Memanusiakan Literasi




Di dunia ini banyak penulis, tetapi kurang karena karyanya akan menjadi tenar dalam jagat literasi. Dalam dunia sastra beberapa nama penulis yang cukup populer, diantaranya: Sir Walter Scott (1771-1832 ), Emile Zola, Victor Hugo (1802-1885), Alexander Dumas (1802-1870), Charles Dickens (1812-1870),Leo Tolstoy (1828-1910), Oscar Wilde (1854-1900), Rabindranath Tagore (1861-1941), Rudyard Joseph Kipling (1865-1936), Maxim Gorky (1868-1936), Jack London (1876-1916), Frans Kafka (1883-1924), Ernest Hemingway (1899-1961),John Ernst Steinbeck (1902-1968), Jean Paul Sartre (1905-1980), Albert Camus (1913-1960).

Mungkin nama-nama yang saya sebutkan di atas, masih banyak yang tidak mengenalnya. Maka marilah kita menoleh ke sastrawan kita sendiri, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Disampng kedua sastrawan tersebut pernah berseteru di zamannya, pasti kedua-duanya tak ada yang mengingkari kalau karya-karyanya menjadi abadi, disukai oleh banyak orang, kendati sudah berpuluh-puluh tahun dijemput maut.

Tingkat kedisukaan suatu karya hingga mampu melintasi zamannya, tiada lain disebabkan oleh sang empunya sendiri yang meniupkan jiwa dalam karyanya. Simaklah salah satu karya Pramoedya yang berjudul “Gadis Pantai” satu persatu kalimatnya tersusun rapi menceritakan tentang feodalisme masyarakat Jawa yang dilakukan oleh golongan priyayi pada saat itu. 

Senada dengan itu pula, percikan jiwa Hamka dapat ditelusuri dalam salah satu novelnya “Terusir” yang mengisahkan seorang perempuan diusir oleh suaminya, hidup dalam dunia pelacuran, tetapi cinta pada sang anak membawanya di meja persidangan hingga kematian menjemputnya pula.

Resep Literasi

Kata kuci yang menjadi resep literasi, ciptakanlah sebuah karya ibarat manusia. Memanusiakan literasi. Jika organ tubuh manusia memiliki susunan, organ-organ tubuh, panca indera, sistem pernafasan, sistem pencernaan, semuanya itu tersusun secara sitematis. Maka, demikian halnya dengan karya yang bernama “tulisan” susunlah kalimatnya secara sistematis pula. Sebab kalimat yang tiada terangkai, tidak memiliki hubungan sama sekali,sistemnya mustahil terbentuk.

Sulit, memang perkara sulit, merangkai kalimat dengan kalimat selanjutnya tidak segampang merangkai kata. Tetapi pada intinya jika anda mampu merangkai kalimat tanpa menggunakan lagi kalimat penghubung, pada poin itu sesungguhnya anda telah menapaki tingkatan penulis yang patut disimpan namanya “di hati” pembaca.

Seringkali saya membaca artikel, kalimatnya tak ada keterkaitan dengan kalimat sebelumnya, porak-poranda di sana-sini, bahkan antar pragraf tidak terdapat sinkronisasi. Sehingga terpaksa harus membacanya berulang-ulang. Bagaimana dengan pembaca yang malas mengulang-ulang? Sudah pasti akan menghentikan untuk membaca karya tersebut, sebab sang empunya karya tidak pernah memahami kemauan dan rasa sang pembaca. Jangan marah jika pada akhirnya, karya semacam itu akan dilempar ke tong sampah. Itu, karena anda sendiri sebagai penulis terlalu egois dengan bahasa (yang mungkin) terasa bombastis, tetapi apa guna kalau pembaca tiada memahaminya.

Soal menarik dan bagusnya suatu karya cipta bukanlah ditentukan oleh gelar sarjana, magister, doktor, bahkan professor. Mau tidak mau, bagi penulis yang sudah terkenal akan membeberkan resep literasi, bahwa yang namanya menulis butuh kerja keras ekstra, latihan, dan ketelatenan. Salah besar, jika media tertentu hanya mengutamakan memuat sebuah karya di hariannya dengan gelarnya semata, tanpa memperhatikan substansi tulisannya yang bisa dipahami oleh pembaca.

Paling penting di atas semua itu, selain kalimatnya terangkai secara sitematis, maka manusiakanlah literasi dengan memberilnya nyawa dan jiwa. Bernyawa dan berjiwanya sebuah tulisan merupakan satu kesatuan dengan kalimatnya yang saling berangkai. Jadikanlah tulisan anda mengalir ibarat air yang jernih, deras mengalir, semakin deras alirannya maka semakin larutlah pembaca dalam tulisan itu.

Kerap kali diksi (pilihan kata) sangat mempengaruhi nyawa dan jiwa sebuah literasi, asal saja dengan kalimat yang muda dipahami. Akan tetapi nyawa dan jiwa sebuah karya, klimaksnya amat ditentukan oleh “makna” ataukah “pesan” yang akan disampaikan oleh penulisnya. Yang demikianlah menjadi penyebabnya, seseorang akan merasa bermanfaat membaca karya tersebut, sebab hati dan pikirannya meruah, seolah-olah sang penulis sedang berbicara, hadir di depannya.

Dunia fiksi adalah dunia emosi, pembaca kerap dibuat marah, sedih, bahkan tak sadarkan diri ia akan menitikan air mata. Di situlah hebatnya sang penulis mengaduk-aduk hati pembacanya.

Literasi Opini

Bagaimana dengan artikel yang bukan berlatar fiksi, seperti artikel biasa lainnya, khususnya opini? Apakah dibalik itu juga memerlukan resep literasi? Ya… itu sudah pasti.

Bahkan dalam beberapa opini yang sering ditulis oleh penulis kawakan seperti Yudi Latif, Hamid Awaluddin, Reza Indragiri Amriel. Tulisan mereka sering menggunakan bahasa sastra, tetapi masing-masing tema perihal “ negara, hukum, dan psikologi” yang disampaikannya tidak menjadi hilang.

Di saat yang sama, memang ada pula yang memilih untuk menulis opini dengan bahasa datar-datar saja, tidak ada kata yang satir dan sarkastis. Namun bahasa dan kalimatnya runut, jiwa dan nyawa tulisannya pula tergambarkan melalui hasil olah pikirnya akan solusi dari masalah yang sedangmeresahkan dirinya.

Pada akhirnya dunia literasi adalah dunia kekayaan alam raya dengan segala isinya. Mereka yang hobinya mengumpulkan berita, lebih cocok jadi wartawan, bukan penulis opini. Penulis opini, namanya saja opini maka sebuah tunutan kepadanya untuk mengemukakan pendapat dan usul pribadi yang belum lazim diketahui oleh banyak orang.

Kita bisa berkaca pada karya cipta lainnya dalam memahami betapa pentingnya “nyawa dan jiwa” dari karya itu sendiri. Ebit G. Ade adalah seorang penyanyi dengan karya tak pernah dilapuk oleh zaman, karena lagu yang diciptakannya penuh makna, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga para pendengarnya. Silahkan putar sendiri lagunya yang berjudul “Camelia.” Ataukah kita juga bisa belajar dari kegigihan Leonardo Da Vinci melalui karya lukisannya “Mona Lisa” yang dikerjakan selama bertahun-tahun, dan hingga kini lukisan bergambar manusia itu masih simpang siur, entah berjenis kelamin apa. Jika lagu dan karya menjadi tenar, maka demikian halnya dengan “tulisan” di saat penciptanya mampu meniupkan nyawa dan jiwa ke dalam karyanya itu. 

Pilihannya, mau menjadi penulis dengan motif ketenaran, tetapi mengabaikan resep literasi, sebaiknya memikirkan dulu untuk terjun dalam profesi ini. Hanyalah pada jiwa yang resah, sedang terasuki gelisah, akan merasakan betapa bahagianya dengan menuliskan apa yang ada di hati, jiwa dan benaknya.*


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Penulis dalam Kumpulan cerpen “Menetak Sunyi"

Artikel ini Juga muat di harian Tribun Timur, 14 Oktober 2015
Sumber: makassar.tribunnews.com 






[Read More...]


Nursal NS, Selamat Berbahagia Kawanku



10 sd. 11 Oktober 2016, karibku Muh. Nursal NS, hari, tanggal, bulan, dan tahun itu merupakan peristiwa penting bagimu. Jangan pernah kita “menghakimi” waktu, karena sesungguhnya pada waktulah kita banyak belajar tentang diri kita.

Seringkali saya mengatakan, bahwa salah satu yang sering dilupakan oleh manusia, adalah perkara “jodoh.” Soal kelahiran dan kematian janganlah ditanya, semua orang tahu pastinya kalau demikian sudah menjadi “sunnatullah.” Dengan melihatmu kawanku bersanding dengan wanita pilihanmu, semakin saya percaya jikalau yang namanya “jodoh” pun adalah kekuasaan Tuhan yang tiada dapat dielakkan.

Sekalipun hari bisa menjadi gelap, pastilah ia akan disiangi dengan cahaya mentari. Dan sekalipun langit merintihkan “hujannya” pada akhirnya juga akan redah pada waktunya.

Pada alam kita dapat belajar segala kemahaagungan-Nya. Diriku yang terlalu banyak “tidak tahunya” bahkan banyak belajar darimu. Engkaulah yang pernah menerangkan kepadaku jalan seorang “yuris” sehingga ia kemudian layak dikatakan sebagai yuris. Untuk konteks ini, sulit kututupi masih banyak hal yang harus kupelajari dirimu. Suatu waktu masih akan meminta waktumu, walau tidak sebanyak dahulu lagi, terangkanlah kepadaku jika ada soal dan perkara yang dalam nalarmu berbeda dengan pendapat dan pengamatanku.

Saya termasuk “kawan” yang paling inklusif, untuk perkara “pernikahan” sayalah (mungkin) pantas untuk dikatakan “egois” dan tidak pernah memerhatikannya sebagai “kebahagiaan” yang harus dirajut bersama. Hanya dan baru kali ini, seorang kawan yang baru kenal akrab setelah saya dan dirimu sarjana, betapa pentingnya bagi diriku untuk hadir di pesta pernikahanmu. Sebab mengapa? Saya sangat dan betapa percayanya pada yang namanya kekuatan doa, lamat-lamat doa yang selalu diutarakan kepada-Nya, yakin dan percaya pastilah ia akan menjawab-Nya.

Untukmu teman yang maaf jika saya harus mengatakan kalau dirimu terkadang “keras kepala,” egois, dengan pendapatmu sendiri yang tidak mau dianggap “salah.” Saya selalu “memakluminya” sebab dalam “sendiriku,” selalu dan selalu merenungkan kembali kata-katamu yang cukup dibalut dengan ‘argumentasi” logis, kerap memang harus demikian adanya.

Jika dirimu dalam keadaan “marah” pun saya tahu rumus pamungkasnya, engkau tak perlu dilawan, cukup dengan nada diam, beberapa saat setelah itu, engkau akan menyesalinya jika perbuatan dan tutur demikian memang tidaklah pantas. Berdosa dan kualat mungkin diriku, jika saya harus mengatakan kalau hal yang seperti ini haruslah dipelajari dan dipahami oleh istrimu.

Bukan teman, bukan sahabat, jika diantaranya tidak pernah berselisih paham, lalu setelah itu kembali menjadi akrab, tanpa menyimpan lagi rasa dendam di hatinya. Janganlah pernah menuntut maaf dari orang yang pernah membuatmu kesal, tetapi “maafkanlah” saja, sebab potensi teragung yang dimiliki oleh manusia, adalah merenungi kembali apa yang pernah diperbuatnya.

Sebagaimana lazimnya, ketika orang pada ramai mengucapkan selamat dan dendangan doa kepada dua insan yang dipertemukan dalam kasih dan sayangnya, maka terimalah jua ucapan dan doaku, berbahagialah dirimu selamanya, walau rasa-rasanya kata-kata ini sangat dan teramat miskin pada kenyataannya.

Sudah engkau tunjukan, bahwa “pernikahan” itu hanya butuh kesungguhan dan kemauan, bukan soal “finansial.” Akh..engkau terlalu berani kawan, tetapi apapun itu, saya harus percaya sebab di depan mataku sendiri, engkau mampu membuktikannya. Maka dari itu, jika memang saya harus melewati fase demikian, silahkanlah menyelipkan hasratku pula dalam setiap doamu. Sebab pada kekuatan doa-lah yang tidak akan pernah memisahkan diantara kita semua, yang kerap dimaknai waktu dan tempat selalu membatasinya.

Berlebihan anganku, kalaulah kebersamaan akan dipertemukan pada waktunya dalam “turunan” anak manusia yang jauh lebih dari kita pada hari-hari kemarin, saling adu “ilmu” dan pengetahuan, tentunya mereka itu jangan sampai melupakan “kuasa” di atas “kusa-Nya.”

Mengguruimu soal istri yang harus banyak belajar “agama Islam,” keluarga yang selalu berikrar “syukur” kepada-Nya, itu sangat berlebihan jika saya yang menyampaikannya. Engkaulah yang lebih banyak makan garam dan matang untuk soal demikian, lebih-lebih lagi engkau sudah menjalaninya, sementara diriku ini masih dalam batas rencana.

Kawanku...! pada hari-hari selanjutnya bukan lagi saya yang akan mengingatkan dirimu, mengurus makan siang dan malammu, sebab di sana sudah ada yang lebih berkapasitas untuk mengurusinya. Namun sewaktu-waktu jika engkau merasa kangen dengan “masakanku” yang ala kadarnya, datanglah sekali-kali berkunjung bersama dengan istrimu. Tak ada salahnya manusia mengingat “kenangannya” asal itu kebaikan dan menjalin silaturahmi toh akan bernilai “ibadah” di sisi-Nya. 

Tak perlulah engkau mendengarkan mereka, soal “suami-istri” harus begini, harus begitu, termasuk sayapun ada-ada saja perkataan yang tidak pantas soal itu. Jalani saja, asal engkau selalu mengedepankan agama Islam di pundakmu, maka ridho dan syafaat-Nya pastilah akan melimpahkan kurnia untukmu, terus-menerus.

Ada-ada saja “peristiwa” keluarga yang menjadi gonjang-ganjing di luar sana. Tetapi satu yang dapat kupelajari darimu kawan, janganlah sampai pertengkaran itu diketahui oleh orang-orang di luar sana. Untuk konteks ini, saya harus mengatakan sungguh memang benar dan lebih pantas jika harus dirahasiakan.

Tiada kebahagiaan, kalaulah tidak pernah dilanda kesedihan, dan tiada manfaatnya manusia dikaruniai kelebihan kalau tiada mampu belajar dari masa lalunya. Jangan pernah menghakimi masa lalu, sebab dengan masa lalu seorang akan menjadi pembelajar yang baik guna menyingkap segala tirai kemanfaatan yang dilimpahkan Allah yang maha kuasa.

Katanya, jika berselisih paham dengan pasanganmu, janganlah lelaki mengadu kepada wanita lain, demikian juga sebaliknya, janganlah wanita mengadu kepada lelaki lain. Kumandangkanlah adzan dan tunaikanlah shalat berjamaah bersamanya, mengadulah kepada Allah. Setelah itu silahkan bersitatap dengannya, di sana engkau akan menemui damai, cinta, dan kasih-sayang yang telah dianugerahkan kepadamu.

Semoga Allah menganugerahi anak dan cucu yang berpegang di tali agama, “Islam.” Perjuangan ini adalah perjuangan menegakkan kalimat “tidak ada Tuhan selain Allah.” Allah SWT, Tuhan penjaga semesta dan pemberi jalan yang akan menerangi hamba yang selalu memuji-Nya. 

Kawanku, Muhammad Nursal NS, maaf aku masih terbiasa menuliskan nama NS di belakang namamu, nama kedua orang tuamu, saya bangga dengan huruf itu (NS) sebab tanpa dia kita tidak akan pernah besar seperti ini. Hargai dia selalu, doakan dia selalu, penerangan jalan itu sungguh sangat berpengaruh berkat jasa dan segala amal baktinya, yang tiada pernah menagih balas budi.

Maafkan saya, jika anak yang junior ini terlalu banyak memberi nasihat. Pandanglah nasihatku sebagai doa. Saya harap engkau pula akan selalu berkenan menasihatiku ke jalan yang benar, doamu kuharap selalu menyertai juga niat baikku. 

Berbahagilah selalu kawanku, saudaraku.


Pinrang ---- Makassar, 12 Oktober 2016







[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors