Politik Bukan Matematika (Menyusuri Rekam Pemikiran Rahmad Arsyad Melalui “Perang Kota Makassar”)



Sumber Image: mangnguki.wordpress.com
Membincangkan Parpol sebagai salah satu suprastruktur politik yang memiliki “sumbangsi” besar dalam “bergeraknya” sebuah Negara atau daerah merupakan hal yang menjenuhkan, rumit dan kadang prediksi dengan telaah teori politik tidak tepat sasaran. Namun itulah politik yang dapat di-matematika-kan tetapi juga bukan matematika. Ada alat ukur yang digunakan oleh riset politik dengan menggunakan alat hitung matematika, namun faktanya tidak selalu tepat seperti hasil perhitungan matang sebelumnya.

Inilah deskripsi awal yang harus menjadi pegangan bagi pembaca ketika hendak masuk menelusuri jejak pemikiran dan pengalaman Rahmad Arsyad dalam bukunya yang berjudul “Perang Kota, Studi Politik Lokal dan Kontestasi Elit Boneka, Jurnal Studi Politik Lokal Pemilihan Walikota Makassar 2013”. Sedianya buku tersebut akan terbit pada pertengahan bulan Maret ini (2014). Tapi saya mendapat kehormatan dari beliau membaca naskah bukunya. Sehingga, kiranya saya perlu mengungkap beberapa bagian penting untuk diketahui oleh pembaca nantinya. Terutama yang menaruh minat pada studi partai politik.

Karya Rahmad Arsyad secera garis besar menggambarkan lika-liku sepuluh kandidat yang bertarung dalam perhelatan pemilihan sepuluh wali kota Makassar kemarin. Kesepuluh kandidat tersebut yang datang dari berbagi warna yaitu: Supomo Guntur-Kadir Halid, Danny Pomanto-Syamsu Rizal, Tamsil Linrung-Das’ad Latief, Adil Patu-Isradi Zainal, Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah, Rusdin Abdullah-Idris Patarai, St. Muhyina Muin-Syaiful Saleh, Erwin Kallo-Hasbi Ali, Herman Handoko-Latif Bafadhal, Apiaty Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh.

Kejutan
Jangankan meramal siapa pemenang hasil pemilu nantinya, meramal siapa-siapa kandidat yang akan berlaga juga bukan perkara gampang. Hal ini terlihat dari Bab Pertama buku tersebut. Detik-detik terakhir masih saja ada yang melakukan lompatan untuk terdaftar sebagai kandidat wali kota. Lihatlah misalnya nama Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah dan Apiaty Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh yang datang dimenit-menit akhir, menjelang pendaftaran kontestan pemilihan wali kota yang hendak ditutup oleh KPUD. Terminologi “detik-detik” akhir juga berlaku dalam setiap pemilihan apapun (baik pemilihan nasional maupun lokal), siapa yang mampu memanfaatkan menit-menit akhir boleh jadi akan menangguk keuntungan atau insentif lebih, sehingga terpilih nantinya. Yang dalam bahasa Rahmad, memaknai menit-menit akhir ini “kejutan sepuluh pasangan calon wali kota”.

Terlepas dari itu semua rekam jejak perhelatan akbar kemarin dari kesempurnaan angka (10) jumlah calon wali kota Makassar. Patut menjadi pelajaran, kalau sejatinya partai politik masih gagal menjalankan fungsi agregasinya. Hasil survei yang dilakukan oleh IDEC (lembaga survei yang didirikan juga oleh Rahmad Arsyad), ketertarikan pemilih terhadap semua kandidat wali kota bukan karena partai pengusungnya, tetapi karena visi dan misi sang kandidat, kemampuan kandidat, ditambah satu lagi poin (oleh Rahmad) yaitu siapa dibelakang kandidat itu yang disebut “elit”. atau dalam bahasa “menarik” seperti yang dibahasakan oleh penulis buku tersebut adalah “kerah putih”. 

Kehadiran elit politik yang bermain dibelakang tiga kandidat (Irman, Dany Pomanto, dan Supomo Guntur) sebagai “Tri Masketer” sejatinya juga menunjukan lemahnya sistem kaderisasi partai politik, karena tiga pasangan yang cukup mendapat simpati publik toh masih bergantung pada sosok “figur” Makassar, masing-masing tiga kandidat itu diback up oleh Syahrul Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Nurdin Halid. Cuma saja dengan melajunya Dani Pomanto hingga terpilih sebagai pemenang, Ilham tergolong cerdik menyolidkan kekuatan internal partai. Berbeda halnya dengan kandidat Irman Yasin Limpo sebagai adik kandung Syahrul dan Kadir Halid juga saudara kandung Nurdin Halid justru terpolarisasi dalam konfilik internal yang tak berkesudahan, hingga menjelang hari “H” pemilukada. Kesimpulan yang terbangun dari catatan tersebut, nampaknya Ilham Arif Sirajuddin mampu meredam konflik internal Partai Demokrat. Hal yang berbeda situasinya, terjadi pada Syahrul Yasin Limpo sebagai ketua DPP Golkar Sul-sel dan Nurdin Halid sebagai ketua Team pemenangan Golkar tidak pernah sehati, untuk lebih mengedepankan nasib partai ke depannya. Ini catatan tersendiri buat partai Golkar, di daerah saja tidak mampu menyolidkan kadernya, bagaimana nanti dapat menjadi pemenang dalam pemilihan legislatif untuk menembus angka parliamentary threshold.

Satu hal yang patut dikritik dalam buku ini, yaitu pada Bab IV. Saya mencurigai penulis takut mengatakan kalau pada intinya sekelumit persoalan Makassar, mulai dari persoalan sampah, kemacetan jalan, hingga munculnya pemukiman kumuh. Kalau pada intinya tak satupun dari sepuluh kandidat yang pernah terlibat mengatasi tiga persoalan mendasar yang menjadi perhatian warga Makassar. Lalu kenapa mereka semua sangat percaya diri amat, mendaftar sebagai calon wali kota Makassar. Namun itulah bahasa politik, yang disampaikan secara santun kalau sipenulis berharap agar wali kota yang terpilih nantinya agar muncul sosok Inaki Azkuna. Sosok Walikota Balibo yang mampu mengubah citra kota yang lekat dengan industri, polusi, kemacetan dan banjir, menuju kota yang ramah dan berbudaya.

Selain beberapa kekurangan sepuluh calon wali kota yang hadir di buku ini, juga terekam banyak nilai plus kontestasi pemilihan wali kota kemarin. Pilwakot Makassar boleh dikatakan pemilihan dengan jumlah kandidat paling terbanyak di Indonesia, menunjukan kalau di republik ini, sebenarnya kita tidak pernah kekuarangan stock kepemimpinan, yang seharusnya mereka menjadi didikan partai politik, agar setiap kontestasi demokrasi akan banyak muncul calon-calon yang kredibel, akseptabel dan berintegritas. 

Masih dengan bahasa yang sama pada Bab VII “kejutan”, ternyata calon wali kota yang datang dari calon perempuan tidak boleh di pandang sebelah mata. Walaupun kandidat nomor urut 7; Muhyina Muin dikatakan tidak terpilih. Tetapi suara yang mencapai 56.607 (9,67%), menunjukan kalau ruang calon perempuan di hati pemilih cukup terterima. Lagi-lagi, kota Makassar sebagai kota yang digadang-gadang menjadi kota dunia, alasan jenis kelamin tidak menjadi persoalan bagi pemilih untuk menentukan pilihan, yang penting siapa yang dianggap memiliki kemampuan mengelola Makassar dan mampu menyejahterakan warganya, silahkan berlaga dalam kontestasi, karena pemilih bisa mengukur siapa sesungguhnya paling capabel.

Bukan Matematika
Karena politik bukan matematika, terakhir yang dingatkan oleh penulis (baca: Rahmad Arsyad) pada Bab XI, bahwa sesungguhnya kita harus menegakkan demokrasi yang sehat, tidak menggunakan praktik “kotor” dalam berpolitik. Dalam mendaulat rakyat sebagai entitas demokrasi, masih tersimpan sekelumit kejanggalan, seperti dinasti politik. Bukan hanya dinasti yang terbentuk kerana kekerabatan (hubungan keluarga), tetapi juga bisa karena pertemanan antara elit kera putih. Inilah pentingnya riset melalui lembaga survei karena dalam kalkulasi data oleh peneliti melalui alat hitung itulah, akan tergambar beberapa indikator yang dapat mencederai bangunan demokrasi. Maka dalam pertarungan pemilu 2014 manti, terutama pemilihan presiden. Rahmad menganjurkan, sedianya pembatasan dinasti politik juga diterapkan melalui perekrutan anggota partai politik.

Terakhir, setelah membaca dan membuka satu persatu halaman karya Rahmad Arsyad, saya mencari “korupsi” sebagai salah satu indikator bagi pemilih dalam menentukan pilihan terhadap sepuluh kandidat wali kota Makassar kemarin. Saya tidak menemukan hasil olahan data itu, mungkin penulis lupa, atau memang tidak memiliki data yang valid untuk itu. Padahal kalau mau dibuka satu persatu rekam jejak dintara calon wali kota itu. Banyak dintara mereka yang tersandung kasus korupsi. Ada korupsi Bansos, triple C, PDAM, Banggar dan lain-lain. Saya kira ini penting untuk dibuka oleh IDEC ke depannya, karena kita pasti menginginkan pemerintahan yang bersih dan dapat sejajar dengan bangsa maju lainnya. (*)
[Read More...]


Manusia Malaikat yang Melawan Adikodratinya (Refleksi Dibalik Kematian Ade Sara Suroto)



Sumber Image: megapolitan.kompas.com
(Artikel Ini Juga dimuat di Gorontalo Post Edisi Jumat, 28 Maret 2014) Engkau tidak menjadikan agamamu sebagai sarana kebencian terhadap pelaku pembunuh anakmu yang berlainan agama. Bahkan dengan ketulusan, engkau berani memaafkan agar kelak si Hafidt menjadi orang baik


Seringkali kita menyaksikan di layar kaca, dalam sebuah ruang sidang terbuka untuk umum yang mengadili perkara pembunuhan. Keluarga korban akan berontak menjadi-jadi, tidak memedulikan sakralnya ruang pengadilan. Ingin memukul pelaku pembunuh dari keluarganya. Aparat kepolisian bahkan kadang dikerahkan untuk melindungi si terdakwa.

Berita di awal bulan ini (7-10 Maret 014) ada sesuatu yang berbeda dari fakta yang terjadi dalam kasus kebanyakan. Kasus ini bermula dari pembunuhan terhadap Ade Sara yang pada akhirnya terkuak, bahwa ternyata pembunuhnya adalah mantan kekasihnya sendiri yang bernama Hafidt (19 tahun) dan Assyifa Ramdhani (19 tahun; kekasih baru Hafidt). Tidak tanggung-tanggung kedua pasangan pembunuh itu melakukan perbuatannya begitu bengis, Sara di sekap mulutnya dengan potongan Koran hingga tak bisa bernafas, disetrum listrik, kemudian jasadnya dibuang di pinggir Tol Bintara Kota Bekasi

Ironisnya, pembunuhan keji tersebut justru mendapat kata maaf dan pengampunan dari orang tua sara yang bernama Suroto (Ayah Sara) dan Elisabeth (Ibu sara).

Di atas pemakaman yang masih basah kemudian terucap suara lirih sang Ibunda, dalam linang air mata ia kemudian bertutur kata terakhir di atas pemakaman anak semata wayangnya; “Yang tenang ya Nak, di sana. Ibu pasti maafin tersangka Hafitd sama Sifa. Kamu yang tenang di sana, Nak. Ibu yakin pasti kamu akan ada di surga,”

Manusia Malaikat
Sekarang, muncul pertanyaan di benak kita melihat peristiwa ini. Apakah kedua orang tua Sarah tidak memliki secuilpun rasa sedih, kecewa, apalagi dendam terhadap pelaku pembunuh anaknya? Mengapa dengan begitu gampangnnya terucap fasih dari bibir kata “maaf” dan “pengampunan” terhadap orang yang begitu keji dari satu-satunya anak yang bisa melanjutkan generasinya, serta merawatnya di kemudian hari? Tapi yang pasti, itulah jalan yang dipilih Suroto bersama istrinya. Jalan diluar kelaziman. Jalan hidup dengan kebatinan dilandasi iman.

Disaat negeri ini tertatih-tatih mencari manusia yang tidak pendendam. Tuhan memunculkan sosok manusia sekelas Suroto dan Elisabeth. Kalau pada intinya “dendam” bukanlah jalan penyelesaian untuk merajut asa dan cinta sesama ummat manusia. Dengan mengampuni orang yang menimbulkan duka, derita dan kesedihan mendalam, terhadap seorang yang tegah berbuat jahat kepada kita. Maka pada titik itulah ditemukan kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang sudah diakui, melampau makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Suroto dan Elisabeth telah membuktikannya, kalau manusia bukan hanya dilengkapi kesempurnaan dengan akal semata, tetapi lebih dari itu manusia memiliki pula jiwa, yang mampu menerobos hingga meruntuhkan dinding-diinding kebencian dalam sikap dan pergaulan hidup.

Suatu waktu saya pernah mendengar ceramah dari khatib Jum’at. Konon katanya malaikatpun pernah diuji oleh Tuhan untuk memerankan posisi manusia di muka bumi, namun malaikat ternyata tak sanggup mengambil lakon tersebut. Akhirnya kembali ia memilih menjadi malaikat. Dalam konteks ini, tidaklah berlebihan rasanya jika kita menobatkan Suroto dan Elisabeth mengganti posisinya sebagai manusia yang berposisi “malaikat”. Tanpa harus menanggalkan “nafsu ammarah-nya” seperti yang terjada pada diri Malaikat an sich.

Kedua orang tua Sara sudah berhasil berperan sebagai malaikat, seolah-olah tidak lagi dikendalikan oleh nafsu kuasa dan rasa dendam. Bahwa di atas langit masih ada langit, ia berhasil menyatukan diri dalam sifat-sifat keagungan Tuhan, Tuhan yang maha pengampun (ghaffur), maha menutupi segala kekurangan-kekurangan hamba-Nya. Soroto dan Elisabeth pun tidak lepas dari itu. Ia rela anaknya sembari membiarkan tenang di alam baqa tanpa menanam kebencian untuk Hafidt dan Syifa. Bahkan ia berharap Hafidt mau menjadi anaknya dan tetap memanggilnya sebagai Mama. Kata Elisabeth; Hafidt kebetulan sedang dikuasai oleh sifat jahatnya, namun suatu waktu dia pasti akan menjadi anak yang baik hati.

Adikodrati Manusia

Secara adikodrati, manusia memang sudah merupakan “sunnatulloh” memiliki banyak kelemahan. Karena kelemahannya itulah Tuhan tidak pernah menutup pintu taubat bagi hamba-Nya. Dan jika ada segelintir manusia hendak mengoreksi pintu kebaikan dan keburukan sesamanya, maka bukan hal mustahil akan mengikuti sifat-sifat Tuhan yang maha pengampun. Tuhan saja yang begitu digdaya dan punya kuasa, sekali ingin berkehendak, kun fayakuun, pasti jadilah apa yang diinginkan-Nya, tapi lagi-lagi Tuhan sama sekali tidak pernah menunjukan kekejaman terhadap Hamba-Nya. Baik yang menyembah, yang selalu bersimpuh memujinya, maupun yang “tidak peduli” dengan kemahakuasaan-Nya semua diberi nikmat dan berkah dari-Nya.

Lantas bagaimana dengan manusia, sebagai ciptaan-Nya yang dimuliakan? Terlalu naïf bagi manusia jika tetap bertahan pada ego dan nalurinya. Manusia selalu tidak punya daya ketika harus menantang hidup dalam kesendirian. Di titik-titik tertentu tidak sama sekali memiliki kekuatan yang maha super dahsyat. Jadi mahfumlah kalau setiap kali melihat dibalik kelemahan sesamanya, ada yang berani melawan adikodratinya, melawan rasa benci dan dendam. Karena di sanalah kemuliaan akan terus terpelihara.

Walaupun keluarga Sara adalah sebagai penganut Kristiani. Tidaklah sikap kedua orang tuanya menjadi hikmah buat sesama pemeluknya saja. Lebih dari itu, rasa cinta dan kasih yang dilakonkan olehnya, telah menembus dinding dan sekat dari semua agama yang selalu memberi jalan terang untuk kebenaran dan kebaikan.

Sikap kedua orang tua sara tidak hanya menjadi lambang Yesus kristus yang menebarkan kasih sebagai kewajiban. Tak pelak, kaum Muslim-pun mengakui sikap tersebut sebagai satu hal patut menjadi teladan bagi siapa saja (saya, kita, anda, semuanya). Dalam sejarah Nabiullah Muhammad SAW yang ditulis oleh Muhammad Husain Haiqal pernah dinukilkan; “suatu waktu ketika Rasulullah pulang dari medan perang, atas peperangan itu Pamannya yang bernama Hamzah tewas dengan cara keji, dibunuh oleh suruhan Hindun Binti Utbah, lalu Hindun juga terlibat melakukan cara yang tidak manusiawi terhadap jasad Hamzah, dikoyuk jasad, tubuh paman sang nabi, kemudian jantungnya dikunyah oleh Hindun. Melihat kejadian itu, Nabiullah Muhammad berucap kepada para sahabat; akan kubalas kekejeman kematian pamanku lebih dari kekejaman kaum quraisyh. Sesaat kemudian, setelah Rasulullah bertutur demikian turunlah teguran dari Tuhan : bahwa darah dibayar dengan darah, tangan dengan tangan, gigi dengan gigi, tetapi sesungguhnya memaafkan itu lebih baik dan sungguh perbuatan mulia. Singkat cerita bahkan pada masanya, ternyata Hindun yang pernah menjadi pelaku keji dalam pembunuhan paman sang nabi, malah dijadikan istri sang Nabi.” Sungguh luar biasa.

Maka di tengah krisis keimanan kita saat ini, krisis kemanusiaan yang melanda kita semua, yang terlalu banyak menyebar aib dan kesalahan lawan. Apalagi para elit politik yang sedang bertarung dalam meraih singgasan kekuasaan di tahun ini. Jalan sepi dan sikap mengalah yang diperankan oleh keluarga sara seyogiayanya selalu dimunculkan ke permukaan agar menjadi pelajaran buat kita semua. Selamat jalan Sara, orang tuamu benar-benar mulia, semoga engkau tenang dalam pembaringanmu, mestinya engkau bangga dengan kedua orang tuamu.

Terima Kasih kepada Suroto dan Elisabet, kepadamu pula kita semua belajar bahwa sebuah sikap mengalah adalah awal untuk meraih kemenangan abadi. Engkau tidak menjadikan agamamu sebagai sarana kebencian terhadap pelaku pembunuh anakmu yang berlainan agama. Bahkan dengan ketulusan, engkau berani memaafkan agar kelak si Hafidt menjadi orang baik.

Kematian Sara pantas bagi kita semua untuk mengenangnya dan menaruh duka untuknya, mendoakannya. Suara lonceng gereja dan kumandang adzan akan bersenandung merdu selalu. Manusia-manusia “malaikat” karena melawan adikodratinya juga akan memberi kecerahan iman kepada kita semua untuk berlomba-lomba merebut peluang surgawi. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)





Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO komisariat Hukum Unhas










[Read More...]


Revisi KUHP dan KUHAP Perlu Harmonisasi



DPR dan Pemerintah tetap bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sikap ini disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Amir Syamsuddin. Ia mengatakan Pemerintah tidak memiliki niat apapun untuk melemahkan KPK. RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan ketentuan umum (lex generalis) sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Damang Averroes Al-Khawarizmi

Pernyataan Amir Syamsuddin memang ada benarnya, karena dalam perumusan dan pembahasan RUU tidak boleh keluar dari asas pembentukan hukum. Asas hukum merupakan jantungnya norma, yang dari padanya akan lahir ketentuan-ketentuan hukum dalam bentuk pasal-pasal, untuk mencapai tujuan dasar pembentukan undang-undang tersebut. Sederhananya, yang namanya bunyi asas pasti mengalahkan bunyi undang-undang. 

Kalau seperti itu, berarti revisi KUHP dan KUHAP jangan sampai melabrak asas dalam perumusannya, sebab undang-undang tersebut akan menjadi sia-sia. Hingga pada akhirnya, tidak dapat diterapkan terhadap semua elemen yang dituju dari undang-undang itu.

Lex Specialist
Niat baik pemerintah bersama dengan DPR untuk menyelesaikan Revisi KUHP dan KUHAP selayaknya diapresiasi. Namun waktu pembahasannya saja tidaklah tepat. Bahwa perubahan Undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, lalu hanya ingin diselesaikan secara terburu-buru, sejatinya melanggar asas kepantasan dan kepatutan. Waktu yang tersisa bagi anggota DPR sebagai pembahas RUU KUHP dan RUU KUHAP tersebut, jika dihitung-hitung, kini tersisa kurang lebih 100 hari. Apakah dengan waktu yang singkat itu, dalam pembahasan dan pelembagaannya, dapat mengakomodir semua kepentingan? Jawabannya; pasti tidak.

Apalagi pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tersebut juga akan dilakukan kodifikasi dan unifikasi terhadap tindak pidana di luar KUHP, termasuk hukum acara pidana yang tersebar di luar KUHAP juga akan dilakukan penyesuaian. Artinya, semakin memperkuat saja “alibi” bahwa dengan banyaknya undang-undang di luar KUHP, harus menjadi bagian pembahasan oleh DPR pula, waktu 100 hari yang tersisa tidaklah cukup.

Pada intinya, revisi KUHP dan KUHAP terkait dengan masalah pengkodifikasian dari semua tindak pidana di luar KUHP yang termuat dalam UU (Undang-Undang) tersediri. Tidak semuanya UU yang berlaku khusus (lex specialist) dapat dikodifikasi kedalam UU yang berlaku umum (lex generalist). Ada kalanya UU kemudian dinyatakan berlaku khusus, disebabkan oleh tiga hal. Pertama, memang dalam UU yang berlaku umum tersebut tidak ada ketentuan hukumnya, sehingga perlu dibentuk UU yang akan berlaku khusus. Kedua, ada diatur dalam UU yang berlaku umum namun dalam UU itu belumlah lengkap atau tidak sempurna, maka dibentuk UU yang berlaku khusus untuk melengkapinya. Ketiga, karena hukum yang mengalami dinamisasi. Dinamisasi yang dimaksud di sini, adalah tindak pidana tersebut kemudian dianggap sebagai kejahatan yang memiliki dampak luar biasa. Sehingga, meskipun sudah diatur dalam UU yang dinyatakan berlaku umum, tetapi tetap perlu dibentuk undang-undang yang berlaku khusus. 

Untuk poin pertama dan kedua sebagai dasar pembentukan UU khusus di atas, dapat mengalami pengkodifikasian dalam UU yang berlaku umum. Sebagai contoh, tindak pidana pemilu, tindak pidana perikananan, tindak pidana dibidang Hak Kekayaan Intelektual dan lain-lain dimungkinkan masuk dan terintegrasi dalam pasal-pasal KUHP. 

Berbeda halnya untuk poin ketiga, karena dinamisasi hukum, kemudian sebuah tindak pidana dinyatakan memiliki dampak luar biasa. Sifat keberlakuan khususnya tetap penting dan perlu untuk dipertahankan. Di sinilah tindak pidana seperti korupsi, narkotika, dan terorisme mendapat tempat, tetap layak untuk dipertahankan ke-khasannya yang luar biasa. Dengan demikian, jenis pidana, sanksi, dan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutannya dapat berbeda seperti yang diatur dalam undang-undang yang berlaku umum. 

Dari sini pula keberlakuaan asas lex specialist derogate legi generale (ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum) penting untuk dimaknai, sekalipun KUHP dan KUHAP menganjurkan agar undang-undang yang terkait dengan “dirinya” harus menyesuaikan. Tetapi penyesuaiannya harus dalam bentuk “pengecualian”. Taruhlah misalnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Pengadilan Tipikor, kalaupun harus menyesuaikan dengan revisi KUHP dan KUHAP, jika sanksi tindak pidana korupsi dikenal pengembalian kerugian Negara, kemudian KUHP tidak mengaturnya, maka UU Pemberantasan Tindak Pidana korupsi tetap harus mengaturnya, dan tidak perlu mengikut ke pengaturan KUHP. Demikian pula dalam hal kewenangan penyadapan bagi KPK harus mendapatkan izin dari hakim komisaris (sebagaimana diatur dalam revisi KUHAP) sebelum dilakukan penyadapan. UU KPK, juga dapat menentukan lain dari apa yang ditentukan oleh KUHAP, tanpa izin hakim komisaris, KPK dapat melakukan penyadapan terhadap perkara korupsi yang sedang (akan) ditanganinya.

Perlu Harmonisasi
Maka dari itu, sikap “kukuh” Pemerintah bersama DPR untuk tetap menggolkan revisi KUHP dan KUHAP bukanlah perkara gampang, semuda membalikan telapak tangan. Mengapa tidak gampang? Sebab revisi tersebut juga akan melibatkan pembahasan undang-undang lain, yang terkait dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP, termasuk pula ketentuan-ketentuan hukum acara yang tersebar dalam undang-undang yang berlaku khusus.

Cara yang paling tepat, tidak ada jalan lain, memang pembahasan revisi KUHP dan KUHAP saat ini mesti ditunda, dan menunggu fase DPR yang terpilih berikutnya untuk membahas undang-undang tersebut. Agar konsentrasi dan penelahaan semua undang-undang yang hendak dikodifikasi dan melakukan penyesuaian. Semua dapat terakomodir dalam revisinya. 

Terakhir, jangan dilupakan bahwa undang-undang yang berlaku khusus dan memiliki dampak luar biasa, terutama UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK harus menjadi agenda pembahasan DPR nantinya dalam satu program legislasi nasional (Prolegnas). Sehingga revisi KUHP dan KUHAP, akan mengalami harmonisasi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK. 

Jika harmonisasi KUHP dan KUHAP diperhatikan, terhadap segala undang-undang sektoral pemberantasan korupsi. Tidak mungkin KPK “takut” terlucuti kewenangannya, apalagi revisi KUHP dan KUHAP, dicuriga akan membubarkan KPK sebagai lembaga nomor satu pemberantas koruptor kelas kakap di negeri ini. *






Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com









[Read More...]


Bencana Kelud dan Berkah Tahun Politik



ISAK tangis melanda ratusan ribu ummat manusia, di tengah gelimpangan kemewahan harta, satu persatu pelosok tanah air di nusantara ini, secara bergiliran diguncang oleh kemahakuasaan Tuhan. Kalau ada negeri yang belum dilanda bencana, mungkin hanya menunggu giliran. Oleh sebab itu, kita jangan terlalu ogah dan “congkak”, kalau negeri kita di kawasan Timur masih aman-aman saja. Sedangkan negeri lain di Ibu kota Indonesia (Jakarta), Jawa Timur, dan Sumatera Utara porak-poranda atas berbagi peristiwa alam.

Sungguh tak ada satupun ummat di muka bumi ini dapat memprediksi dengan tepat kalau bencana akan datang pada tanggal, hari, dan jam sekian. Kalaupun ada kemampuan tekhnologi dari berbagai ahli geologi, meterorologi dan geofisika, lebih dari cukup masih banyak kekurangannya, untuk membentengi manusia dari “bala” yang sewaktu-waktu akan merenggut nyawanya.

Hingga belum sembuh kantung mata dalam derah luka menyaksikan banjir bandang Manado, juga banjir tahunan Jakarta yang kian parah, kemudian melumpuhkan segala aktifitas pemerintahan di daerah itu. Lagi dan lagi, Indonesia berduka lagi. Tak hanya masyarakat Kabupaten Karo yang menjadi korban “kemarahan” dari paku-paku langit (baca: gunung) yang mengokohkan bumi atas kedigdayaan gunung Sinabung. Secara beruntun, kali ini letusan gunung merapi juga datang dari Timur pulau Jawa, ialah gunung Kelud juga memuntahkan abu vulkaniknya, menjelang seperdua malam (13/02/014). Terlihat halilintar di atas merapi itu, sembari memuntahkan debunya kesegala penjuru, merangsek ke Jawa tengah, bahkan terasa hujan debu vulkaniknya hingga ke Jogyakarta.

Negeri tempat peradaban Islam oleh para Wali itu, akhirnya memaksa penduduk disekitar gunung Kelud harus berlari, menjauh dari ancaman lahar panas, yang telah memercik ke udara setinggi 17 km. Mereka semua pada berduyun-duyun di tengah gelapnya malam, hanya membawa barang seadanya, mengungsi di tempat-tempat aman dari yang telah ditentukan oleh team penanggulangan bencana.

Pemerintah Tanggap


Kali ini pemerintah pusat atas nama Presiden SBY, langsung tanggap. Pada Jum'
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
at pagi (14/2/014) SBY langsung menggelar rapat terbatas mengkoordinasikan penanganan terhadap pengungsi. Presiden memerintahkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif dan Gubernur Jatim Soekarwo untuk memimpin langsung penanganan tanggap darurat. Sepertinya, SBY tidak mau lagi dipersalahakan untuk kedua kalinya, yakni dianggap terkesan lamban bertindak atas warga yang menjadi korban letusan gunung merapi seperti kasus gunung Sinabung.

Cukup sudah kasus gunung Sinabung, dari akun kloning kompasiana yang menamakan dirinya Vita Sinaga mengirim surat instagram di dunia maya kepada isteri Presiden kelahiran Pacitan itu. Kalau ternyata dalam kasus Gunung Sinabung, Ibu Ani dianggap berleha-leha dengan foto; cucu, menantu dan anaknya. Ibu Ani dianggap bersenang-senang di tengah ratusan ribu rakyatnya yang sedang didera luka dan derita karena letusan gunung Sinabung.

Berita di harian Tribun Timur halaman pertama akhir-akhir ini, berkali-kali diberitakan SBY akan melakukan lawatan ke Makassar dan beberapa kabupaten/kota di Sul-sel (Pare-pare, Palopo, Wajo, dan Toraja), akhirnya mengalami penundaan hingga dua kali. Presiden dijadwalkan akan tiba di Makassar Kamis 20 Februari (Tribun Timur, 17/2/014). Tentunya kita harus mahfum, jika kunjungan itu dibatalkan, meskipun sudah dipersiapkan matang oleh pemerintah setempat yang akan menjadi daerah kunjungannya, dan menyambutnya sebagai tamu agung di tanah Bugis-Makassar. Semoga penundaan kunjungan tersebut, benar-benar dimanfaatkan oleh SBY, hanya untuk warga yang telah diungsikan dari dahsatnya ancaman letusan gunung Kelud.

Sangat pantas SBY mendahulukan hal yang prioritas. Derai air mata korban letusan gunung kelud yang berjuang dalam pekat dinginnya malam di area pengungsian, dan hanya berharap satu-satunya uluran tangan guna memenuhi makan pagi, siang dan malam dari warga lainnya (yang tidak menjadi korban bencana) serta pemerintah. Adalah jauh lebih penting, sang Presiden SBY, berbaur bersama korban pengungsian, dibandingkan menghadiri tugas kenegaraan, meresmikan tempat; seperti tempat-tempat bersejarah, gedung pemerintahan, jembatan, jalan dan lain-lain. Kalaupun tugas kenegaraan demikian ditunda pelaksanaannya tidak ada kerugian yang bermuara pada kerugian ragawi dan jiwa, ketimbang pengabaian terhadap korban bencana Kelud.

Aksi sosial SBY untuk mengunjungi warga Kediri yang terkena bencana Kelud, tidak hanya akan menimbulkan simpatik dari rakyatnya, hingga pemberitaan yang membuat namanya kembali menjadi “istimewa”. Namun simpatik dari dunia internasional dipastikan juga akan berdatangan. Dan boleh jadi Perdana Menteri Singapura Lee Hsieen Loong lantaran kontroversi penamaan KRI Lusman-Harun, yang membloknya dari pertemanan di jejaring facebook, akan menyesal. Ternyata sang pemimpin korban sadapan intelegen Australia itu adalah pemimpin yang juga tat kala humanisnya di dunia.

Berkah Politik

Di sisi lain, bencana yang melanda beberapa tanah air, tidak bisa dipungkiri kalau telah tercipta kesedihan dan duka yang mendalam, karena ada saja yang menjadi korban luka, bahkan berujung pada maut. Namun mereka yang masih hidup, masih ingin berbahagia dan terus bertahan hidup. Di sinilah momentum para Calon Legislatif berebut “berkah” di tahun politik dalam rangka mendulang, berbagi, hingga mengucurkan harta dengan bendera partainya kepada korban bencana.

Di tanah yang sedang ditimpa bencana itu, para calon pejabat di negeri ini sedang berebut jatah. Tidak hanya mengais simpatik, tetapi juga berebut “peluang” agar terpilih kembali yang sudah merasakan “manisnya” kekuasaan. Sementara yang baru mencalonkan diri juga berharap “peruntungan” dari aksi soliditas sosialnya. Yang pasti, peluang diantara mereka, hanya waktu dan sejarah demokrasi yang menjawabnya. Kalau toh mereka tulus memberikan santunan terhadap korban bencana, mungkin Tuhan juga akan memberi “mujizat” dan meridhoinya, sehingga benar-benar terpilih nantinya.

Tidak pusing, warga yang sedang dilanda musibah, apakah itu banjir, gempa bumi, letusan merapi, tanah longsor yang menimpanya. Mereka hanya ingin bertahan hidup, siapa yang mengulurkan rezeki untuknya, pasti akan diterima dengan lapang dada. Persoalan bendara partai, mau hitam, putih, merah, biru, bukan urusan mereka. Silahkan bagi siapa saja ingin berbagi rezeki terhadap mereka. Karena memang, sengaja Tuhan membuka “pintu surga” di tempat mereka, yang sedang dihantam bencana Kelud. Dan bagi anggota partai politik tertentu, “berkah politik” juga bisa hadir di sana, sehingga “pintu Senayan” pun akan terbuka lebar untuknya. Itulah kuasa Tuhan. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)


[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors