Jenis-Jenis Kontrak (Pertemuan Kelima)



Secara rinci pembagian atau penggolongan kontrak ada yang membagi berdasarkan sumbernya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya maupun aspek larangannya. Di dalam Pasal 1319 BW dan artikel 1355 NBW ditegaskan dua jenis kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominat dan kontrak innominat. Kontrak nominat adalah kontrak yang dikenal dalam BW misalnya sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan kontrak innominat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, misalnya leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan dan production sharing.[1]
Disamping pembagian kontrak bernama dan kontrak tidak bernama, dalam hukum perdata dikenal berbagai macam jenis kontrak, bentuk tersebut diantaranya:[2]
1.      Kontrak bersyarat;
2.      Kontrak dengan ketetapan waktu;
3.      Kontrak mana suka (alternatif);
4.      Kontrak tanggung menanggung;[3]
5.      Kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
6.      Kontrak dengan ancaman hukuman;
Kontrak Bersyarat
Kontrak bersyarat adalah kontrak yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi. Kontrak ini dapat dibagi atas dua yakni kontrak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal.
Kontrak syarat tangguh adalah suatu kontrak yang mana untuk lahirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi, misalnya seorang akan menyewakan rumahnya kepada orang lain kalau ia lulus untuk sekolah ke luar negeri. Sedangkan kontrak dengan  syarat batal adalah berakhir kontrak tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum tentu akan terjadi, misalnya jika seorang menyewakan rumahnya sampai ia menikah, artinya kontrak sewa-menyewa tersebut berlangsung sampai pemilik rumah tersebut menikah.
Kontrak  dengan Ketetapan Waktu
Beda halnya dengan kontrak bersyarat, kontrak dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan terjadinya atau lahirnya kontrak, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaan kontrak.
Dalam kontrak dengan ketetapan waktu, suatu kontrak tersebut sudah lahir, cuma pelaksanaannya yang ditangguhkan, misalnya dalam suatu kontrak para pihak suatu waktu tertentu untuk melakukan pembayaran.
Kontrak Mana Suka atau Alternatif
Kontrak semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia  menyerahkan salah satu dari dua barang atau lebih yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya. Misalnya si A mempunyai suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang petani (anggaplah si B) yang sudah lama tidak dibayarnya. Kemudian anatara si A dan si B mengadakan suatu perjanjian, bahwa si  A akan dibebaskan dari utangnya kalau ia menyerahkan kudanya atau sepuluh kwintal berasnya.


Refrence:
Ahmadi Miru. 2010. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Wali Press
Raim Widjaya. 2004. Merancang Suatu Kontrak. Bekasi: Mega Poin.
Salim HS, 2005.Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti. 2002. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa


[1] Salim, 2005, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 28
[2] Periksa Ahmadi Miru, 2010. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Wali Press, Jakarta, hal 53 s/d 61, lihat juga dalam Subekti, 2002. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 4
[3] Untuk jenis perikatan ke empat sampai ke enam ini akan dijelaskan pada pertemuan keenam
[Read More...]


Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstadigheden), Unsur-Unsur Kontrak, Dan Teori Terjadinya/ Tercapainya Kesepakatan (pertemuan keempat)



Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449, bahwa cacat kesepakatan atau cacat kehendak itu terjadi jika terjadi karena kekhilafan/ kesesatan, penipuan, dan paksaan. Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (BW) tidak mengatur mengenai “Penyalahgunaan Kehendak” atau yang sering disebut dengan Misbruik Van Omstadigheden. Penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu syarat cacat kehendak berkembang, oleh karena perkembangan beberapa peristiwa hukum dalam hukum perjanjian. 

Penyalahgunaan kedaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, kedaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti sebenarnya ia harus mencegahnya.[1]
Secara garis besar penyalahgunaan kedaan dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1.    Penyalahgunaan kedaan karena keunggulan ekonomi (economische overwicht) dari satu pihak terhadap pihak lain;
2.     Penyalahgunaan kedaan karena keunggulan psikologis    (geestelijke overwicht) dari satu pihak terhadap pihak lain.
3.  Disamping itu, Lebens De Mug, masih menambahkan kelompok penyalahgunaan ketiga yaitu kedaan darurat (noodtoestand), namun pendapat ini biasanya dimasukkkan dalam kelompok penyalahgunaan karena adanya keunggulan ekonomi.
Penyalahgunaan yang paling banyak sering terjadi adalah penyalahagunaan karena keunggulan ekonomi, dan banyak menghasilkan putusan hakim. Prasyarat sehingga penyalahgunaan karena keunggulan ekonomi harus  memenuhi beberapa unsur diantaranya:
1.      Satu pihak dalam perjanjian lebih unggul dalam bidang ekonomi dari pada pihak lainnya.
2.      Pihak lain terdesak melakukan perjanjian yang bersangkutan.
Sementara penyalahgunaan karena  keunggulan psikologis, syaratnya antara lain:
1.      Adanya ketergantungan dari pihak lemah yang  disalahgunakan  oleh pihak yang mempunyai keunggulan psikologis.
2.      Adanya keunggulan psikologis luar biasa antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.
Contoh penyalahgunaan keadaan: jika seseorang menjual potret lukisan moyang laki-lakinya (sebuah foto keluarga yang baginya merupakan harta berharga) untuk membayar hutangnya, perjanjian tetap bisa batal dengan alasan penyalahgunaan keadaan. [2]
Contoh yang lain misalnya: dokter yang mesti atau minta dibayar tinggi/ mahal oleh Pasien oleh karena Pasien dalam keadaan berbahaya bagi kelanjutan hidupnya jika tidak sesegara mungkin dioperasi.
Unsur-Unsur Kontrak
Dalam suatu kontrak dikenal tiga unsur yaitu unsur esensialia, unsur naturalia, unsur aksidentalia.
1.      Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya unsur ini maka kontrak tidak mungkin akan lahir. Unsur yang dimaksud di sini adalah unsur kesepakatan.
2.      Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur  oleh para pihak dalam kontrak, maka undang-undang yang mengaturnya. Misalnya jika cacat tersembunyi tidak diperjanjikan, secara otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.
3.      Unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada dalam perjanjian dan mengikat para pihak yang memperjanjikannya. Misalnya dalam kontrak jual beli dengan angsuran  diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat diatarik kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan.
Kapan suatu kesepakatan itu terjadi dalam suatu perjanjian ? Dalam hukum perikatan atau hukum kontrak dikenal dua teori yang umum yakni:
1.      Teori pengiriman, bahwa lahirnya kesepakatan adalah pada saat pengiriman jawaban yang isinya berupa penerimaan atas penawaran yang diterimanya dari pihak lain. Sebagai contoh apabila si A yang bertempat tinggal di Surabaya nmengirimkan penawaran kepada si B yang berada di Jakarta yaitu berupa penwaran sebuah guci antik harganya Rp 125.000.000, apabila si B menyetujui penawaran tersebut, si B pun menulis surat kepada si A bahwa dia menyetujui penawaran tersebut.
2.      Teori penerimaan. Teori ini menyatakan bahwa kesepakatan itu terjadi manakala jawaban atas penawaran yang berisi tentang penerimaan penawaran tersebut telah diterima oleh pihak yang menawarkan. Sebagai contoh apabila si C yang bertempat tinggal di Makassar mengirim penawaran kepada si D yang berada di Medan yaitu berupa penawaran benang sutra seberat satu ton dengan harga RP 1.000.000. apabila si D menyetujui penawaran tersebut kemudian mengirim surat persetujuannya atau penerimaan atas penawaran tersebut kepada C, kesepakatan tersebut belum terjadi sebelum diterimanya surat tersebut oleh si C di Makassar.
Selain kedua teori awal terjadnya kesepakatan diatas, masih dikenal beberapa teori laian seperti teori kotak pos, teori ucapan/ pernyataan, teori pengetahuan dan teori dugaan.


[1] Sebagian materi ini bersumber dari buku Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta.
[2] http://www.scribd.com/dina%20juliani/d/22607477-Penyalahgunaan-Keadaan-Misbruik-Van-Omstandigheden
[Read More...]


Eksistensi Hukum Sebagai Ilmu (pertemuan keempat)



Untuk pertama kalinya hukum berada dalam area perdebatan sebagai ilmu apa (apakah ilmu sosial atukah ilmu humaniora ?). Ada ratusan bahkan ribuan hasil penelitian hukum tidak  diketahui berada dalam lapangan ilmu sosial ataukah ilmu humaniorah. Hilang eksistensinya dalam pohon pengetahuan. Sehingga kadang ditemui hasil penelitian hukum yang bercorak ilmu sosial dan bercorak ilmu humaniora.[1]
Akan tetapi hemat penulis, tidak ada artinya meperdebatkan hukum itu sebagai ilmu sosial ataukah ilmu humaniora. Oleh karenya eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu hadir sebagai ilmu untuk memecahkan fakta-fakta dan isu hukum (legal isue). Maka lebih baik kiranya jika ilmu hukum dikatakan sebagai ilmu praktis.[2]
Ada beberapa terminologi yang digunakan untuk penggunaan istilah “law” sebagaimana dikemukakan oleh Curzon (1979: 23-24) diantaranya:
1.      Perkataan “law” pada umumnya digunakan untuk menunjukan suatu peraturan khusus ataupun  undang-undang lainnya. Misalnya The act 1978 adalah undang-undang dalam arti a law yang berhubungan dengan perbuatan curang.
2.      Perkataan “the law” pada umumnya digunakan untuk menunnjukan pada “the law of the land” (hukum tanah) yaitu tubuh dari undang-undang, peraturan-peraturan lain, putusan-putusan pengadilan, plus asas-asas hukum, plus filsafat umum tentang masyarakat di dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan hukum.
3.      Perkataan “law” digunakan tanpa suatu artikel (kata depan) adalah juga digunakan sebagai suatu yang abstrak. Istilah konseptual  di dalam konteks yang menunjukan pada filsafat hukum. Misalnya ekspresi dari keinginan  rakyat (law is the expressions of people’s wil).
4.      Perkataan “law” pada umumnya digunakan untuk menunjukan undang-undang dan peraturan-peraturan sejenis serta aturan-aturan. Misalnya the laws relating to bankrupcty include the banckrupcty act 1974 (peratuarn tentang keadaan pailit, 1976).
5.      Beberapa bahasa kontinental  menggunakan kata-kata yang berbeda untuk law dan a law contohnya jus, lex, recht, gezetz, droits, legge.
6.      Perkataan droit lebih menimbulkan keraguan dari pada istilah  inggris “law”. Dalam artinya yang luas dan objektif, le droit berarti aturan-aturan hukum secara total  dan sering juga dijumpai istilah droit objectif (atau hukum alam) sebagai lawan dari aturan-aturan hukum positif yang khusus.
7.      Sebagai tambahan lagi, penggunaan-penggunaan ini arti yang murni subjektif, jadi “le droit d’auteur” berarti hak seorang saya, maka kita harus sangat berhati-hati dalam menerjemahkan setiap ungkapan perkataan yang terdapat pada kata droit.
8.      Kata law kemungkinan berasal dari kata “lagu” dalam bahasa inggris kuno, yang juga berasal dari kata lag berarti sesuatu yang pasti.
9.      Kata sifat “legal “ merupakan akar-akar yang langsung dari bahasa latin, “legalis” yang didasarkan pada kata lex yang berarti hukum. Legal juga sering diartikan “menurut undang-undang”
10.  Lex dari bahasa latin, berarti hukum, undang-undang, juga untuk menunjukan perubahan dari suatu undang-undang. Dalam bentuk abstrak disebut juga “lege” hukum. Lex juga digunakan istilah-istilah tertentu, seperti lex commisioria: syarat batal suatu perjanjian jika salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya,  maka dipandang batal demi hukum; lex fori; hukum yang berlaku, adalah hukum di tempat gugatan dimasukkan dan diterima.
11.  Jure, berarti menurut hukum. Misalnya jure humano, berarti menurut hukum manusia.
12.  Juris juga berarti hukum. Presumptio juria; dugaan hukum.
13.  Jus atau ius, juga berarti hukum, tetapi sering juga berarti hak. Contohnya: jus avocandi (hak untuk memanggil kembali).[3]
Secara umum ilmu hukum dapat dibedakan  ke dalam tiga klasifikasi yaitu:[4]
Beggrsiffenwissenschaft:
Ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum. Termasuk di dalamya mata kuliah pengantar ilmu hukum, filsafat hukum, logika hukum dan teori hukum.
Normwissenschaft:
Ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum di indonesia termasuk hukum pidana, hukum tata negara, hukum perdata, dan hukum internasional.
Tatsachenwissenschaft:
Ilmu tentang kenyataan. Termasuk di dalamnya sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, hukum dan politik.
Klasifikasi lain dikemukakan juga oleh Max Weber (Gerald Turkel) bahwa “these three approach are (1) a moral approach to law; (2)an approach from the standpoint of jurisprudence, and (3) a sociological aproach to law. Each of these approaches has a distinc focus on the relations among law and society and the ways in which law should be studied.
“Hukum” sebagai ilmu untuk mengetahui eksistensinya terkit dengan lapisan hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen dalam dali kedua “Pengembanan Hukum” bahwa: terdapat tiga tataran abstraksi teoritikal atas gejala hukum yakni ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal dan pengembanan hukum praktikal.
Dalam arti pragmatikal yang murni, maka ilmu hukum adalah bentuk pengembanan hukum teoritikal yang paling penting. Ilmu hukum ini terbagi atas ilmu hukum dogmatik, sejarah hukum, perbandingan hukum, sosiologi hukum dan psikologi hukum.
1.        Ilmu hukum dogmatik adalah ilmu yang terarah pada kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasi, dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku.
2.        Sejarah hukum adalah bentuk ilmu hukum yang mempelajari gejala-gejala hukum dari masa lampau (artinya hukum positif yang dahulu berlaku).
3.        Perbandingan hukum adalah mempelajari berbagai sistem hukum positif yang berlaku satu disamping yng lain pada berbagai negara atau lingkungan hukum.
4.        Sosiologi hukum adalah imu yang menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan.
5.        Psikologi hukum adalah cabang ilmu hukum yang paling muda. Tujuannya adalah untuk mengerti atau memahami hukum positif dari sudut pandang psikologi.
Kemudian lapisan hukum yang kedua yakni teori hukum, berada pada tataran abstraksi yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum, ia mewujudkan peralihan  filsafat hukum. Teori hukum merefleksikan objek dan metode dari berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu, ia dapat dipandang juga sebagai suatu jenis filsafat ilmu dari ilmu hukum. Misalnya mempermasalahkan pertanyaan apakah sosiologi hukum atau ilmu hukum dogmatik harus dipandang sebagai ilmu empirik yang bersifat deskriptif atau tidak.
Abstrakasi tertinggi atas gejala hukum yakni filsafat hukum. Filsafat hukum merefleksikan semua masalah fundamental yang berkaitan  dengan hukum, dan tidak hanya mereflkesikan  hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Filsafat hukum bersifat kritikal terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum.[5]
Suatu gejala-gejala sosial dan fakta-fakta untuk pertama kalinya diabstraksikan dalam bahasa-bahasa yang abstrak melalui filsafat, oleh karenanya dibutuhkan pemetaan teori hukum untuk membahaskan gejala-gejala tu sebagai das sein dan das sollen melalui teori hukum. Dari teori hukum ditemukan asas-asas sebagai payung (umbrella act) untuk hukum yang doktrinal atau ilmu hukum normatif.
TUGAS PENGGANTI MIED-TEST
Pada pertemuan keempat ini mahasiswa diwajibkan membuat tugas Logika hukum: mencari masalah-masalh hukum aktual atau isu hukum yang menarik. Tugas pertama dibuat memaparkan secara singkat kasus-kasus hukum (legal isue) tersebut kemudian ditarik dalam penalaran deduktif (umum ke khusus). Tugas ini dipaparkan oleh setiap mahasiswa sebagai tugas individu dalam setiap pertemuan
Daftar Pustaka:
Achmad. Ali, 2010, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana.
Arief Sidharta, 2008, Mewissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama
Gregory Leyh, 1992, Legal Hermeneutics, USA: University Of California Press.
Hans Kelsen, 1973, Essays In Legal And Moral Philosophy, D. Reidel: Holland.
Shidarta, 2009. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: CV. Utomo.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press.



[1] Lihat dalam Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki , 2008, Penelitian Hukum, raja wali pers, jakarta.  Melalui konsorsium ilmu hukum pada tahun 1960, ada kehendak untuk menempatkan  ilmu hukum dalam desain UNESCO (apakah ilmu sosial, eksakta dan humaniora ?)
[2] Hemat penulis mengataakns sebagai ilmu praktis karena mau tidak mau hukum sudah selayaknya memberikan alternatif atau mneyelesaikan terhadapa permasalahan –permasalahan hukum (legal isue)
[3] Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Yarsif Watampone, Makassar.
[4] Achmad Ali. 2010, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Kencana , Jakarta, hal.25
[5] Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 5.
[Read More...]


Syarat Sahnya Perikatan (Pertemuan Ketiga)




Diantara beberapa terminologi hukum perikatan (overeenkomst). Istilah yang sering diketemukan diantaranya persetujuan, perjanjian dan kontrak. Membahas syarat sahnya perikatan sulit dipisahkan dari salah satu asas dalam hukum perikatan yakni asas konsensuil (kesepakatan). Syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1230 yakni: sepakat bagi yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan sebab yang halal atau legal.[1]
Unsur sepakat dan cakap jika tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan unsur suatu hal tertentu dan sebab yang halal tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum (nuul and void). Dapat dibatalkan berarti bahwa perjanjian itu dianggap sah sepanjang tidak pernah dibatalkan sedangkan batal demi hukum sudah dari awal perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
Sepakat
Kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian merpakan unsur esensil atau utama sebagai syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan dalam perikatan/ kontrak dapat terjadi  dalam bentuk lisan, tertulis,  dengan simbol-simbol tertentu serta  berdiam diri. Perikatan dapat menjadi batal (dapat dibatalkan) jika saja terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal, diantaranya kekhilafan/ kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan keadaan.
Cacat kehendak karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam Pasal 1321 BW yang menegaskan “tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kemudian diatur juga dalam Pasal 1449 BW yang menegaskan “perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.
Kecakapan
Cakap yang dimaksud di sini adalah setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas oleh hkum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti: gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, “tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1.      Orang yang belum dewasa;
2.      Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3.      Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang  telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Hal Tertentu
Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum (nuul and void). Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW prestasi itu dapat berupa:
1.      Menyerahkan sesuatu;
2.      Berbuat sesuatu;
3.      Tidak berbuat sesuatu.
Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat sesuatu, dan berdiam diri untuk tidak berbuat sesuatu seperti “berjanji untuk tidak membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetetangga.[2]
Sebab Yang Halal
Yang di maksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.  
Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.[3]



[1] Sepakat dan cakap merupakan syarat subjektif (jika tidak terpenuhi maka perjanjian  dapat dibatalkan), sementara unsur suatu hal tertentu dan sebab yang halal sebagai syarat objektif (jika tidak terpenuhi perjanjian batal demi hukum)
[2] Lihat dalam Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Jakarta: Rajawali Press, hal 30.
[3] http://id.shvoong.com/law-and-politics/2230796-pengertian-causa-yang-halal-dalam/
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors