Beban Pembuktian “Digital Signature”



Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, terutama pada bahagian tata kerja digital signature sehingga dapat digunakan sebagai kode pembuka dalam meninjau ulang kontrak yang ada dalam privasi kedua pihak tersebut. Dapat menjadi gambaran awal kekuatan pembuktian yang melekat terhadap digital siganture dalam pembuktian hukum acara perdata. Apakah digital signature disamakan kekuatan beban buktinya dengan tanda tangan konvensional yang dibubuhkan pada surat dan akta yang sering dijadikan alat bukti dalam Hukum Acara Perdata ? Lantas, apa ide dasar sehingga digital siganature itu ke depannya dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan akta otentik?

Mengingat perkembangan tekhnologi yang meniscayakan terjadi peristiwa hukum dalam dunia siber, maka konsep hukum untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan tekhnologi di bidang ekonomi, sosial dan budaya harus dikaji ulang. Dalam melahirkan harmonisasi berbagai regulasi yang dapat menjadi payung hukum dalam UU yang terkait dengan transaksi elektronik.

Kedua pertanyaan tersebut di atas merupakan fokus pembahasan dalam menguraikan permasalahan hukum yang kedua ini.

Digital signature sebagai tanda tangan yang melekat dalam sertifikat digital dan telah diverifikasi oleh lembaga CA keotentikannya. Namun karena hingga sekarang belum ada pengakuan terhadap lembaga CA, sebagai lembaga yang dapat menerbitkan sertifikat digital tidak diberikan kewenangan untuk menciptakan akta elektronik yang otentik.

Maka dengan sendirinya digital signatute tidak dapat disejajarkan kekuatan beban bukti yang melekat dalam akta otentik yang memang sengaja dibuat sebagai “alat bukti kuat” oleh pejabat berwenang (dalam hal ini Notaris). Oleh karena itu, untuk menganalisis kekuatan beban bukti yang melekat dalam digital signature maka yang menjadi indikatornya adalah kekuatan pembuktian yang melekat dalam akta di bawah tangan serta kekuatan pembuktian yang melekat terhadap akta otentik.

Menurut Yahya Harahap (2005: 566) kekuatan pembuktian yang melekat dalam Akta Otentik (AO) terdiri atas tiga kekuatan yang melekat yaitu:

Kekuatan pembuktian luar

suatu AO yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai AO, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan AO. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian luar adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap AO harus dianggap benar sebagai AO sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

Kekuatan pembuktian formil

Berdasarkan Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam AO dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim.

Kekuatan pembuktian materil. Dalam kekuatan AO yang ketiga ini termaktub tiga prinsip yang terkandung dalam AO yaitu:
 
  1. Penanda tangan AO oleh seorang untuk keuntungan pihak lain, ini merupakan prinsip pokok kekuatan materil suatu AO yang mana setiap penanda tangan AO oleh seorang selamanya harus dianggap untuk keuntungan pihak lain, bukan untuk keuntungan pihak penandatangan.
  2. Seorang hanya dapat membebani kewajiban kepada diri sendiri. Prinsip ini merupakan lanjutan dari prinsip pertama. Berdasarkan prinsip ini dihubungkan dengan asas penanda tangan AO untuk keuntungan pihak lain, dapat ditegakkan kekuatan materil pembuktian AO meliputi: siapa yang menandatangani AO berarti dengan sukarela telah menyatakan maksud dan kehendak seperti yang tercantum di dalam akta, tujuan dan maksud pernyataan itu dituangkan dalam bentuk akta untuk menjamin kebenaran akta tersebut, oleh karena itu dibelakang hari penanda tangan tidak boleh mengatakan atau mengingkari bahwa dia tidak menulis atau memberi keterangan seperti yang tercantum dalam akta, namun demikian perlu diingat bukan berarti kebenaran itu bersifat mutlak sesuai keadaan yang sebenarnya. 
  3. Akibat hukum akta dikaitkan kekuatan pembuktian materil AO. Apabila terdapat dua orang atau lebih, dan antara satu dengan yang lain saling memberi keterangan untuk dituangkan dalam akta, tindakan mereka itu ditinjau dari kekuatan pembuktian materil AO menimbulkan akibat hukum meliputi: keterangan atau pernyataan itu sepanjang saling bersesuaian, melahirkan persetujuan yang mengikat kepada mereka. Dengan demikian akta tersebut menjadi bukti tentang adanya persetujuan sebagaimana yang diterangkan dalam akta tersebut.

Masih menurut Yahya Harahap (2005: 590) daya kekuatan pembuktian Akta Bawah Tangan (ABT) hanya memilik dua daya kekuatan pembuktian. Tidak memiliki kekuatan pembuktian luar sebagaiman AO yang tidak bisa dibantah kebenarannya oleh hakim, sehingga harus pihak lawan yang mengajukan pembuktian “kepalsuan” atas akta itu. Tegasnya kekuatan pembuktian ABT diuraikan sebagai berikut:
  1. Daya kekuatan pembuktian formil. Sejauh mana daya kekuatan pembuktian formil ABT dapat dijelaskan dalam dua item: (a) Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum di dalam akta. Bedasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui siapa saja atau orang yang menanda tangani ABT: (1) dianggap benar menerangkan seperti apa yang dijelaskan dalam akta, (2) berdasarkan kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan, (2) dengan demikian daya kekuatan pembuktian ABT meliputi kebenaran identitas penanda tangan serta menyangkut kebenaran idenitas orang yang memberi keterangan. (b)Tidak mutak untuk keuntungan pihak lain. Daya pembuktian formalnya tidak bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain. Karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Dengan demikian keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan pihak lain karena isi keterangan yang tercantum di dalam ABT belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak. Dalam ABT masing-masing para pihak dibenarkan oleh hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan.
  2. Daya pembuktian materil. Jika pada daya kekuatan pembuktian formil titik permasalahan menyangkut kebenaran isi tanda tangan dan penanda tangan, maka pada daya pembuktian materil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebenaran isi keterangan yang tercantum di dalam ABT. Benarkah atau tidak isinya ? dan sejauh mana kebenaran isi yang tercantum di dalamnya? prinsip yang harus ditegakkan daya pembuktian materil adalah (a) secara materil isi keterangan yang tercantum di dalam ABT, harus dianggap benar (b) dalam arti apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap sebagai keterangan yang dikehendakinya, (c) dengan demikian secara materil, isi yang tercantum dalam ABT mengikat kepada diri penanda tangan.

Dari dua bentuk akta yang dikutip berdasarkan ulasan Yahya Harahap sifat yang melekat dalam akta otentik jika hendak dibantah terletak pada tindakan “pembuktian atas kepalsauan akta tersebut”. Sedangkan pada Akta Bawah Tangan (ABT) daya kekuatan mengikatnya yang tidak memiliki pembutian keluar (harus dianggap benar, sepanjang tidak ada alat bukti yang sah dapat menggugurkannya), terletak pada tindakan untuk mendapat kekuatan sebagai alat bukti ABT adalah pembuktian keaslian.

Hal ini juga dapat diamati secara singkat dengan memperhatikan pengertian AO dan pengertian ABT.

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPdt menegaskan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Sedangkan Akta Bawah Tangan (ABT) ditegaskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata “sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.”

Akan tetapi menurut Soepomo sebagaimana dikemukan oleh Yahya Harahap (2005: 590) ditinjau dari segi hukum pembuktian agar suatu tulisan bernilai sebagai ABT, diperlukan beberapa persyaratan pokok diantaranya: (a) surat atau tulisan itu ditanda tangani; (b) isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum (rechtshandeling) atau hubungan hukum (rechts betrekking); (c) sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di dalamnya.

Jika dua kekuatan akta yang dikemukan di atas, dalam sertifikat digital yang kemudian melahirkan dokumen/ surat elektronik hanyalah dapat digolongkan dalam Akta Bawah Tangan (ABT). Meskipun hal itu sertifikat digital dengan prinsip kerjanya yang terjamin rahasia dari surat tersebut oleh para pihak yang melakukan transaksi elektronik. Tapi salah satu sifat yang dimiliki oleh akta otentik tidak berlaku dalam sertifikat digital. Sifat yang melekat dalam AO adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Sementara pada sertifikat digital meskipun pembuatan sertifikat digital dibawah lembaga CA, namun lembaga tersebut tidak melakukan cross-cek sebagaimana lazimnya Notaris yang dapat mengidentifikasi peristiwa hukum yang lahir diantara para pihak tersebut. Lembaga CA hanya bertugas sebagai badan hukum yang menyediakan layanan keamanan yang dapat dipercaya oleh pengguna dalam menjalankan pertukaran informasi secara elektronik yang memenuhi empat aspek kemanan yaitu: privacy, authentication, integrity dan non repudation.

Sertifikat digital meskipun oleh para ahli IT mengatakan sudah demikian terjamin kerahasiaannya, tetapi meski dengan canggihnya tekhnologi tetap memilki kelemahan terkait dengan persoalan keamanan dari sertifikat digital dan digital siganture tersebut, yang kemungkinan besar masih dapat dibobol oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu sangat sulit untuk mengatakan bahwa sertifikat digital dan digital signature memilki daya pembuktian yang kuat sebagaimana layaknya dengan akta otentik.

Tanda tangan digital tetap tidak bisa disamakan dengan tanda tangan yang terdapat dalam akta otentik, oleh karena sampai saat ini tanda tangan digital belum diatur hukum pembuktiannya, juga sangat rumit pembuktiannya, khususnya jika terjadi sengketa di pengadilan.

Adanya lembaga yang memfasilitasi para pihak dalam transaksi elektronik dalam hal ini CA, tetap tidak dapat menggantikan posisi Notaris dalam pembuatan akta otentik, meskipun secara elektronik, karena tanpa adanya legitimasi dari Notaris maka akta elektronik tersebut hanyalah sebatas surat yang tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

Dalam hemat UU ITE dokumen elektronik sudah dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan terutama dalam pembuktian hukum acara perdata. Meskipun dalam hal ini, kekuatan dokumen elektronik hanya dapat disejajarkan dengan Akta Bawah Tangan (ABT).

Oleh karena dokumen elektronik memiliki daya kekuatan pembuktian setingkat dengan ABT. Maka digital signature dalam surat elektronik juga memilki kekuatan pembuktian dalam hukum acara juga terbagi dua, antara lain:
 
  1. Kekuatan pembuktian formalnya. Dianggap benar apa yang tercantum dalam surat elektronik tersebut, daya kekuatan pembuktiannya adalah berdasarkan kebenaran identitas penanda tangan dan kebenaran identitas orang yeng memberi tanda tangan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan dekripsi kembali terhadap kunci publik dan kunci privat dari digital signature maka akan terbaca siapa saja yang bertanda tangan. Namun sifatnya tanda tangan tersebut tidak memilki daya pembuktian keluar (mutlak benar) jika salah satu pihak mengingkari tanda tangannnya.
  2. Kekuatan pembuktian materil. Secara materil isi keterangan yang tercantum dalam surat elektronik juga dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendaki para pihak, jika tidak ada pengingkaran. Atau dengan kata lain jika isi surat tersebut tidak dibantah secara tegas, maka surat tersebut dapat mempunyai nilai kekuatan yang sempurna.

Boleh saja kekuatan tanda tangan digital dalam surat elektronik itu disejajarkan dengan akta otentik, namun hanya dapat terjadi jika para pihak tidak ada yang mengingkari tanda tangan tersebut dan sesuai dengan aturan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Argumentasi hukum yang lain menjadi dasar sehingga surat elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan adalah berdasarkan Pasal 5 UU ITE. Terutama pada Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan “informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana mana dimaksud pada ayat 1 adalah alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.”

Artinya, dengan ketentuan pasal tersebut tidak ada alasan untuk mengingkari surat elektronik, termasuk digital signature yang melekat di dalam surat elektronik adalah bukti yang sah dan dapat dipergunakan dalam hukum acara di pengadilan.

Hal ini akan lebih jelas, jika berpedoman pada pendapat yang dikemukana oleh Paton (dalam Hari Sasangka, 2005: 41) yang secara tegas membagi alat bukti dalam tiga bagian. Pendapat tersebut direduksi dari Surat Ketua Mahkamh Agung RI Kepada Menteri Kehakiman Ri Nomor 37/ TU/88/102? Pid/ 1988, maka alat bukti dapat berupa: (a) Oral merupakan kata-kata yang diucapkan dalam persidangan yang meliputi keterangan saksi; (b) Documentary meliputi surat; (c) Demonstrative Evidence yaitu alat bukti yang berupa material dan barang fisik lainnya misalnya film, foto dan lain-lain.

Dalam kaitanyannya dengan digital signature sebagai data elektronik berarti termasuk dalam demonstrative evidence karena data tersebut berada dalam bentuk soft yang tersimpan dalam memori komputer. Ataukah lebih tepat lagi jika sekiranya sertifikat digital, surat elektronik dan khusus digital signature dimasukkan dalam alat bukti elektronik evidence sebagaimana yang dikemukakan oleh Dikdik Arief Mansur (2009: 101) bahwa “dokumen elektronik tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas alat bukti yang masuk kategori documentary evidence. “

Dalam hukum acara perdata kita sebagaiama yang ditegaskan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG dan Pasal 1866 BW alat bukti elektronik tidak ditentukan, hanya disebutkan alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan, dan alat bukti sumpah. Maka memasukkan digital signature dalam alat bukti surat sudah tepat, namun dibalik itu hanya dapat dijadikan sebagai surat Akta Bawah Tangan saja.

Tuntutan perkembangan tekhnologi ketika kontrak mengalami dinamisasi dalam masyarakat menuju global society. Mestinya perkembangan hukum dapat menyerap segala kepentingan para pihak. Agar perjanjian yang terjadi dalam transaksi elektonik tidak lagi hanya melahirkan surat yang hanya berfungsi sebagai akta di bawah tangan saja, maka ke depannya seyogiayanya Notaris dilibatkan dalam penerbitan surat atau akta elektonik.

Peran Notaris dalam penerbitan dokumen elektronik, karena mau tidak mau transaksi dalam dunia elektronik merupakan tuntutan zaman yang harus diikuti pula dengan pengembangan keilmuan Notaris demi terwujudnya kemajuan dunia Notaris, khususnya Notaris dalam mewujudkan sistem pelayanan jasa yang dituntut untuk praktis, cepat, dan biaya yang terjangkau.

Berdasarkan empat aspek keamanan yang terdapat dalam sertifikat digital yang diberikan oleh CA (Certification Authority) atau TTP (Thrusted Third Party) yaitu privacy, convidentaility, authentification dan integrity. Dengan demikian surat elektronik tidak diragukan lagi sebagai dokumen yang terjamin kemanannya dalam melakukan transaksi elektronik. Dalam posisi ini, peran Notaris dilibatkan dalam transaksi elektronik untuk memberi legitimasi yang kuat terhadap transaksi yang berlangsung melalui; mengidentifikasi tanda tangan elektronik dan penanda tangan, serta memverifikasi dokumen elektronik/ informasi elektronik yang ditandatangani.

Dalam konteks itu Notaris bersama-sama dengan pihak CA sebagai pihak ketiga yang dipercaya dalam mengamankan dan melegitimasi transaksi elektronik yang merupakan pihak ketiga, baik berupa perorangan maupun badan hukum yang dipercaya untuk memastikan atau menegaskan identitas seseorang, dan bertugas menyatakan kunci publik-privat yang digunakan untuk membuat digital signature adalah milik orang tersebut. Tentunya peningkatan status surat elektronik menjadi akta yang setingkat dengan akta otentik ke depannya, Notaris sudah harus dilibatkan dalam perjanjian keperdataan di dunia elektronik, yang saat ini dikenal dengan istilah cyber notary.

Pembaharauan UU 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (disingkat UUJN) sudah mesti dilakukan dalam rangka menambah kewenangan Notaris sebagai sistem penyelenggara di bidang kenotariatan secara elektronik. Penyempurnan UUJN maupun RUU dan atau amandemen KUHPdt harus merumuskan bahwa produk sistem penyelenggaraan jasa di bidang kenotariatan secara elektronik yaitu akta elektronik merupakan alat bukti elektronik yang dapat diterima dan diidentikan sebagai alat bukti tertulis yang otentik.
Sumber: lerablog.org

Penambahan tersebut terutama kewenangan Notaris dalam pemanfaatan tekhnologi informasi berupa komputer, jaringan komputer dan/ atau media elektronik lainnya dalam hal melakukan transaksi elektronik, berkomunikasi, mendengarkan, mengamati, mencermati, serta memahami seluruh perbuatan, kejadian atau keadaan yang berhubungan langsung dalam proses pelaksanaan tugas dan kewenangan jabatan Notaris dalam memberikan legitimasi terhadap transaksi elektronik.





Responses

2 Respones to "Beban Pembuktian “Digital Signature” "

Alghifari Fikri Santoso mengatakan...

artikelnya sangat bermanfaat.
cek artikel serupa di :
Rumah Pena | GRaha Pena Gunadarm


21 Maret 2017 pukul 22.09

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors