Tuhan dan Tragedi Kematian Sofyan Hadi



(Artikel Ini Juga Dimuat DiHarian Gorontalo Post , 20 Desember 2013)
Kisah penyelamatan anak mungil oleh Sofyan Hadi seolah memutar ulang sejarah, aksi heroik, jiwa kesatria Ali Bin Abi Thalib yang rela tersayat pedang demi melindungi Nabiullah Muhammad SAW di medan perang. Tak terkecuali ummat nasrani, Kristen, bahwa kerelaan Yesus memanggul dosa ummatnya, melalui cara penyaliban.
 
 
Sumber Gambar:  metro.news.viva.co.id
Ketika semua orang di dunia pada berseloroh, mengenang, berduka, dan bersuka cita atas kepergian tokoh perdamaian Nelson Mandela. Diakhir hayatnya 5 Desember 2013, tiba-tiba selang empat hari dijemputnya tokoh penghapus apartheid itu, di republik ini kemudian kita gagap pula menyaksikan peristiwa naas tabrakan kereta api commuter line jurusan Serpong Jakarta dengan mobil tangki bermuatan bahan bakar premium.

Persitiwa itupun kemudian menimbulkan korban berjatuhan, ada yang luka berat, luka ringan, rawat inap, rawat jalan. Hingga yang paling memilukan, menyayat hati, dan menderai air mata yakni adanya kematian terhadap sejumlah penumpang dan pegawai di dalam kereta api itu.

Satu dan lain hal dari kecelakaan yang menerjang maut dari kecelakaan 9 Desember kemarin. Ada sebuah hikmah patut menjadi catatan, renungan kita bersama, adalah kematian Sofyan Hadi yang berprofesi sebagai tekhnisi kereta bersama rekan sejawatnya Darman Prasetyo (masinis), dan Agus Subroto (asisten masinis).

Tanpa bermaksud mengingkari adapula kesan yang ditinggalkan oleh dua rekan sejawatnya itu, Sofyan Hadilah meninggalkan pesan dan ruang yang penuh makna, tidak kosong untuk kita tafsir bersama. Mari kita simak, beberapa pemberitaan mulai dari media elektronik hingga media cetak mengulas, menceritakan ulang kronologis detik-detik kematian Sofayan Hadi. Saat dilihatnya, di hadapan kereta api itu, sebuah mobil tangki sedang melintas dari kereta yang sedang ditumpanginya. Hanya dalam hitungan detik, waktu yang tersisa, Sofyan Hadi keluar dari kabin Masinis dan memerintahkan penumpang mundur, sambil berpegangan pada tiang atau kursi penumpang.

Di tengah geliat detik-detik kecelakaan demikian, siapa yang tidak takut? siapapun pasti akan menjemput mautnya kalau tidak mencari waktu untuk menyelamatkan diri. Panik, kata yang paling tepat, dipastikan sedang menghinggapi semua penumpang pada waktu itu. Namun Sofyan Hadi bukan pegawai yang pengecut, penghianat, yang sengaja mencari aman. Di lihatnya ada seorang anak menangis mencari-cari ibunya di gerbong depan. Dia langsung membawa anak itu, digendongnya, sampai menggeser anak tersebut ke gerbong belakang. Bahkan sempat bergeser sampai ke gerbong ke tiga demi menyelamatkan anak yang sedikitpun tak dikenalnya.

Ironisnya, Sofyan Hadi masih kembali ke kabin untuk membantu rekan-rekannya memperlambat laju kereta itu. Toh semua atas kuasa Tuhan, sekuat apapun manusia berusaha membentengi diri dari yang namanya maut. Tidak ada yang dapat melawat tabir rahasia Tuhan di alam semesta ini. Tabrakan tak dapat terhindarkan kereta “adu banteng” dengan truk tangki milik pertamina akhirnya ledakan dahsyat terdengar. Penumpang semua pada berlari menyelamatkan diri, berhamburan, berteriak, sampai menyebut nama Tuhan.

Akhirnya Sofyan Hadi bersama dua rekannya, terjebak di tengah kobaran api. Jasadnya ditemukan tim penyelamat, di kabin masinis telah hangus dilalap api. Sungguh memilukan dan mengiris-iris hati, seandainya kita semua, saudara pembaca tat kala hadir melihat kejadian itu.

Tuhan Bersama Sofyan Hadi

Serupa dengan kejadian lainnya, baik yang terjadi dengan diri kita pribadi maupun orang lain. Banyak kali dan berulang-ulang kita mendegarnya, bahwa setiap ada orang yang dijemput oleh yang Maha kuasa. Walau Tuhan lebih mencintai dan menyayanginya, rasa sayang manusia terhadap sesamanya tidak bisa dipungkari. Banyak kisah, pasti akan menjadi sejarah yang berbicara guna mengenang, bernostalgia terhadap orang yang telah meninggalkan kita selamanya. Demikian pula yang terjadi dari tragedy kematian Sofyan Hadi. Seluruh sanak keluarganya bercerita siapa sesungguhnya sosok Sofyan Hadi itu ?

Dideskripsikan dalam suasana berduka, isak tangis yang mendalam oleh ayah tercintanya, mrelalui siaran TV swasta, Ade rukhim mengakui anaknya itu sebagai pribadi yang ulet, rajin, patuh pada orang tua, bahkan dikenal supel, dan muda bergaul dengan semua kalangan. Diketahui pula dari pengakuan keluarga Sofayan Hadi, bahwa cita-cita untuk menjadi masinis kereta api merupakan pekerjaan yang sudah lama di dambakannya, walau belum mejadi masinis hingga maut dini menjemputnya, hanya seorang tekhnisi tapi hidupnya sudah diabadikan sepenuhnya di kereta.

Pertanyaan yang mengganjal, serta menyisakan asa buat kita semua. Apakah Sofyan Hadi lebih mencintai hidup orang lain dari pada dirinya pribadi ? Mengapa dengan begitu mulia menyelematkan hidup seorang anak kecil, padahal dia belum melakoni hidup bak seorang ayah, Sofyan Hadi keburuh meninggal sebelum meminang kekasih yang dicintainya sejak SMP itu.

Namun yang pasti, tanpa ditanya kepada mereka, siapapun itu, tanpa menanyakan identitasnya (ras, agama, suku, bahkan bangsa) semua dipastikan akan menjawab kematian Sofyan Hadi adalah kematian bersama dengan Tuhan. Semua orang pada mendoakannya selamat di akhirat.

Jihad di Kereta
Hemat saya mencermati peristiwa kecelakaan tersebut, atas keterbatasan saya pula sebagai penulis jalanan. Ada sebuah pembeda lakon jihad yang dilakukan oleh Sofyan Hadi dengan klaim jihad oleh para teroris melalui aksi bom bunuh diri.

Sofyan Hadi memang mengorbankan jiwanya tapi bukan untuk membunuh. Tetapi untuk menyelamatkan segelintir umat manusia yaitu penumpang. Inilah jihad di kreta yang penting ditangkap dan ditelaah bersama oleh para mujahidin, bahwa jihad tidak selamanya harus turun di medan perang mempertahankan agama, harta, dan hak milik yang diakuinya. Jihad, yang dimaknai berjuang di jalan Allah bisa dilakukan dimana saja tanpa mengenal ruang dan waktu. Aksi jihad bisa dilakukan di kampus, di jalan, di kantor kerja, di parlemen dan seterusnya, kalau semua itu dilakukan semata-semata dengan niat ikhlas untuk meraih keridhoan Allah SWT.

Tragedi kematian Sofyan Hadi menjadi pelajaran khusus ummat Islam, mengorbankan raga dan nyawa, Tuhan akan mengganjarnya dengan sebuah kemewahan, yang penting itu untuk keselamatan sesama, keselamatan umat manusia tanpa melihat warna kulit, agama dan latar belakang mereka.

Kisah penyelamatan anak mungil oleh Sofyan Hadi seolah memutar ulang sejarah, aksi heroik, jiwa kesatria Ali Bin Abi Thalib yang rela tersayat pedang demi melindungi Nabiullah Muhammad SAW di medan perang. Tak terkecuali ummat nasrani, Kristen, bahwa kerelaan Yesus memanggul dosa ummatnya, melalui cara penyaliban. Serupa pula dengan perilaku yang telah diperankan oleh Sofyan Hadi akhirnya hangus terbakar api demi menyerukan kepada para penumpang agar cepat gegas menyelamatkan diri.

Bulan Desember, banyak orang menyebutnya sebagai Desember kelabu, sebuah judul lagu yang pernah dipopulerkan oleh Maharani Kahar di era 1980-an ada benarnya untuk konteks hari ini, bahkan untuk waktu yang akan datang. Begitu banyak peristiwa yang menyebabkan bulan itu menjadi kelabu. Tetapi kelabu dan berdukanya umat manusia di bulan itu, masih ada ruang yang tersisa bagi kita untuk membaca kuasa dan maha penyayangnya Tuhan atas seluruh ummatnya. Tinggal kita memaksimalkan saja potensi yang telah dikaruniakan oleh Allah, semenjak kita dilahirkan di muka bumi ini. Wallahu wa’lam bissowab. (*)
[Read More...]


Capres dan Quo Vadis Pemberantasan Korupsi (Catatan Hari Anti Korupsi Internasional untuk Indonesia)



kita jangan pula terlena, ternina bobokan dengan gapaian KPK, bahwa hanya lembaga anti super body itulah salah satunya, lembaga yang terbersih di Republik ini. Percaya dan memberi apresiasi sekaligus memberi dorongan terus KPK untuk menelusuri harta kekayaan Negara yang mengaliri kesejumlah petinggi Negara dan elit politik saat ini sah-sah saja. 
Tapi publik perlu tahu bahwa tidak ada “partai KPK”.


Damang Averroes Al-Khawarizmi: Peneliti Republik Institute 
SETIDAKNYA ada dua momentum jatuh bersamaan dengan Hari Anti Korupsi Internasional/ Sedunia (HAKI) yang jatuh pada 9 Desember 2013. Pertama, republik ini masih ramai dengan beberapa kasus korupsi yang menyeret sejumlah pejabat Negara, menteri, anggota DPR, hakim hingga kepala daerah yang diciduk oleh lembaga anti rasuah KPK. Kedua, tenggang waktu menunggu pemilu, tinggal menunggu kurang lebih empat bulan lagi, kita semua menginginkan terpilih pemimpin nantinya mesti bersih dari laku korupsi.

Maka di penghujung tahun politik ini, kasus korupsi yang menimpa sejumlah petinggi Negara (tak kurang juga merangkap sebagai petinggi partai) sebagai arah dan quo vadis pemberantasan korupsi, patut menjadi catatan untuk menentukan, siapa pemimpin yang layak nantinya memimpin republik ini dari lembah nista korupsi, kemudian mengangkatnya kembali menjadi Negara yang berwibawa, terhormat di mata dunia, tanpa ada lagi tendeng aling pejabat egara berniat untuk menilap uang rakyat.

Quo Vadis

Masih segar di ingatan kita semua, saat Presiden terpilih untuk kedua kalinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan lugas berkata akan berdiri di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, namun fakta yang terkuak, pemerintahan dibawah kepemimpinannya kini banyak dirundung kasus korupsi. Mulai dari kasus Bank Century, yang merugikan keuangan negara 6,7 triliun menyeret nama Wapres Boediono, bahkan disinyalir pula oleh beberapa kalangan, uang tersebut juga turut dinikmati SBY dalam meraih tangga kekuasaan untuk kedua kalinya.

Kemudian tersebut pula nama SBY, dalam penggelembungan pajak Negara pasca penangkapan Gayus Tambunan oleh KPK, Partai berlambang Mercy disinyalir lagi-lagi menerima sejumlah keuntungan dari korupsi yang terjadi di bidang perpajakan itu. Dalam perjalanan sejarahnya, mucul pula dugaan keluarga Cikeas bahkan disebut-sebut namanya dalam kasus-kasus korupsi, seperti dalam proyek pengadaan sarana olahraga di bukit Hambalang, dan dalam kasus pengadaan impor daging sapi.

Kondisi demikian semakin diperparah, ketika sudah banyak undang-undang yang sengaja dirancang dan ditetapkan khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi. Namun dalam pelaksanaannya yang melibatkan banyak aparat penegak hukum, kerap kali diimpelementasikan secara tidak adil.

Kasus yang menderah pemerintahan SBY jilid II ini, merupakan quo vadis buram sekaligus rapor merah yang patut untuk dievaluasi oleh publik di penghujung tahun politik ini. Masihkah pantas beberapa elit Negara sekaligus sebagai elit politik yang membawa “bendera partai” di kursi kekuasaannya untuk dinobatkan sebagai penguasa yang kedua kalinya.

Komitmen Capres

Tentunya pemilih yang kritis, cermat, cerdas tidak akan mengulangi lagi kegagalan kedua kalinya, jatuh di jurang yang sama. Seperti salah pilih hanya karena tergoda dengan rayuan kampanye berupa janji-janji semata. Menelanjangi rekam jejak elit politik yang akan menjadi abdi Negara jauh lebih ampuh, dibandingkan terpatok semata pada visi dan misi partai, visi dan misi capres yang akan berlaga di medan tahun pemilu nantinya.

Mengaca pada persoalan di atas, menurut hemat penulis setiap calon presiden, baik yang sudah dinaobatkan oleh partainya maupun yang sudah mengikuti konvensi capres, seyogianya memiliki komitmen yang tegas untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai skala prioritas saat terpilih menjadi presiden.

Ketegasan komitmen itu dapat dilihat pada beberapa catatan; Pertama, adanya niat yang tertuang dengan tegas bahwa agenda dan pencapaian pemberantasan korupsi dalam limitasi waktu tertentu, sehingga kelak publik bisa mengevaluasi apakah agenda itu dijalankan ataukah mandeg di tengah jalan. Langkah ini sudah pernah dilakukan oleh SBY melalui pemerintaham 100 harinya, namun langkah yang dilakukan itu rupanya “jalan ditempat” karena awal pemerintahan SBY-Boediono tersita oleh kasus Century yang sempat menggoyang pemerintahan SBY pada waktu itu, bahkan boleh dikata menyandera pemerintahan SBY-Boediono hingga sekarang. Oleh sebab itu, ke depannya yang layak dan patut untuk dipilih hanyalah pemimpin atau capres yang tidak terindikasi kasus-kasus korupsi. Quo vadis pemberantasan korupsi yang dibidangi oleh kepolisian, kejaksaan, hingga KPK tidak kurang dan tidak lebih, dititik itulah kita mulai mencari pemimpin yang memiliki harapan, bukan hanya pemimpin yang selalu meratap.

Kedua, perlu dirancang konsensus anti korupsi di hadapan publik melalui penandatanganan pakta integritas baik secara hukum maupun politik yang dapat dipertanggungjwabakan kepada publik. Bahkan kalau perlu diikuti dengan sanksi yang tegas ketika pakta integritas itu tidak dijalankan.

Ketiga, mengevaluasi kredibiltas capresnya sendiri, yang mana rekam jejaknya harus bersih dari korupsi---dapat dilakukan melalui transparansi dihadapan publik, melalui kerelaan mengumumkan harta kekayaan yang dimiliki, berapa jumlahnya dan dari mana saja asal-usul harta kekayaan itu, sehingga publik jelas mengetahui track record siapa yang layak untuk dipilih.

Pemilih Cerdas

Tatkala pentingnya pula di hari anti korupsi internasional ini, kita jangan pula terlena, ternina bobokan dengan gapaian KPK, bahwa hanya lembaga anti super body itulah salah satunya, lembaga yang terbersih di Republik ini. Percaya dan memberi apresiasi sekaligus memberi dorongan terus KPK untuk menelusuri harta kekayaan Negara yang mengaliri kesejumlah petinggi Negara dan elit politik saat ini sah-sah saja. Tapi publik perlu tahu bahwa tidak ada “partai KPK”. Yang ada adalah 12 partai akan berlaga di medan laga politik sebagai parpol telah lolos dari “lubang jarum” verifikasi palu godam KPU.

Hanya dari partai politik itulah yang akan menentukan siapa pemimpin yang nantinya akan terpilih. Oleh karena itu partai politik, caleg, dan capres yang saat ini tersandung dengan kasus-kasus korupsi. KPK ibarat guru yang telah membagikan rapor kepada koruptor, praktis dari “rapor merah” itu menjadi penilaian tersendiri untuk tidak lagi memilih pemimpin yang tidak berintegritas.

Kecerdasan pemilih adalah modal utama di tahun 2014 untuk memilih pemimpin yang akan menahkodai Republik ini. Komitmen pemberantasan korupsi tidak hanya lahir dari capresnya saja, tetapi secara timbal balik lahir dari pemilihnya pula. Kalau pemilih tergoda untuk memilih pemimpin karena “amplop” alias money politic saja, tidak ada gunanya hari ini kita memperingati Hari Anti Korupsi, lalu kita nyatanya “membuka keran” pemimpin nantinya akan berbuat hal yang serupa di tahun-tahun sebelumnya, yaitu korupsi dan terus korupsi. Selamat Hari Anti Korupsi. (*)


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi




[Read More...]


Mesin Pembunuh Parpol Bernama Korupsi



Alegori politik menyatakan “tidak ada reformasi partai politik tanpa reformasi sistem keuangan partai politik.” Untuk itu, perlu beberapa langkah strategis yang mesti ditempuh melalui beberapa pembenahan terhadap sistem keuangan tersebut sebagai bentuk reformasi pendanaan partai politik




Jamak diketahui tanpa ditanyapun para elit partai saat ini, mereka semua pasti akan sepakat menjawab, sejatinya korupsi dapat menjadi “mesin pembunuh” secara perlahan terhadap partai politiknya. Analogi ini kemudian tersimpul, berpangkal, dan bermuara dalam beberapa rilis survey, menunjukan partai politik yang terseret dalam pusaran korupsi, akan merangsek hingga terjun bebas elektabilitasnya di mata publik.
Damang Averroes Al-Khawarizmi

Pertanyaan kemudian yang mengemuka adalah kalau seperti itu fakta yang terkuak, mengapa partai politik tetap “enjoy-enjoy” saja mengubur diri dalam kubangan korupsi? Tidak sadarkah mereka kalau korupsi berkelanjutan terus-menerus yang dilakukan itu, merupakan “bunuh diri” politik, sehingga tinggal menunggu waktu saja partai itu hilang dari memori kolektif publik. Yang pasti, tidak satupun partai politik menginginkan yang demikian terjadi, sebagai bentuk “penghukuman” persepsi publik. Oleh karena itu patut menjadi catatan, kenapa partai politik sampai terjerat dalam mesin pembunuh yang bernama korupsi?

Mesin Pembunuh

Sengaja saya menggunakan terminologi mesin pembunuh dalam tulisan ini, berangkat dari argumen, bahwa korupsi politik yang menimpa beberapa elit partai (seperti: Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa ode Nurhayati, Zulkarnain Djabar, Luthfi Hasan Ishaq dan masih banyak lagi sederet fungsionaris partai lainnya) tidak bisa “penghakiman” itu tertuju pada “aktornya” saja. Logikanya, kalau ada akibat juga pasti ada penyebab, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. 

Sebabnya, sudah pasti ditimbulkan oleh partai politik yang membutuhkan anggaran partai untuk dua dimensi anggaran yaitu campaign finance dan party finance (Muhtadi, 2013). Campaign finance adalah keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Sedangkan party finance merupakan keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk kegiatan partai di luar masa kampanye dalam rangka menggerakan infrastruktur dan jaringan partai. Saat ini, anggaran yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan yang dibolehkan menurut Undang-Undang Partai Politik yang terdiri atas iuaran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan Negara yang bersumber dari APBN.

Mengacu pada studi Mietzner, ada suatu situasi ketika partai hanya berharap dari bantuan Negara tidak cukup menutup biaya kampanye partai. Hasil pemilu 1999 misalnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51/ 2001 setiap tahun peserta pemilu mendapat Rp. 1000 persuara hasil pemilu, oleh Mietzner melalui risetnya (2011) setidaknya subsidi itu dapat menutupi 50 % untuk pembiayan kampanye. 

Tetapi peraturan itu tidak bertahan lama pasca keluarnya PP No. 5/2009, ketika partai politik hanya dapat bantuan dari Negara Rp. 108 per suara dengan mengacu pada pemilu 2009. Praktis partai politik mau tidak mau akan “dipaksa” untuk mencari anggaran di luar bantuan Negara, dengan cara “ngobyek” kemana-mana, melalui kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki. Proyek-proyek melalui pos kementerian menjadi ajang “perburuan rente” sekaligus “lahan basa” hingga “ATM Parpol” oleh pejabat teras yang sementara menjabat di pos kementerian itu, untuk mencukupi anggaran yang dibutuhkan dalam pembiayan partainya.

Dititik itu, tidak berlebihan untuk mengatakan, kalau korupsi yang menyeret sejumlah partai gara-gara pejabat terasnya ibarat “roda mesin” yang berjalan dalam satu sistem. Antara partai politiknya sendiri dengan fungsionarisnya yang dituntut mencari “sumbangan” terhadap partai politik dimana dia berasal.

Oleh karena itu, diperlukan formula yang tepat untuk “mengamputasi”, memutus, atau menghentikan “mesin Pembunuh” itu. Tidak boleh dengan serta-merta kita membiarkan partai politik, satu persatu jatuh dan mati secara perlahan. 

Disamping partai politik merupakan keniscayaan dalam Negara demokrasi fungsi partai politik saat ini juga memiliki peranan penting dalam perekrutan pejabat publik. Mulai dari tingkat Presiden, hingga Kepala Daerah peran perekrutan partai politik sulit dilepaskan. Pemilihan Kapolri, Hakim Agung, KPK, duta besar dan lain-lain mesti melalui fit and proper test di DPR yang merupakan representasi partai politik.

Reformasi Parpol 

Sebuah alegori politik menyatakan “tidak ada reformasi partai politik tanpa reformasi sistem keuangan partai politik.” Untuk itu, perlu beberapa langkah strategis yang mesti ditempuh melalui beberapa pembenahan terhadap sistem keuangan tersebut sebagai bentuk reformasi pendanaan partai politik.

Pertama, tranparansi keuangan partai politik---berharap kepada Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu untuk saat ini mustahil, karena UU tersebut sudah diketok palunya, dimungkinkan hanya bisa diatur melalui UU sendiri, melalui UU khusus yang mengatur sistem pendanaan Parpol yang transparan dan akuntabel disertai dengan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melanggarnya. Melalui UU ini, diatur transparansi pengelolaan keuangan partai secara detail baik terhadap standar laporan keuangan partai, pemisahan aset partai dengan para fungsionarisnya, audit keuangan partai politik juga caleg yang diusungnya, hingga pada akses yang muda dan terbuka bagi publik untuk membaca laporan keuangan partai.

Kedua, limitasi “spending” kampanye---selama ini melalui UU Partai Politik sudah ada pembatasan terhadap sumbangan terhadap partai. Namun pengaturan tersebut menjadi “pincang” karena bagaimana mungkin pada sektor hulunya dibatasi, sementara pada sektor hilirnya (pembiayaan kampanye) dibiarkan jor-joran. Melalui pembatasan spending disertai pula sanksi yang tegas jika ada yang melanggarnya, bagi caleg dan kampaye partai jelas akan “memaksa” partai ”memutar haluan” agar berkompetisi pada gagasan, tidak lagi berdasarkan finansial semata.

Regulasi spending kampanye untuk saat ini memang sudah mulai diterapkan oleh KPU sebagai badan penyelenggara pemilu, setiap calon legislatif dianjurkan melaporkan harta kekayaannya termasuk dana pembiayaan kampanye, tetapi ke depan sebaiknya diformulasikan dalam bentuk UU tersendiri, karena ini menyangkut hajat hidup partai politik, juga kita menginginkan demokrasi yang berlandaskan pada sistem meritokrasi. (*)









Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com

[Read More...]


Surat dari Timur, Untuk Hamdan Zoelva



 Bukan berlebihan jika banyak orang bersenandung di negeri ini. Untuk jabatan MK, “wakil Tuhan” yang agung itu, dibutuhkan manusia-manusia malaikat yang berani menanggalkan “baju” kemewahannya, tanpa lagi memikirkan untuk menumpuk harta selagi melanggengkan kuasa.
(Artikel ini juga muat diharian Tribun Timur Makassar, 8 November 2013
 
 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
SUNGGUH menyayat hati, ada yang menerima, ada yang tidak percaya, ada pula yang hakul yakin, kalau peristiwa naas yang menimpa seraya merobohkan benteng konstitusi kita adalah pucuk pimpinannya sendiri. Masih lekas, belum berlalu dingatan kita semua, Akil Mochtar dijemput “paksa” oleh KPK selang waktu menuju sepertiga malam, bak halilintar di siang bolong yang menghunjam, pun kejadian itu menimbulkan kepanikan massal. Bagai disatroni listrik, negeri ini dihadang kiamat, hingga fungsi-fungsi Negara ditakutkan pula akan berhenti bekerja, roda konstitusi pada waktunya, dinyatakan “tiba saatnya berhenti bekerja.

Tapi tidak, jangan berlarut duka dalam isak tangis berkepanjangan, lalu kita hanya mau meratapi, topan korupsi yang melanda pemegang “wakil tuhan” tertinggi itu. Tak patah arang, mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti, badai dahsyat yang menerpa, MK harus terus menabuh genderang keadilan, menunjukan kalau mereka masih ada.

Nila setitik merusak susu sebelanga, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari, meski esok langit akan runtuh, konstitusionalisme terus didendangkan, semangat terus….semangat terus…!!! Yakin dan percaya mereka yang terpilih adalah negarawan yang tidak mungkin membiarkan repubik ini merana, apalagi mendayungnya dalam jurang nista apalagi kematian. Selangkah lebih maju, tanpa menunggu people power, mereka telah mencari “nahkoda” baru. Hamdan Zoelva, bergelar Doktor ilmu hukum bidang tata Negara, alumni FH Unhas, kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, menggantikan Akil Mochtar.

Saban waktu bersamaan dengan putusan akhir majelis kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHK) menjatuhkan pelanggaran etika atas AM. Di awal bulan November ini tercatatlah nama dari timur: Hamdan Zoelva, terpilih sebagai nahkoda keempat yang akan mendayung “perahu keadilan” di negeri ini beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dari timur mewakili harapan teman-teman agar dapat mengetuk hati, kutulis surat rindu untuk Hamdan Zoelva, surat ini adalah surat untuk keadilan, surat untuk bangkit dari keterpurukan, bangkit dari pembaringan tipu daya, berdoa sambil bekerja, semoga benih-benih keadilan terus menebar di bumi pertiwi.

Inilah isi surat itu; Hamdan Zoelva! engkau tidak banyak muluk-muluk, tidak banyak janji, namun harapan rakyat dipundakmu, pulihkan citra MK. Toh engkau menjawab harapan itu, seraya berharap asa, doa dari ratusan juta rakyat Indonesia, agar engkau dapat mengemban amanat konstitusi kita semua

Marwah MK yang kini telah ditelan badai dan gelombang korupsi, dari Sabang sampai Merauke rakyat berharap gelombang rindu untukmu, engkau berbicara, bernalar, menorehkan tinta keadilan di lembaran putusan-putusanmu. Mereka pada berteriak, jangan ada dusta diantara kita, kami percaya, engkau juga percaya pada kami. Maka diamlah jika itu baik bagimu suatu waktu, atas putusan yang telah engkau telorkan, kalau memang itu lahir dari hati nurani, karena sudah pasti itulah harapan rakyat menanti keadilan bukan hanya untuk segelintir orang, tapi semua orang, tidak ada yang diabaikan hak-hak konstitusionalitasnya

Sungguh pula ada perbedaan denganmu, Akil Mochtar, ataukah Mahfud MD. Ketika semua orang berseloroh, jangan ada hakim konstitusi dari anggota partai politik, peringatan itu lebih keras lagi datang dari sang kepala Negara. Semua rakyat Indonesia tahu pasti kalau dirimu adalah eks. Partai Bulan Bintang. Pernah lama “makan garam” di parlemen, tetapi engkau telah lama meninggalkan lama gelanggang DPR itu. Akil adalah perwakilan DPR, sementara dirimu adalah perwakilan Presiden

Semua perbandingan itu tidak penting, kalau engkau dapat menunjukan kerja dan kinerjamu. Engkau tahu mana yang layak menjadi teladan, tidak mungkin engkau akan menjebak diri, jatuh di jurang yang sama sebagaimana rekan sekolegamu dulu, bahkan dia adalah pucuk pimpinanmu. Pemimpin tak selamanya diikuti, karena sesungguhnya pemimpin yang kuasa adalah hati nuranimu sendiri. Dengarkan mereka kalau benar, jika salah, tanyalah hati nuranimu, sungguh itu lebih benar dari apapun yang menggodamu di luar sana.

Nun jauh, kampus fakultas Hukum Unhas di sini, pada bangga menyebut dirimu. Konon semakin banyak alumni FH Unhas menduduki jabatan kenegaraan di ibu kota kenegaraan itu. Guru dan pembesarmu Prof Laica Marzuki hanya mampu menjabat wakil ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi engkau lebih dari itu, engkau menjadi Ketua, bukan wakil yang bisa didelegasikan jabatan oleh atasan. Engkaulah penentu kebijakan atas maju mundurnya “rumah keadilan” konstitusi itu.

Ayam jantan dari timur, paentengi sirimu (dahulukan malumu), itulah slogan yang tak pernah lekang oleh waktu, menjadi pengobar semangat kampus merah, kampus pertama yang pernah mendidik dan membesarkanmu, hingga kini duduk “dikursi” konstitusi. Demi Tuhan, demi rakyat, demi hukum, demi UUD, norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum bekerjalah karena rindu dan gamangnya rakyat pada keadilan. Jadikan rindu untuk keadilan itu, ibarat Tuhan para musafir, para suhuf, para sufi, para alim yang tidak pernah puas akan rindu spiritual yang dijajaki setiap menit, detik, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya.

Putusan yang menikam “rasa keadilan”, karena godaan harta dan wanita tolong diabaikan. Jangan ada konspirasi dibalik rumah keadilanmu, rumah untuk rakyat pula. Peristiwa kemarin: sengketa Pilkada Lebak Banten, sengketa Gunung Mas (Kalimantan selatan), sengketa Pilkada Bali, cukup sudah jual beli keadilan itu, berakhir tahun ini, jangan terulang lagi. Hamdan Zoelva! kuburkan gejala itu, tidak ada konstitusionalisme yang macam itu, bukan lagi lucu, tapi itu sudah konyol

Jangan lupa! Konstitusi adalah perjuangan harkat dan martabat setiap warga Negara. Mayoritas maupun minoritas tidak boleh ada yang terluka karena putusan-putusanmu. Oleh karena itu bukan berlebihan jika banyak orang bersenandung di negeri ini. Untuk jabatan MK, “wakil Tuhan” yang agung itu, dibutuhkan manusia-manusia malaikat yang berani menanggalkan “baju” kemewahannya, tanpa lagi memikirkan untuk menumpuk harta selagi melanggengkan kuasa.

Adakah dikau yang tersebut itu, wahai Hamdan Zoelva, sang ketua MK yang kemarin ditasbihkan sebagai pemimpin tertinggi konstitusi. Betulkah engkau manusia-manusia malaikat? Oleh konstitusi bernada dan bertutur lain, betulkah engkau negarawan “dialtar” konstitusi itu yang bisa menuangkan “cawan” keadilannya, satu untuk semua, hingga keadilan membumi di hati sanubari rakyat Indonesia. Hanyalah waktu dan sejarah yang akan mengujimu. (*)






Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni FH UNHAS (SAKSI 2004) & Co-Owner negarahukum.com














[Read More...]


Mencari “Negarawan” di Hari Kurban




PASCAPENANGKAPAN Akil Mochtar tiba-tiba semua orang berbicara tentang “negarawan”. Bahwa diciduknya Akil dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK mengonfirmasi kalau hakim konstitusi dari jatah DPR itu salah dalam proses pengorbitannya sebagai negarawan. Padahal boleh dikata hanya hakim konstitusi dalam proses perekrutannya, oleh undang-undang dipersyaratkan calon hakim tersebut harus negarawan.

Terlepas dari itu semua syarat “negarawan” abstrak dalam pendefenisiannya. Serupa namun tidak sama deskripsi dan sasarannya, mengukur orang beriman dan negarawan sama-sama sulit. Takaran beriman, taqwa adalah ukuran Tuhan, sedangkan takaran negarawan dibentuk melalui persepsi publik. 
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Hal ini tergambar dalam diri Mahfud MD, melalui putusan-putusan progresif-nya sejak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan pencitraannya di media, seperti; memberi respon atas penindakan dan pencegahan kasus-kasus korupsi yang marak di tanah air. Maka seiring berjalannya waktu anak binaan PKB itu ditasbihkan sebagai negarawan. Namun gara-gara penangkapan mantan sekoleganya (Akil) image kenegarawan Mahfud perlahan pudar. 

Maka dihari raya haji, idul adha besok bukan hal yang salah jika ditafsir ulang makna “napak tilas” Ibrahim, bersikap pasrah kepada Tuhannya. Nenek moyak dari para agama moneteis itu meski kental risalah yang disampaikannya lebih dominan berbicara pada aspek ketauhidan, namun sikap Ibrahim yang melepaskan segala kepentingan dan urusan duniawinya menuju kearifan puncak ---- meminjam bahasa Murtadha Muthari---- tidak jauh berbeda dengan karekteristik negarawan yang selama ini didambakan. Ibrahim as merelakan anaknya Ismail, yang sekian lama dinanti, bertahun-tahun, hingga istrinya Hajar sudah mulai uzur baru dikaruniai anak, itupun hanya anak semata wayang.

Bisa dibayangkan dalam kehidupan yang serba modern saat ini, tidak ada seorangpun yang berani menjadikan anaknya sebagai “sesembahan” untuk dikurbankan. Apalagi anak yang lama dinanti baru kunjung lahir. Itulah nilai ketulusan, keihkhlasan, suka rela yang diajarkan oleh Ibrahim mengandung historisitas yang tidak akan pernah habis untuk ditafsir terus-menerus, demi kepentingan serta kemajuan zaman yang terus berjalan.

Di awal merayakan hari kurban, dibalik peristiwa naas yang melanda bangsa ini, atas deretan sengkarut korupsi. Ketika Republik tercinta sudah berada dititik nadir, ketika tak ada lagi manusia yang memiliki nilai ketulusan dan keikhlasan memegang amanat yang dipercayakannya. Ketika Bangsa ini mengalamai krisis keimanan hingga melunturkan rasa tanggung jawab sebagai “wakil tuhan”. Yang dengan “tega” menggadaikan kepercayaannya dan berlaku culas menjual nama “keadilan” yang telah disakralkan. Jejak langkah Nabi Ibrahim perlu dihidupkan dalam sanubari kita semua, benih-benih negarawan tidak menutup kemungkinan hadir pasca kita menjajaki masa lebaran Idul adha, karena ritual kurban pasca merayakan lebaran dengan menyembeli seekor hewan merupakan simbol mengahdirkan ajaran Ibrahim dalam masa kekinian

Tafsir Menyembelih
Mencari negarawan ditahun politik 2013 dalam tafsir kurban, denga menyembelih seekor hewan, bukan hanya sampai disitu kita akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda. Karena bagi orang yang bergelimang harta kekayaan, memotong seekor hewan bukanlah perkara sulit, bahkan hewan impor berbiaya mahal dapat dibeli oleh mereka. Sementara orang yang tinggal di pedalaman, areal perkampungan justru menjadikan hewan piaraan sebagai tempat menabung harta, sembari menunggu hewan tersebut tumbuh dan harganya mahal di masa lebaran kurban.

Oleh karena itu patut dihadirkan makna otentik yang diwahyukan Tuhan kepada Ibrahim sebelum sesembilahan Ibrahim as yang bernama Ismail (anaknya sendiri) dibarter dengan seekor domba di zaman itu. 

Tafsir pertama, hari kurban merupakan momentum untuk kembali merenungi agar Ibrahim “menyembelih” kemewahan yang berlimpah atas dirinya. Patut menjadi catatan bahwa diusia senja Ibrahim as, telah dikaruniai kekayaan yang berkecukupan. Saat Ibrahim merasa hidupnya sudah cukup, ditanyalah oleh Allah SWT dalam riwayat mimpi, sesungguhnya apakah yang engkau sayangi dalam dirimu, dalam batin Ibrahim dijawab, “anakkulah yang aku amat kusayangi ya Rabbku”. Oleh Karena, simbol kemewahan yang dimiliki oleh Ibrahim adalah anaknya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus merelakan anaknya untuk diserahkan kepada yang maha kuasa. Berbanding terbalik, bagi pejabat yang sudah hidup serba kemewahan saat ini, dengan rumah, hotel dan mobil mewah yang berlimpah justru sikap tulus, dan keikhlasan berbagi terhadap sesama, hari kurban tidak dimaknai untuk menyembelih harta kekayaannya. Jadi, kalau hendak melihat negarawan saat ini, maka tengoklah mereka yang tidak mengenal waktu mendermakan harta kekayaannya. Mereka tidak mau mengumpul harta untuk tampil memesona hanya pada tampilan fisik saja.

Tafsir kedua, sejatinya kurban diajarkan pula untuk “menyembelih” sifat ketamakan juga keserakahan. Di bumi pertiwi ini bukanlah peristiwa langkah, menatap para pejabat sudah hidup berkecukupan. Isteri dan anak-anakanya sudah dapat dipenuhi segala kebutuhannya, namun selalu “takut “ kekurangan, takut sewaktu-waktu kemiskinan akan mendera anak cucunya hingga tujuh turunan. 

Akil Vs Ibrahim
Andaikata Akil tahu akan hal itu, agar menyembelih segala ketamakannya, tidak mungkin tergoda untuk menerima suap dari seorang calon pejabat kepala daerah. 

Namun nasi sudah jadi bubur, pintu taubat bagi Akil harus dibayar mahal terpisah dengan sanak keluarganya, penjara sudah menanti untuk merenungi segala ketamakannya. Bahwa menjalankan amanat konstitusi untuk kemaslahatan bersama memang penting ketulusan dan keikhlasan untuk selalu ditumbuhkan.

Siapa yang rela menyembelih di hari kurban, janji Allah sudah lama menanti. Namanya akan selalu diabadikan sepanjang masa. Hingga kini nama Ibrahim as berulang kali namanya disebut dalam bacaan shalat tahiyatul awal dan akhir. Akil justru sebaliknya, malah abadi sepanjang masa bukan karena “kebaikannya”. Nama Akil “abadi” pertama kali tertoreh dalam sejarah dunia, mencatatkan diri, culas bermain mata, menjual keadilan untuk menumpuk harta.

Terakhir, kerelaan dan diskusi bersama antara Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail sebelum menjalankan “titah” Tuhan. Tidak hanya bisa hadir dengan sendirinya, bukan hadir karena perjuangan pribadi semata. Melainkan dibutuhkan dukungan dan semangat keluarga pula. Siti Hajar tidak pernah melarang Ibrahim menyembelih anakanya, demikian pula Ismail taat atas wayu Tuhan. Semuanya diserahkan kepada Tuhan yang maha Pengasih dan penyayang. Pada akhirnya Ismail diganjar sebagai Nabi yang bisa meneruskan jejak langkah ayahnya. 

Seandainya ada pejebat saat ini meneladani Ibrahim, tidaklah sulit kita mencari negarawan yang bisa menahkodai “kapal” Republik Indonesia. (*)



Oleh: Damang S.H
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat Hukum Unhas



[Read More...]


Faksionalisme Golkar dan Pilwakot Makassar



Faksionalisasi dalam sebuah partai merupakan gejala yang wajar dan tidak serta merta harus ditolak keberadaannya. Belloni (1978) membagi tipologi faksionalisme partai ke dalam tiga jenis. Pertama, faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu politik. Biasanya tak berusia panjang, sangat insidental,dan informal. Kedua, faksi yang terbentuk karena pola patron-klien. Jenis ini dipengaruhi oleh faktor karisma tokoh yang memiliki basis sosial jelas. Ketiga, jenis faksi yang paling formal dan terorganisasi.

Mencermati Pilwakot Makassar, tinggal dalam hitungan hari lagi. Menarik untuk melihat kondisi partai Golkar yang terkesan “mendua”. Dikatakan Menarik, karena boleh dikatakan Sul-Sel merupakan “lumbung padi” Golkar yang baru kemarin mengantarkan Syahrul yasin Limpo “mencicipi” kursi Gubernur untuk kedua kalinya. Antitesa ini, jelas mempengaruhi pula pemilihan wali kota Makassar, Golkar menjadi kendaraan yang menarik dalam meraih kursi wali kota yang didambakan oleh kader-kadernya.

Yang lainnya, menarik pula partai Golkar untuk menjadi bahan kajian, karena sulit dipungkiri Partai Golkar merupakan partai peninggalan orde baru yang sudah menancapkan kekuasaannya, sudah lama mengakar di kalangan pemilih. Sehingga banyak pemilih, yang diklasifikasi sebagai pemilih “tradisional” setia pada Golkar. Golongan pemilih ini tidak mau tahu siapa yang diusung, atau wakil dari partai itu, yang jelas karena Golkar maka orangnyapun mesti dipilih.

Tampaknya, faksionalisasi bukan hanya menjadi “makanan empuk” bagi sentral kekuasaan partai. Dalam hal ini di pusat, untuk penentuan, penetapan presiden ditubuh partai beringin itu. Namun di lintas electoral, sekalipun selalu dikatakan partai hanya menjadi “pelengkap penderita” karena selebihnya pekerjaan menarik simpati ceruk suara. Ada pada tugas sang kandidat, mulai dari dana kampanye, hingga relawan yang harus dibayar “murni” ditanggung oleh kandidat itu. Tetapi untuk Partai Golkar pengaruhya terhadap pemilih boleh dikatakan masih ada.

Pemilihan wali Kota Makassar, dengan majunya Irman Yasin limpo-Busrah Abdullah, melalui slogan NONE (diusung PPP dan PAN) menyebabkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar Supomo Guntur-Kadir Halid (SUKA). Kader dan anggota partai politik yang memberikan dukungan terpecah dalam dua faksionalisasi yaitu Faksi NONE (bisa juga dikatakan faksi Limpo) dan faksi SUKA.

Faksi
Majunya Irman sebagai adik Syahrul Yasin Limpo dengan slogannya “saya None saya Golkar”. Patut menjadi catatan, partai Golkar di wilayah kota Makassar (DPD Golkar Makassar). Tidak mampu diredam model faksionalisasinya, agar tersegmentasi, bahwa konstituen dan kader “mutlak” mendaulat calon kepala daerah (wali kota) hanya satu kandidat yang “layak pilih”.

Tipologi faksioanalisme yang terjadi, lebih cocok pada tipologi ketiga yakni terbentuk karena pola patron-klien. Ada sekelompok kader di partai Golkar yang loyal terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai ketua DPD I Golkar, sehingga patron-klien lebih mendominasi, seolah-olah ingin menurunkan kekuasaan, sekaligus mengokohkan “dinasti” Limpo dalam tubuh Partai Golkar di daerah-daerah (baca: Makassar).

Kondisi ini semakin terang-benderang, ketika SYL tidak memberikan dukungan baik kepada adiknya sendiri maupun kepada Supomo Guntur. Ada sebuah kondisi “inkonsitensi” yang diciptkan sedemikan rupa, dimainkan oleh SYL. Meskipun sebagai ketua DPD I Golkar Sul-sel tidak pernah “terang-terangan memberi “restu” kepada Supomo Guntur.

Sikap diam SYL terhadap dua kandidat yang sama-sama mengklaim sebagai anggota partai Golkar. Memberi petunjuk kepada kita, kalau adiknya SYL (Irman) dikehendaki pula untuk mendapat “insentif suara” popularitas Golkar, karena adiknya juga adalah bahagian dari kader Golkar.

Kondisi ini, menunjukan rapuhnya institusionaliasi partai politik. Sehingga terjadi dualisme dalam tubuh internal partai. Dalam kesepakatan rapat DPP, hanya Supomo Guntur yang diusung oleh partai Golkar sebagai satu-satunya kandidat dapat memakai Golkar sebagai kendaraan politik. Di saat yang sama, Irman dengan memakai nama “NONE” juga mengaku-ngaku sebagai kandidat yang punya loyalitas di Partai Golkar.

Tidak ada kekuatan AD/ART partai politik sebagai UU yang patut “ditaati” bersama, agar faksi tersebut, tunduk pada keputusan partai. Bukan hanya Golkar, tetapi partai lainpun (seperti Partai Demokrat, PKB, Gerindra, PDIP) derajat kesisteman atas partai masih lemah. Bisa diukur pada sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan dan bagaimana mereka menyelesaikan konflik internal berdasarkan AD/ART partai mereka.

Pada intinya partai politik kita mempunyai “veto player” melalui figur sentral Partai sebagai magnet electoral. Sehingga kasus Pilwakot Makassar, posisi partai Golkar tidak mampu meredam konflik internal yang terjadi dalam tubuhnya sendiri. Sekalipun berkali-kali misalnya ditegaskan oleh Nurdin Halid sebagi perwakilan DPP Partai Golkar “Golkar punya mekanisme tegas dan transparan, DPP mengikat seluruh kader dengan surat keputusan, mereka harus patuh atas aturan partai” Toh, pada akhirnya banyak kader Golkar di Makassar yang terang-terangan mendukung Irman. Hal ini terlihat, ketika sederet nama-nama anggota partai Golkar dicabut “keangotaannya oleh DPP Golkar” namun oleh DPD Kota Makassar tidak mengakui pemberhentian atas sejumlah anggota partainya, yang memberi dukungan pada Irman.

Konflik
Fasionalisasi yang terjadi di Pilwakot Makassar ini, tidak boleh dipandang “sebelah mata” oleh para elit politik Golkar. Bukan hal yang berlebihan, konflik yang terjadi di tingkat DPD malah akan merembes ke tingkat pusat. Sehingga konflik internal selanjutnya adalah konflik DPD versus DPP.

Sekiranya, Partai Politik sudah “dilimitasi” oleh larangan merangkap jabatan sebagai pengurus partai, jika memiliki jabatan kenegaraan. Mungkin saja “lebih muda” untuk meredam faksionalisasi yang terjadi pada usungan partai Golkar di kota Makassar. Tuah-nya harus ditanggung sendiri oleh partai politik karena dalam AD/ART-nya tetap “betah” mendaulat rata-rata kepala daerah sebagai ketua partai. Ataukah, sudah ada pembatasan terhadap keluarga kepala daerah, agar tidak maju menjadi kepala daerah pula di tingkat kota/ Kabupaten (tempat lain). Sebagaimana yang digadang-gadang, sebagai aturan dalam revisi UU Pemda. Tidak mungkin pula ada kondisi dilematis, bagi kepala daerah meski sebagai pengurus partai, tidak tanggung-tanggung, untuk memberi restu atas kandidat yang diusung oleh partainya.

Di atas segalanya, konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai kuning itu seraya menanti perhelatan Pilwakot Makassar, yang jelas “keputusan akhir”, penalty, ditentukan oleh hasil pemilukada nantinya. Apakah Golkar yang menjadi pemenangnya, ataukah “dinasti” Yasin Limpo semakin menancapkan kekuasaannya di partai beringin itu. Mari kita tunggu!*
Sumber: rakyatsulsel.com

OLeh; Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti dan Analis Politik Republik Institute





[Read More...]


Situs Pendaftaran CPNS Kementerian dan Lembaga 2013



Dari situs Menpan diketahui bahwa rencananya mulai september nanti ada Rekruitmen CPNS pada 65 Kementerian/Lembaga dan 226 Pemerintah Daerah. Saya hanya ingin melist saja Kementrian/Lembaga yang sudah menggunakan electronic recruitment (e-recruitment). Siapa tahu berguna buat saya dan pembaca semua :D. Saya lebih memilih membaca situs resmi daripada situs-situs yang mengatasnamakan website cpns. Carilah informasi pada sumber yang tepat biar tidak tersesat.
 
Pendaftaran CPNS disini http://sscn.bkn.go.id/ActionServlet?page=pengumuman
KEMENTRIAN
1. KEMENLU >> https://e-cpns.kemlu.go.id/ Twitter: @Portal_Kemlu_RI
2. KEMENKEU >> http://rekrutmen.kemenkeu.go.id Twitter @KemenkeuRI
3. DEPTAN >> http://cpns.deptan.go.id/ Twitter: @kementan
4. Kementerian Koordinator Bidang Polhukam http://cpns.polkam.go.id/ @Kemenkopolhukam
5. Kementerian Koordinator Bidang Kesra ???
6. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ???
7. Kementerian Pertahanan http://ropeg.kemhan.go.id/index.php ???
8. Kementerian Hukum dan HAM http://cpns.kemenkumham.go.id/ @KEMENKUMHAM
9. Kementerian ESDM @KementerianESDM
10. Kementerian Dalam Negeri ???
11. Kementerian Perindustrian http://ropeg.kemenperin.go.id/ @Kemenperin_RI
12. Kementerian Perdagangan @Kemendag http://www.kemendag.go.id/id/rekrutmen-cpns-tahun-2013
13. Kementerian Kehutanan http://www.ropeg.dephut.go.id/ http://cpnsonline.dephut.go.id/ @humas_kemenhut
14. Kementerian Perhubungan @pelinfo_kemhub http://www.dephub.go.id/read/pengumuman-cpns/59593 unnduh http://www.dephub.go.id/files/media/file/Pengumuman/cpns/pengumuman-cpns-pertama2013.pdf
15. Kementerian Kelautan dan Perikanan @KelautanKKP
16. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi @menakertrans
17. Kementerian Kesehatan https://ropeg-kemenkes.or.id/
18. Kementerian Pekerjaan Umum http://www.pu.go.id/pengumuman/show/911 @KemenPU
19. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan @Kemdikbud_RI
20. Kementerian Sosial https://cpns.kemsos.go.id/ @kemsos
21. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ???
22. Kementerian Lingkungan Hidup @HumasKLH
23. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak @kpp_pa
24. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional @bappenas_tweet
25. Kementerian PANRB @kempanrb
26. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal @KPDT_RI
27. Kementerian Perumahan Rakyat @Info_Kemenpera
28. Kementerian Pemuda dan Olahraga http://kemenpora.go.id/index/berita @KemenporaRI
29. Kementerian Sekretariat Negara @setnegri


LEMBAGA
1. LIPI >> http://www.cpns.lipi.go.id/ @lipiindonesia 250 CPNS
2. BPS >> http://cpns.bps.go.id/
3. Arsip Nasional RI @ArsipNasionalRI
4. Lembaga Administrasi Negara http://www.lan.go.id/index.php?module=semuaberita @humaslan
5. Badan Kepegawaian Negara @BKN_RI
6. Perpustakaan Nasional @perpusnas1
7. Badan Pusat Statistik ???
8. Badan Inteljen Negara http://www.bin.go.id/karir ???
9. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional http://www.bkkbn.go.id/IndexBerita.aspx ???
10. Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional ???
11. Badan Informasi Geospasial http://www.bakosurtanal.go.id/seleksi-penerimaan-cpns-big-tahun-201/ ???
12. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan http://www.bpkp.go.id/berita.bpkp???
13. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi http://www.bppt.go.id/index.php/berita/berita-bppt ???
14. Badan Koordinasi Penanaman Modal http://www.bkpm.go.id/contents/whats/ ???
15. Badan Pertanahan Nasional ???
16. Badan Pengawasan Obat dan Makanan ???
17. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Sestama/Biro_Umum/???
18. BNP2TKI ???
19. Badan Nasional Penanggulangan Bencana http://www.bnpb.go.id/archive???
20. Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah http://rekrutmen.lkpp.go.id/ ???
21. Badan SAR Nasional http://www.basarnas.go.id/index.php/berita ???
22. Badan Narkotika Nasional http://cpns.bnn.go.id/ ???
23. Badan Standarisasi Nasionalhttp://www.bsn.go.id/main/berita/daftar_arsip/Announcement ???
24. Badan Tenaga Nuklir Nasional http://www.batan.go.id/cpns/ ???
25. Badan Pengawas Tenaga Nuklir http://www.bapeten.go.id/index.php?modul=news???
26. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme RI http://www.bnpt.go.id/berita/91-pemberitahuan-cpns-2013-di-bnpt.html???
27. Kejaksaan Agung http://www.kejaksaan.go.id/pengumuman.php???
28. Sekretariat Kabinet http://www.setkab.go.id/pengumuman.html ???
29. Sekretariat Jenderal BPK http://www.bpk.go.id/web/?cat=6 ???
30. Sekretariat Jenderal DPR http://cpns.dpr.go.id/ ???
31. Sekretariat Mahkamah Agung ???
32. Sekretariat Komisi Yudisial ???
33. Sekretariat Komisi Nasional HAM ???
34. Sekretariat KPU ???
35. CPNS Badan Koordinasi Keamanan Laut http://ecpnsbakorkamla.com
36. PPATK http://www.ppatk.go.id/pages/detail/75/91
[Read More...]


Merenungi Kepergian Ramadhan



Setiap orang boleh saja bersedih, berduka, dan menangisi kepergian keluarga, kerabat, hingga orang yang dicintainya. Disaat yang maha kuasa menjemputnya. Mungkin karena belum rela orang yang dicintainya itu meninggalkannya. Ada banyak hal kenangan dalam setiap momen kebersamaan, sehingga sulit melupakannya.

Situasi yang lain, kadang kita sulit melepaskan keluarga kita, yang hendak merantau ke negeri seberang, karena waktu untuk ketemu dengannya, masih harus lagi menunggu bertahun-tahun. Apalagi kalau masa pertemuan dan ajang ngumpul sama keluarga, hanya terjadi pada peristiwa mudik lebaran. Saat kendaraan (bis, kapal, pesawat) yang ditumpanginya berlalu, melepas pergi, lambaian tangan menjadi ajang perpisahan, setelah itu mungkin ada rasa haru menyesak dada, dan bulir air matapun menetes secara tidak sadar.

Lantas, bagaimana dengan kepergian ramadahan, yang baru saja berakhir beberapa hari kemarin. Apakah kita juga bersedih, ketika ramadhan itu meninggalkan kita? Adakah rasa takut terbersit dalam hati dan pikiran, tahun depan boleh jadi tidak lagi bertemu dengannya. Sehingga bulir air mata kitapun terjatuh membayangkan kepergian tamu agung yang dihadirkan oleh Tuhan, dating hanya sekali dalam setahun.

Yang jelas, jangan sampai ramadhan yang telah dilalui selama satu bulan itu. Hanya menjadi ritual dan siklus tahunan. Seolah-olah momentum ramadhan hanya menjadi ajang untuk menyenangkan Tuhan semata.

Tangisan Ramadhan

Bisa disaksikan ketika bulan suci itu datang, semua orang pada berlomba-lomba menunaikan shalat tarawih, berjamaah di mesjid, semua orang pada berlomba-lomba menderas Al-qur’an hingga ingin menuntaskan 30 juz dalam sebulan.

Selama bulan ramadahan semua tempat prostitusi di larang buka, hingga warung makanpun dilarang untuk membukanya pada saat bulannya ramadahan. Bulan ramadahan tidak hanya sampai disitu memesona. Hingga ruang virtual, media, televisi juga ikut-ikutan berpuasa. Artis yang biasa berpenampilan seksi, berpose seronok, kemudian tiba-tiba memakai kerudung hanya karena tuntutan “kapitalisasi” ramadhan. Demi memuaskan pemiras di rumah yang sedang menjalakan ibadah puasa. Tayangan dan durasi yang islami ditambah waktunya, ceramah dari berbagai dai juga turut menghiasai semua saluran televisi.

Kalau Rasul dan para sahabat menangisi kepergian ramadahan, karena dibulan itu, bulan dimana pahala dilipatgandakan. Rasul dan para sahabat, takut tahun depannya tidak ketemu lagi dengan bulan yang penuh rahmat (maghfiroh), ampunan, karena maut sewaktu-waktu bisa saja datang menjemputnya.

Untuk kontkes sekarang, kalau mau dihayati, direnungi, justru tangisan itu, jauh lebih penting untuk diresapi oleh ummat Islam di negeri ini. Bagaimana tidak, sudah melekat makna fitrah atas kemenangan dari sebulan penuh. Namun setelah melewati bulan-bulan itu. Fase ramadahan kemudian diambil alih oleh kehidupan yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.

Setan yang dulunya dikerangkeng, pasca ramadhan berlalu, kembali hidup liar, setelah lepas dari kerangkengnya, manusia di muka bumi merasa wajar-wajar saja, melakukan perbuatan buruk, perbuatan keji. Amalan bulan puasa dan pengampunannya dimaknai lebih pada semua perbuatan dosa tahun lalu, telah diampuni, maka dari itu tidak apa-apa kembali berbuat dosa, karena bulan ramdahan hadir sebagai momentum memutihkan dosa-dosa setahun sebelumnya.

Hemat penulis, cara memaknai yang demikian, melakoni dan menjalankan puasa sama halnya dengan cara kita berpuasa, berpikir model kekanak-kanakan. Inilah tangisa ramadahan yang sesungguhnya, kita ingin me.lihat semua suasana tampil religius setelah ramadhan berlalu. Namun apa daya, yang Nampak dihadapan mata kita, buruk-baik, salah-benar, dosa-amal semua bercampur jadi satu. Tidak ada lagi batasnya.

Bagaimana Seharusnya?
Andai puasa hendak dimaknai, sebagai rukun Islam yang ketiga, dan mengapa menjadi salah satu ibadah yang bersifat imperatif (bukan sun’ah).

Bulan ramadahan setelah berlalu seharusnya, manusia tidak lagi dipertuhankan oleh kepentingan fisiknya. Larangan untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks di siang hari, merupakan maksud Tuhan agar hambanya tidak terperdaya dengan kepentingan fisiknya lagi. Seharusnya setelah menunaikan ibadah puasa, tidak lagi kita menjadi hamba yang sekuler, kapitalis, hingga berlaku culas atas manusia yang lainnya.

Namun apa yang terjadi? Semua hakikat diperintahkannya ibadah tersebut. Semua hilang sekejap berlalu, tanpa merenungi dibalik kepergiannya.

Sang pemimpin yang nyata-nyata menjalani puasa, hingga merayakannya dengan acara open house, pasca ramadhan, kembali dirinya terendus dengan kasus korupsi, para penegak hukum kembali membengkokan keadilan, demi janji setumpuk rupiah yang akan menaikkan prestisenya.

Seandainya saja diantara semua oknum tersebut, merenungi kepergian ramadhan, memahami makna substansial ramadaan, takut pada tahun berikutnya tidak lagi ketemu dengan tamu agung Allah SWT. Dengan diraihnya hari kemenangan fitri (suci), tidak mungkim mereka berlaku korupsi lagi, penegak hukum sebagai wakil Tuhan sudah pasti berhukum dengan hati nuraninya, berhukum dengan nalar spiritualnya, bukan berani berlaku adil terhadapa sesama, karena takut pada hukum buatan manusia, tetapi takut pada hukum yang sudah dititahkan oleh Tuhan, setelah diselaminya makna-maka tekstual ayat Al-qur’an selam sebulan penuh itu.

Aksi menutup tempat prostitusi, dan menyadarkan pelaku prostitusi hingga menghentikan tumbuhnya tempat prostitusi yang liar, tidak perlu diperintahkan. Di sisi lain pemerintah dengan rasa takutnya, tidak mendapatkan sumber pendapatan Negara, kerena tempat-tempat itu penyuplai anggaran untuk pembangunan kota-kota besar. Andai kepergian puasa direnungi, semua sudah pada tidak lagi terpikirkan. Karena bulan puasa sesungguhnya melatih kita, lepas dari “ego personal”atas segala kuasa fisik, yang hanyabersandar kepentingan duniawi semata.

Merenungi dan menangisi kepergian ramadhan. Semuanya mengantarkan kita, takut kepada Tuhan dan ganjaran-Nya, takut pada azab-Nya, namun selalu merasa dekat dengan-Nya. Tidak lagi kita akan menemukan hamba-hamba yang menjadikan Puasa sebagai ajang konspirasi terhadap Tuhan-Nya. Lebih dari itu fitrah akan dimiliki selamanya. Bukan hanya disaat menggemanya sura taqbir, tahmid, tahlil di hari lebaran.

Mari menjadikan puasa dalam sebulan itu, sebagai latihan, sebagai ujian kelulusan, dan pada saat meraih kelulusan di hari lebaran. Bukan fase perjuangan kita berhenti. Masih banyak ujian-ujian selanjutnya yang akan kita hadapi bersama. Ijazah kelulusan sebulan penuh itu boleh jadi tidak dapat digunakan untuk mendaftar di kamar-kamar surga yang telah dijanikan oleh Allah SWT, di akhirat kelak. Olehnya itu silahkan merenungi ramadhan yang telah berlalu itu.*** 
 
Sumber: ridwansyahyusufachmad.com
 
[Read More...]


Sifat Melawan Hukum



Terminologi sifat melawan hukum dapat ditemukan sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tegasnya pasal tersebut menyatakan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar Rupiah)

Kata melawan hukum dalam pasal tersebut kemudian dalam penjelasanya, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Sebenarnya istilah melawan hukum materil dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tidak dapat dipergunakan lagi Pasca Putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan bahwa “penjelasan Pasal 2 ayat 1 tersebut dinyatakan telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Meskipun demikian, pasca putusan MK tersebut, praktiknya MA tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil (materele wederrechtelijkheid). Bisa diamati misalnya dalam Putusan MA RI No. 2064 K/ Pid/ 2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi. (Lilik Mulyadi: 2011)

Argumentasi dari hakim tersebut masih menggunakan perbuatan melawan hukum materil sebagai berikut:
  1. Bahwa putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan telah dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat sehinga unsur melawan hukum tersebut tidak menjadi jelas rumusannya. Oleh kerana itu berdasarkan doktrin Sen-Clair atau La Doctrine do Sen Clair hakim harus melakukan penemuan hukum.
  2. Bertitik tolak aspek tersebut di atas, Majelis Hakim MA RI memberi makna unsure melawan hukum dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU N0 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi MARI yang berpendapat bahwa unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukkum dalam arti materil, dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil juga meliputi fungsi positif dan fungsi negatif dengan berpedoman bahwa tujuan diperluas unsur perbuatan melawan hukum adalah untuk mempermudah pembuktian di persidangan sehingga suatu perbuatan dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya, dapatlah dihukum pelakunya melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatan itu tidak melakukan perbuatan melawan hukum secara formal. Kemudian pengertian melawan hukum menurut penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaualan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat. Selain itu berdasarkan butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU No 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengerttian perbuatan melawan hukum secara materil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini tersirat dalam surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi “maka untuk mencakup perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif, tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggatran dalam RUU ini dikemukakan sarana “melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya” dan akhirnya sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan MA RI No 275 K/ Pid/ 1983 tanggal 28 Desember 1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolok ukuran asas-asas hukum yang bersifat umum dan menurut kepatutan dalam masyarakat.

Tentunya dari putusan MA RI di atas memunculkan pertanyaan sebagai berikut:
  1. Jika sudah dibatalkan oleh MK penjelasan perbuatan melawan hukum materil, kenapa masih digunakan oleh MA, apakah masih dibolehkan MA menggunakan unsur perbuatan melawan hukum materil tersebut dengan melakukan penemuan hukum kembali ?
  2. Apakah mesti MARI tunduk pada putusan MK yang sudah membatalkan pengertian perbuatan melawan hukum materil itu ?

Kedua pertanyaan tersebut, sebenarnya lahir dari satu konsep atau asas hukum yang kita anut saat ini yaitu asas legalitas yang sederhananya terdapat dalam Pasal 1 KUHP “Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali undang-undang mengaturnya lebih dahulu”. Olehnya itu dalam hukum pidana sangat dilarang penggunaan analogi.

Terdapatnya unsur perbuatan melawan hukum materil dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 merupakan kontradiksi antara dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana ataukah tidak, atau dalam kalimat yang lain apakah masih dimungkinkan hakim melakukan analogi ataukah penafsiran ekstensif. Dalam konteks ini menurut saya hakim dapat melakukan penafsiran hukum, perlu diketahui bahwa analogi dan penafsiran ekstensif merupakan penemuan hukum dari metode konstruksi, bukan penafsiran an sich (lih. Achamd Ali: 2002).

Sepanjang hakim itu melakukan penafsiran terhadap maksud Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, tidak mengubah maksud dari pasal tersebut, tetap dimungkinkan. Misalnya dengan berpatokan pada adanya unsur kerugian Negara dan ternyata bertentangan dengan nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat tetap dapat dipidana. Tapi kalau tidak melanggar nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat, orang yang merugikan keuangan Negara itu bisa lepas dari tuntutan pidana.

Sebuah contoh sederhana, seorang kepala daerah mencairkan dana bantuan bencana alam, namun dari bantuan tersebut masih ada sisanya, sisanya kemudian ia anggarkan lagi untuk pembangun jalan dan jembatan, dimungkinkan terjadi kerugian Negara, tetapi terpenuhinya memperkaya diri sendiri baik itu sebuah korporasi tidak ada, dalam penggunaan anggaran sisa itu karena tidak diperuntukan untuk yang demikian. Berarti tidak terpenuhilah perbuatan korupsinya. Inilah yang dimaksud perbuatan melawan hukum materil berfungsi negatif. Perbuatan tersebut terpenuhi melanggar undang-undang namun dalam tataran substantif, oleh masyarakat bukan dipandang sebagai perbuatan pidana.

Kalau kita membuka RUU KUHP Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2, kelihatan sudah menganut istilah melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif.

Tegasnya pasal tersebut berbunyi (1) tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, selanjutnya pada ayat 3 nya dinyatakan “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak mengurangi tidak berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dpidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sepertinya di masa mendatang, asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak lagi bersifat absolut, karena secara tersirat sudah diakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat.

Kalau kita mencari dasar konstitusioanlanya asas legalitas dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 “negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak ada embel-embel konsep Negara hukum rechstaat ataukah konsep Negara hukum rule of law yang kita gunakan, berarti dengan tidak adanya embel-embel tersebut dilakukan secara sengaja, dengan tujuan memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law). Artinya demi tegaknya keadilan, seyogianya perbuatan yang tidak wajar, tercela, atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya (konsep Negara hukum prismatic dalam Mahfud: 2006)

Agar tercipta kejelasan dalam pemahaman pengertian “melawan hukum” mari kita lihat pembagiannya dalam hukum pidana. Sifat melawan hukum adalah suatu frase yang memiliki empat makna (Hiariej: 2006)
  1. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan atau dengan kata lain merupakan syarat tertulis untuk dipidananya suatu perbuatan
  2. Sifat melawan hukum khusus biasanya kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. 
  3. Sifat melwan hukum formil mengandung arti semua bagian (unsur-unsur ) dari rumusan delik itu telah terpenuhi 
  4. Sifat melawan hukum materil menganut dua pandangan, Pertama sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut perbuatannya, yang mana mengandung arti perbuatan yang melanggar atau yang membahayakan kepenting hukum yang hendak dilindungi atau pembuat undang-undang dalam rumusan tertentu. Kedua, sifat melawan hukum materil dlihat dari sudut hukumnya, hal ini mengandung makna yang bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan, atau nilai-nali keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya sifat melawan hukum materil itu masih dibagi lagi menjadi dua yaitu sifat melwan hukum materil dalam fungsinya yang berfungsi negatif dan sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang berfungsi positif

Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif diartikan bahwa meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Sedangkan sifat melawan hukum materil berfungsi positif, mengadung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-noram kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Pertnyaan sekarang, kira-kira yang dibatalkan oleh MK, perbuatan melawan hkum material dalam arti yang bagaimana ? kalau diartikan bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti tidak boleh menggunakan analogi, karena dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana sepertinya kurang tepat, karena untuk konteks sekarang cara kita menerapakan asas legalitas tidak lagi absolute, bahkan dengan diberikanya hak bagi hakim untuk menggali nilai –nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menunjukan ada indikasi dapat diterapkannya perbuatan melawan hukum materil yang terbagi atas dua itu (berfungsi negatif dan berfungsi positif).

Kalau dikatakan ini melanggar hak tersangka/ terdakwa karena bisa sewenang-wenang terhadap perlakuan hukum terhadap terdakwa, maka jawabanya tidak juga. Bukankah dari dianutnya dua pembagin perbuatan melawan hukum materil itu, terdakwa bisa tidak di pidana, bisa juga dipidana. Yang dilarang sebenarnya dalam hukum pidana, dalam perspektif saya, kalau hakim itu menggunakan analogi yang diartikan tidak lagi berpijak pada satu ketentuan hukum dalam sebuah pasal yang diterapkan itu. Tetapi penerapan perbuatan melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif diakui bersama masih berpijak pada unsure-unsur tindak pidana korupsi seperti terjadinya kerugian Negara, memperkaya diri sendiri ataukah sebuah korporasi. Kalau begitu dalam penelaahan asas, hingga teori dan tujuan hukum (tidak melihat sasaran utama putusan MK sebagai putusan yang final and binding). Maka perbuatan melawan hukum materil yang berfungsi positif dan berfungsi negative, masih layak diterapkan oleh hakim dalam memeriksa perkara tindak pidana korupsi.

Berbeda halnya kalau berbicara persoalan ranah kewenangan MK dan sasaran dari pada putusannya, karena MK yang bertindak sebagai judicial court (bukan justice court), yang mana MK bertindak seolah-olah sebagai UUD sebagai landasan tertinggi dari UU, maka mau tidak mau Pengadilan Umum dan jajarannya harus tunduk pada putusan MK tersebut.

Di sinilah kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dengan hadirnya MK, karena putusan MK tidak dikenal lagi upaya hukum untuk menganulir putusannya. Satu-satunya cara adalah dengan merivisi UU tersebut melalaui pembahasan kembali di legislatif. 
Sumber: cikarangonline.com
[Read More...]


Tafsir Teologis Tradisi Mudik



Tekhnologi boleh sedemikan canggihnya, para anak muda kita sudah menggunakan gadget, handphone, hingga blackberry keluaran terbaru. Namun esensi tekhnologi itu tidaklah mampu menghapuskan tradisi mudik di masyarakat nusantara ini.

Diseluruh pelosok tanah air menjadi anak tangga, ummat muslim kembali, berduyun-duyun, bersimpuh dan berkumpul dengan sanak keluarga mereka.

Di tengah himpitan ekonomi yang melanda bangsa ini, karena beberapa pekan sebelum kita memasuki bulan ramadhan. Dengan “tegahnya” pemerintah menaikkan BBM, praktis semua kebutuhan pokok hingga biaya transportasipun akan berlipat dua kali pula untuk melakoni tradisi mudik ini. Dibandingkan misalnya dengan biaya untuk mudik pada tahun sebelumnya.

Sebuah tradisi “pulang udik”, dalam terminologi mudik yang dari kata udik adalah desa. Naiknya biaya transportasi bagi yang benar-benar hendak mudik. Itu tidak jadi masalah, merogok kocek rupiah demi berkumpul sanak keluaraga dan handa taulan, itulah intinya.

TAFSIR

Ibarat debu beterbangan di musim kemarau, dengan lakon yang sama berulang-ulang, kemudian debu beterbangan itu akan kembali menyatu dengan sumber asalinya di bumi. Lalu datang hujan menyapu rata debu yang masih melekat di setiap benda hidup dan mati di bumi ini. Sebuah ritual silih berganti, hukum alam yang bekerja pada ruang dan waktu.

Jangan sampai mudik lebaran yang dengan gampangnya kita biarkan berlalu. Tanpa lagi perlu ada tafsir otentik ketuhanan. Ketika lidah dengan fasihnya menghafal rukun Islam, serta rukun iman dianggap tidak perlu lagi melakukan penjajakan terhadap tradisi yang berulang kali, dilakukan setiap tahun.

Bisa dibayangkan sekejap, ruang tekhnologi dengan perangkat canggih, seorang sudah dapat saling menyapa, meski tidak dalam ruang yang sesungguhnya, tetapi boleh jadi kepuasan psikologis, setelah mendengar suara sanak keluarga, sudah cukup. Lalu mengapa diakhir grand final puasa, semua orang yang sedang merantau merasa wajib, mudik dan bertemu dengan keluarga yang dicintainya.

Tidak cukupkah mereka pada masing-masing merayakan lebaran secara terpisah? Bukankah merayakan idul fitri, adalah merayakan sebuah kemenangan setelah sebulan penuh, berada dalam medan juang, melatih diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan sex, menahan nafsu amarah. Semata-mata ritual personal hamba kepada Tuhannya? Mestikah terasa syahdu dan berlipat ganda pahala yang kita dapatkan. Kalau idul fitri dilaksanakan secara berjamah dengan sanak keluarga di kampong? Jawabannya tidak juga.

Namun apa salahnya ritual mudik dimaknai sebagai peleburan “ego” personal manusia untuk kembali mengingat, tempat pertama kalinya dilahirkan, tempatnya tumbuh dari anak, remaja, hingga dewasa. Bertemu dengan para sahabatnya di masa lalu, mengurai kenangan.

Jika ditafsir ulang, tradisi mudik memberi makna, sehebat-hebatnya manusia, bagaimanapun jauhnya melangkah akan kembali ke pangkalnya. Sama halnya dengan lamanya manusia menjalani prosesi kehidupan, meski sebagian ada juga yang hidupnya tidak terlalu lama di dunia. Tetap akan kembali pada sumber asali yang dicintainya yaitu kematian.

PESAN TEOLOGIS
Yang jelas dan pastinya mudik merupakan renovasi kesadaran spiritual manusia, mengenang kembali jiwanya yang asali. Sungkem dan berjabat tangan di hadapan orang tua bagi yang masih hidup orang tuanya, lebih penting lagi mudik untuk tidak dilewatkan, karena di sanalah terletak bakti seorang anak terhadap ibu dan ayahnya.

Sebaliknya, meski seorang ibu ditinggal jauh oleh anaknya, merantau di kampung negeri seberang. Mereka akan berkata, tidak cukup dan lengkap rasanya sang orang tua jika tidak bersama dengan anak-anaknya merayakan lebaran di kampung. Cinta dan kasih sang orang tua telah melebur dalam keagungan Tuhan, hendak meraih nikmatnya “iman” dalam kebersamaan. Itulah Islam, sebagai jalan agama yang benar-benar memasrahkan diri sepenuhnya secara total kepada Allah SWT.

Pesan teologis yang termaktub dalam tradisi mudik sehingga orang rela merogoh koceknya, menantang maut sepanjang perjalanan, selayaknya seorang yang melaksanakan ritual Haji.

Dengan menembus lorong waktu dan jarak yang amat panjang, ummat Islam di tanah suci, ada sebuah peristiwa mengenang kelahiran agama Tauhid di sana, agama yang Esa. Maka dalam konteks mudiknya setiap orang yang relah bertaruh nyawa demi berkumpul dengan keluarga handa taulan, juga merupakan napak tilas mengenang dirinya, pertama kali diperkenalkan siapa Tuhan yang wajib di sembah, oleh orang tua, dan para gurunya di kampung. 
Sumber: carrefour.co.id
 
[Read More...]


Beban Pembuktian “Digital Signature”



Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, terutama pada bahagian tata kerja digital signature sehingga dapat digunakan sebagai kode pembuka dalam meninjau ulang kontrak yang ada dalam privasi kedua pihak tersebut. Dapat menjadi gambaran awal kekuatan pembuktian yang melekat terhadap digital siganture dalam pembuktian hukum acara perdata. Apakah digital signature disamakan kekuatan beban buktinya dengan tanda tangan konvensional yang dibubuhkan pada surat dan akta yang sering dijadikan alat bukti dalam Hukum Acara Perdata ? Lantas, apa ide dasar sehingga digital siganature itu ke depannya dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan akta otentik?

Mengingat perkembangan tekhnologi yang meniscayakan terjadi peristiwa hukum dalam dunia siber, maka konsep hukum untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan tekhnologi di bidang ekonomi, sosial dan budaya harus dikaji ulang. Dalam melahirkan harmonisasi berbagai regulasi yang dapat menjadi payung hukum dalam UU yang terkait dengan transaksi elektronik.

Kedua pertanyaan tersebut di atas merupakan fokus pembahasan dalam menguraikan permasalahan hukum yang kedua ini.

Digital signature sebagai tanda tangan yang melekat dalam sertifikat digital dan telah diverifikasi oleh lembaga CA keotentikannya. Namun karena hingga sekarang belum ada pengakuan terhadap lembaga CA, sebagai lembaga yang dapat menerbitkan sertifikat digital tidak diberikan kewenangan untuk menciptakan akta elektronik yang otentik.

Maka dengan sendirinya digital signatute tidak dapat disejajarkan kekuatan beban bukti yang melekat dalam akta otentik yang memang sengaja dibuat sebagai “alat bukti kuat” oleh pejabat berwenang (dalam hal ini Notaris). Oleh karena itu, untuk menganalisis kekuatan beban bukti yang melekat dalam digital signature maka yang menjadi indikatornya adalah kekuatan pembuktian yang melekat dalam akta di bawah tangan serta kekuatan pembuktian yang melekat terhadap akta otentik.

Menurut Yahya Harahap (2005: 566) kekuatan pembuktian yang melekat dalam Akta Otentik (AO) terdiri atas tiga kekuatan yang melekat yaitu:

Kekuatan pembuktian luar

suatu AO yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai AO, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan AO. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap AO harus dianggap benar sebagai AO sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

Kekuatan pembuktian formil

Berdasarkan Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam AO dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim.

Kekuatan pembuktian materil. Dalam kekuatan AO yang ketiga ini termaktub tiga prinsip yang terkandung dalam AO yaitu:
 
  1. Penanda tangan AO oleh seorang untuk keuntungan pihak lain, ini merupakan prinsip pokok kekuatan materil suatu AO yang mana setiap penanda tangan AO oleh seorang selamanya harus dianggap untuk keuntungan pihak lain, bukan untuk keuntungan pihak penandatangan.
  2. Seorang hanya dapat membebani kewajiban kepada diri sendiri. Prinsip ini merupakan lanjutan dari prinsip pertama. Berdasarkan prinsip ini dihubungkan dengan asas penanda tangan AO untuk keuntungan pihak lain, dapat ditegakkan kekuatan materil pembuktian AO meliputi: siapa yang menandatangani AO berarti dengan sukarela telah menyatakan maksud dan kehendak seperti yang tercantum di dalam akta, tujuan dan maksud pernyataan itu dituangkan dalam bentuk akta untuk menjamin kebenaran akta tersebut, oleh karena itu dibelakang hari penanda tangan tidak boleh mengatakan atau mengingkari bahwa dia tidak menulis atau memberi keterangan seperti yang tercantum dalam akta, namun demikian perlu diingat bukan berarti kebenaran itu bersifat mutlak sesuai keadaan yang sebenarnya. 
  3. Akibat hukum akta dikaitkan kekuatan pembuktian materil AO. Apabila terdapat dua orang atau lebih, dan antara satu dengan yang lain saling memberi keterangan untuk dituangkan dalam akta, tindakan mereka itu ditinjau dari kekuatan pembuktian materil AO menimbulkan akibat hukum meliputi: keterangan atau pernyataan itu sepanjang saling bersesuaian, melahirkan persetujuan yang mengikat kepada mereka. Dengan demikian akta tersebut menjadi bukti tentang adanya persetujuan sebagaimana yang diterangkan dalam akta tersebut.

Masih menurut Yahya Harahap (2005: 590) daya kekuatan pembuktian Akta Bawah Tangan (ABT) hanya memilik dua daya kekuatan pembuktian. Tidak memiliki kekuatan pembuktian luar sebagaiman AO yang tidak bisa dibantah kebenarannya oleh hakim, sehingga harus pihak lawan yang mengajukan pembuktian “kepalsuan” atas akta itu. Tegasnya kekuatan pembuktian ABT diuraikan sebagai berikut:
  1. Daya kekuatan pembuktian formil. Sejauh mana daya kekuatan pembuktian formil ABT dapat dijelaskan dalam dua item: (a) Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum di dalam akta. Bedasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui siapa saja atau orang yang menanda tangani ABT: (1) dianggap benar menerangkan seperti apa yang dijelaskan dalam akta, (2) berdasarkan kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan, (2) dengan demikian daya kekuatan pembuktian ABT meliputi kebenaran identitas penanda tangan serta menyangkut kebenaran idenitas orang yang memberi keterangan. (b)Tidak mutak untuk keuntungan pihak lain. Daya pembuktian formalnya tidak bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain. Karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Dengan demikian keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan pihak lain karena isi keterangan yang tercantum di dalam ABT belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak. Dalam ABT masing-masing para pihak dibenarkan oleh hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan.
  2. Daya pembuktian materil. Jika pada daya kekuatan pembuktian formil titik permasalahan menyangkut kebenaran isi tanda tangan dan penanda tangan, maka pada daya pembuktian materil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebenaran isi keterangan yang tercantum di dalam ABT. Benarkah atau tidak isinya ? dan sejauh mana kebenaran isi yang tercantum di dalamnya? prinsip yang harus ditegakkan daya pembuktian materil adalah (a) secara materil isi keterangan yang tercantum di dalam ABT, harus dianggap benar (b) dalam arti apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap sebagai keterangan yang dikehendakinya, (c) dengan demikian secara materil, isi yang tercantum dalam ABT mengikat kepada diri penanda tangan.

Dari dua bentuk akta yang dikutip berdasarkan ulasan Yahya Harahap sifat yang melekat dalam akta otentik jika hendak dibantah terletak pada tindakan “pembuktian atas kepalsauan akta tersebut”. Sedangkan pada Akta Bawah Tangan (ABT) daya kekuatan mengikatnya yang tidak memiliki pembutian keluar (harus dianggap benar, sepanjang tidak ada alat bukti yang sah dapat menggugurkannya), terletak pada tindakan untuk mendapat kekuatan sebagai alat bukti ABT adalah pembuktian keaslian.

Hal ini juga dapat diamati secara singkat dengan memperhatikan pengertian AO dan pengertian ABT.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPdt menegaskan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Sedangkan Akta Bawah Tangan (ABT) ditegaskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata “sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.”

Akan tetapi menurut Soepomo sebagaimana dikemukan oleh Yahya Harahap (2005: 590) ditinjau dari segi hukum pembuktian agar suatu tulisan bernilai sebagai ABT, diperlukan beberapa persyaratan pokok diantaranya: (a) surat atau tulisan itu ditanda tangani; (b) isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (rechtshandeling) atau hubungan hukum (rechts betrekking); (c) sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di dalamnya.

Jika dua kekuatan akta yang dikemukan di atas, dalam sertifikat digital yang kemudian melahirkan dokumen/ surat elektronik hanyalah dapat digolongkan dalam Akta Bawah Tangan (ABT). Meskipun hal itu sertifikat digital dengan prinsip kerjanya yang terjamin rahasia dari surat tersebut oleh para pihak yang melakukan transaksi elektronik. Tapi salah satu sifat yang dimiliki oleh akta otentik tidak berlaku dalam sertifikat digital. Sifat yang melekat dalam AO adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Sementara pada sertifikat digital meskipun pembuatan sertifikat digital dibawah lembaga CA, namun lembaga tersebut tidak melakukan cross-cek sebagaimana lazimnya Notaris yang dapat mengidentifikasi peristiwa hukum yang lahir diantara para pihak tersebut. Lembaga CA hanya bertugas sebagai badan hukum yang menyediakan layanan keamanan yang dapat dipercaya oleh pengguna dalam menjalankan pertukaran informasi secara elektronik yang memenuhi empat aspek kemanan yaitu: privacy, authentication, integrity dan non repudation.

Sertifikat digital meskipun oleh para ahli IT mengatakan sudah demikian terjamin kerahasiaannya, tetapi meski dengan canggihnya tekhnologi tetap memilki kelemahan terkait dengan persoalan keamanan dari sertifikat digital dan digital siganture tersebut, yang kemungkinan besar masih dapat dibobol oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu sangat sulit untuk mengatakan bahwa sertifikat digital dan digital signature memilki daya pembuktian yang kuat sebagaimana layaknya dengan akta otentik.

Tanda tangan digital tetap tidak bisa disamakan dengan tanda tangan yang terdapat dalam akta otentik, oleh karena sampai saat ini tanda tangan digital belum diatur hukum pembuktiannya, juga sangat rumit pembuktiannya, khususnya jika terjadi sengketa di pengadilan.

Adanya lembaga yang memfasilitasi para pihak dalam transaksi elektronik dalam hal ini CA, tetap tidak dapat menggantikan posisi Notaris dalam pembuatan akta otentik, meskipun secara elektronik, karena tanpa adanya legitimasi dari Notaris maka akta elektronik tersebut hanyalah sebatas surat yang tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Dalam hemat UU ITE dokumen elektronik sudah dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan terutama dalam pembuktian hukum acara perdata. Meskipun dalam hal ini, kekuatan dokumen elektronik hanya dapat disejajarkan dengan Akta Bawah Tangan (ABT).

Oleh karena dokumen elektronik memiliki daya kekuatan pembuktian setingkat dengan ABT. Maka digital signature dalam surat elektronik juga memilki kekuatan pembuktian dalam hukum acara juga terbagi dua, antara lain:
 
  1. Kekuatan pembuktian formalnya. Dianggap benar apa yang tercantum dalam surat elektronik tersebut, daya kekuatan pembuktiannya adalah berdasarkan kebenaran identitas penanda tangan dan kebenaran identitas orang yeng memberi tanda tangan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan dekripsi kembali terhadap kunci publik dan kunci privat dari digital signature maka akan terbaca siapa saja yang bertanda tangan. Namun sifatnya tanda tangan tersebut tidak memilki daya pembuktian keluar (mutlak benar) jika salah satu pihak mengingkari tanda tangannnya.
  2. Kekuatan pembuktian materil. Secara materil isi keterangan yang tercantum dalam surat elektronik juga dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendaki para pihak, jika tidak ada pengingkaran. Atau dengan kata lain jika isi surat tersebut tidak dibantah secara tegas, maka surat tersebut dapat mempunyai nilai kekuatan yang sempurna.

Boleh saja kekuatan tanda tangan digital dalam surat elektronik itu disejajarkan dengan akta otentik, namun hanya dapat terjadi jika para pihak tidak ada yang mengingkari tanda tangan tersebut dan sesuai dengan aturan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Argumentasi hukum yang lain menjadi dasar sehingga surat elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan adalah berdasarkan Pasal 5 UU ITE. Terutama pada Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan “informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana mana dimaksud pada ayat 1 adalah alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.”

Artinya, dengan ketentuan pasal tersebut tidak ada alasan untuk mengingkari surat elektronik, termasuk digital signature yang melekat di dalam surat elektronik adalah bukti yang sah dan dapat dipergunakan dalam hukum acara di pengadilan.

Hal ini akan lebih jelas, jika berpedoman pada pendapat yang dikemukana oleh Paton (dalam Hari Sasangka, 2005: 41) yang secara tegas membagi alat bukti dalam tiga bagian. Pendapat tersebut direduksi dari Surat Ketua Mahkamh Agung RI Kepada Menteri Kehakiman Ri Nomor 37/ TU/88/102? Pid/ 1988, maka alat bukti dapat berupa: (a) Oral merupakan kata-kata yang diucapkan dalam persidangan yang meliputi keterangan saksi; (b) Documentary meliputi surat; (c) Demonstrative Evidence yaitu alat bukti yang berupa material dan barang fisik lainnya misalnya film, foto dan lain-lain.

Dalam kaitanyannya dengan digital signature sebagai data elektronik berarti termasuk dalam demonstrative evidence karena data tersebut berada dalam bentuk soft yang tersimpan dalam memori komputer. Ataukah lebih tepat lagi jika sekiranya sertifikat digital, surat elektronik dan khusus digital signature dimasukkan dalam alat bukti elektronik evidence sebagaimana yang dikemukakan oleh Dikdik Arief Mansur (2009: 101) bahwa “dokumen elektronik tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas alat bukti yang masuk kategori documentary evidence. “

Dalam hukum acara perdata kita sebagaiama yang ditegaskan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG dan Pasal 1866 BW alat bukti elektronik tidak ditentukan, hanya disebutkan alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan alat bukti sumpah. Maka memasukkan digital signature dalam alat bukti surat sudah tepat, namun dibalik itu hanya dapat dijadikan sebagai surat Akta Bawah Tangan saja.

Tuntutan perkembangan tekhnologi ketika kontrak mengalami dinamisasi dalam masyarakat menuju global society. Mestinya perkembangan hukum dapat menyerap segala kepentingan para pihak. Agar perjanjian yang terjadi dalam transaksi elektonik tidak lagi hanya melahirkan surat yang hanya berfungsi sebagai akta di bawah tangan saja, maka ke depannya seyogiayanya Notaris dilibatkan dalam penerbitan surat atau akta elektonik.

Peran Notaris dalam penerbitan dokumen elektronik, karena mau tidak mau transaksi dalam dunia elektronik merupakan tuntutan zaman yang harus diikuti pula dengan pengembangan keilmuan Notaris demi terwujudnya kemajuan dunia Notaris, khususnya Notaris dalam mewujudkan sistem pelayanan jasa yang dituntut untuk praktis, cepat, dan biaya yang terjangkau.

Berdasarkan empat aspek keamanan yang terdapat dalam sertifikat digital yang diberikan oleh CA (Certification Authority) atau TTP (Thrusted Third Party) yaitu privacy, convidentaility, authentification dan integrity. Dengan demikian surat elektronik tidak diragukan lagi sebagai dokumen yang terjamin kemanannya dalam melakukan transaksi elektronik. Dalam posisi ini, peran Notaris dilibatkan dalam transaksi elektronik untuk memberi legitimasi yang kuat terhadap transaksi yang berlangsung melalui; mengidentifikasi tanda tangan elektronik dan penanda tangan, serta memverifikasi dokumen elektronik/ informasi elektronik yang ditandatangani.

Dalam konteks itu Notaris bersama-sama dengan pihak CA sebagai pihak ketiga yang dipercaya dalam mengamankan dan melegitimasi transaksi elektronik yang merupakan pihak ketiga, baik berupa perorangan maupun badan hukum yang dipercaya untuk memastikan atau menegaskan identitas seseorang, dan bertugas menyatakan kunci publik-privat yang digunakan untuk membuat digital signature adalah milik orang tersebut. Tentunya peningkatan status surat elektronik menjadi akta yang setingkat dengan akta otentik ke depannya, Notaris sudah harus dilibatkan dalam perjanjian keperdataan di dunia elektronik, yang saat ini dikenal dengan istilah cyber notary.

Pembaharauan UU 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (disingkat UUJN) sudah mesti dilakukan dalam rangka menambah kewenangan Notaris sebagai sistem penyelenggara di bidang kenotariatan secara elektronik. Penyempurnan UUJN maupun RUU dan atau amandemen KUHPdt harus merumuskan bahwa produk sistem penyelenggaraan jasa di bidang kenotariatan secara elektronik yaitu akta elektronik merupakan alat bukti elektronik yang dapat diterima dan diidentikan sebagai alat bukti tertulis yang otentik.
Sumber: lerablog.org

Penambahan tersebut terutama kewenangan Notaris dalam pemanfaatan tekhnologi informasi berupa komputer, jaringan komputer dan/ atau media elektronik lainnya dalam hal melakukan transaksi elektronik, berkomunikasi, mendengarkan, mengamati, mencermati, serta memahami seluruh perbuatan, kejadian atau keadaan yang berhubungan langsung dalam proses pelaksanaan tugas dan kewenangan jabatan Notaris dalam memberikan legitimasi terhadap transaksi elektronik.



[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors