di tangan kanannya menjadi tumpul dan tak bisa menebas penjahat kelas kakap, bandar besar Narkoba di negeri ini. Dengan mata tertutup, ia menjadi gampang diperdaya, cukup meraba duit milyaran, kelembutannya disalahgunakan. Harapan kemudian terjungkirbalikan, sedianya dengan mata tertutup, akan mengayomi dan memperlakukan semua orang sama di muka hukum, tetapi malah melindungi beberapa bandar besar ternama. Timbangannya tidak lagi adil, melainkan sudah miring “ke kiri” sebab mendahulukan kepentingan materi dan kuasa.

Perlahan-lahan spirit kemerdekaan guna menumbuhkan elat vital kepribadian bangsa oleh para printis sekaligus founding fathers kita terdahulu, terancam “jalan di tempat.” Legacy kemerdekaan yang ditinggalkannya tercabik-cabik oleh ulah para oknum penegak hukum dengan mengatasnamakan sang dewi iustitia.

Laksana halilintar di siang bolong, tulisan Haris Azhar “Pengakuan Busuk Seorang Bandit” yang tersebar di berbagai viral media sosial mengusik permadani segala lini penegakan hukum. BNN meradang, TNI melemas, Polri memanas, Ditjen Bea Cukai terluka teriris sembilu.

Pun ring satu di istana turut prihatin, masing-masing onderdil penegakan hukum dipaksa membuka “kotak pandora” yang bermain mata dengan beberapa bandar Narkoba. Hari kemerdekaan untuk yang kesekian kalinya, kembali ternoda dengan suara berisik Haris Azhar yang membeberkan pengakuan Freddy Budiman, ada bandit yang sudah memereteli penegakan hukum, hingga ratusan milyar mengalir ke ATM para pendekar keadilan.

Merdeka
Sudah berpuluh-puluh tahun negeri ini lepas dari kolonialisme, tetapi roh kebangsaan dan kerakyatan yang termanifestasikan dalam tubuh Pancasila makin tandus, ia tak pernah disiangi lagi dengan hujan keadaban.

Jangan pernah mengaku merdeka, kalau rasa kebangsaan hanya terurai dengan kibaran sang merah putih. Tetapi lupa untuk mengokohkannya dari merah putih yang melambangkan kekuatan gagah berani, suci lahir batin. Manalah Polri dikatakan berani, kalau beraninya hanya menangkap pengedar, tetapi takut pada bandit kakap alias bandar Narkoba. Pun harapan hanya akan menjadi “kembang tidur” jika suara hanya bergelora keras, menggelegar, di saat TNI melangsungkan upacara bendera, dan di saat yang sama mulutnya malah terkatup, senyap, alih-alih tersimpan sejuta asa mempertahankan kedaulatan negeri, tetapi faktanya melalui ujaran Freddy Budiman ke Haris Azhar : “TNI juga teman para Bandar.”

Dari sabang sampai Merauke, bolehlah berteriak kemerdekaan untuk sang merah putih, asalkan tubuh dan jiwanya tidak terjajah oleh kerasnya pengaruh Narkoba. Sebab mengapa? Narkoba kini bermutasi sebagai kolonialisme modus baru, melawannya bukan dengan semangat “bambu runcing,” bukan pula dengan bedil, meriam, tank, ataukah pesawat tempur. Siapa yang paling kuat menahan nafsu dan godaan, mereka inilah yang bisa berteriak merdeka, merdeka dari Narkoba. Tubuhnya kuat, punya visi, wataknya kemandirian, yang akan menerjang penjajahan para bandit Narkoba. Dialah generasi emas yang memikirkan nasib anak cucunya sebagai calon pemegang estafet kebangsaan.

Penjajahan Narkoba 
Tanah tumpah darah Indonesia sudah kita renggut dari bangsa penjajah, tetapi perang belum usai dengan hanya cukup sampai di sini. Pengakuan Freddy Budiman melalui Haris Azhar seyogianya menjadi peringatan bahwa lonceng peperangan Narkoba, harus dideringkan keras, sekeras-kerasnya, kalau niat dan perbuatan jahat para bandit Narkoba tak lama lagi akan berakhir. Benteng mereka harus segera diruntuhkan, taktik penyerangannya juga sudah harus dilumpuhkan.

Sudah saatnya BNN, TNI, Polri, dan Ditjen Bea Cukai menumbuhkan rasa kebangsaan. Nasionalisme atas kedaulatan Negara Republik Indonesia segera dipulihkan dengan menerapkan taktik jitu, tidak ada maaf dan ampun bagi para Bandit Narkoba, tutup semua pintu yang menjadi lahan peredaran barang haram mereka. Maka dengan sendirinya pabrik ekstasi dan shabu gulung tikar. Itulah masa benteng pertahanannya runtuh sebagai tanda kita telah menuai kemerdekaan dari ekspansi terselubung para penjahat Narkoba.

Konsistensi memerangi peredaran Narkoba perlu pula diketahui, tidak hanya dengan kata yang minim aksi, sebab tidak mungkin bebas dari penjajahan zat adiktif berbahaya, jikalau masih ada oknum penegak hukum yang berkonspirasi dengan para “big boss” Narkoba. Oknum yang seperti inilah harus dicari “batang hidungnya.” Hasil audit PPATK terkait adanya transaksi mencurigakan di salah satu oknum penegak hukum, sudah menjadi alarm bagi tiap-tiap institusi tersebut untuk bersih-bersih dari “mata-mata” para bandit Narkoba.

Ingat! Perang terhadap Narkoba tidak akan menuai kemerdekaan dari segala ancaman kehancuran anak bangsa, jikalau kita tidak berhasil mendeteksi “mata-mata” yang diselipkan oleh para bandit jahanam itu. Seorang pengkhianat pastilah berjiwa pengecut, tahunya hanya akan membocorkan rahasia, dan pada akhirnya kita bisa kalah di medan peperangan melawan Narkoba.

Freddy Budiman memang telah “dihabisi” di tiang eksekusi. Syukur-syukur karena hajatan perang atas darurat Narkoba, mau tidak mau Freddy harus menerima kematiannya, dan ia sudah mengenduskan sejumlah “pengkhianat” yang membuat kita semua bisa-bisa mati tersungkur karena kalah dalam memerangi Narkoba. Pun Haris Azhar tidak mendiamkan sejumlah pengakuan Freddy, ia rela dihujat, dimaki, dicaci, bahkan diancam akan dikirim ke “bui” karena mencemarkan nama baik beberapa badan umum yang ditudingnya memelihara sejumlah mata-mata para bandit.

Merah putih berkibar menyambut kemerdekaan dalam menapaki usianya yang ke-71, para pejuang kemerdekaan kita dahulu mati dalam kemuliaan karena peluru bedil, demi tanah dan tumpah darahnya. Maka warisan tanah air yang telah ditinggalkannya untuk kita semua, jangan sampai direnggut oleh para bandar besar Narkoba, di saat para penghuninya “tewas” mengenaskan gara-gara efek kecanduan Narkoba.

Tangkap dan penjarakan para “pengkhianat” itu. Warga negara bersatu padu dengan TNI, Polri, semuanya, untuk mempertahankan kedaulatan negeri dari segala akal bulus dan modus operandi para penjahat Narkoba. Merdeka dari penjajahan Narkoba, suci-bersih, lahir-batin, dengan tidak mengonsumsi Narkoba.

*Selamat HUT ke-71 untuk Indonesia.* 




Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mahasiswa PPs Hukum UMI & Owner negarahukum.com
 
Telah Muat di Harian Tribun Timur, 17 Agustus 2016
 


[Read More...]


Perombakan Kabinet dan Rekonsolidasi Politik (Oleh: BURHANUDDIN MUHTADI)



Jika dicermati lebih mendalam, perombakan kabinet (reshuffle) jilid kedua kali ini menegaskan perubahan narasi dan strategi politik Presiden Jokowi dibandingkan pada tahun pertama pemerintahannya. Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis.

Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis. Secara politik, Jokowi hanya bertumpu pada empat partai (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura) dengan jumlah total kursi 37 persen di DPR.

Jokowi menjadi "presiden minoritas" dalam tiga lapis sekaligus (triple minority): figur baru yang langsung melejit di pentas nasional, tidak memiliki kendali atas partainya sendiri, dan hanya mengandalkan koalisi ramping di parlemen.

Ketika Jokowi berkomitmen lepas dari perangkap kartel, dia justru terbelenggu oleh segelintir oligarki (Muhtadi, 2013). Tahun pertama membuktikan bahwa menjadi triple minority president tidaklah mudah.

Bulan madu Jokowi dengan publik berakhir lebih cepat dari seharusnya setelah kontroversi penunjukan Kapolri pada awal 2015. Jokowi bukan hanya berhadapan dengan kekuatan oposisi yang dominan di DPR, melainkan juga tekanan yang mengimpit dari koalisi pendukungnya sendiri. Tingkat kepuasan publik merosot hingga 41 persen pada Juni 2015.

Meminjam istilah mantan Gubernur New York Mario Cuomo, Jokowi baru menyadari bahwa menjalankan pemerintahan tidaklah semudah membuat "puisi", tetapi juga harus mampu menarasikan "prosa".

Perombakan kabinet jilid kedua ini menjadi pertanda menguatnya kembalinya the ruling cartel (politik kartel) yang sejak lama menjadi karakter perpolitikan pasca reformasi (Slater 2004; Ambardi 2008). Sejak bergabungnya Golkar, PAN, dan PPP dalam koalisi pemerintah, Jokowi mengulang lagu politik lama dengan mendesain koalisi pemerintah yang mendapat dukungan mayoritas di DPR hingga mencapai 69 persen.

Namun, Jokowi tak punya banyak pilihan. Kehadiran Golkar dengan kekuatan 91 kursi di DPR mampu digunakan Jokowi untuk mengurangi dominasi PDI Perjuangan sehingga dia punya ruang manuver yang lebih leluasa untuk menjalankan agenda- agendanya agar sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Lebih presidensial
Setidaknya ada tiga signifikansi mengapa perombakan kabinet jilid kedua ini dilakukan. Pertama, dari sisi politik Jokowi perlu mengakomodasi dan "mengikat" Golkar dan PAN dalam jajaran kabinet. Kedua, dari segi timing Jokowi juga perlu segera melakukan perombakan kabinet karena waktu yang tersedia makin menipis sebelum lonceng berbunyi pada 2019 nanti.

Tak semua menterinya mampu menerjemahkan visi dan misi Jokowi dan mengikuti ritme kerja Presiden. Terakhir, saat ini adalah momentum yang tepat bagi Jokowi seiring dengan keberhasilan Jokowi memulihkan kepercayaan publik. Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Juni 2016 menunjukkanapproval rating Jokowi mencapai 67 persen.

Kabinet hasil perombakan kabinet menunjukkan titik tekan Jokowi pada masalah-masalah ekonomi. Pidato pengantar Jokowi kemarin yang menekankan masalah ekonomi, mengatasi kesenjangan dan pengangguran, membuktikan bahwa Jokowi secara politik sudah berhasil melakukan rekonsolidasi kekuasaan, baik di tingkat elite maupun massa, sehingga punya kepercayaan diri untuk lebih fokus mengurusi agenda ekonomi.

Masuknya nama besar, seperti Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, plus dipertahankannya muka-muka lama, seperti Darmin Nasution dan Bambang Brodjonegoro, memberi semacam garansi bagi pelaku usaha dan dunia internasional. Dalam pidato yang sama, Jokowi juga menekankan soliditas kabinet dan keinginan agar semua jajaran kabinet bisa bekerja dalam sunyi tanpa mengumbar kegaduhan yang tidak perlu. Ini pula yang mungkin menjelaskan mengapa nama-nama menteri yang sebelumnya dianggap menjadi biang kegaduhan terkena palu godam perombakan kabinet.

Ada komitmen kuat dari Jokowi untuk mengurangi kegaduhan (noise) sehingga publik dan dunia usaha mampu menangkap sinyal yang lebih jernih dan seragam dari pemerintah.

Menariknya, nama-nama menteri dari kalangan partai politik yang direkrut juga relatif ramah pasar. Airlangga Hartarto dan Enggartiasto Lukita bukanlah politisi nirkompetensi dan mereka memiliki jam terbang lama dalam bidangnya masing-masing. Perombakan kabinet terutama pada jajaran ekonomi seperti tepat menjawab pekerjaan rumah yang selama ini menjadi perhatian publik. Naiknya approval rating Jokowi hanya disokong oleh kemampuan pemerintah dalam menekan laju inflasi, meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Rapor Jokowi dalam mengurangi pengangguran, kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan dan menciptakan pemerataan masih dinilai merah oleh publik.

Meskipun memberi perhatian besar pada masalah-masalah ekonomi, perombakan kabinet kali ini juga tak mengabaikan faktor politik. Golkar dan PAN masing-masing mendapat satu menteri, sedangkan mitra koalisi lama Jokowi juga tidak dikurangi jatahnya, kecuali Hanura. Terkesan Jokowi bermain aman ketika menyangkut konstelasi politik koalisi.

Masuknya Golkar dan PAN tidak mengambil jatah mitra koalisi yang sejak awal mengusung Jokowi. Nama-nama menteri dari parpol yang dirombak digantikan oleh figur dari partai yang sama tetapi memiliki kualifikasi yang diharapkan lebih mumpuni.

Lepas dari kesan main aman ini, Jokowi juga tak serta-merta tunduk pada keinginan partai pendukungnya. Nama Rini Soemarno yang sering kali diteriakkan oleh sebagian politisi PDI Perjuangan agar diganti ternyata masih dipertahankan. Golkar menjadi kekuatan terbesar kedua di parlemen juga hanya mendapat satu kementerian.

Seperti kurva pembelajaran, setelah hampir dua tahun menjadi presiden, Jokowi seperti makin memahami bagaimana melakukan komunikasi politik tanpa menciptakan riak-riak yang mengganggu konsolidasi kekuasaan. Seiring kesuksesan Jokowi melakukan rekonsolidasi politik di tingkat elite dan massa, sudah seharusnya dia tampil lebih presidensial dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Bahaya politik kartel
Namun, alarm ancaman politik kartel tetap perlu dibunyikan. Katz dan Mair (2009, 755) menyatakan: "The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic politics that are characterized by the interpenetration of party and state and by a tendency towards inter-party collusion.... Competition between cartel parties focuses less on differences in policy and more on provision of spectacle, image, and theater."

Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung melakukan kolusi kolektif untuk memperebutkan rente.

Terjadilah apa yang disebut Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana parlemen yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-fungsi check and balances.

Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif, aroma promiscuous power-sharing (pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang tertutup secara masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama.

Sudah semestinya Jokowi menyadari potensi bahaya ini karena politik kartel ini justru malah menjauhkan Jokowi dari publik yang banyak menaruh harapan kepadanya. Koalisi pemerintah yang terdiri tujuh partai dan mencapai 69 persen atau 386 kursi dari 560 kursi di parlemen berpotensi menjadi kekuatan hegemonik yang bisa melumpuhkan sikap kritis DPR terhadap pemerintah.

Untuk itu, Jokowi tak perlu tergoda lagi menambah armada baru koalisi. Koalisi yang terlalu besar malah membuat langkah Jokowi kurang lincah karena harus menegosiasikan setiap kebijakan yang mau diambil kepada aktor yang makin banyak. Jokowi cukup melakukan disiplin koalisi yang kuat agar koalisi pemerintah yang mendukungnya efektif dalam menjalankan agenda pemerintahan.

Saat yang sama, Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat juga tak perlu tergiur untuk masuk dalam pemerintahan karena menjadi oposisi dan penyeimbang juga memiliki nilai kebajikan yang sama dalam berdemokrasi. Di atas segalanya, kalangan masyarakat madani (civil society) dan media juga harus terus-menerus menjadi watchdog agar pemerintahan Jokowi sukses mewujudkan janji-janjinya.



BURHANUDDIN MUHTADI 
DIREKTUR EKSEKUTIF INDIKATOR POLITIK INDONESIA DAN KANDIDAT PHD AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY (ANU) 
Artikel ini telah terbit di harian Kompas dalam versi cetak, edisi 28 Juli 2016. 

[Read More...]


Puang Muin, Guru SD-Ku yang Terhebat




Pernahkah terbenak kembali di pikiran anda, sejak kapan bisa membaca abjad dengan lancar? Sejak kapankah Anda pula bisa merangkai huruf-huruf itu hingga dapat melafalkannya dalam kata? kemudian kata perkata sehingga terangkai kalimat, anda dapat melafalkannya juga dengan fasih.

Untuk kasus ini, saya punya pengalaman tersendiri dengan guru kelas satu saya di sekolah dasar dulu. Namanya guruku, Abdul Muin.

Terus terang, ibu saya memasukkan di sekolah dasar umur masih tergolong belia, beda dengan anak kebanyakan saat ini yang dipatok harus berumur 6-7 tahun baru memenuhi syarat masuk sekolah dasar, itupun syaratnya harus selesai dengan pendidikan usia dini (TK). Saya masuk sekolah dasar, umur baru menapaki 5 tahun, juga tidak pernah mengikuti pendidikan taman kanak-kanak.

Konon ibu saya memasukkan secepatnya ke sekolah dasar dengan alasan, katanya saya adalah anak yang susah diatur, sedikit-sedikit menangis padahal tidak ada penyebabnya. Itu sih menurut ibu saya, tapi setelah saya kemudian menjelang remaja, saya akhirnya mengungkapkan penyebabnya selalu menangis waktu itu, bahwa waktu kecil dulu seringkali didatangi oleh dua wanita yang berpakaian “kebaya” kadang ingin mengambil saya. Dan ternyata apa yang saya lihat (dua wanita itu), satupun dari keluarga saya tidak pernah melihatnya.

Itu pengalaman kecil saya, kadang kalau mengingatnya begitu suram dan mengerikan. Masuk ke sekolah dasar, usia makin bertambah, akhirnya dua hantu wanita yang sering menganggu hidup saya, saya lupa entah sejak kapan tidak pernah lagi datang menggangguku.

Masuk sekolah dasar, ternyata permintaan ibuku kepada guru SD waktu itu, sebelumnya guru yang menerimaku bukanlah Abdul Muin, tetapi namanya Rahmawati (bu Rahma). Nama saya tidak di daftar dalam absesnsi kelas, karena disekolahkan katanya hanya percobaan dulu.

Dan sungguh betapa bodohnya saya, sejak pertama kalinya masuk di kelas, hanya duduk, tidak pernah melaksanakan perintah guruku (Ibu Rahma). Teman sebangku saya yang bernama Mujetahid, sudah dengan giatnya menulis kembali barisan-barisan kalimat yang ditulis oleh guruku di papan tulis. Saya hanya menatapnya melongo, diam, tidak melakukan apa-apa.

Patut kuhargai pula perjuangan guruku ini, Bu Rahma, sebab dalam keadaan saya tidak pernah mau menulis kembali apa yang sudah ditulisnya di papan tulis, dia datang menegur saya, “nak kenapa tidak menulis” lagi-lagi saya Cuma diam. Akhirnya guruku yang menulis sendiri di buku catatan saya, lucunya kemudian dari hasil tulisannya itu, dia berikan nilai untuk saya “100” (seratus). Pulang ke rumah ditanya oleh ibu saya, apa yang kau bikin di sekolah dan berapa nilaimu? Kujawab “saya mendapat nilai “100” mak-ku”

He—he….he..he… dan ternyata ibuku melihat buku catatanku, ia menimpalku, hala…h ini bukan tulisanmu, ini gurumu yang menulis, bukan juga nilaimu ini.

Satu hal yang kuingat juga dari guruku yang satu ini (Ibu Rahma), namaku yang saat ini “Damang” dia juga punya keterlibatan di dalamnya. Dirumah saya dipanggil Emmang, nama lengkap saya berdasarkan kemauan ibuku harusnya “Darman.” Waktu itu, Ibu Rahma bertanya siapa namaku, kujawab “Darman.” Akan tetapi mungkin karena salah dengar, dikiranya saya menyebut nama “Daman” dan seingatku kemudian kutambahkan akhiran “g” menjelang kelulusan SD, sehingga menjadi “Damang.” Alasanku agar pelafalan ini memudahkan bagi orang bugis yang terbiasa mengakhiri semua kalimat, biasanya dengan “NG”.

Singkat kata, singkat cerita, belum selesai catur wulan pertama, datanglah guru baru, energik, suka berbahasa bugis, menggantikan Ibu Rahma mengajar di kelas satu, dialah Abdul Muin. Guru inilah guru yang terhebat bagi saya, sebab darinyalah kemudian saya bisa membaca, dibantu dengan kegigihan ibu saya mengajari di rumah mengajari membaca, pada akhirnya saya benar-benar bisa lancar membaca.

Satu keunikan dari Abdul Muin, yang sering kusapa Puang Muin, dalam mengajari anak-anaknya membaca, dia lebih suka berbahasa bugis, sehingga anak didiknya yang kurang mengerti bahasa Indonesia, pasti tahu perintah dan kemauannya.

Benar-benar unik Puang Muin ini, bahkan bagi saya kata yang tepat menyanjungnya adalah dia guru SD-ku yang hebat. Cara mengajari kami membaca, berbeda dengan yang diajarkan saya di rumah.

Dikalah ibu dan tanteku sering mengajari membaca di rumah, saya malah bengong, pusing, tetap susah melafalkan kata, padahal semua huruf abjad saya sudah bisa menyebutnya.

Contohnya begini, membaca kalimat: “Nana Bersama Ibu”

Kalau dirumah saya diajari: N ditambah A maka dibaca Na, N ditambah A dibaca Na, jadi “Nana.” Puang Muin mengajariku cara yang lain dengan cara melafalkannya di bibir sehingga akan kedengaran: EN- EN-EN- Na- Na-Na (Nana) Eb-EB-EB-EBeR-ES-Sa-Ma (Bersama) ib-ib-ib-ib-u (Ibu). Cara mengajari membaca bagi puang Muin, ternyata bermain pada huruf vocal dan konsonan, sehingga dengan gampang ternyata anak didiknya akan membaca dengan lancar.

Puang muin semenjak menjadi Guru SD di kelas 1, di sekolahku itu merupakan guru yang selalu sukses mengajari anak-anaknya pintar membaca. Waktu keluar main (9.30), ternyata di luar kelas, dengan bangku yang disuruh kepada anak-anaknya diangkat keluar ruangan, lagi-lagi ingin mengajari anak-anak yang tidak bisa membaca. Moga amal jariyah guruku ini mengalir terus, subehanalloh.

Kalau ada anak yang sudah naik di kelas dua, ternyata ia hafal anak-anaknya juga yang belum lancar membaca. Sehingga kadang ia panggil kembali belajar membaca di saat waktu keluar main. Baginya, semua anak didiknya tidak boleh ada yang buta huruf.

Berkat Puang Muin pula, kami dari semua anak didiknya banyak mengenali kisah epic para pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegero, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dan Jenderal Soedirman. Oleh karena dia selalu menutup pelajaran, pada saat akhir-akhir kepulangan dengan cerita beberapa pahlawan. Sehingga dari cerita itu saya tahu kalau Pengeran Dipongoro pernah menipu Belanda dengan mengambil semua senjatanya. Saya kenal Jenderal Soedirman yang ditandu dalam peperangan, karena tetap bertempur walau sakit keras sedang menderah tubuhnya.

Sejak kepintaranku membaca, Puang Muin mengajariku tampil di depan umum. Beliau mengusulkan agar saya menjadi pembaca teks “janji murid” di acara upacara bendera yang diselenggarakan tiap hari senin di sekolahku. Bahkan saat momentum upacara bendera itu, dia mengawal berdiri di belakangku. Tujuannya, agar di saat waktu sudah diperintahkan membaca teks “janji murid” dia langsung menyuruhku.

Gara-gara kepintaranku menulis, sampai suatu waktu saya pernah bandel kepada guruku itu. Saya menulis namanya “Muin” di sadel motor Honda-nya. Kepikiran saya akan dimarahi olehnya, ternyata esoknya dia tidak memarahiku. Kalau ibuku tahu kejadian ini, mungkin aku sudah dipukul, tapi Puang Muin tahu perangainya, yang namanya anak-anak.

Catur wulan satu, catur wulan dua, di saat penerimaan rapor, terkadang saya kecewa, sebab teman-teman saya menerima rapor, ternyata saya tidak kebagian rapor. Semua karena saya katanya masih dalam percobaan sekolah. Barulah pada Catur Wulan ketiga, akhirnya saya menerima rapor, dan betapa bahagianya saya waktu itu. Mungkin nilai saya di catur wulan sebelumnya hanya direkayasa, tetapi saya tidak peduli, yang jelas saya sudah pintar membaca, dan kulihat di raporku yang bersampulkan wana merah, yang dicoret kata “tidak” artinya saya sudah naik kelas. Awalnya hanya “dicoba-coba-kan” sekolah, ternyata bisa juga naik ke kelas dua. Betapa girang bahagianya diriku, termasuk ibuku di rumah sangat bahagia dikala berita itu kusampaikan kepadanya.

Puang muin, juga adalah guruku yang besar rasa iba dan kasih sayangnya. Suatu waktu di saat penerimaan rapor akhir catur wulan pertama, ibuku tidak membekali saya dengan makanan ke sekolah, padahal ibuku tahu kalau kebiasaan di sekolah setiap peneriman rapor dirangkai dengan acara makan-makan. Ibuku beralibi: tidak usah dibekali makanan, toh sekolahnya hanya coba-coba. Waktu itu, saya menatap-natap saja teman-temanku yang sedang mencicipi makanannya. Dan tak tunggu waktu, tidak berlama-lama, songkolo yang digenggam kecil oleh Puang Muin, juga diberikan kepadaku. Pasca kejadian ini, Puang Muin berpesan kepada ibuku: “bikinkanlah makanan juga untuk anakta, tidak enak kalau dia cuma melihat-lihat temanya yang makan.” Ibuku pun akhirnya membekaliku dengan makanan, pada penerimaan rapor di catur wulan kedua, walau saya lagi-lagi tidak menerima rapor.

Kuungkapkan kejujuran ini sebagai pengalaman pribadiku, tak kurasa kemudian leleh air mataku tidak terasa meniti membasah. Guruku, Puang Muin, kini sudah menjalani usia pensiun. Guruku yang sangat besar penghargaan kepada anak didiknya yang sudah pintar membaca, sehingga kadang ia berteriak: …. Iyaaaa…. Maccccani… (iya sudah pintar). Teriaknya girang sebagai tanda kesuksesannya dalam mengajar, ia merayakan kesuksesannya.

Tahun ini, Puang Muin akan menunaikan Ibadah Haji, namanya sudah teregister sebagai Calon Jamaah Haji periode 2016. Cukup lama dia menunggu untuk menunaikan ibadah haji, uangnya baru mencukupi, sebab dulunya ia menjadi pengajar SD kawakan, juga menyekolahkan semua “buah hatinya” ke pendidikan tinggi.

Semoga engkau menjadi haji mabrur, wahai guruku. Karena engkaulah aku bisa membaca, karena engkau kini kubisa melahap beberapa buku, dan karena engkaulah aku juga bisa mencatatkan namaku sebagai penulis di beberapa kolom harian lokal, media cetak. Benarlah, jasamu tiada tara. 

di sinilah sekolah dasarku, SDN No. 54 Batuleppa, Sinjai Selatan, kondisinya sekarang sudah lebih bagus gedungnya.

[Read More...]


Menonaktifkan Bupati Terdakwa



Ibarat bola salju yang terus menggelending, riak dari berbagai kalangan yang menuntut penonaktifan Bupati Barru Idris Syukur (IS) hingga saat ini kembali lagi menjadi trending topic, sebagaimana dilansir pada laman utama harian Tribun Timur, edisi Jumat 22 Juli 2016 kemarin.

Betapa tidak, sebab sudah lama isu ini mencuat ke publik, tetapi disaat yang sama Mendagri belum juga menonaktifkan IS dalam statusnya sebagai pemangku jabatan Kepala Daerah (Bupati) Kabupaten Barru, padahal ia sudah lama menyandang status terdakwa.

Persoalan mengenai pengisian dan pelepasan jabatan (ambtenaar) sebagai negara yang menyandarkan diri pada maxim “negara hukum,” mau tidak mau hukum positiflah (hukum tertulis) yang menjadi acuannya dalam mengatur lebih lanjut tentang keadaan jabatan yang dipersonifikasikan oleh pribadi manusia (person) itu.

Perundang-undangan bisa saja mengatur Bupati nanti diberhentikan kalau terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan inkra, tidak perlu penonaktifan kalau masih dalam status terdakwa. Ataukah sebaliknya dapat saja diberhentikan secara permanen, walau masih dalam status tersangka misalnya. Sepanjang hal itu, Undang-Undang menentukan demikian.

Akan tetapi tidak seperti itu nyatanya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang menjadi acuan justru memberikan otoritas kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati ketika ia sudah berstatus terdakwa.

Hukum positiflah yang menjadi pijakan dalam mempersonifikasikan jabatan itu, sebagaimana yang pernah disatir oleh pakar hukum tata negara yang namanya sudah mendunia, yakni J.H.A. Logeman (1984) dalam bukunya yang berjudul “over de theorie van een stelling staatrecht”. Dalam konteks itu, jelas kita memiliki acuan yang terkait dengan keadaan ini, apalagi kalau bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Rekomendasi Gubernur

Pasal 83 Undang-Undang Pemda sudah jelas mengaturnya, bahwa Bupati yang berstatus terdakwa dalam ihwal perbuatan korupsi, harus dinonaktifkan dari jabatannya. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, saya kutip bunyi pasal tersebut: “(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2)Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di Pengadilan.”

Dalam hal penonaktifan Bupati tersebut, perlukah meminta persetujuan Gubernur? Dengan jeli membaca UU Pemda sudah pasti tidak perlu. Memang dalam Pasal 126 ayat 4 PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mengamanatkan penonaktifan Bupati terdakwa harus melalui usulan atau rekomendasi Gubernur, lalu Mendagri dapat memberhentikannya. Namun perlu dipahami, dengan revisi terbaru UU Pemda, tampaknya tidak mewajibkan lagi, harus melalui pengusulan Gubernur (Vide: Pasal 83 ayat 4). Artinya PP tersebut bertentangan dengan UU Pemda yang terbaru. Jika bertentangan, pastilah PP demikian harus dikesampingkan, sebagaimana UU Pemda sendiri menyatakan hal itu.

Selain permintaan agar menonaktifkan IS yang harus menunggu persetujuan Gubernur, terdapat juga kalangan yang meminta, agar Bupati IS mengundurkan diri secara sukarela. Bisa saja hal itu terjadi, tetapi tidak menjadi kewajiban baginya untuk mengundurkan diri. Pun kalau ia mengundurkan diri, praktis bukan lagi namanya penonaktifan (pemberhentian sementara), tetapi ia berhenti secara permanen. Konsekuensinya, Wakil Bupatilah yang selanjutnya diangkat sebagai Bupati.

Konsekuensi hukumnya tentu berbeda kalau IS dinonaktifkan, andai saja putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) menyatakan ia tidak bersalah, kembali ia dapat memangku jabatannya, kendatipun perkara yang melilitnya masih melalui proses banding atau kasasi. Barulah ia dapat diberhentikan secara permanen kalau saja dalam proses banding atau kasasi itu menyatakannya bersalah in qasu putusan pengadilannya sudah inkra. Singkatnya, tidak ada kewajiban hukum bagi IS agar mengundurkan diri, tetapi kewajiban hukumnya terletak di tangan Mendagri untuk menonaktifkan IS tanpa memerlukan rekomendasi Gubernur.

Langkah Hukum

Pada sesungguhnya langkah hukum yang telah diambil oleh Ombdusman pasca pengaduan wakil ketua DPRD Barru bersama dengan sejumlah LSM dalam proses penoanktifan IS, yang terkesan diulur-ulur oleh Mendagri, sudah tepat. Yang jadi soal, Mendagri melalui Dirjen Otda-nya malah beralibi, menunggu rekomendasi dari Gubernur, padahal Undang-undang tidaklah mensyaratkan demikian.

Andaikata waktu 14 hari yang telah diberikan kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati IS, di simpangi atas surat yang dilayangkan oleh Ombdusman. Dan melewati sebagaimana limit waktu tersebut, langka hukum selanjutnya masih ada, yakni perwakilan LSM yang berkapasitas atas itu, dapat saja mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), dengan menuntut Mendagri segera menetapkan penonaktifan Bupati IS dalam ihwal gugatan Keputusan TUN negatif.

Pun harus dipahami bersama, bahwa langkah mengajukan gugatan ke PTUN dengan menempatkan Mendagri sebagai tergugat, juga tidak ada artinya kalau ternyata putusan PN yang mengadili kasus IS, menyatakannya tidak bersalah. Sudah pasti gugatan TUN ini akan menjadi ilusoir. Diterimanya misalnya tutntutan itu, tidak akan mempengaruhi lagi status IS sebagai Bupati Barru.

Oleh sebab itu, ke depannya guna menghindari perkara yang semakin berbelit-belit ini, sembari tidak menjadi preseden buruk pada kasus selanjutnya. Seyogianya penetapan penonaktifan Bupati terdakwa yang menjadi otoritas Mendagri dibatasi dalam limit waktu tertentu dari masa registrasi perkara di pengadilan. Dan kalau telah lewat waktu, Mendagri tidak menetapkannya, status Bupati bersangkutan harus dimaknai dalam keadaan nonaktif, sehingga untuk sementara tidak dapat lagi bertindak dalam kewenangannya, otomatis Wakil Bupatilah yang melaksanakan kewenangannya.

Kini, kita hanya bisa menunggu, hanyalah Mendagri yang dapat mengakhiri kesimpangisuran di balik kasus ini. segeralah nonaktifkan IS. Sebab isunya bisa merembes dalam isu yang tak berkesudahan. Mendagri sebagai kaki tangan Presiden bisa saja dituding seolah-olah mempermainkan hukum. Kemungkinannya, Mendagri sudah tahu kalau IS akan dibebaskan, sehingga tak apa mengulur penoaktifannya. IS bebas, tak ada guna pula penonaktifannya.*

Baca juga di negarahukum.com
Damang, "Menonaktifkan Bupati Terdakwa" Tribun Timur, 26 Juli 2016



[Read More...]


Menatap Peradaban Kampus Solutif (Refleksi Milad UMI ke-62)



Walau bulan ramadhan dalam suasana matahari yang begitu terik, panas, nelangsa 62 tahun Universitas Muslim Indonesia tetap terhelat dengan meriah.

Tepatnya di uditorium Al Jibra yang dihadiri sejumlah kalangan, Gubernur Sulsel (Syahrul Yasin Limpo), Wali Kota Makassar (Dani Pomanto), Direktur Jendral (Dirjen) Penanganan Fakir Miskin, Kementrian Sosial RI (Andi Zainal Dulung), serta tamu undangan dari berbagai Perguruan Tinggi Swasta lainnya. Rektor UMI Prof Masrurah Mokhtar, berkelakar akan sejumlah prestasi yang telah diraih universitas bercorak hijau itu di hadapan para tamu, Kamis 23 Juni 2016 kemarin.

Pernyataan sang rektor berwajah kemayu bukan sembarang asal bicara. Siapalah yang meragukan pencapaian UMI di usianya yang sudah terbilang menua dengan berbagai hadangan yang merintanginya, untuk menjadi universitas swasta kebanggan se-indonesia timur.

Sebagai kampus yang telah menelorkan banyak alumni, yang kini telah banyak berlaga baik di pentas lokal maupun di pentas nasional, tak sia-sialah kemudian akhirnya diganjar sebagai PTS yang berada di urutan ke-10 dari 3.900 PTS se-Indonesia. Bahkan berdasarkan penilaian Kemenristik Dikti, kini UMI sudah berada di peringkat 34 PTN/PTS. Di tahun ini (2016) UMI juga terpilih sebagai PTS terfavorit di Makassar berdasarkan hasil survey Pusat dan Analisis Tempo.

Kampus solutif

Awalnya, UMI berdiri dengan berangkat dari kegelisahan para cendikiawan, ulama, birokrat, militer, dan raja-raja Bugis-Makassar. Mereka semua menginginkan harus ada perguruan tinggi modern yang dapat mengantisipasi perubahan zaman, akan tetapi tetap konsisten dalam menjaga nilai-nilai ukhuwah dan dakwah Islam.

Lahirlah UMI yang kondisinya sudah demikian pesat sampai sekarang, berbagai fakultas dan penjurusan bernaung di dalamnya, tidak hanya dengan strata satu, tetapi strata dua dan strata tiga kini sudah banyak dibuka di sana.

Dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ukhuwah dan dakwah islamiah bagi setiap insan akademisnya, Universitas yang terletak di tengah-tengah kota ini, sembari tetap memacu kualitas juga telah menjadi PTS yang mengemban amanat sebagai kampus solutif “mencerdaskan kehidupan bangsa” di tengah pesat dan padatnya animo banyak orang hendak melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Ada banyak orang di negeri ini, memiliki tekad kuat untuk menempa pendidikan di perguruan tinggi, akan tetapi dengan makin beratnya kompetisi masuk di perguruan tinggi negeri bergengsi, pada akhirnya terhempas karena kalah dari beberapa orang yang kecerdasannya di atas rata-rata. Padahal kalau kembali ditilik amanat dan tujuan pembangunan nasional di negeri ini, bukankah semua orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa mempersoalkan multikemampuan mereka.

Dalam konteks inilah, UMI hadir dengan peran para insan akademisnya yang tak perlu diragukan lagi. Sumber daya, sarana dan prasarana yang disediakan pada kenyataannya juga dapat memberi jaminan akan misi Tridarma Perguruan Tinggi yang berwawasan duniawi, dan mampu mengembangkan segi pendidikan yang berwawasan ukhrawi, yang dilandaskan atas kesadaran diri setiap insan yang melibatkan diri di dalamnya sebagai mahluk ciptaan Allah SWT.

PTS Unggul

UMI sebagai perguruan tinggi swasta pertama dan terbesar di kawasan timur Indonesia, saat ini telah mencetak alumni sebanyak 86.491 orang, sejak resmi berdiri pada 23 Juni 1954 silam. Pada kenyataannya memang UMI tidak bisa lagi dipandang sebelah mata, ada berbagai prestasi telah ditorehkannya mulai dari tingkat nasional hingga tingkat internasional. Berbagai kerja sama dengan berbagai institusi dan lembaga telah dijalin UMI selama masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Masrurah Mokhtar. Salah satunya dengan Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan Peternakan (DKP3) kota Makassar Februari 2016.

Sebagai kampus hijau, UMI juga telah mencitrakan dirinya dalam penghijauan kota Makassar di tengah kota metropolitian Makassar yang semakin pengik dengan polusi kendaraan. UMI dan Pemerintah kota (Pemkot) Makassar telah bekerjasama dalam menyukseskan program Lorong Garden (Longgar) dan menciptakan ruang terbuka hijau di Makassar dengan penyerahan 1.600 bibit pohon dan tanaman.

Sebagai PTS yang unggul, Apa yang tidak ada di UMI? fakultas kedokteran yang kerap hanya menjadi kebanggan PTN, UMI juga punya. Fakultas Tekhnik dengan segala penjurusannnya, juga ada di kampus peradaban itu. Bahkan dengan fasilitas laboratorium, ruang praktikum, UMI benar-benar telah menjadi mandiri dalam membina calon-calon abdi negara, yang tidak hanya pada arena profit, tetapi telah menyembur ke insan binaan yang mulia di hadapan Allah SWT.

Dengan pengajar mumpuni, dosen yang telah banyak bergelar profesor di tiap fakultas dan jurusannya, UMI sudah saatnya menjadi perhatian pemerintah guna pengembangan IPTEK dan IMTAK bagi calon-calon generasinya yang akan menjadi pelanjut bangsa ini, ke depannya.

Tidak mengapa, Universitas kebangaan di Indonesia Timur tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggelontorkan “bea siswa” bagi mahasiswa yang berpretasi dan mahasiswa yang tidak mampu, sebab toh pada kenyataannya UMI telah menjawab tuntutan nasional. Bahwa bangsa yang dapat maju, adalah bangsa yang tidak bersikap diskriminatif terhadap warganya yang ingin memberikan sumbangsi buat negerinya, yaitu berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kampus hijau, kampus peradaban, jayalah selalu. 
Add caption

[Read More...]


Dijual Buku: Carut Marut Pilkada Serentak 2015




Judul: Carut Marut Pilkada Serentak 2015

Penulis: Damang Averroes Al-Khawarizmi & Muh. Nursal NS

Penerbit: Philosophia Press

Jumlah Halaman: 206 hlm

harga: Rp. 70.000 belum ongkir

Tahun terbit: 2016

pembelian: silahkan hubungi 085395768887



Ulasan Buku:





Melalui buku ini, kiranya bisa menjadi bukti dari kami berdua kalau pada kenyataannya Pilkada serentak 2015 kemarin belumlah terselenggara berdasarkan prinsip demokrasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat dikatakan “gagal” menderivasi prinsip demokrasi yang diamanatkan UUD NRI 1945.

Hal ini disebabkan oleh dua keadaan: Pertama, pelembagaan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang “ditarik” dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah terjadi inkonsistensi oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden), antara mengembalikan sistem pemilihan langsung atau sistem pemilihan tidak langsung (via DPRD). Hingga pada akhirnya, untuk pertama kali dalam sejarah di Indonesia, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dapat membatalkan isi Undang-Undang (Pemilihan) secara keseluruhan. Kedua, bersamaan dengan itu, setelah Perppu tersebut disetujui oleh DPR, ditingkatkan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota lagi-lagi “diotak-atik” beberapa ketentuannya, di saat tahapan Pilkada Serentak 2015 kian dekat jatuh temponya.

Jawabannya, semua disebabkan soal waktu yang membatasi DPR dalam merivisi Undang-Undang, sehingga dalam beberapa ketentuannya tidak dapat “direvisi” dengan sempurna. Ketidaksempurnaannya itu terang sekali dalam beberapa hal: suap politik Pilkada, calon tunggal yang tidak diakomodasi, Calon Kepala Daerah yang berstatus mantan Narapidana, Calon Kepala Daerah berstatus keluarga petahana, hingga pada hukum acara yang disediakan untuk segala perkara Pilkada juga terjadi tumpang tindih dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Hampir semua tema dan judul yang terpilih dalam buku ini, kami tidak menuliskannya secara serampangan, akan tetapi selalu diawali dengan diskusi alot terlebih dahulu. Lalu, kami masing-masing menyendiri untuk menuliskan hasil diskusi itu.

Dan satu hal yang selalu ditekankan dalam setiap penulisan, oleh karena tulisan ini merupakan kajian ilmu hukum. Maka, selalu dimulai degan “legal issue” kemudian diakhiri dengan pemecahan masalah (problem solving).

Dari awal kami sudah bertekad, bahwa menghasilkan sebuah karya adalah bisa memberi manfaat bagi pembaca. Sehingganya pun kalau isi dari semua buku ini hanyalah kumpulan opini, kiranya dapat berguna baik dalam tataran teoritis maupun dalam tataran praktis. Dalam tataran teoritis, dengan membaca satu isu saja dalam buku ini, maka seorang calon sarjana hukum akan dibekali masalah hukum, sehingga dapat merumuskan judul skripsi sebagai prasyarat menyandang gelar sarjana di fakultas hukum. Ringkasnya, hampir setiap judul dalam buku ini dapat ditindaklanjuti dengan penelitian yang mendalam untuk memperkaya studi hukum Pemilihan Kepala Daerah. Sedangkan dalam tataran praktis, sudah pasti dengan beberapa solusi yang telah kami tawarkan dari beberapa kejanggalan dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, seharusnya menjadi pedoman dalam revisi Undang-undang tersebut.

Sampai buku ini siap cetak, naskah revisi Undang-Undang Pemilihan, ternyata banyak yang berbeda dari yang sudah ditawarkan dalam buku ini. Sungguh tidak berdasar ketika DPR malah memiliki kehendak untuk mengubah suap politik Pilkada sebagai pelanggaran administrasi dan menerapkan sanksi administrasi. Padahal sedari awal kami sudah menawarkan kalau suap politik Pilkada cukup dipertahankan sebagai “delik pemiihan” dengan ancaman hukuman pidana yang jelas, serta menggunakan mekanisme hukum acara yang telah disediakan oleh Undang-Undang Pemilihan tersebut.

Perlu diketahui bahwa aspek hukum dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota begitu kompleks, di dalamnya terdapat hukum pidana dan hukum administrasi. Sehingganya, dibutuhkan dasar-dasar ilmu hukum yang kuat sebelum membangun setiap ketentuannya. Tidak mungkin, Calon Kepala Daerah dikenakan sanksi administrasi ketika melakukan delik pemilihan “suap politik Pilkada” padahal dia bukan pejabat negara. Hukum administrasi sudah sangat terang, hanyalah pejabat negara yang dapat dikenakan sanksi administrasi sebab itu semata-mata demi menjaga maruah jabatannya. Termasuk pendapat yang sangat keliru pula, kalau terdapat gagasan, tiba-tiba Bawaslu yang dapat menetapkan Calon Kepala Daerah “digugurkan” karena melakukan delik pemilihan suap politik Pilkada. Ingat! Dalam prinsip negara hukum, hanyalah pengadilan yang dapat menentukan bersalah tidaknya seseorang, pun dapat mencabut hak politik (hak untuk dipilih) seseorang tersebut. Sangat gila bagi kami kalau Bawaslu tiba-tiba dapat menjadi pengadilan.

Dalam buku ini, juga terdapat penalaran hukum yang berbeda dengan beberapa Putusan MK atas pengujian beberapa ketentuan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yaitu: putusan tentang calon tunggal Kepala Daerah yang seharusnya langsung saja dilantik, putusuan tentang Calon Kepala Daerah yang bersatus mantan Narapidana; MK yang seolah-olah tidak tahu-menahu perbedaan antara Terpidana dan Narapidana.

Buku ini ditutup dengan tema Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah di MK. Di saat MK pada kenyataannya kembali berfungsi sebagai Mahkamah Kalkulator dan salah memaknai ambang batas perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah sebagai prasyarat mengajukan gugatan.

Dengan demikian, atas banyaknya masalah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, soal kehadiran badan peradilan khusus Pilkada tidak dapat lagi ditunda-tunda. Badan peradilan ini sudah seharusnya terbentuk, agar setiap perkara Pilkada baik yang terjadi pada tahapan maupun pada hasil pemilihannya tidak lagi dicampuradukan. Di atas segalanya, kita butuh penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah berdasarkan Prinsip demokrasi. 



[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors