Ibu, Kaulah Permata Jiwaku




22 Desember banyak orang menyebutnya Hari Ibu. Di jejaring sosial, facebook, twitter, hingga BBM semua pada ramai menuliskan selamat hari ibu. Tapi saya pribadi merasa belum lengkap, jika ucapan itu hanya kutuliskan, melalui media sosial semata.

Lebih berarti dan kiranya sangat bermakna, walau itu tidak mampu juga membayar jasa seorang ibu, jika aku mengisahkannya dalam kalimat hingga pada bait-bait pragraf. Minimal agar suatu waktu, jika aku rindu dengannya, aku dapat membuka kembali catatan-catatan itu.

Ibuku yang bernama Nawa, dia adalah wanita hebat, dapat membesarkan kami dari empat bersaudara, bahkan aku berani menyebutnya; dia akan selalu menjadi intan dan permata yang terus menerangi hidup dan perjuanganku.
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Aku pernah diceritakan oleh Ibuku, dia nikah di usia muda atas kemauan orang tua-nya. Walaupun ia dinikahkan bukan atas kemauannya, tampak ia dapat melakonkan dirinya sebagai istri. Cuma saja ketetapan Tuhan harus ia terima, karena suaminya meninggal saat kami belum bisa mandiri. Dan parahnya lagi, suaminya meninggal dengan cara yang tidak layak, mati dengan cara bunuh diri. Saat itu, ketika jarum jam diputar surut kebelakang, memori kematian ayahku tak pernah terhempas dari benakku. Ia kulihat meneguk racun di rumah-rumah sawah, tempat kami sekeluarga, kadang dikumpulkan jika orang tua kami sedang menggarap sawahnya.

Meskipun orang selalu mengatakan bahwa kematian ayahku, adalah kematian yang tidak dikehendaki, hingga banyak yang menyimpulkan “rohnya” tidak mungkin terterima oleh Allah SWT. Maha puji Allah, dialah yang maha tahu atas semua ketetapan-Nya. Pun doa-doa keselamatan selalu kuhaturkan untuknya, agar kiranya Allah SWT mengampuni dosa-dosanya.

Terlepas dari kematian ayahku, yang paling merasa terpukul sudah pasti ibuku sendiri. Saat usia kakak saya yang tertua pada waktu itu baru berumur sekitar 7 tahunan. Ibuku yang “terpaksa” harus mengambil lakon seorang ayah pula untuk kami. Ibu saya bukan hanya menjadi ibu rumah tangga, yang mengurusi perlengkapan dapur agar anak-anaknya dapat menikmati makanan seperti anak lainnya. Di luar itu semua, ia pula menjadi seorang petani yang menggarap kebun kami, setelah ayah saya meninggalkannya. Ia tak sungkan mendayung cangkul di atas tanah garapan kami, demi baktinya, kepada semua anaknya

Ibu saya adalah pekerja keras, walau sakit kadang menghampiri dirinya. Ia tidak pernah peduli, ia ingin membuktikan kepada semua orang kalau tuduhan mereka selama ini, dirinya gagal menjadi istri yang baik, dia dituding oleh tetangga saya bahkan sampai keluarga-keluarga saya dari pihak ayahku, menyalahkan ibuku, kalau dialah penyebab kematian ayah saya.

Dalam waktu yang berpuluh tahun, ibu saya walau kadang tidak mampu menahan hinaan, celaan semua orang yang mengenalnya. Kadang air mata bercucuran meleleh di hadapan anak-anaknya, saat menceritakan ada banyak tuduhan yang menghinakan dirinya sebagai istri yang gagal membina rumah tangga. Ia mampu menunjukan kepada dunia, dan menggenggam dunia, kalau hinaan semua itu, adalah pembangkit semangat baginya untuk membesarkan kami berempat.

Ladang perkebunan kami yang terdiri dari tanaman cengkeh, lada, dan kakao akhirnya cukup berhasil untuk membiayai segala kebutuhan keluarga. Ia menyekolahkan anaknya semua hingga tamat di perguruan tinggi. Di saat ada banyak orang yang memiliki orang tua, lengkap ayah dan ibunya, nyatanya mereka tidak sanggup menyekolahkan anaknya seperti kami.

Satu pesan ibuku. Mugkin alasan itu sedikit tidak masuk akal. Alasan dia menyekolahkan anak-anaknya “agar katanya anak yang dilahirkannya itu, tidak mengikuti jejak ayahnya, setiap ada kemarahan lalu memilih jalan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri”.

Bukan berarti aku mensyukuri kematian ayahku, sehingga kadang aku kemudian beralibi, mungkin karena ayah kami cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, sehingga kami semua ditakdirkan untuk mengecap bangku perguruan tinggi. Tapi yang pasti, setiap kisah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk melakoninya, terdapat makna yang harus kita baca sebagai hikmah di atas hikmah, lalu kita bisa bijak membaca tanda-tanda segala kemahakuasaan-Nya.

Andai saja, ayahku hidup sampai sekarang, belum tentu anaknya dapat menjadi orang yang menyandang gelar sarjana. Sebab tradisi kampung kami, seoang ayah selalu merasa selesai menyekolahkan anaknya setelah menamatkan bangku SD, kalaupun sudah selesai SMP itu lebih dari cukup. Apalagi berhasil menamatkan SMA, sudah dianggap sangat sempurna. Dan tak kurang anak-anak di kampung kami, orang tuanya lebih berharap anaknya kelak menjadi petani, agar dapat mewarisi pekerjaan ayahnya, merawat semua tanaman yang selama ini menghidupi mereka.

Ibuku sebagai single parent memang hanya pernah sekolah setingkat SD, itupun tidak tamat, karena dia berhenti di saat ibunya (nenek saya), pada waktu itu katanya sudaah sakit-sakitan. Terpaksa ibu saya walau masih muda, ia berhenti sekolah, ia menggantikan peran mamanya; memasak, pergi ke pasar menjual hasil pertanian, agar ayahnya (kakek saya) ada yang mengurus segala kebutuhan makannya, ketika ia pulang dari bertani.

Keberuntungan tiada taranya, ibuku bisa baca tulis, bahkan bisa membaca ayat Al-Qur’an. Sehingga ia termasuk ibu yang sekaligus menjadi guru membaca aksara Indonesia. Juga mengajarkan kepada anak-anaknya, untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an.

Kendati hanya memiliki kemampuan, mengajari kami untuk membaca dan tidak mungkin lagi menguasai mata pelajaran saat kami di SMP, SMA, apalagi perguruan tinggi. Namun tekadnya selalu kuat dalam doa dan kerjanya, berharap agar kelak anak-anaknya berhasil atas semua mimpi yang dicita-citakannya.

Dia tidak pernah memaksa kami, untuk harus menjadi kaya, memilih jurusan elit di kampus-kampus perguruan tinggi. Semuanya diserahkan kepada anaknya, apa yang kami mampu kerjakan; saya bahagai, kami bahagia, dirinyapun akan ikut bahagia bersama anak-anaknya. Dia memang bukan filsuf, tapi dari kata-kata dan pesan moralnya “bahwa kebaikan dan kebenaran saya kira engkau tahu, maka terserah jalanmu, kau mau memilih yang mana, aku sudah cukup membesarkan dan menyekolahkanmu, ibu sudah bangga.” Ibu kami bisa menjadi filsuf di bilik-bilik keluarga.

Maka hari ibu, bukanlah hari yang cukup untuk merenungi pegorbanan seorang ibu, bahkan semua hari dalam hela napas kita semua, itu tidak cukup untuk menandingi segala kisah dan asa perjuangannya. Air mata dan cucur keringatnya tidaklah mampu terbayar hanya dengan kekuatan materi.

Dari senyum pilu, haru, dan bahagia, yang kelak akan mengantarnya “tenang” ketika dia pun harus dijemput oleh sang kuasa Ilahi. Memang berat kita kehilangannya, karena dia akan selalu hidup bak permata yang bersinar dalam kegelapan; luka dan derita. Jiwanya akan terus membatin dalam setiap derap langkah, kepada anak yang pernah dibesarkannya. Ibu, dosaku amat banyak padamu, maka kuserahkan segala amalku hanya untukmu selalu. Engkau punya hak atas diriku ini. Selamat Hari Ibu.



Tamalanrea, 22 Desember 2014
Sumber Gambar: nizalsyahroni.com


[Read More...]


Perppu Mencabut Undang-Undang?




DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
Pemerintahan era SBY-Boediono memang telah berakhir. Dan kini telah digantingkan masa pemerintahan Jokowi-JK. Tapi patut menjadi catatan, bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perppu Pilkada) yang telah diterbitkan oleh SBY kemarin diakhir pemerintahannya. Implikasi hukumnya jelas menjadi warisan pemerintahan selanjutnya, yakni pemerintahan Jokowi-JK.

Implikasi hukum selanjutnya yang dimaksud adalah akan digelar sejumlah Pemilihan Kepala Daerah, baik di beberapa Provinsi, Kabupaten, maupun Kota, yang sudah nyata-nyata berada dibawah kendali pemerintahan Jokowi-JK.

Namun yang penting untuk dipertanyakan atas Perppu Pilkada itu, meskipun secara konstitusional penerbitan Perppu oleh Presiden merupakan hak subjektifnya; Apakah Perppu Pilkada sejak diterbitkan sudah mengikuti limitasi hukum ketatanegaraan yang telah ditentukan?

Sekiranya pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya, sebab ruang yang terlalu terbuka bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu, kemungkinan besar Presiden akan “sewenang-wenang” atau dengan kata lain seenaknya saja menerbitkan Perppu.

Bahkan dengan gampangnya Presiden “mengobral” Perppu justru akan melahirkan “abuse of power”. Abuse of power bisa saja terjadi karena proses lahirnya Perppu, bukan dalam wailayah kegentingan memaksa, tetapi hanya karena tendensi politik, dengan gampangnya saja Perppu kemudian lahir.

Setidaknya melalui Putusan MK Nomor: 138/ PU-VII/ 2009, limitasi syarat kegentingan memaksa sudah dapat menjadi landasan formil bagi Presiden menerbitkan Perppu. Yaitu (i) Adanya keadaan yaitu kebutuhan hukum yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang (UU) yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perppu Tidak Dapat Mencabut UU
Bagaimana dengan Perppu Pilkada? Apakah telah memenuhi limitasi kegentingan memaksa yang telah digariskan oleh putusan MK tersebut?

Salah satu hal fundamental lahirnya Perppu Pilkada, yakni ada tindakan awal sebelumnya yang dilakukan oleh Presiden (dalam hal ini SBY pada waktu itu), dengan terlebih dahulu mencabut keberlakukan UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), kemudian pada “detik” itu juga diterbitkan Perppu Pilkada.

Adapun maksud dicabutnya UU Pilkada, agar limitasi kegentingan memaksa, yang mana salah satu unsurnya harus terjadi kekosongan hukum. Bahwa ketika UU Pilkada sudah dicabut berarti sistem Pemilihan Kepala Daerah berada dalam tafsir “telah terjadi kekosongan hukum.”

Dari tindakan penerbitan Pilkada itu ternyata menyimpan sejumlah kejanggalan. Pertama, apakah Presiden memiliki landasan hukum dapat mencabut keberlakuan UU? Jawabannya, dalam perspektif hukum ketatanegaraan tidak dibolehkan. Adapun masa berakhirnya UU yang dapat melibatkan Presiden, hanya dapat terjadi melalui penerbitan UU yang nama dan substansi UU-nya sama. Yaitu dengan pembahasan UU tersebut di DPR, kemudian disetujui bersama (DPR dan Presiden), dan selanjutnya disahkan oleh Presiden. Itu artinya, pencabutan UU Pilkada yang dilakukan sepihak oleh SBY tidak ada basis hukumnya.

Kedua, apakah Perppu dapat mengakhiri keberlakuan UU? Dalam penelusuruan berbagai literatur, tidak terdapat landasan hukum ketatanegaraan maupun landasan teori perundang-undangan, kalau Perppu dapat mencabut keberlakuan UU. Bahwa kembali pada syarat penerbitan Perppu yang telah ditegaskan oleh MK, Perppu hanya dapat diterbitkan dalam tiga prasyarat. Dan syarat yang paling utama, mesti terjadi kekosongan hukum. Satupun dalam prasyarat penerbitan Perppu tersebut, tidak ada teks/ketentuan hukum, Perppu dapat terbit untuk mencabut keberlakuan suatu UU.

Terlepas dari polemik, “kisruh politik” dan kehendak publik selama ini, kalau DPR kelak disaat menguji “objektivitas” Perppu Pilkada (formilnya), dan mereka ingin taat dalam ruang lingkup hukum ketatanegaraan, seharusnya Perppu Pilkada ditolak. Kenapa harus ditolak? Jawabannya sederhana; sebab tidak ada Perppu yang dapat diterbitkan sepanjang tidak ada kekosongan hukum. Bukankah sistem Pemilihan Kepala Daerah sudah ada aturan hukumnya dalam UU Pilkada?

Hakikat dan manfaat lain, perlunya Perppu Pilkada ditolak oleh DPR nantinya, juga bersandar pada alasan, bahwa penolakan Perppu itu bertujuan untuk “mendisiplinkan” agar Presiden tidak semena-mena mencabut UU, oleh karena tidak ada kewenangannya yang diberikan oleh UUD NRI 1945 maupun UU di bawahnya untuk mencabut keberlakuan UU.

Uji Materil UU Pilkada
Oleh karena Perppu yang dapat mencabut keberlakuan UU tidak ada dasar hukumnya. Maka satu yang pasti, meskipun Perppu Pilkada ditolak nanti oleh DPR dalam sidang paripurna berikutnya, mustahil terjadi kekosongan hukum. UU Pilkada itulah yang berlaku. Ingat! UU hanya dapat dicabut dengan UU pula, bukan dengan Perppu.

Dengan demikian, berdasarkan argumen yang telah dikemukakan di atas. Terutama bagi pihak yang pro Pilkada Langsung, wajar saja jika menyayangkan SBY menerbitkan Perppu Pilkada. Perpu Pilkada sudah cacat bawaan sejak lahir, kemudian menutup pula penggunaan mekanisme hukum yang tepat bagi para pihak yang hendak menguji materil UU Pilkada ke MK. Sebab katanya UU Pilkada sudah dicabut keberlakuannya oleh Perppu Pilkada.*






[Read More...]


Perginya Anak Bangsa: Gayatri Wailisa



Sumber Gambar: viva.co.id
Kita hampir ditenggelamkan dengan berita politik, seputar transisi pemerintahan, riuh gedung Senayan dalam perebutan kekuasaan, hingga detik-detik pelantikan presiden dan wakil presiden (Jokowi-JK). Begitu pesta digelar meriah.

Di saat yang sama pula pemberitaan amat dahsyat, adalah pesta pernikahan Rafy Ahmad dan Nagita Slafina yang di blow up oleh beberapa siaran TV swasta. Bahkan pesta artis gagah itu menghabiskan waktu 24 jam, hanya menyoal seputar dirinya saja terus menerus.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan dua tema pemberitaan tersebut. Namun yang patut disayangkan adalah tidak adanya pemberitaan yang seimbang. Media sudah termakan“candu” kapitalis, hingga melupakan aspek kemanfaatan pemberitaan buat publik itu sendiri.

Adalah anak bangsa yang bernama lengkap Gayatri Wailisa, disaat sakratul maut mnenjemputnya, tak ada pemberitaan yang “live” dari stasiun TV sedianya langsung kita bisa saksikan. Tak ada pemberitaan sedahsyat pesta meriah pernikahan Rafy Ahmad.

Hal ini sangat jauh bertolak belakang dari dua pemberitaan yang bernuansa “pesta” itu. Kabar meninggalnya Gayatri pertama kali dilansir melalui media online Jakarta dan Kaskus dengan mengutip konfirmasi Mantan Panglima Kodam XVI/ Pattimura Mayor Jenderal Eko Wiratmoko pukul 20.00 WIB di RS Abdi Waluyo (23/10/014).

Ada apa sebenarnya dengan diri kita? Ketika jauh lebih perihatin dan takut ketinggalan berita keseharian dari artis ternama, dibandingkan berita kematian anak secerdas Gayatri (yang menguasai 14 bahasa asing).

Bisa dikatakan, mungkin kita sama sekali tidak peduli, bahkan abai atas kelebihan anak asal Ambon Manise itu. Padahal, jika ditelisik lebih jauh kehidupan Gayatri, ada banyak hikmah, keistimewaan yang dapat menjadi teladan untuk kita.

Saya sendiri ketika pertama kali, membaca berita duka kematian Gayatri dari media online. Diberitakan kalau beliau meninggal, karena terjadi pendarahan pada otaknya, hati saya remuk, bulu kuduk saya berdiri, membayangkan anak bangsa yang “layu” sebelum menggapai semua harapannya, hanya untuk mengabdi demi bangsa dan negerinya, saatnya dijemput oleh maut.

Siapa Gayatri?
Sebelumnya tak ada yang kenal Gayatri, namun berkat salah satu program TV swasta (Metro TV) “Kick Andy”, Gayatri popularitasnya kemudian melesat bak meteor, hingga seluruh warga di negeri ini pada mengenalnya.

Simaklah anak yang masih berumur 15 tahun waktu itu, ketika memeraktikan banyak bahasa asing di Kick Andy, beberapa orang dari luar negeri yang hadir di acara Kick Andy, tiba-tiba bulir air mata mereka tak mampu tertahan, dikala menyaksikan Gayatri berkali-kali “pindah bahasa” saat memperkenalkan diri dan segala prestasinya.

Gayatri ternyata adalah Alumnus SMA unggulan Siwalima Ambon. Dia lahir di Ambon 31 Agustus 1995 dari pasangan seorang tokoh religius Deddy Darwis Wailissa, seorang pengrajin kaligrafi dan Nurul Idawaty, wanita keturunan Bugis yang tinggal di JL. Sultan Babula Waihong, kota Ambon.

Gadis ini terlahir meski dari keluarga sederhana. Dia terus menggali segala bakat yang ada dalam dirinya hingga mampu menguasai bahasa asing dengan baik. Diantaranya: bahasa Inggris, Italia, Spanyol, Belanda, Mandarin, Arab, Jerman, Perancis, Korea, Jepang, India, Rusia, China hingga bahasa katalog. Salah satu mimpinya adalah hendak menjadi seorang diplomat, tapi sayang seribu sayang, begitu maut terlalu cepat merenggutnya.

Hingga berbagai “gelar” kemudian menjuluki dirinya, ada yang menyebutnya “Doktor Cilik”, ada pula yang menyebutnya sebagai “anak ajaib”. Dan memang benar gelar demikian, karena bagaimana mungkin nalar sehat dapat membenarkan, anak yang masih tergolong sangat belia, tapi telah mendunia, kala berhasil masuk seleksi untuk menjadi duta anak mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat nasional.

Dari seleksi itu, akhirnya ia terpilih mengikuti seleksi mewakili Indonesia menjadi duta ASEAN untuk anak 2012-2013. Gayatri kemudian terpilih mewakili Indonesia ke tingkat ASEAN dan mengikuti pertemuan anak di Thailand dalam Convention on The Right of The Child (CRC).

Terplihnya Gayatri sebagai ‘duta anak” merupakan nafas awal, mulainya “detak jantung” dari semua anak-anak di negeri ini untuk disuarakan hak-haknya. Bukankah setiap tahun banyak anak-anak yang tidak terlindungi hak-haknya, hingga terjadi peganiayaan, pemukulan, bahkan hingga pembunuhan anak-anak yang kelak akan menjadi penerus dalam memegang estafet kepemimpinan di negeri ini? Gayatri telah berhasil membuktikan perjuangan itu, mewakili salah satu anak Indonesia, punya arti penting. Kemana bangsanya kelak akan mendayung?

Duka Untuknya
Kini apa yang tersisa buat Gayatri? Mungkin benar pepatah “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Ya, Gayatri hanya meninggalkan nama, kebaikan dan segala kelebihannya. Adalah Anak yang patut dicontoh, dteladani oleh anak-anak kita yang saat ini sedang menempuh pendidikan. Bukan hanya anak yang seumur dengannya, mulai dari anak sekolah dasar, menengah, bahkan seorang yang sudah menyandang gelar sarjana-pun, bukan sebuah kemunafikan jika ingin memiliki kapasitas setaraf Gayatri.

Maka di bulan ini, kita punya pemimpin baru yang bernama Jokowi-JK. Semoga upaya memecah kementerian pendikan menjadi dua bagian, sekaligus revolusi mental yang terus digelorakannya. Adalah bahagian dari keseriusannya untuk melahirkan gayatri-gayatri baru untuk Indonesia hebat.

Indonesia, bahkan semua dunia, ketika anak kelahiran Ambon itu mampu menunjukan kepada kanca internasional, bahwa bahasa adalah bukan sekat bagi setiap orang di dunia untuk menjadi pembeda. Kita semua patut melelehkan air mata untuknya, ini merupakan duka anak bangsa, tidak bisa diprediksi entah kapan lagi akan lahir anak sehebat dia. Selamat tinggal Gayatri Wailisa, senyum manismu akan terus dikenang oleh bangsa ini. Semoga engkau tenang dalam pembaringanmu, karena di sanalah masa yang abadi untukmu. (*)


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mantan Aktivis HMI MPO Komisariat FH Unhas
[Read More...]


Merayakan Kematian Demokrasi



(Artikel Ini Juga Muat diharian Fajar Edisi 1 Oktober 2014)
Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.


Dini hari, menjelang subuh, riuh dari gedung Senayan terus bergemuruh. Anak-anak kala itu yang akan menjadi penerus bangsa di negeri ini masih pada tertidur. Hanya sebagian orang yang mungkin peduli dengan bangsa ini, sedang menahan kantuk mereka, guna menanti putusan akhir sang wakil rakyat yang mereka masih percaya.

Dan tibalah masa pada waktunya, saat Fraksi Partai Demokrat yang diharapkan mengunci “kemenangan’ Pilkada langsung ternyata memilih bermanuver, fraksi Demokrat Walk Out dari rapat paripurna.

Kemudian bersamaan dengan itu, bukan hanya suasana gedung senayan menjadi gaduh, tetapi kita yang ikut menyaksikan pentas demokrasi Senayan, sontak hati langsung menjadi gundah-gulana. Harapanpun kemudian menjadi “ciut”, bahwa mustahil opsi Pilkada langsung akan “menang”. Lima fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) mereka kuat dan tangguh untuk dikalahkan.

Benar demikian, kubu pendukung Pilkada langsung hanya memperoleh 135 suara. Sementara kubu pendukung Pilkada via DPRD berhasil memperoleh suara jauh selisihnya dibanding kubu pendukung Pilkada langsung, yaitu 226 suara.

Kematian Demokrasi

Di kala malam merangkak fajar, atas kabar kemenangan yang didendangkan oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Itu bukan kemenangan yang pantas dirayakan. Namun kematian yang harus dikabarkan, sebagai kematian demokrasi yang telah digembok, diamputasi, disunat, dirampas, bahkan dibunuh oleh wakil terhormat kita.

Lalu rakyat di seluruh pelosok tanah air, berduka. Mereka tidak sungkan meluangkan waktu, datang berduyun-duyun di depan gedung Senayan, hanya untuk melampiaskan duka dan tangisan mereka. Ini adalah kematian, tidak ada salahnya jika air mata turut meleleh, saat menyaksikan demokrasi yang telah diperjuangkan “berdarah-darah” kini menemui ajalnya.

Aksi mereka tidak berhenti sampai di situ saja, sekumpulan orang di depan gedung Senayan, masing-masing meletakan rangkaian bunga. Dan gedung parlemenpun, akhirnya menjadi “nisan” kematian demokrasi.

Ironisnya, kematian itu tidak semua orang berempati. Di tempat yang berbeda, ada pula segerombolan pembunuh demokrasi justru merayakannya.

Diantara mereka, ada hadir golongan suci yang membawa misi kenabian, hadir pula golongan reformis yang telah mempertaruhkan banyak “nyawa” melayang, karena dahulu kala pernah memperjuangkan “demokrasi”. Tetapi kini oknum bersangkutan malah membunuhnya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka pada bersorak-sorak, menggelar pesta-pora “kemenangan”, merayakan kematian demokrasi, saat banyak rakyat yang merintih, karena hak-hak mereka telah di rampas, dan karena “daulat ” miliknya telah dibunuh.

Di saat yang sama pula, ketika rakyat banyak berharap pada satu “dewa penolong”. Apa lacur “sang dewa” pun bermuka durja. Alih-alh diharapkan menjadi “juru selamat” justru dialah “pemubunuh berdarah dingin”.

Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.

Lalu ia berkelakar, akan melakukan pembelaan terhadap korban pembunuhan demokrasi. Di garda terdepan ia akan berdiri tegak memperjuangkan hak-hak para korban dari pemubunuh demokrasi tersebut.

Ini patut diwaspadai oleh rakyat kita, karena alih-alih diharapkan sebagai tim pembela, justru nantinya akan menjadi “musuh dalam selimut”. Maka dari itu mulailah waspada dari sekarang.

Kematian Banal

Selain itu, ada hal yang ganjil dari kematian demokrasi pada “jumat keramat” dini hari kemarin. Di dalamnya ada kematian demokrasi, tetapi kenapa ada segelintir orang yang merayakannya?

Mereka pada tertawa terbahak-bahak, sedang melampiaskan kebencian dan rasa dendam yang berlipat-lipat. Ada apa sesungguhnya? Inikah balasan terhadap rakyat yang “menjatuhkan” mereka dari mimpi untuk meraih panggung kekuasaan, tetapi apa daya justru mereka “terperosok” dalam jurang kekalahan?

Kalau benar demikian, inilah kebencian yang tidak akan ada juntrungnya. Dan terus akan membawa “petaka” krisis kemanusiaan di negeri ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Gunn (Yasraf Amir Piliang: 2007, P. 335) bahwa kebencian terjadi karena ikatan positif atau perekat (sosial, kultural, spiritual) dalam bentuk cinta, persahabatan, kasih sayang, dan saling pengertain telah hancur. Bahwa hancurnnya ikatan-ikatan itu, kelak akan menggiring masyarakat ke arah sifat-sifat kebencian (hatred), atau kemarahan yang akhirnya membawa masyarakat ke arah budaya kekerasan atau kekejaman.

Jika ada yang bertanya, benarkah sekarang terjadi kekerasan demikian, sebagai imbas terbunuhnya “demokrasi”. Jawabannya; benar terjadi. Secara kasat mata memang kekerasan itu tidak nampak, tetapi dalam ruang-ruang virtual, tidak sengaja mungkin kita telah melakukannya.

Karena gejolak kesedihan atas kematian demokrasi. Ada banyak orang “melampiaskan” amarahnya di jejaring sosial. Kata-kata, caci-maki, kebencian, hingga ancaman pembunuhan dihantarkan dalam jutaan bit-bit informasi. Ada pembunuhan karakter terhadap aktor-aktor yang ditengarai terlibat dalam pembunuhan demokrasi, ada rekayasa wajah terhadap tokoh-tokoh yang sedang mereka benci. Bahkan ada perkumpulan di media sosial, yang tidak ada seorangpun bisa membendungnya melalui hastek #shameonyouSBY.

Ini semua penting dimaknai, bahwa merayakan kematian demokrasi. Akan melahirkan perayaan-perayaan baru, melalui media sosial. Pembunuhan bukan hanya terjadi dalam wajah dan fisik semata, tetapi karakterpun bisa dibunuh berkali-kali. Kesimpulannya; kematian demokrasi akan melahirkan kematian-kematian baru.

Bahkan kematian kemudian menjadi peristiwa banal sebagai sesuatu yang gampang, ringan, dan sesuatu yang murah. Kematian menjadi strategi yang disebut Baudrillard di dalam “Fatal Strategies” sebagai strategi kesia-siaan (banal strategi), sebagai kematian yang ringan.

Pada saat itu, mereka tidak mau ambil pusing lagi, dengan makna kemanusiaan dibalik kematian; mereka tidak mau tahu dengan hikmah yang dapat ditarik di balik peristiwa kematian; mereka tidak mau peduli dengan kebenaran yang ada dibalik kematian. Kematian telah tercerabut sama sekali dari konteks moral; kematian telah terlepas sama sekali dari konteks kemanusiaan. Kematian telah menjadi “objek kematian” seperti sikat gigi atau sabun mandi. Demikianlah peringatan kematian yang dipesankan oleh Octavio Paz sebagaimana diceritakan ulang oleh Yasraf Amiri Piliang dalam bukunya “Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital”. Semoga ini dapat menjadi renungan kita bersama, di tengah gemuruhnya demokrasi, telah dibabat habis oleh penguasa yang bertindak lalim, keji, dan kejam terhadap demokrasi itu sendiri. (*)








[Read More...]


Duka Demokrasi Rakyat Indonesia




(Artikel Ini Juga Muat di harian Tribun Timur Makassar, 27 September 2014: Suara rakyat tidak selamanya berbanding lurus dengan wakilnya di parlemen. Konstelasi politik di parlemen yang begitu cair dan dinamis, sulit dibaca mana anggota DPR yang mengatasnamakan rakyat, dan mana yang sekedar menggunakan kata rakyat sebagai “lipstik” bibir saja.


Oleh; Damang Averroes Al-Khawarizmi
Akhirnya putusan politik yang telah lama dinanti berakhir dengan kemenangan atas dominasi Koalisi Merah Putih (KMP). Semuanya telah jelas berdasarkan hasil rapat paripurna yang digelar secara maraton sampai dini hari kemarin (26/9/14). RUU Pilkada disetujui mayoritas parlemen menjadi UU Pilkada, dengan menggunakan sistem Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD.

Melalui rapat paripurna itu pula telah membenarkan prediksi sejumlah pengamat. Bahwa dianutnya kelak pemilihan kepala daerah secara langsung ada di tangan Fraksi Partai Demokrat. Dan di babak penentu, detik-detik terakhir, ternyata Fraksi Demokrat memilih walk out, karena opsi pemilihan langsung yang ditawarkan dengan sepuluh perbaikan ditolak.

Kubu pendukung Pilkada langsung, pun akhirnya meradang, terutama PDIP dan dua rekan koalisinya (PKB dan Hanura). Karena penentu kemenangan Pilkada langsung yang disuarakan oleh PDIP, otomatis akan kalah telak, di saat fraksi Demokrat memilih walk out.

Itu terbukti, kubu pendukung Pilkada langsung yang terdiri dari PDIP, PKB dan Hanura hanya mengumpulkan 135 suara, jumlah itu termasuk pecahan 11 suara dari fraksi Golkar yang membelot, dan 6 suara dari Partai Demokrat yang bertahan untuk tinggal menggunakan hak konstitusinya.

Sangat jauh selisihnya, jika dibandingkan dengan kubu pendukung Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD, yang terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, Golkar,dan PKS, mereka unggul dengan mengumpulkan 226 suara (selisih 91 suara).

Duka Rakyat

Terlepas dari itu semua, bagaimanapun putusan politik tersebut dianggap sangat tendensius. Karena kemenangannya merupakan efek Pilpres 2014, yang dituding sebagai tindakan mengepung koalisi Jokowi-JK kelak. Kita harus menghormatinya sebagai proses politik yang telah dipilih oleh wakil-wakil kita.

Kendati mayoritas rakyat tetap mendukung Pilkada Langsung berdasarkan hasil survey LSI: bahwa ada kurang lebih 81 persen rakyat Indonesia yang mendukung Pilkada langsung. Tetapi itu tidak dapat menjadi ukuran, parlemen akan selalu membawa aspirasi rakyat.

Suara rakyat tidak selamanya berbanding lurus dengan wakilnya di parlemen. Konstelasi politik di parlemen yang begitu cair dan dinamis, sulit dibaca mana anggota DPR yang mengatasnamakan rakyat, dan mana yang sekedar menggunakan kata rakyat sebagai “lipstik” bibir saja.

Warga negara Indonesia boleh berkabung, boleh berduka atas pencabutan hak konstitusioanal ini, yang telah diperjuangkannya berdarah-darah dengan semangat reformasi. Setelah sepuluh tahun menggunakan hak untuk memilih sendiri kepala daerahnya di jantung-jantung daerah. Kini dengan “kegagapan” parlemen yang masih menyimpan rasa amarah dan dendam kekalahan Pilpres 2014, rakyatlah menjadi korbannya.

Dengan berbagai dalih Pilkada langsung, katanya berbiaya mahal, memicu konflik horizontal, hanya melahirkan kepala daerah korup. Rakyat seolah-olah dipersalahkan, rakyat dituding semuanya belum dewasa berdemokrasi, sehingga terlalu gampang “dibodohi” oleh para elit.

Adalah sebuah logika yang tidak tepat, jika rakyat dipersalahkan, kemudian haknya dirampas begitu saja. Kalau dengan alasan Pilkada langsung, hanya akan melahirkan Kepala Daerah korup; Mengapa pula hak politik rakyat itu yang dicabut? Bukankah lebih pantas Kepala Daerah yang terbukti melakukan korupsi, harus dicabut hak politiknya melalui putusan pengadilan?

Dengan sewenang-wenangnya, anggota DPR yang menyetujui Pilkada via DPRD telah bertindak sebagai “hakim pengadilan”. Tidak hanya mencabut hak politik satu/dua orang, tetapi jutaan rakyat Indonesia yang telah dicabut haknya.

Entah kapan lagi hak politik rakyat itu akan dipulihkan. Rakyat hanya bisa menerimanya sebagai konsekuensi politik. Rakyat ternyata telah salah dalam memilih wakil-wakilnya karena kini melukainya.

Demokrasi telah didekonstruksi dalam “lingkaran setan” cukup melalui bahasa dan kuasa. Rakyat tidak mampu berbuat apa-apa, selain berduka menatap para wakilnya memecundangi demokrasi yang berbalut kesucian itu.

Menuju MK

Memang ini belum berakhir dalam rangka memperjuangkan daulat rakyat, karena masih tersedia sarana hukum untuk mengujinya melalui Mahkamah Konstitusi. Hanyalah MK sebagai satu-satunya “juru agung” diharapkan dapat mengembalikan hak-hak konstitusional rakyat. Hanyalah MK yang bisa “mengobati” duka mendalam demokrasi yang telah dikoptasi oleh sejumlah kepentingan saat ini.

Tetapi dalam hemat penulis, saya termasuk orang yang pesimis, jika UU Pilkada kelak diuji di MK. MK kemungkinan besar akan menolak gugatan untuk kembali kepada Pilkada Langsung.

Mengaca dari Putusan MK Nomor 97/ PUU-XI/ 2013, tegas memutuskan bahwa dirinya tidak lagi berwenang untuk mengadili sengketa Pilkada.

Sudah dapat diduga lebih awal, cukup dengan melihat pertimbangan hukum MK saja dalam putusan tersebut, bahwa MK telah mengeluarkan Pilkada sebagai rezim pemilu berdasarkan Pasal 22 E UUD NRI 1945. Dan arti lebih lanjut pemilu langsung hanya untuk DPR, DPD, DPRD. Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada untuk pemilihan Kepala Daerah.

Kecuali MK berpendapat lain, dengan memiliki keberanian untuk menafsirkan Pasal 18 ayat 4 UUD NRI 1945. Dengan melihat filosofi dasar lahirnya Kepala Daerah dan Presiden yang tidak dapat dipisahkan dari unsur daulat rakyat, sebagaimana amanat Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945. Maka masih ada peluang, kemungkinan MK akan memutuskan Pilkada menggunakan sistem langsung yang dipilih oleh rakyat.

Melibatkan Publik

Kalau toh nantinya Pilkada melalui DPRD yang harus kita terima bersama. Jika MK tidak kunjung mengembalikan hak rakyat itu, melalui Pilkada langsung. Duka mendalam demokrasi jangan dibiarkan terlalu lama mendera. Perlu dipikirkan jalan tengah, agar Kepala Daerah terpilih bukan Kepala Daerah yang dipasung oleh kepentingan elit (baca; DPRD).

Semua Calon kepala daerah yang diusung oleh Anggota DPRD, harus diuji publik, agar jelas rekam jejak mereka. Termasuk publik harus dilibatkan pula dalam proses seleksi atas semua calon Kepala Daerah yang akan diusung oleh Partai Politik. Semua itu penting dilakukan agar kepala daerah yang terpilih, tidak dipasung oleh DPRD, tetapi bekerja untuk kesejahteraan rakyat. (*)












[Read More...]


Koalisi Tanpa Syarat



Judul tulisan ini muncul, adalah bukan kehendak bebas dari dalam diri saya untuk menuangkannya. Semuanya terjadi secara kebetulan, karena permintaan teman-teman FB, untuk turut berkomentar. Disaat kemarin, Presiden dan wakil Presiden terpilih (Jokowi-JK), mengumumkan struktur kabinetnya. Katanya terdapat 18 jumlah kementerian dari kalangan profesional dan 16 kementerian dari kalangan profesional partai.

Sayapun memilih untuk tidak mengirimkan tulisan ini ke media cetak dengan alasan; menjauhi dari niat mencari legitimasi, kebenaran hanya seolah-olah milik saya pribadi. Termasuk saya mengurangi berkomentar distatus teman-teman FB, lebih memilih untuk menuliskannya. Semuanya saya lakukan untuk tidak ikut dalam perdebatan kusir, ngawur, hingga saling mencaci maki saja.

Koalisi tanpa syarat! Ya...janji ini yang dilontarkan dahulu kala oleh Jokowi. Kemudian memunculkan peristiwa lain yaitu: Jokowi kini seolah-oleh ingkar janji terhadap kata-kata yang pernah diucapkannya, dan pernah dicatut oleh publik janji tersebut.

Pertanyaan kemudian yang muncul dari makna termin “koalisi tanpa syarat”: Apakah koalisi tanpa syarat adalah mengeliminasi semua calon kabinet dari unsur partai politik? Jika ini maksudnya, sebuah kemustahilan dengan beberapa catatan yang bisa membantahnya. Oleh konstitusi sudah mengunci bahwa tidak mungkin ada calon presiden dari nonpartai. Hanya partai politik diberikan “previlege constitution” uantuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Selanjutnya lebih ketat lagi partai politik hanya dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden jika memenuhi syarat presidential threshold berdasarkan UU Pilpres. Itu artinya, melalui persyaratan konstitusi dan UU Pilpres disinilah “keniscayaan” yang harus diterima, awal munculnya jatah-jatahan kekuasaan (dalam hal ini kementerian). Sekarang, salahkah jika mengangkat menteri dari partai politik yang telah ikut serta berkoalisi mengantarkan terpilihnya presiden dan wakil presiden tersebut? Jawabannya, bisa menjadi salah sekiranya partai-partai politik yang ikut berkoalisi itu hanya mau bergabung, jika dari awal sudah mempersyaratkan harus punya jatah menteri, apalagi tanpa memandang kapasitas dari calon-calon menteri yang merupakan dari unsur partai politik. Sebaliknya, benar tindakan merekrut anggota menteri walaupun dari unsur parpol, jika memenuhi in the right person in the right place.

Perlu teman-teman ketahui, merupakan pendapat yang keliru jika mengatakan anggota partai politik adalah perusak pemerintahan hingga tidak dapat terbentuk kabinet efektif atau kabinet ahli (zaken cabinet). Bahkan jika partai politik dikelolah dengan sebaik-baiknya, sistem kaderisasinya jelas, rekrutmen anggotanya dari orang-orang capable, justru di sanalah kita akan menadapatkan calon-calon pejabat publik yang berintegritas lagi aksaptabel untuk mengurusi pemerintahan.

Salah satu yang memunculkan “ketidakpercayaan” kita terhadap partai politik, tidak lain disebabkan pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, yakni ketika semua anggota kabinetnya yang terseret dalam pusaran korupsi ternyata berasal dari anggota partai. Nah, salah satu pintu terbukanya korupsi dari menteri yang merupakan unsur parpol, sebab menteri tersebut masih menjadi pengurus atau angggota di struktur partai politiknya. Logikanya, oleh karena ada tuntutan partai politik untuk menyetor dana partai bagi anggota-anggotanya, praktis anggota kabinet yang dari unsur parpol harus melepaskan jabatannya dari keanggotaan, agar tidak lagi ada tuntutan penyetoran dana ke partai, yang memicu terjadinya perbuatan korupsi. Saya kira ini hal yang sulit untuk dilakukan oleh Jokowi suatu waktu nanti, untuk menuntut kabinetnya yang dari unsur parpol melepaskan keanggotaannya. Karena itu, sebelum mengumumkan nama-nama untuk kementerian Jokowi-JK kelak, sebaiknya tidak perlu mengangkat menteri, yang tidak mau melepaskan jabatannya di keanggotaan partai.

Terkait dengan kabinet efektif dan ramping, juga dipertanyakan teman-teman. Apakah jumlah menteri 34 termasuk ramping? Padahal jumlah itu sama dengan KIB sebelumnya. Ramping tidaknya postur kabinet perlu dimaknai, bahwa "porto folio" kabinet itu hadir karena sesuai kebutuhan. Seperti Wamen yang dulunya mendominasi KIB jilid II, kemudian oleh Jokowi menghapuskannya, dan hanya menyisakan Wamen untuk kementerian luar negeri, saya kira ini sudah bagian dari perampingan kementerian. Untuk mengkritisi kabinet tersebut efektif atau tidak, jelas harus dinanti dahulu kinerja semua kementerian itu. Yang bisa diamati melalui rapor kerja tiap-tiap kementerian.
Damang Averroes Al-Khawarizmi

Di atas segalanya, semua argumen ini, saya serahkan kepada teman-teman untuk mengkritisinya dalam satu tulisan pula. Apa makna dari kalian perihal “koalisi tanpa syarat”. Apakah haram Kabinet dari unsur Parpol? Padahal banyak juga kader-kader terbaik dari parpol yang kiranya dapat mengurusi pemerintahan. Ataukah kita sepakat semua menteri sudah mestinya berasal dari kalangan profesional (akademisi, pekerja, pengusaha) tanpa lagi ada embel-embel partai politiknya. Apakah ada jaminan pula menteri-menteri dari kalangan profesional suatu waktu tidak korup. Jika saudara punya jawaban, sebaiknya menteri tidak perlu dari kalangan parpol berarti anda telah berhasil mengunci mulut M. Tiroq; bahwa dalam sebuah kebinet ada “kaki politisi” dan “kaki tekhnokrat/profesional” yang lazim disebut kabinet bifurkrasi. SEKIAN
[Read More...]


Kabinet (Tanpa) Partai Politik



Inilah “dosa turunan” yang harus dibayar mahal oleh presiden terpilih, hingga mengakhiri dirinya sebagai presiden rakyat, beralih menjadi presiden partai, termasuk bukan kabinet rakyat yang terorbitkan, namun kabinet partai politik.

DI TENGAH kegelisahan publik menanti putusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas kesahihan daulat rakyat, pemilhan umum presiden dan wakil presiden yang telah kita lewati bersama. Sudah setumpuk PR (Pekerjaan Rumah) menanti, dari presiden yang kelak akan dilantik dan resmi dinyatakan memimpin Negara RI ini, untuk lima tahun ke depannya.

Salah satu pekerjaan yang harus dipikirkan oleh presiden mendatang, adalah siapa yang layak ataukah pantas untuk mendampinginya dalam menjalankan pemerintahan. Itulah kemudian akhir-akhir ini sedang menjadi polemik pengisian anggota kabinet presiden 2014-2019 nanti.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Menarik, untuk mencermati pernyataan Jokowi, disaat ingin melepaskan anggota kebinetnya dari unsur partai politik. Dalam kaitannya dengan itu, tindakan untuk mengeliminasi partai politik dalam sistem kementerian, dapat memilih tindakan dalam dua hal. Pertama, hanya mengangkat anggota kabinet dari kalangan profesional atau yang disebut tekhnokrat. Sementara mereka yang berasal dari keanggotaan partai politik tidak perlu dilirik lagi. Kedua, kalaupun ada kabinet yang berasal dari unsur partai politik, mereka harus melepaskan diri dari keanggotaan Parpol, demi mengeliminir terjadinya dualisme loyalitas. Dualisme loyalitas adalah di satu sisi dituntut untuk loyal terhadap Presiden itu sendiri, namun di sisi lain tidak dengan serta merta pula “abai” dari hasrat partai politik dimana dia berasal.

Pekerjaan untuk mengeliminasi unsur partai politik dalam angka nol untuk posisi kementerian, nampaknya pekerjaan itu bukan perkara muda dilakukan. Alih-alih karena menganggap keberadaan unsur partai politik dari kementerian, dapat mencederai pemerintahan dari perbuatan laku korupsi. Toh masih banyak menganggap, kalau mereka yang berasal dari partai politik, tetap tersedia orang-orang yang berintegritas dan akseptabel menduduki porsi kementerian. Cuma saja dalam hemat saya, tidak ada salahnya mengangkat kabinet dari unsur Parpol. Namun yang harus diperhatikan dan menjadi catatan. Hendaklah pengangangkatan kabinet demikian diselenggarakan secara transparan. Kemudian, latar belakang mereka harus cocok pada porsi menteri yang akan dijabat. Bisa dilihat melalui latar belakang organisasinya, latar belakang pendidikannya, latar belakang pengalaman dimana sebelumnya pernah menekuni profesinya. Bahkan paling penting untuk diperhatikan, apakah orang yang diangkat dalam jabatan kementerian tersebut tidak pernah terindikasi korupsi, termasuk peluang di masa mendatang akan tersandera dalam kasus korupsi. Tentu adalah kelihaian dan keterampilan Presiden, ketika akan mengangkat pembantu-pembantunya yang bernama menteri, demi terwujudnya kabinet dambaan. sebagaimana apa yang disebut kabinet ahli (zaken cabinet).

Bukan Parlementer
Terhadap persoalan kedua, bahwa pada intinya setiap menteri yang berasal dari unsur parpol, baik yang menjabat sebagai ketua umum, dewan pertimbangan, majelis tinggi dan seterusnya, harus melepaskan dirinya dari jabatan parpol. Niat tersebut layak untuk diapresiasi.

Kalau hanya memperdebatkan bahwa banyak diperiode sebelumnya. Ada banyak pula menteri yang berasal dari anggota parpol dapat membagi waktunya sebagai abdi negara, dan di sisi lain sebagai abdi partai. Itu sudah perdebatan klasik yang tidak akan pernah berkesudahan.

Penting untuk diketahui, kalau sejatinya kesepakatan kita bersama dalam amanat konstitusi (UUD NRI 1945). Dengan memilih sistem pemerintahan presidensial merupakan keniscayaan yang harus diterima bersama, kalau dalam pengisian kabinet, membentuk yang namanya eksekutif (presiden dan menteri) itu, ada kemudian hendak “mengibarkan” bendera partai dari parlemen untuk eksekutif, sama sekali bukan karekteristik sistem presidensial. Melainkan yang demikian adalah ciri khas sistem pemerintahan parlementer. Yang mana dalam sistem pemerintahan parlementer, pemilu diselenggarakan hanya untuk memilih parlemen, dan cukup dilaksanakan sekali. Untuk kemudian pengisian ekesekutif (presiden dan menteri) sudah pasti berada pada kekuatan parlemen. Sehingga dalam sistem pemerintahan parlementer pula, kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.

Kondisi ini tidak sama dengan sistem pemerintahan presidensil, baik parlemen maupun presiden adalah dipilih melalui pemilihan umum, yang otomatis power dari kedua lembaga negara itu kuat. Makanya, konstitusi telah memberi amanah kepada presiden, persoalan pengangkatan menteri adalah hak proregatifnya, bukan karena persoalan koalisi. Karena merasa berjasa sudah memberi dukungan, kemudian parlemen dan presiden dalam kooptasi partai politik.

Dosa Turunan
Saya mencermati saat ini, bahwa yang menyebabkan sulit untuk terbentuk kabinet ahli tidak dapat dilepaskan dari penyimpangan konstitusi atas UU Pilpres (No. 40/ 2008) yang mensyaratkan presidential threshold bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Sehingga mau tidak mau, dalam perjalanan ketatanegaraan nantinya, eksekutif terus berada dalam turbulensi politik parlemen.

Sebab itu, untuk Pemilu 2014 memang membutuhkan kesabaran, dari konsekuensi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang diselenggarakan secara terpisah. Karena keterpisahannya itu sama saja membuka pintu syarat presidential threshold, dan selanjutnya presiden terpilih “terpaksa” membayar utang budi terhadap beberapa partai pengusungnya.

Inilah “dosa turunan” yang harus dibayar mahal oleh presiden terpilih, hingga mengakhiri dirinya sebagai presiden rakyat, beralih menjadi presiden partai, termasuk bukan kabinet rakyat yang terorbitkan, namun kabinet partai politik.

Sudah waktunya kita menunggu, janji Jokowi jika benar-benar menjadi pemenang di MK, sekiranya hasil rekapitulasi KPU pun pada akhirnya “diakui” oleh MK. Janji koalisi tanpa syarat untuk membangun indonesia hebat. Lalu, menginginkan kabinetnya, harus melepaskan dari keanggotaan partai politik. Inilah “ijtihad politik” untuk mengeluarkan sistem pemerintahan dari konfigurasi partai politik dalam sanderaan berkepanjangan, dalam rangka menjalankan amanat daulat rakyat sepenuhnya. Dalam situasi itu, mungkin kita akan mendengar sikap negarawan Jokowi yang memutar ulang rekaman sejarah dari perkataan Manuel Luis, ”My loyality to may party end where may loyality to may country begins.”(*)

Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute & Co-Owner negarahukum.com
[Read More...]


Piala Dunia, Puasa dan Pilpres



Damang Averroes Al-Khawarizmi
(Artikel ini Juga muat di harian Fajar Makassar, Kolom Opini, Edisi 24 Juni 2014)
Dengan segala kemewahan dan kemegahan dua momentum yang menghampiri kita semua, piala dunia dan puasa. Maka turnamen sepak bola piala dunia dipastikan akan mendapat juara yang sejati, juara yang menjunjung sportivitas


TIMNAS Garuda kesayangan kita semua, memang tidak berlaga dalam perhelatan akbar piala dunia 2014, yang dihelat di tanah Amazon, Brasil tahun ini. Tetapi kita semua sebagai warga negara Indonesia, patut berbangga. Kita masih punya perhelatan akbar yang momentumnya bersamaan dengan piala dunia. Dalam dua bulan ke depan (Juni s/d Juli) kita akan memasuki fase bulan suci ramadhan, untuk selanjutnya memasuki “final” Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang kemungkinan besar cukup dalam satu putaran saja.

Dua event tersebut, piala dunia dan puasa, terdapat banyak momen yang telah menjadi kebiasaan, adab, etika, dan aturan, dapat menjadi pelajaran “berharga” sebelum kita tiba di hari “H” Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, 9 Juli mendatang.

Piala Dunia Vs Pilpres

Sejak dibukanya piala dunia edisi ke-20, yang resmi dimulai Jumat 13 Juni dini hari kemarin. Kembali sepak bola menyapa dan menyihir para penggila bola seanteror dunia. Tak ketinggalan juga warga negara Indonesia. Ada miliaran mata akan terbelalak, terhipnotis, dengan aksi para pemain bintang lapangan hijaudengan s berbagai macam gaya khasnya. Ada tarian samba, tango, salsa, tiki-taka, kickh and rush, total foot ball, dan cattenaci selama sebulan ke depan.

Piala dunia pastinya akan menyita perhatian kita. Maka tidak jauh berbeda dengan pesta politik yang kini mengalami goncangan dahsyat dari sebuah parade kampanye hitam. Terus mengalami peningkatan seiring dengan semakin dekatnya kontestasi Pilpres 9 Juli nanti. Semoga dengan kehadiran piala dunia bisa kembali mendinginkan atmosfer para kontestan, dan juga para pendukungnya, yang masing-masing menjagokan andalan mereka.

Dengan piala dunia, kita akan disuguhkan dengan kehangatan, dan sejuta harapan. Agar tim andalan kita, sekiranya bisa menjadi pemenang. Karena itu, biarkanlah piala dunia menjadi waktu bagi semua pemilih. Sejenak “bersitirahat’, mendinginkan suasana, berkumpul dalam satu arena untuk meraih kemeriahan, sembari mendinginkan mesin politik, tak ada lawan, semua menjadi kawan dalam satu pesta yang bernama piala dunia.

Sepak bola, di sanalah “etika” menunjukan dirinya sebagai sebuah kemewahan. Tontonan sepak bola tidaklah menarik, jika semua penonton hanya punya satu jagoan saja. Semua penonton dan para penggila bola, berhak menentukan jagoannya masing-masing. Ini adalah cerminan demokrasi. Dalam sepak bola sangat dijunjung apa yang dinamakan sportivitas dan fair play. Bahkan kekalahan adalah sebuah hal yang biasa, bagi yang kalah harus mengakui kehebatan lawan tanpa banyak lagi ajang protes di sana-sini.

Seharusnya perhelatan politik yang kian dekat ini, tak ada bedanya dengan prinsip-prinsip yang di anut dalam sepak bola. Kalau di sepak bola orang dengan bebas menentukan pilhan masing-masing. Dalam satu keluarga, satu tempat kerja, sebagai karib, wajar-wajar saja punya tim yang berbeda. Maka dalam Pilpres nanti, juga demikian. Orang bebas menentukan pilihan masing-masing, tanpa ada paksaan dan intimidasi dari siapapun. Dengan pilihan yang berbeda, tidaklah menjadi alasan, akan menghapus sekat kemanusiaan dan soliditas kita semua. Siapapun boleh berbeda pilihannya, namun tidak boleh sampai membuat hubungan menjadi renggang dalam satu kawanan sosial, sebagai kerabat, dan relasi di tempat kerja.

Puasa Vs Pilpres

Dua bulan kemegahan ini, dalam dua bulan berutut-turut, bukan hanya menjadi megah dalam hubungannya kita sebagai manusia, piala dunia dan pilpres saja. Tetapi menjadi kemegahan pula, hubungan kita dengan sang pencipta (hablu minalloh).

Dalam momen bulan suci ramadhan, di situlah kejujuran, sportivitas sang manusia benar-benar diuji oleh Tuhannya. Apakah kita melakoni bulan suci ramadhan, memang berani berlaku “jujur” di hadapan sang pencipta? Tanpa ada satu orangpun yang mengamati kita, pada siang hari akan tetap menahan lapar dan dahaga. Inilah nilai sportivitas manusia dengan Tuhannya yang harus menjadi “napak tilas” dalam mendukung masing-masing pilihan di Pilpres nanti. Yang senantiasa, dapat dipercaya memegang amanah dan tanggung jawab untuk seluruh penduduk di negeri ini.

Bulan puasa adalah bulan suci, ketika semua yang melakoni ibadah tersebut akan diberikan rahmat yang melimpah. Sebagai bulan pengampunan, jangan sampai hanya karena kepentingan kekuasaan dan duniawi semata. Orang dengan seenaknya menyebar fitnah di bulan suci itu. Marilah kita semua mensucikan diri, dari semua perilaku yang biadab, dengki, iri hati, guna meraih kemuliaan secara personal. Dan pada titik ini, akhirnya kita pula akan dihadirkan pemimpin yang mulia, bermartabat, dan bertanggung jawab. Pemimpin itu bukan hanya bertanggung jawab di hadapan rakyatnya, tapi juga “takut” untuk lalai dari tanggung jawabnya, di hadapan sang Kuasa.

Akhirnya, dengan segala kemewahan dan kemegahan dua momentum yang menghampiri kita semua, piala dunia dan puasa. Maka turnamen sepak bola piala dunia dipastikan akan mendapat juara yang sejati, juara yang menjunjung sportivitas.

Sembari meraih puncak iman dalam bulan suci ramadhan nanti, menjadi manusia yang benar-benar taqwa di hadapan Tuhan. Semoga negeri ini, yang selalu dirundung duka, bencana, korupsi, berbagai bentuk ujian lainnya. Kelak akan melahirkan pemimpin yang amanah, jujur, berintegritas, mulia di hadapan Tuhannya. Sehingga dengan sendirinya, rakyat sebagai penilai rapor sang pemimpin, juga akan memuliakan pemimpinnya. Amin Ya Robbal A’lamin.*
[Read More...]


Dua Capres, Dua Putaran ?



OLEH: DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
(ARTIKEL INI JUGA MUAT DI HARIAN FAJAR MAKASSAR, KOLOM OPINI, EDISI 19 JUNI 2014) "Nampak bahwa syarat presidential threshold 25 % suara nasional dalam UU Pilpres, mengingkari sifat “imperatif” UUD NRI 1945."



SALAH satu yang membuat tidak menarik kontestasi Pilpres kali ini, berdasarkan amatan para penstudi politik, hanya terdapat dua poros kekuatan Capres, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Radjasa (Prahara) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JWJK). Dengan kecilnya jumlah Capres-Cawapres, kekuatan peta politik dengan muda pasti akan terbaca. Hanya akan terjadi Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden cukup dalam satu putaran saja.

Agak berbeda dengan hasil pengamatan para penstudi hukum ketatanegaraan dalam menyoroti masalah tersebut. Bahwa masih dimungkinkan terjadinya Pilpres dua putaran, meskipun hanya terdapat dua pasangan Capres-Cawapres. Hal ini berangkat dari persyaratan Presiden dan wakil presiden terpilih, tidak hanya dengan wajib meraih suara lebih dari 50 %, tetapi sebaran suaranya harus pula memperoleh 20 %, lebih dari setengah jumlah Provinsi.

Taruhlah misalnya, sekiranya berdasarkan elektabiltas yang tinggi saat ini terhadap Pasangan Jokowi-JK, dan kelak terbukti dalam uji “alat demokrasi” memperoleh suara di atas 50 %, namun dari sebaran suaranya tidak terdistribusi merata 20 % lebih dari setengah jumlah provinsi. Apakah harus mengikuti lagi pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden tahap ke dua bersama dengan lawan sebelumnya yaitu Prabowo-Hatta? Pertanyaan ini tentu perlu dicari jawabannya dalam ruang konstitusi dan dimensi ketatanegaraan kita. Benarkah kekhawatiran demikian akan terjadi?

Maksud Persyaratan
Dengan memerhatikan secara cermat dan jeli, konstitusi kita (UUD NRI 1945) memang dianut syarat tambahan jumlah suara 20 % lebih dari setengah jumlah provinsi saat ini. Secara nyata ditegaskan dalam Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 “Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dengan pemilihan umum dengan sedikitnya 20 % suara disetiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Dalam makna yang sama, kembali pula ditegaskan dalam Pasal 159 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden “Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”

Berdasarkan redaksi pasal tersebut di atas, tentu pertanyaan yang akan muncul, berlaku pulakah ketentuan dalam konstitusi dan UU Pilpres, jika hanya diikuti oleh dua kontestan Capres-Cawapres saja? Tidakkah kemudian munculnya pengaturan tersebut, hanya untuk mewadahi, sebab musabab jika jumlah kontestan terdapat lebih dari dua pasangan.

Penting untuk diketahui, seumpama kita tidak pernah membuka UU Pilpres sebagai pengaturan lebih lanjut dari syarat penentuan/ pengusungan Capres-Cawapres dalam angka suara nasional 25 %. Sebagaimana Pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945 telah membuka “pintu” terhadap semua partai politik yang menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan Capres-Cawapres. Berarti sangat besar peluang munculnya; ada banyak pasangan Capres-Cawapres yang masing-masing diusulkan oleh Partai Politik. Pada poin inilah, nampak bahwa syarat presidential threshold 25 % suara nasional dalam UU Pilpres, mengingkari sifat “imperatif” UUD NRI 1945.

Artinya, Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 di sini hadir. Sengaja dimaksudkan, untuk mengakomodasi atas keniscayaan sistem Partai Politik kita yang menganut corak multipartai. Yang tentunya pula, kalau saja semua Partai Politik masing-masing memiliki pasangan Capres-Cawapres, ada kemungkinan bagi pasangan Capres-Cawapres yang berlaga dalam kontestasi pemilu, sulit meraih suara dalam batas angka 50 %. Oleh sebab itu, berdasarkan Pasal 6A ayat 4 UUD NRI 1945; tidak ada cara lain, dengan mengambil dua pasangan Capres-Cawapres yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, untuk selanjutnya dipilih melalui Pilpres putaran kedua (second round).

Argumentum a Contrario
Dengan menggunakan tafsir sejarah perundang-undangan, atau dengan kata lain berdasarkan masa dibahasnya konstitusi tersebut. Apa yang ada dibalik kesepahaman para pembuat regulasi, pada saat membahas materi sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden? Nampaknya, para pihak yang terlibat dalam amandemen UUD NRI 1945, mereka tidak hanya terpola dalam pembahasan angka 50 % sebagai persyaratan dapat terpilihnya Presiden-Wakil Presiden. Dengan melacak risalah dari amandemen konstitusi itu, ternyata mereka pula memikirkan persebaran penduduk yang tidak merata, sehingga perlu membicarakan wilayah persebaran suara pula sebagai syarat legalitas terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden.

Pemikiran tersebut mengisyaratkan, bahwa jika diikuti oleh pasangan Capres-Cawapres yang berjumlah banyak. Boleh jadi wilayah Pulau Jawa, akan menjadi rebutan suara. Dan semua pasangan, hanya “memusatkan” untuk mendulang suara pada daerah yang jumlah kantong suaranya melimpah, sekedar mencapai angka suara 50 % saja. Inilah menjadi isyarat sehingga memunculkan Pasal 6 A ayat 3 UUD NRI 1945, disamping pasangan Capres-Cawapres diwajibkan untuk meraih suara 50 %. Dari jumlah suara tersebut, mesti tersebar 20 % suara dalam setengah jumlah Provinsi.

Jika ditarik penalarannya dalam kondisi sekarang. Hanya terdapat dua pasangan Capres-Cawapres. Maka memerlukan model penalaran logis “argumentum a contrario”. Artinya melakukan penafsiran berbeda atau berbanding terbalik dari pengaturan yang sesungguhnya.

Oleh karena maksud dari Pasal 6A ayat 3 dan ayat 4 UUD NRI 1945, dianutnya suara 50 % dan sebaran 20 % dari setengah jumlah Provinsi. Dan jika tidak mencapai angka itu, selanjutnya dilakukan Pilpres tahap kedua. Ternyata dimaksudkan hanya berlaku ketika jumlah pasangan Capres-Cawapres di atas dua pasangan (berjumlah banyak). Berarti kalau cukup diikuti oleh dua pasangan Capres-Cawapres saja. Otomatis pemilunya akan berjalan satu putaran, dan tidak perlu pula memerhatikan wilayah sebaran suara 20 % untuk setengah dari jumlah Provinsi.*









[Read More...]


Tuhan Tak Pernah Membela Parpol “Beragama”



Negeri ini, Indonesia sebagai negara dengan masyarakatnya yang majemuk. Tampaknya “agama” masih menjadi “seksi” untuk diperjualbelikan sebagai komoditas politik dalam meraih simpati publik.
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI

Tak kurang dari sejumlah pendukung dua Capres dan Cawapres yang kini sudah mulai “menancapkan” pengaruhnya, juga tidak mau berdiam diri, menghalalkan segala macam cara untuk mengumpulkan dukungan.

Disaat partai Islam dihantam godaan korupsi melalui pucuk pimpinannya. Tak pernah sedikitpun para elit dari partai yang membawa misi “religius” itu, saatnya “bertaubat”.

Ketika bergabung di dua poros Capres saat ini, masih pula menjual ayat-ayat Tuhan dengan pekikan ‘Allahu Akbar”. Ini terlihat ketika pidato dukungan diberikan kepada salah satu Capres kawan koalisinya. Teriakan Allahu Akbar menggema dihantarkan oleh segerombolan elit partai Islam, seolah menjadi satu-satunya kebenaran “wahyu” yang sedang disampaikan kepada seluruh rakyat di negeri ini.

Selain itu, di waktu yang berbeda Capres satunya, karena tidak mau kalah pasca penyerangan black campaign oleh beberapa jejaring sosial. Entah mereka adalah pendukung Capres tertentu, mulai dari jejaring facebook, twitter, hingga website resmi yang menyebarkan Capres tersebut bukan beragama “Islam”, tidak tahu berwudhu, bukan dari keturunan asli Indonesia.

Pun juga direspon, saat berpidato dihadapan sejumlah teman koalisi partainya, tiba-tiba membuka pembicaraan dengan kemampuan bershalawat kepada Nabiullah muhammad SAW.

Pada hari berikutnya, oleh seorang Tokoh Muhammadiyah, walau tidak bermaksud mendukungnya, dan mengkanter isu “ketidakmampuan membaca Al-qur’an” akhirnya memberi pengakuan kalau bacaan shalat Capres tersebut, amat fasih dan merdu katanya.

Pencitraan “Tuhan”

Lagi-lagi inilah sekelumit dari potret politik yang telah menanggalkan esensi dari agama, iman dan ketakwaan, yang sesungguhnya tidak perlu diperjualbelikan. Memang diakui bersama bahwa yang membedakan derajat manusia di hadapan Tuhannya adalah taqwanya. Namun persoalannya, tidak ada alat ukur yang dimiliki oleh manusia untuk bisa dikatakan “sukses” mengetahui tingkat keimanan seseorang. Sehingga, tidak ada gunanya menjual citra Tuhan sebagai alat propaganda, bahwa inilah Capres paling terbaik.

Betapa kufurnya kita, kalau dengan ayat-ayat Tuhan lalu memaksa kelak pemilih harus menentukan pilihan karena ukuran derajat ketakwaan oleh sepihak dan atau sekelompok orang. Bukankah ini yang namanya manusia, sebagai hamba Tuhan telah mendaulat dirinya sebagai “Tuhan”. Oleh karena dengan gampangnya, mengambil otoritas Tuhan untuk mengukur beriman tidaknya seseorang.

Dan semua ritual ibadah itu, saat hanya dijadikan panggung untuk merebut citra “Tuhan”, karena ingin dipilih, gara-gara secara fisik dan inderawi, mata dan kepala yang menyaksikan “berpasrah diri” dihadapan Tuhan. Justru pada tindak-tanduk yang demikian telah terdekteksi virus yang paling berbahaya, itulah “riya”.

Merugilah orang-orang seperti mereka yang melaksanakan ibadah karena hanya ingin mendapatkan pujian, lalu kelak dipilih. Toh mereka kalau mendapat kekuasaan, maka itulah yang didapatkannya, sementara ganjaran amal, dan lepas dari perbuatan dosa tiada mungkin tergapai. Dalam konteks ini, Tuhan tidak mungkin memihak dan membela Parpol yang “beragama”, karena rupanya agama telah dijadikan kedok wisata politik, hanya demi meraih citra dan popularitas semata. Sejatinya, jauh lebih penting dari itu semua. Agama tidak menjadi penting untuk dijadikan alat propaganda, black campaign, alat pencitraan kalau kelak hanya ingin meraih panggung kekuasaan saja (baca: Presiden RI).

Agama dan keyakinan sudah digariskan, hanya untuk menebar kedamaian, cinta kasih, keselamatan, dan peduli sesama. Bukan sebaliknya, karena momentum Pilpres yang hadir akhir-akhir ini, karena “agama” lalu menciptakan sekat. Kita saling membenci, menuduh, menyebar fitnah, hingga tak pernah pikir-pikir saling menyebar aib masing-masing.

Dalam konteks itu, tak ada salahnya Sigmund Freud, Karl Marx, ketika mengatakan agama sebagai candu. Karena agama, seorang kemudian menjadi benci dan memicu permusuhan terhadap sesamanya. Bahkan di waktu yang lain filsuf Jerman Nietzsche akhirnya “membunuh Tuhan”, karena dianggapnya Tuhan merupakan instrumen yang akan mengalahkan manusia dalam mencapai kehendaknya berkuasa. Ketiganya, baik Freud, Marx maupun Neitzsche terlalu “dangkal” melihat agama sebagai sesuatau instrumen. Agama, sama sekali tidak bisa dilepaskan dari eksistensi yang namanya manusia. Hanya manusia yang salah, atau kurang paham, belum menjalankan agamanya secara sempurna (kaffah).

Ada yang mau beragama, pada saat dirinya diuntungkan, namun ketika telah mendapat keuntungan, meraih puncak kekuasaannya, agama telah ditinggalkan. Lalu ia berbuat korupsi, kolusi, dan nepoteisme. Inilah bahayanya ketika agama terlalu dicampurbaurkan dengan politik kekuasaan, sehingga “samar-samar”, mereka seolah menjadi baik, takwa, beriman, tidak mungkin korupsi. Namun saat dipercaya memegang amanah. Berdustalah ia di hadapan orang yang pernah memberinya kepercayaan.

Kesadaran Ketuhanan

Karena itu, kehadiran agama dalam menatap pemilihan umum Presiden 9 Juli nanti. Beragama perlu dipahami bukan sekedar dengan jubah kesalehan capres dan para pendukungnya saja. Tapi sejauh mana kesadaran ketuhanan mereka, terpatri dalam dirinya masaing-masing.

Banyak elit politik yang bergabung dalam partai yang mengatasnamakan Islam dianggap memiliki keahlian ilmu tentang Tuhan dan ajarannya. Namun kesadaran ketuhanan mereka sungguh minim. Di hadapan publik mereka pada meneriakkan ayat suci, tak disangka esoknya terbukti korupsi. Artinya, banyak wajah politisi kita saat ini menipu dirinya sendiri, munafik, terus menerus menebar ketakutan, akan munculnya golongan yang menghancurkan “Islam”. Tapi pada saat yang sama merekalah kelak yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Karena tumpukan uang di hadapannya, mereka telah lupa, dirinyalah yang pernah mengajak pada kebaikan.

Akhirnya, agama tidak perlu menjadi sekat bagi kita semua dalam menentukan siapa presiden terpilih nantinya. Biarkanlah agama menjadi dirinya dalam keyakinan setiap orang. Kita butuh negara yang adil, yang mana Allah SWT akan menegakkannya.

Kesadaran ketuhanan tetap perlu menjadi prioritas oleh calon-calon pemimpin kita, namun tidak perlu dipertanyakan sampai dimanakah derajat takwanya. Dan ketika nilai substansi (hakiki/isi)nya telah mereka gapai dalam beragama. Yakin saja, sudah pasti akan memberi manfaat bagi kemanusiaan, tanpa lagi memandang warna kulit, ras dan keturunan terhadap semua rakyat di negeri ini. (*)
[Read More...]


Bukan Daulat Rakyat



ARTIKEL INI JUGA MUAT DI HARIAN GORONTALO POST EDISI 30 APRIL 2014


Oleh: Damang Averroes Al-Khawarizmi
BELUM tiba masa penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari hasil pemilihan legislatif kemarin. Dalam beberapa hari terakhir sejumlah partai politik, terutama partai politik yang merasa mendapat suara melimpah berdasarkan hasil hitung cepat. Jauh dari awal, telah “curi start” membangun koalisi, dengan sejumlah partai kecil hingga partai menengah.

Tidak lain koalisi itu sengaja dibangun, sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan bagi partai politik agar memenuhi ambang batas Presidentialy threshold (PT). Yaitu partai politik harus mencapi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara secara nasional lalu dapat mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presiden (vide: Pasal 9 UU Pemilihan Umum Presiden).

Fakta ini seolah mendeskripsikan, dan kembali membuka mata kita semua. Bahwa dipaksanya partai politik agar memenuhi angka Presidentialy threshold, merupakan “dosa” sekaligus “cacat bawaan” yang diwariskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga mau tidak mau, partai politik melakukan segala macam cara, jauh dari cita-cita dan kepentingan rakyat. Dengan hanya untuk memenuhi syarat PT, koalisi dilakukan serampangan, tidak perlu terikat dengan ideologis partai. Sampai pada berujungnya politik dagang sapi. Anda mau berkoalisi dengan saya, maka anda akan disiapkan pos-pos jabatan kementerian kelak.

Hak Istimewa

Aksi yang dipertontonkan oleh masing-masing partai politik saat ini untuk berkoalisi guna memenuhi syarat Presidentialy threshold. Nyaris akan menghilangkan daulat rakyat. Bagaimana tidak, partai politik seolah-oleh hanya memikirkan nasibnya sendiri. Dan secara beruntun mengeliminiasi kepercayaan rakyat yang telah memilihnya.

Kalaupun muncul dalil bahwa dengan adanya syarat 25 persen suara nasional agar dapat mengusng calon Presiden, dianggap dapat menguatkan Presidensialisme. Itu adalah alasan yang bisa diterima, tetapi masih terbuka untuk diperdebatkan.

Bisa saja bukan menjadi alasan fundamental untuk mengikat partai sebagai syarat pengajuan Calon Presiden. Oleh karenanya partai politik bukan merupakan organisasi suprastruktur politik yang turut berperan langsung menjalankan fungsi ketatanegaraan. Melainkan partai politik hanya sebagai infrastruktur politik, yang mana kedudukannya sejajar dengan LSM dan media, sebagai pengontrol berjalannya fungsi organ-organ Negara itu.

Kendatipun, harus diakui kalau kehadiran partai politik untuk mengajukan calon anggota legislatif, juga mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presiden merupakan hak istimewa yang diberikan oleh konstitusi (previlage constitution), untuk memproduksi jabatan-jabatan kenegaraan.Namun hak istimewa yang dilimpahkan kepada partai politik mestinya tidak sampai pada syarat “presidentialy threshold” untuk mengajukan calon Presiden. Karena jika Partai politik diberikan lagi keistimewaan khusus dalam model koalisi. Justru menjadi konspirasi partai politik untuk menjauhkan hak-hak rakyat. Lalu yang diutamakan adalah hak-hak partai politik; sekedar barter kekuasaan, dan menyusun program pemerintahan hanya menguntungkan partai politik tertentu saja.

Logika penguatan Presidensialisme sehingga mesti ada koalisi minimal 20 persen suara di kursi parlemen. Jika dikaji lebih jauh menurut hukum konstitusi kita. Amat sangat tidak berdasar. Sebab konstitusi secara legal, dalam hal tertentu sudah memperkuat hak-hak Presiden, yang tidak perlu ada campur tangan parlemen. Terbukti dalam hal pengangkatan Menteri, termasuk Jaksa Agung, merupakan hak prerogatif Presiden yang sama sekali tidak menjadi urusan parlemen. Dan parlemen tidak mungkin pula dapat menjatuhkan menteri yang sudah diangkat oleh Presiden.

Selain itu, masih terdapat alasan lain. Kalau katanya partai pendukung Presiden tidak kuat di parlemen, kebijakan politiknya bisa digoyang oleh parlemen oposisinya. Dalil demikian jelas terbantahkan pula, karena meski sampai dititik 100 persen semua anggota DPR ingin menjatuhkan Presiden, tetap kesepakatan DPR harus terbukti secara konstitusional di MK. Terkait dengan terpenuhinya syarat pemakzulan Presiden, oleh karena melakukan penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, baru kemudian bisa diberhentikan oleh MPR.

Daulat Rakyat

Saya menduga munculnya ketakukan Presiden sewaktu-waktu, bisa digoyang oleh parlemen. Penyebabnya adalah, dua organ kekuasaan Negara (DPR dan Presiden) “setengah hati” untuk tunduk pada konstitusi.

Dikatakan setengah hati, karena meskipun anggota DPR sudah dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Di parlemen, para anggota DPR tetap setia mengibarkan bendera partainya. Hak-hak yang diberikan kepada DPR oleh konstitusi, untuk menyatakan pendapat, melakukan pengawasan, dan fungsi anggaran, semuanya masih ditentukan oleh sikap partai politiknya dimana dia berasal. Celakanya, sampai penentuan ketua komisi-pun “seolah-olah” menjadi hak partai politik.

Sehingga apa yang terjadi di parlemen, mestinya anggota DPR independen secara personal atas “mandate” konstitusi, sangat jauh dari harapan. Toh satu-persatu anggota DPR tetap menunggu sikap partai untuk menilai kebijakan Presiden.

Jadinya, pemilu yang bertujuan untuk melegitimasi daulat rakyat tidak berjalan. Dan justru yang hadir diparlemen adalah daulat parpol. Pun gejala ini merembes, hingga kemudian menghantui Presiden, takut akan digoyang posisinya oleh parlemen. Karena di sana tetap masih berkibar bendera-bendera partai politik.

Maka ke depan, lebih elok kiranya, kalau semua anggota DPR yang terpilih, sudah harus diberhentikan dari keanggotaan partai politiknya. Termasuk dalam UU Partai Politik harus ada regulasi yang melarang keras, partai politik tidak boleh mengintervensi kemandirian hak-hak-hak DPR untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Saya kira jalan ini yang akan membuka titik terang untuk memutus daulat parpol, dan mengembalikan daulat rakyat pada posisi aslinya, sebagaimana amanat konstitusi kita. *





Oleh: 
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Peneliti Republik Institute &
Co-Owner negarahukum.com




[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors