Perombakan Kabinet dan Rekonsolidasi Politik (Oleh: BURHANUDDIN MUHTADI)



Jika dicermati lebih mendalam, perombakan kabinet (reshuffle) jilid kedua kali ini menegaskan perubahan narasi dan strategi politik Presiden Jokowi dibandingkan pada tahun pertama pemerintahannya. Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis.

Ketika dilantik pada Oktober 2014, Jokowi memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk membentuk formasi kabinet berdasarkan kabinet minimalis. Secara politik, Jokowi hanya bertumpu pada empat partai (PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, dan Hanura) dengan jumlah total kursi 37 persen di DPR.

Jokowi menjadi "presiden minoritas" dalam tiga lapis sekaligus (triple minority): figur baru yang langsung melejit di pentas nasional, tidak memiliki kendali atas partainya sendiri, dan hanya mengandalkan koalisi ramping di parlemen.

Ketika Jokowi berkomitmen lepas dari perangkap kartel, dia justru terbelenggu oleh segelintir oligarki (Muhtadi, 2013). Tahun pertama membuktikan bahwa menjadi triple minority president tidaklah mudah.

Bulan madu Jokowi dengan publik berakhir lebih cepat dari seharusnya setelah kontroversi penunjukan Kapolri pada awal 2015. Jokowi bukan hanya berhadapan dengan kekuatan oposisi yang dominan di DPR, melainkan juga tekanan yang mengimpit dari koalisi pendukungnya sendiri. Tingkat kepuasan publik merosot hingga 41 persen pada Juni 2015.

Meminjam istilah mantan Gubernur New York Mario Cuomo, Jokowi baru menyadari bahwa menjalankan pemerintahan tidaklah semudah membuat "puisi", tetapi juga harus mampu menarasikan "prosa".

Perombakan kabinet jilid kedua ini menjadi pertanda menguatnya kembalinya the ruling cartel (politik kartel) yang sejak lama menjadi karakter perpolitikan pasca reformasi (Slater 2004; Ambardi 2008). Sejak bergabungnya Golkar, PAN, dan PPP dalam koalisi pemerintah, Jokowi mengulang lagu politik lama dengan mendesain koalisi pemerintah yang mendapat dukungan mayoritas di DPR hingga mencapai 69 persen.

Namun, Jokowi tak punya banyak pilihan. Kehadiran Golkar dengan kekuatan 91 kursi di DPR mampu digunakan Jokowi untuk mengurangi dominasi PDI Perjuangan sehingga dia punya ruang manuver yang lebih leluasa untuk menjalankan agenda- agendanya agar sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Lebih presidensial
Setidaknya ada tiga signifikansi mengapa perombakan kabinet jilid kedua ini dilakukan. Pertama, dari sisi politik Jokowi perlu mengakomodasi dan "mengikat" Golkar dan PAN dalam jajaran kabinet. Kedua, dari segi timing Jokowi juga perlu segera melakukan perombakan kabinet karena waktu yang tersedia makin menipis sebelum lonceng berbunyi pada 2019 nanti.

Tak semua menterinya mampu menerjemahkan visi dan misi Jokowi dan mengikuti ritme kerja Presiden. Terakhir, saat ini adalah momentum yang tepat bagi Jokowi seiring dengan keberhasilan Jokowi memulihkan kepercayaan publik. Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Juni 2016 menunjukkanapproval rating Jokowi mencapai 67 persen.

Kabinet hasil perombakan kabinet menunjukkan titik tekan Jokowi pada masalah-masalah ekonomi. Pidato pengantar Jokowi kemarin yang menekankan masalah ekonomi, mengatasi kesenjangan dan pengangguran, membuktikan bahwa Jokowi secara politik sudah berhasil melakukan rekonsolidasi kekuasaan, baik di tingkat elite maupun massa, sehingga punya kepercayaan diri untuk lebih fokus mengurusi agenda ekonomi.

Masuknya nama besar, seperti Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, plus dipertahankannya muka-muka lama, seperti Darmin Nasution dan Bambang Brodjonegoro, memberi semacam garansi bagi pelaku usaha dan dunia internasional. Dalam pidato yang sama, Jokowi juga menekankan soliditas kabinet dan keinginan agar semua jajaran kabinet bisa bekerja dalam sunyi tanpa mengumbar kegaduhan yang tidak perlu. Ini pula yang mungkin menjelaskan mengapa nama-nama menteri yang sebelumnya dianggap menjadi biang kegaduhan terkena palu godam perombakan kabinet.

Ada komitmen kuat dari Jokowi untuk mengurangi kegaduhan (noise) sehingga publik dan dunia usaha mampu menangkap sinyal yang lebih jernih dan seragam dari pemerintah.

Menariknya, nama-nama menteri dari kalangan partai politik yang direkrut juga relatif ramah pasar. Airlangga Hartarto dan Enggartiasto Lukita bukanlah politisi nirkompetensi dan mereka memiliki jam terbang lama dalam bidangnya masing-masing. Perombakan kabinet terutama pada jajaran ekonomi seperti tepat menjawab pekerjaan rumah yang selama ini menjadi perhatian publik. Naiknya approval rating Jokowi hanya disokong oleh kemampuan pemerintah dalam menekan laju inflasi, meningkatkan infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Rapor Jokowi dalam mengurangi pengangguran, kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan dan menciptakan pemerataan masih dinilai merah oleh publik.

Meskipun memberi perhatian besar pada masalah-masalah ekonomi, perombakan kabinet kali ini juga tak mengabaikan faktor politik. Golkar dan PAN masing-masing mendapat satu menteri, sedangkan mitra koalisi lama Jokowi juga tidak dikurangi jatahnya, kecuali Hanura. Terkesan Jokowi bermain aman ketika menyangkut konstelasi politik koalisi.

Masuknya Golkar dan PAN tidak mengambil jatah mitra koalisi yang sejak awal mengusung Jokowi. Nama-nama menteri dari parpol yang dirombak digantikan oleh figur dari partai yang sama tetapi memiliki kualifikasi yang diharapkan lebih mumpuni.

Lepas dari kesan main aman ini, Jokowi juga tak serta-merta tunduk pada keinginan partai pendukungnya. Nama Rini Soemarno yang sering kali diteriakkan oleh sebagian politisi PDI Perjuangan agar diganti ternyata masih dipertahankan. Golkar menjadi kekuatan terbesar kedua di parlemen juga hanya mendapat satu kementerian.

Seperti kurva pembelajaran, setelah hampir dua tahun menjadi presiden, Jokowi seperti makin memahami bagaimana melakukan komunikasi politik tanpa menciptakan riak-riak yang mengganggu konsolidasi kekuasaan. Seiring kesuksesan Jokowi melakukan rekonsolidasi politik di tingkat elite dan massa, sudah seharusnya dia tampil lebih presidensial dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Bahaya politik kartel
Namun, alarm ancaman politik kartel tetap perlu dibunyikan. Katz dan Mair (2009, 755) menyatakan: "The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic politics that are characterized by the interpenetration of party and state and by a tendency towards inter-party collusion.... Competition between cartel parties focuses less on differences in policy and more on provision of spectacle, image, and theater."

Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung melakukan kolusi kolektif untuk memperebutkan rente.

Terjadilah apa yang disebut Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana parlemen yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-fungsi check and balances.

Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif, aroma promiscuous power-sharing (pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang tertutup secara masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama.

Sudah semestinya Jokowi menyadari potensi bahaya ini karena politik kartel ini justru malah menjauhkan Jokowi dari publik yang banyak menaruh harapan kepadanya. Koalisi pemerintah yang terdiri tujuh partai dan mencapai 69 persen atau 386 kursi dari 560 kursi di parlemen berpotensi menjadi kekuatan hegemonik yang bisa melumpuhkan sikap kritis DPR terhadap pemerintah.

Untuk itu, Jokowi tak perlu tergoda lagi menambah armada baru koalisi. Koalisi yang terlalu besar malah membuat langkah Jokowi kurang lincah karena harus menegosiasikan setiap kebijakan yang mau diambil kepada aktor yang makin banyak. Jokowi cukup melakukan disiplin koalisi yang kuat agar koalisi pemerintah yang mendukungnya efektif dalam menjalankan agenda pemerintahan.

Saat yang sama, Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat juga tak perlu tergiur untuk masuk dalam pemerintahan karena menjadi oposisi dan penyeimbang juga memiliki nilai kebajikan yang sama dalam berdemokrasi. Di atas segalanya, kalangan masyarakat madani (civil society) dan media juga harus terus-menerus menjadi watchdog agar pemerintahan Jokowi sukses mewujudkan janji-janjinya.



BURHANUDDIN MUHTADI 
DIREKTUR EKSEKUTIF INDIKATOR POLITIK INDONESIA DAN KANDIDAT PHD AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY (ANU) 
Artikel ini telah terbit di harian Kompas dalam versi cetak, edisi 28 Juli 2016. 

[Read More...]


Puang Muin, Guru SD-Ku yang Terhebat




Pernahkah terbenak kembali di pikiran anda, sejak kapan bisa membaca abjad dengan lancar? Sejak kapankah Anda pula bisa merangkai huruf-huruf itu hingga dapat melafalkannya dalam kata? kemudian kata perkata sehingga terangkai kalimat, anda dapat melafalkannya juga dengan fasih.

Untuk kasus ini, saya punya pengalaman tersendiri dengan guru kelas satu saya di sekolah dasar dulu. Namanya guruku, Abdul Muin.

Terus terang, ibu saya memasukkan di sekolah dasar umur masih tergolong belia, beda dengan anak kebanyakan saat ini yang dipatok harus berumur 6-7 tahun baru memenuhi syarat masuk sekolah dasar, itupun syaratnya harus selesai dengan pendidikan usia dini (TK). Saya masuk sekolah dasar, umur baru menapaki 5 tahun, juga tidak pernah mengikuti pendidikan taman kanak-kanak.

Konon ibu saya memasukkan secepatnya ke sekolah dasar dengan alasan, katanya saya adalah anak yang susah diatur, sedikit-sedikit menangis padahal tidak ada penyebabnya. Itu sih menurut ibu saya, tapi setelah saya kemudian menjelang remaja, saya akhirnya mengungkapkan penyebabnya selalu menangis waktu itu, bahwa waktu kecil dulu seringkali didatangi oleh dua wanita yang berpakaian “kebaya” kadang ingin mengambil saya. Dan ternyata apa yang saya lihat (dua wanita itu), satupun dari keluarga saya tidak pernah melihatnya.

Itu pengalaman kecil saya, kadang kalau mengingatnya begitu suram dan mengerikan. Masuk ke sekolah dasar, usia makin bertambah, akhirnya dua hantu wanita yang sering menganggu hidup saya, saya lupa entah sejak kapan tidak pernah lagi datang menggangguku.

Masuk sekolah dasar, ternyata permintaan ibuku kepada guru SD waktu itu, sebelumnya guru yang menerimaku bukanlah Abdul Muin, tetapi namanya Rahmawati (bu Rahma). Nama saya tidak di daftar dalam absesnsi kelas, karena disekolahkan katanya hanya percobaan dulu.

Dan sungguh betapa bodohnya saya, sejak pertama kalinya masuk di kelas, hanya duduk, tidak pernah melaksanakan perintah guruku (Ibu Rahma). Teman sebangku saya yang bernama Mujetahid, sudah dengan giatnya menulis kembali barisan-barisan kalimat yang ditulis oleh guruku di papan tulis. Saya hanya menatapnya melongo, diam, tidak melakukan apa-apa.

Patut kuhargai pula perjuangan guruku ini, Bu Rahma, sebab dalam keadaan saya tidak pernah mau menulis kembali apa yang sudah ditulisnya di papan tulis, dia datang menegur saya, “nak kenapa tidak menulis” lagi-lagi saya Cuma diam. Akhirnya guruku yang menulis sendiri di buku catatan saya, lucunya kemudian dari hasil tulisannya itu, dia berikan nilai untuk saya “100” (seratus). Pulang ke rumah ditanya oleh ibu saya, apa yang kau bikin di sekolah dan berapa nilaimu? Kujawab “saya mendapat nilai “100” mak-ku”

He—he….he..he… dan ternyata ibuku melihat buku catatanku, ia menimpalku, hala…h ini bukan tulisanmu, ini gurumu yang menulis, bukan juga nilaimu ini.

Satu hal yang kuingat juga dari guruku yang satu ini (Ibu Rahma), namaku yang saat ini “Damang” dia juga punya keterlibatan di dalamnya. Dirumah saya dipanggil Emmang, nama lengkap saya berdasarkan kemauan ibuku harusnya “Darman.” Waktu itu, Ibu Rahma bertanya siapa namaku, kujawab “Darman.” Akan tetapi mungkin karena salah dengar, dikiranya saya menyebut nama “Daman” dan seingatku kemudian kutambahkan akhiran “g” menjelang kelulusan SD, sehingga menjadi “Damang.” Alasanku agar pelafalan ini memudahkan bagi orang bugis yang terbiasa mengakhiri semua kalimat, biasanya dengan “NG”.

Singkat kata, singkat cerita, belum selesai catur wulan pertama, datanglah guru baru, energik, suka berbahasa bugis, menggantikan Ibu Rahma mengajar di kelas satu, dialah Abdul Muin. Guru inilah guru yang terhebat bagi saya, sebab darinyalah kemudian saya bisa membaca, dibantu dengan kegigihan ibu saya mengajari di rumah mengajari membaca, pada akhirnya saya benar-benar bisa lancar membaca.

Satu keunikan dari Abdul Muin, yang sering kusapa Puang Muin, dalam mengajari anak-anaknya membaca, dia lebih suka berbahasa bugis, sehingga anak didiknya yang kurang mengerti bahasa Indonesia, pasti tahu perintah dan kemauannya.

Benar-benar unik Puang Muin ini, bahkan bagi saya kata yang tepat menyanjungnya adalah dia guru SD-ku yang hebat. Cara mengajari kami membaca, berbeda dengan yang diajarkan saya di rumah.

Dikalah ibu dan tanteku sering mengajari membaca di rumah, saya malah bengong, pusing, tetap susah melafalkan kata, padahal semua huruf abjad saya sudah bisa menyebutnya.

Contohnya begini, membaca kalimat: “Nana Bersama Ibu”

Kalau dirumah saya diajari: N ditambah A maka dibaca Na, N ditambah A dibaca Na, jadi “Nana.” Puang Muin mengajariku cara yang lain dengan cara melafalkannya di bibir sehingga akan kedengaran: EN- EN-EN- Na- Na-Na (Nana) Eb-EB-EB-EBeR-ES-Sa-Ma (Bersama) ib-ib-ib-ib-u (Ibu). Cara mengajari membaca bagi puang Muin, ternyata bermain pada huruf vocal dan konsonan, sehingga dengan gampang ternyata anak didiknya akan membaca dengan lancar.

Puang muin semenjak menjadi Guru SD di kelas 1, di sekolahku itu merupakan guru yang selalu sukses mengajari anak-anaknya pintar membaca. Waktu keluar main (9.30), ternyata di luar kelas, dengan bangku yang disuruh kepada anak-anaknya diangkat keluar ruangan, lagi-lagi ingin mengajari anak-anak yang tidak bisa membaca. Moga amal jariyah guruku ini mengalir terus, subehanalloh.

Kalau ada anak yang sudah naik di kelas dua, ternyata ia hafal anak-anaknya juga yang belum lancar membaca. Sehingga kadang ia panggil kembali belajar membaca di saat waktu keluar main. Baginya, semua anak didiknya tidak boleh ada yang buta huruf.

Berkat Puang Muin pula, kami dari semua anak didiknya banyak mengenali kisah epic para pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegero, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dan Jenderal Soedirman. Oleh karena dia selalu menutup pelajaran, pada saat akhir-akhir kepulangan dengan cerita beberapa pahlawan. Sehingga dari cerita itu saya tahu kalau Pengeran Dipongoro pernah menipu Belanda dengan mengambil semua senjatanya. Saya kenal Jenderal Soedirman yang ditandu dalam peperangan, karena tetap bertempur walau sakit keras sedang menderah tubuhnya.

Sejak kepintaranku membaca, Puang Muin mengajariku tampil di depan umum. Beliau mengusulkan agar saya menjadi pembaca teks “janji murid” di acara upacara bendera yang diselenggarakan tiap hari senin di sekolahku. Bahkan saat momentum upacara bendera itu, dia mengawal berdiri di belakangku. Tujuannya, agar di saat waktu sudah diperintahkan membaca teks “janji murid” dia langsung menyuruhku.

Gara-gara kepintaranku menulis, sampai suatu waktu saya pernah bandel kepada guruku itu. Saya menulis namanya “Muin” di sadel motor Honda-nya. Kepikiran saya akan dimarahi olehnya, ternyata esoknya dia tidak memarahiku. Kalau ibuku tahu kejadian ini, mungkin aku sudah dipukul, tapi Puang Muin tahu perangainya, yang namanya anak-anak.

Catur wulan satu, catur wulan dua, di saat penerimaan rapor, terkadang saya kecewa, sebab teman-teman saya menerima rapor, ternyata saya tidak kebagian rapor. Semua karena saya katanya masih dalam percobaan sekolah. Barulah pada Catur Wulan ketiga, akhirnya saya menerima rapor, dan betapa bahagianya saya waktu itu. Mungkin nilai saya di catur wulan sebelumnya hanya direkayasa, tetapi saya tidak peduli, yang jelas saya sudah pintar membaca, dan kulihat di raporku yang bersampulkan wana merah, yang dicoret kata “tidak” artinya saya sudah naik kelas. Awalnya hanya “dicoba-coba-kan” sekolah, ternyata bisa juga naik ke kelas dua. Betapa girang bahagianya diriku, termasuk ibuku di rumah sangat bahagia dikala berita itu kusampaikan kepadanya.

Puang muin, juga adalah guruku yang besar rasa iba dan kasih sayangnya. Suatu waktu di saat penerimaan rapor akhir catur wulan pertama, ibuku tidak membekali saya dengan makanan ke sekolah, padahal ibuku tahu kalau kebiasaan di sekolah setiap peneriman rapor dirangkai dengan acara makan-makan. Ibuku beralibi: tidak usah dibekali makanan, toh sekolahnya hanya coba-coba. Waktu itu, saya menatap-natap saja teman-temanku yang sedang mencicipi makanannya. Dan tak tunggu waktu, tidak berlama-lama, songkolo yang digenggam kecil oleh Puang Muin, juga diberikan kepadaku. Pasca kejadian ini, Puang Muin berpesan kepada ibuku: “bikinkanlah makanan juga untuk anakta, tidak enak kalau dia cuma melihat-lihat temanya yang makan.” Ibuku pun akhirnya membekaliku dengan makanan, pada penerimaan rapor di catur wulan kedua, walau saya lagi-lagi tidak menerima rapor.

Kuungkapkan kejujuran ini sebagai pengalaman pribadiku, tak kurasa kemudian leleh air mataku tidak terasa meniti membasah. Guruku, Puang Muin, kini sudah menjalani usia pensiun. Guruku yang sangat besar penghargaan kepada anak didiknya yang sudah pintar membaca, sehingga kadang ia berteriak: …. Iyaaaa…. Maccccani… (iya sudah pintar). Teriaknya girang sebagai tanda kesuksesannya dalam mengajar, ia merayakan kesuksesannya.

Tahun ini, Puang Muin akan menunaikan Ibadah Haji, namanya sudah teregister sebagai Calon Jamaah Haji periode 2016. Cukup lama dia menunggu untuk menunaikan ibadah haji, uangnya baru mencukupi, sebab dulunya ia menjadi pengajar SD kawakan, juga menyekolahkan semua “buah hatinya” ke pendidikan tinggi.

Semoga engkau menjadi haji mabrur, wahai guruku. Karena engkaulah aku bisa membaca, karena engkau kini kubisa melahap beberapa buku, dan karena engkaulah aku juga bisa mencatatkan namaku sebagai penulis di beberapa kolom harian lokal, media cetak. Benarlah, jasamu tiada tara. 

di sinilah sekolah dasarku, SDN No. 54 Batuleppa, Sinjai Selatan, kondisinya sekarang sudah lebih bagus gedungnya.

[Read More...]


Menonaktifkan Bupati Terdakwa



Ibarat bola salju yang terus menggelending, riak dari berbagai kalangan yang menuntut penonaktifan Bupati Barru Idris Syukur (IS) hingga saat ini kembali lagi menjadi trending topic, sebagaimana dilansir pada laman utama harian Tribun Timur, edisi Jumat 22 Juli 2016 kemarin.

Betapa tidak, sebab sudah lama isu ini mencuat ke publik, tetapi disaat yang sama Mendagri belum juga menonaktifkan IS dalam statusnya sebagai pemangku jabatan Kepala Daerah (Bupati) Kabupaten Barru, padahal ia sudah lama menyandang status terdakwa.

Persoalan mengenai pengisian dan pelepasan jabatan (ambtenaar) sebagai negara yang menyandarkan diri pada maxim “negara hukum,” mau tidak mau hukum positiflah (hukum tertulis) yang menjadi acuannya dalam mengatur lebih lanjut tentang keadaan jabatan yang dipersonifikasikan oleh pribadi manusia (person) itu.

Perundang-undangan bisa saja mengatur Bupati nanti diberhentikan kalau terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan inkra, tidak perlu penonaktifan kalau masih dalam status terdakwa. Ataukah sebaliknya dapat saja diberhentikan secara permanen, walau masih dalam status tersangka misalnya. Sepanjang hal itu, Undang-Undang menentukan demikian.

Akan tetapi tidak seperti itu nyatanya, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang menjadi acuan justru memberikan otoritas kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati ketika ia sudah berstatus terdakwa.

Hukum positiflah yang menjadi pijakan dalam mempersonifikasikan jabatan itu, sebagaimana yang pernah disatir oleh pakar hukum tata negara yang namanya sudah mendunia, yakni J.H.A. Logeman (1984) dalam bukunya yang berjudul “over de theorie van een stelling staatrecht”. Dalam konteks itu, jelas kita memiliki acuan yang terkait dengan keadaan ini, apalagi kalau bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Rekomendasi Gubernur

Pasal 83 Undang-Undang Pemda sudah jelas mengaturnya, bahwa Bupati yang berstatus terdakwa dalam ihwal perbuatan korupsi, harus dinonaktifkan dari jabatannya. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, saya kutip bunyi pasal tersebut: “(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2)Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di Pengadilan.”

Dalam hal penonaktifan Bupati tersebut, perlukah meminta persetujuan Gubernur? Dengan jeli membaca UU Pemda sudah pasti tidak perlu. Memang dalam Pasal 126 ayat 4 PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, mengamanatkan penonaktifan Bupati terdakwa harus melalui usulan atau rekomendasi Gubernur, lalu Mendagri dapat memberhentikannya. Namun perlu dipahami, dengan revisi terbaru UU Pemda, tampaknya tidak mewajibkan lagi, harus melalui pengusulan Gubernur (Vide: Pasal 83 ayat 4). Artinya PP tersebut bertentangan dengan UU Pemda yang terbaru. Jika bertentangan, pastilah PP demikian harus dikesampingkan, sebagaimana UU Pemda sendiri menyatakan hal itu.

Selain permintaan agar menonaktifkan IS yang harus menunggu persetujuan Gubernur, terdapat juga kalangan yang meminta, agar Bupati IS mengundurkan diri secara sukarela. Bisa saja hal itu terjadi, tetapi tidak menjadi kewajiban baginya untuk mengundurkan diri. Pun kalau ia mengundurkan diri, praktis bukan lagi namanya penonaktifan (pemberhentian sementara), tetapi ia berhenti secara permanen. Konsekuensinya, Wakil Bupatilah yang selanjutnya diangkat sebagai Bupati.

Konsekuensi hukumnya tentu berbeda kalau IS dinonaktifkan, andai saja putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) menyatakan ia tidak bersalah, kembali ia dapat memangku jabatannya, kendatipun perkara yang melilitnya masih melalui proses banding atau kasasi. Barulah ia dapat diberhentikan secara permanen kalau saja dalam proses banding atau kasasi itu menyatakannya bersalah in qasu putusan pengadilannya sudah inkra. Singkatnya, tidak ada kewajiban hukum bagi IS agar mengundurkan diri, tetapi kewajiban hukumnya terletak di tangan Mendagri untuk menonaktifkan IS tanpa memerlukan rekomendasi Gubernur.

Langkah Hukum

Pada sesungguhnya langkah hukum yang telah diambil oleh Ombdusman pasca pengaduan wakil ketua DPRD Barru bersama dengan sejumlah LSM dalam proses penoanktifan IS, yang terkesan diulur-ulur oleh Mendagri, sudah tepat. Yang jadi soal, Mendagri melalui Dirjen Otda-nya malah beralibi, menunggu rekomendasi dari Gubernur, padahal Undang-undang tidaklah mensyaratkan demikian.

Andaikata waktu 14 hari yang telah diberikan kepada Mendagri untuk menonaktifkan Bupati IS, di simpangi atas surat yang dilayangkan oleh Ombdusman. Dan melewati sebagaimana limit waktu tersebut, langka hukum selanjutnya masih ada, yakni perwakilan LSM yang berkapasitas atas itu, dapat saja mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), dengan menuntut Mendagri segera menetapkan penonaktifan Bupati IS dalam ihwal gugatan Keputusan TUN negatif.

Pun harus dipahami bersama, bahwa langkah mengajukan gugatan ke PTUN dengan menempatkan Mendagri sebagai tergugat, juga tidak ada artinya kalau ternyata putusan PN yang mengadili kasus IS, menyatakannya tidak bersalah. Sudah pasti gugatan TUN ini akan menjadi ilusoir. Diterimanya misalnya tutntutan itu, tidak akan mempengaruhi lagi status IS sebagai Bupati Barru.

Oleh sebab itu, ke depannya guna menghindari perkara yang semakin berbelit-belit ini, sembari tidak menjadi preseden buruk pada kasus selanjutnya. Seyogianya penetapan penonaktifan Bupati terdakwa yang menjadi otoritas Mendagri dibatasi dalam limit waktu tertentu dari masa registrasi perkara di pengadilan. Dan kalau telah lewat waktu, Mendagri tidak menetapkannya, status Bupati bersangkutan harus dimaknai dalam keadaan nonaktif, sehingga untuk sementara tidak dapat lagi bertindak dalam kewenangannya, otomatis Wakil Bupatilah yang melaksanakan kewenangannya.

Kini, kita hanya bisa menunggu, hanyalah Mendagri yang dapat mengakhiri kesimpangisuran di balik kasus ini. segeralah nonaktifkan IS. Sebab isunya bisa merembes dalam isu yang tak berkesudahan. Mendagri sebagai kaki tangan Presiden bisa saja dituding seolah-olah mempermainkan hukum. Kemungkinannya, Mendagri sudah tahu kalau IS akan dibebaskan, sehingga tak apa mengulur penoaktifannya. IS bebas, tak ada guna pula penonaktifannya.*

Baca juga di negarahukum.com
Damang, "Menonaktifkan Bupati Terdakwa" Tribun Timur, 26 Juli 2016



[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors