IAS, Jalan Sunyi Titian Kerinduan



Kurang lebih empat tahun silam, guratan sembilu luka masih membayang di wajah sekeluarga besar Ilham Arief Sirajuddin (IAS) alias Aco kala itu. Air mata meleleh membasahi pipi, tak terbendung, sesaat dan seketika pascapalu godam hakim pengadilan rasuah Jakarta Pusat jatuh menggelagar. 

Dari ufuk timur tak ada kutukan, apalagi sumpah serapa sejak perjuangannya di praperadilan kandas habis, dengan kembali ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Waktupun semakin menapaki hari demi hari, secarik pledoi, banding hingga kasasi tak berjodoh pada nasib peruntungan untuk memulihkan segala tuduhan, sangkaan, dan tuntutan, sampai pada akhirnya ia mengikhlaskan diri menerima dengan lapang dada vonis inkra empat tahun yang diikrarkan oleh Mahkamah Agung. 

Bilik-bilik kesunyian sudah menantinya di gedung berdinding tebal berlapis jeruji besi. Pengakuannya, ia sempat dihujani perasaan depresi selama dua bulan. Namun itu tak berlangsung lama, rasa syukur lalu datang menyergap kediriannya, sebab di luar sana, di tanah daeng, sejumlah sahabat, kerabat, hingga warganya sendiri, warga Makassar, turut menabur simpati dan empati atas musibah yang harus diterimanya sebagai eks Walikota Makassar dua periode. Niat baik yang diaktualkan dalam tindakan tidak selamanya berbuah penghargaan, acapkali dibarter dengan hukum yang penuh rekayasa. 

Namun IAS bukan insan yang membangun benteng pertahanan diri pada persepsi publik. Memang dibesarkan dalam dunia politik, tapi kepada hukum yang telah ternyatakan melalui putusan pengadilan inkra, ia patuh dan taat, sembari bersyukur kepada Allah SWT, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Dengan melalui vonis pengadilan yang mengalihkan statusnya dari seorang terpidana menjadi narapidana, jalan sunyi dibalik jeruji lapas kelas I sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, menemukan dirinya yang otentik. Sendirian dalam kamar penjara, malamnya dihabiskan dengan pertobatan, tak ada manusia di muka bumi yang tidak punya salah. Ia merasa kesepian tak berkumpul dengan sanak keluarga, tapi sepinya itu dilalui dengan tabir dan jalan kerinduan untuk menepi dalam pengampunan di hadapan Sang Kuasa. 

Banyak cerita yang dapat dipetik sebagai kisah spiritual dari mantan penguasa yang ditakdirkan melalui persinggahannya di lembaga pemasyarakatan. Ia berusaha memperbaiki bacaan tajwid dan hafalan quran-nya, dengan berguru kepada sesama narapidana, tepatnya kepada seorang napi eks menteri agama. Disangkanya selama ini, sebelum ia tergiring ke bilik kesunyian itu, bacaan shalatnya sudah benar. Dan ternyata ketika ia ditunjuk sebagai imam oleh sesama narapidana, pasca menunaikan shalat lima waktu, ia bertanya kepada napi eks menteri agama itu: “bagaimana bacaan Al-Fatiha saya.” Katanya: “masih banyak yang salah.” Dengan nada heran, IAS langsung memberi pengakuan: “berarti dahulu kalau bawahan menilai bacaan Fatiha saya sudah bagus, itu boleh jadi karena mereka takut kepada saya.” 

Itulah sepenggal elegi pengalaman yang amat berarti bagi seorang IAS. Andai bukan penjara, boleh jadi ia tidak punya waktu untuk merenungi kesalahan-kesalahan di masa lalunya. Andai bukan karena penjara, ia tidak punya kesempatan untuk mengoreksi dan memperbaiki cara bacaan surah Al-Fatiha-nya. Andai bukan karena penjara, ia tidak dapat menikmati syahdunya kesendirian, untuk selalu mengadu, bersimpuh dan menengadah kepada Yang Maha Kuasa. Andai bukan karena penjara, ia tidak dapat membiasakan diri menjalankan puasa senin kamis. 

IAS jauh meninggalkan tanah kelahirannya, jauh meninggalkan sisa-sisa tahtanya. Namun karena kepasrahan dan lapang dadanya menerima hukuman penjara, jalan sunyi yang harus dilaluinya berbuah kerinduan untuk selalu bermunajat kepada Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang. Dan pada akhirnya jalan sunyi titian kerinduan kepada sang Pencipta, tak mengurungkan semangat kerinduan dari banyak orang yang pernah ditolong olehnya, kapan ia mengirup udara bebas, keluar dari penjara. 

Mantan politisi yang banyak dirindukan oleh rekan sejawatnya dahulu, biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah ketika kaum papa hendak melepaskan kerinduannya kepada seorang mantan walikota dua periode itu, dengan bersandar pada pengharapan, kapan ia selesai menjalani masa pemidanaannya. Cerita dari sebulan yang lalu, ketika IAS sedang mendapat izin keluar untuk datang melayat karena sang ibu mertua telah dijemput oleh Yang Maha Kuasa, tiba-tiba setelah IAS mengikuti prosesi shalat jenazah di mesjid terapung Makassar, seorang wanita pengemis di pelataran mesjid itu langsung memeluknya sambil menangis ketika melihatnya keluar dari masjid. Serpihan cerita lainnya, bahkan seorang penjual jalang kote rela menyantuni IAS, semenjak masih menjalani pemidanaan di Lapas Sukamiskin sampai ia dimutasi ke Lapas Klas I Gunungsari, Jl Sultan Alauddin, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. 

Kini IAS sudah dekat dengan keluarga dan kerabatnya, meski masih harus menunggu empat bulan lagi untuk selesai menjalani masa pemidanaannya di kotanya sendiri, kota Makassar. Di ruang sel penjara ia tak sendiri lagi, ia bertiga dengan narapidana lainnya. Semenjak dibuka waktu jam besuk kemarin, berduyun-duyunlah keluarga, kerabat, hingga warga biasa datang menjenguknya. IAS tak menaruh dendam kepada siapapun, tak berprasangka buruk pula kepada rekan dan sejawat politiknya, siapapun dan kapanpun dia datang, akan disambutnya dengan wajah bahagia, meriah dan sumringa. Itulah buah dari jalan sunyi yang kini sudah IAS bisa dipetiknya, buah dari sebuah pohon yang mekar dan tumbuh di titian kerinduan.*


Sumber Gambar: jawapos.com
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors