Ibu, Kaulah Permata Jiwaku




22 Desember banyak orang menyebutnya Hari Ibu. Di jejaring sosial, facebook, twitter, hingga BBM semua pada ramai menuliskan selamat hari ibu. Tapi saya pribadi merasa belum lengkap, jika ucapan itu hanya kutuliskan, melalui media sosial semata.

Lebih berarti dan kiranya sangat bermakna, walau itu tidak mampu juga membayar jasa seorang ibu, jika aku mengisahkannya dalam kalimat hingga pada bait-bait pragraf. Minimal agar suatu waktu, jika aku rindu dengannya, aku dapat membuka kembali catatan-catatan itu.

Ibuku yang bernama Nawa, dia adalah wanita hebat, dapat membesarkan kami dari empat bersaudara, bahkan aku berani menyebutnya; dia akan selalu menjadi intan dan permata yang terus menerangi hidup dan perjuanganku.
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Aku pernah diceritakan oleh Ibuku, dia nikah di usia muda atas kemauan orang tua-nya. Walaupun ia dinikahkan bukan atas kemauannya, tampak ia dapat melakonkan dirinya sebagai istri. Cuma saja ketetapan Tuhan harus ia terima, karena suaminya meninggal saat kami belum bisa mandiri. Dan parahnya lagi, suaminya meninggal dengan cara yang tidak layak, mati dengan cara bunuh diri. Saat itu, ketika jarum jam diputar surut kebelakang, memori kematian ayahku tak pernah terhempas dari benakku. Ia kulihat meneguk racun di rumah-rumah sawah, tempat kami sekeluarga, kadang dikumpulkan jika orang tua kami sedang menggarap sawahnya.

Meskipun orang selalu mengatakan bahwa kematian ayahku, adalah kematian yang tidak dikehendaki, hingga banyak yang menyimpulkan “rohnya” tidak mungkin terterima oleh Allah SWT. Maha puji Allah, dialah yang maha tahu atas semua ketetapan-Nya. Pun doa-doa keselamatan selalu kuhaturkan untuknya, agar kiranya Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.

Terlepas dari kematian ayahku, yang paling merasa terpukul sudah pasti ibuku sendiri. Saat usia kakak saya yang tertua pada waktu itu baru berumur sekitar 7 tahunan. Ibuku yang “terpaksa” harus mengambil lakon seorang ayah pula untuk kami. Ibu saya bukan hanya menjadi ibu rumah tangga, yang mengurusi perlengkapan dapur agar anak-anaknya dapat menikmati makanan seperti anak lainnya. Di luar itu semua, ia pula menjadi seorang petani yang menggarap kebun kami, setelah ayah saya meninggalkannya. Ia tak sungkan mendayung cangkul di atas tanah garapan kami, demi baktinya, kepada semua anaknya

Ibu saya adalah pekerja keras, walau sakit kadang menghampiri dirinya. Ia tidak pernah peduli, ia ingin membuktikan kepada semua orang kalau tuduhan mereka selama ini, dirinya gagal menjadi istri yang baik, dia dituding oleh tetangga saya bahkan sampai keluarga-keluarga saya dari pihak ayahku, menyalahkan ibuku, kalau dialah penyebab kematian ayah saya.

Dalam waktu yang berpuluh tahun, ibu saya walau kadang tidak mampu menahan hinaan, celaan semua orang yang mengenalnya. Kadang air mata bercucuran meleleh di hadapan anak-anaknya, saat menceritakan ada banyak tuduhan yang menghinakan dirinya sebagai istri yang gagal membina rumah tangga. Ia mampu menunjukan kepada dunia, dan menggenggam dunia, kalau hinaan semua itu, adalah pembangkit semangat baginya untuk membesarkan kami berempat.

Ladang perkebunan kami yang terdiri dari tanaman cengkeh, lada, dan kakao akhirnya cukup berhasil untuk membiayai segala kebutuhan keluarga. Ia menyekolahkan anaknya semua hingga tamat di perguruan tinggi. Di saat ada banyak orang yang memiliki orang tua, lengkap ayah dan ibunya, nyatanya mereka tidak sanggup menyekolahkan anaknya seperti kami.

Satu pesan ibuku. Mugkin alasan itu sedikit tidak masuk akal. Alasan dia menyekolahkan anak-anaknya “agar katanya anak yang dilahirkannya itu, tidak mengikuti jejak ayahnya, setiap ada kemarahan lalu memilih jalan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri”.

Bukan berarti aku mensyukuri kematian ayahku, sehingga kadang aku kemudian beralibi, mungkin karena ayah kami cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, sehingga kami semua ditakdirkan untuk mengecap bangku perguruan tinggi. Tapi yang pasti, setiap kisah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk melakoninya, terdapat makna yang harus kita baca sebagai hikmah di atas hikmah, lalu kita bisa bijak membaca tanda-tanda segala kemahakuasaan-Nya.

Andai saja, ayahku hidup sampai sekarang, belum tentu anaknya dapat menjadi orang yang menyandang gelar sarjana. Sebab tradisi kampung kami, seoang ayah selalu merasa selesai menyekolahkan anaknya setelah menamatkan bangku SD, kalaupun sudah selesai SMP itu lebih dari cukup. Apalagi berhasil menamatkan SMA, sudah dianggap sangat sempurna. Dan tak kurang anak-anak di kampung kami, orang tuanya lebih berharap anaknya kelak menjadi petani, agar dapat mewarisi pekerjaan ayahnya, merawat semua tanaman yang selama ini menghidupi mereka.

Ibuku sebagai single parent memang hanya pernah sekolah setingkat SD, itupun tidak tamat, karena dia berhenti di saat ibunya (nenek saya), pada waktu itu katanya sudaah sakit-sakitan. Terpaksa ibu saya walau masih muda, ia berhenti sekolah, ia menggantikan peran mamanya; memasak, pergi ke pasar menjual hasil pertanian, agar ayahnya (kakek saya) ada yang mengurus segala kebutuhan makannya, ketika ia pulang dari bertani.

Keberuntungan tiada taranya, ibuku bisa baca tulis, bahkan bisa membaca ayat Al-Qur’an. Sehingga ia termasuk ibu yang sekaligus menjadi guru membaca aksara Indonesia. Juga mengajarkan kepada anak-anaknya, untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an.

Kendati hanya memiliki kemampuan, mengajari kami untuk membaca dan tidak mungkin lagi menguasai mata pelajaran saat kami di SMP, SMA, apalagi perguruan tinggi. Namun tekadnya selalu kuat dalam doa dan kerjanya, berharap agar kelak anak-anaknya berhasil atas semua mimpi yang dicita-citakannya.

Dia tidak pernah memaksa kami, untuk harus menjadi kaya, memilih jurusan elit di kampus-kampus perguruan tinggi. Semuanya diserahkan kepada anaknya, apa yang kami mampu kerjakan; saya bahagai, kami bahagia, dirinyapun akan ikut bahagia bersama anak-anaknya. Dia memang bukan filsuf, tapi dari kata-kata dan pesan moralnya “bahwa kebaikan dan kebenaran saya kira engkau tahu, maka terserah jalanmu, kau mau memilih yang mana, aku sudah cukup membesarkan dan menyekolahkanmu, ibu sudah bangga.” Ibu kami bisa menjadi filsuf di bilik-bilik keluarga.

Maka hari ibu, bukanlah hari yang cukup untuk merenungi pegorbanan seorang ibu, bahkan semua hari dalam hela napas kita semua, itu tidak cukup untuk menandingi segala kisah dan asa perjuangannya. Air mata dan cucur keringatnya tidaklah mampu terbayar hanya dengan kekuatan materi.

Dari senyum pilu, haru, dan bahagia, yang kelak akan mengantarnya “tenang” ketika dia pun harus dijemput oleh sang kuasa Ilahi. Memang berat kita kehilangannya, karena dia akan selalu hidup bak permata yang bersinar dalam kegelapan; luka dan derita. Jiwanya akan terus membatin dalam setiap derap langkah, kepada anak yang pernah dibesarkannya. Ibu, dosaku amat banyak padamu, maka kuserahkan segala amalku hanya untukmu selalu. Engkau punya hak atas diriku ini. Selamat Hari Ibu.



Tamalanrea, 22 Desember 2014
Sumber Gambar: nizalsyahroni.com


[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors