GAYUS, ANTARA PENEGAKAN HUKUM ATAU UANG



GAYUS, ANTARA PENEGAKAN
HUKUM ATAU UANG
(Damang)

Mark galanter, seorang yuris Amerika pernah berujar Why the have come out a head. Mengapa orang berpunya selalu saja tampil ke depan? Pepatah itulah yang cocok bagi Gayus Halomoan Tambunan. Sebelumya pernah dijerat kasus korupsi, penggelapan uang, dan pencucian uang. Tetapi pada persidangan ia hanya di dakwa Pasal penggelapan uang saja. Alhasil hukuman yang ia dapatkanpun hanya satu tahun percobaan. Tak lama kemudian ia dibebaskan.
Setelah Gayus bebas dan jalan-jalan ke Singapura. Mantan Kaberskim Komjen Susno Djuadji  membeberkan perihal sogok-menyogok di lingkugan kepolisian, kejaksaan, bahkan sampai menyeret kembali isntitusi pengadilan sebagai institusi tempat bercokolnya para mafia hukum. Para makelar kasus. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan Gayus yang berhasil menyuap dan memporak-porandakan criminal justice system tersebut. Publik seakan tak percaya dengan semua institusi penegakan hukum. Kalau ada uang semua akan berjalan lancar. Persoalannya penegakan hukum terlalu gampang dinilai dengan uang. Penyelidik, penyidik, penuntut dan hakim sebagai pejabat yang memutus sanksi tindak pidana digerakkan oleh dinamisasi penjahat kelas kakap yang berkocek tebal.
Gayuspun kembali menyerahkan diri yang dijemput dari negara Singapura, setelah terjadi polemik atas tingka lakunya menyogok seluruh institusi hukum, dan kembali menyeret dirinya beurusan dengan kepolisian.
Namun, Gayus tak pernah kehabisan akal. Penegak hukum demikian protektif. Pasal-Pasal yang kuat menjerat atas tindakan penyupannya. Ia kembali memutar otak menciptakan hukum baru buat institusi penegakan hukum. Uang ataukah penegakan hukum. Maka ia kembali mempermainkan penjaga tahanan dengan sogokan uang lima puluh sampai enam puluh juta rupiah supaya tetap menghirup udara kebebasan di luar tahanan.
Melalui permainan media, foto mirip Gayus sedang menonoton pertandingan tenis di pulau bali, padahal ia dalam proses tahanan Kejaksaan, ia kembali di duga menyuap para penjaga tahanan. Entah sampai kapan publik dininabobokan dengan permainan hukum ala pelacur jalanan? Publik sedemikian jenuh, selalu ditipu dengan kekhilapan kepolisian yang telah di angkat menjadi control pertanggungjawaban publik. Hukum yang diciptakan oleh institusi penegakan hukum, realitas hukum, berada dalam lonceng kematian yang tak berdering lagi. Tidak mungkin publik percaya  kalau ia sudah ditipu berkali-kali. Polisi, kejaksaan, pengadilan selalu keteledoran dengan ulah Gayus sebagai mafia pajak sekaligus mafia hukum di semua institusi hukum.
Berikan kesempatan kepada kepolisian untuk membuktikan diri sebagai institusi yang dapat dipercaya (can believe)! Sudah berapa kali institusi tersebut di berikan kesempatan tapi pada akhirnya juga ia tak sanggup dengan lembaran juta rupiah yang ditumpuk di hadapannya. Kalau demikian, kultur hukum masyarakat atas kepercayaan institusi hukum rapuh. Jika dibandingkan dengan seorang nenek mencuri coklat berlarut-larut di tahanan, juga kasus Prita Mulya Sari yang diseret sebagai aktor tindak pidana pencemaran nama baik oleh salah satu pihak  rumah sakit.
Hukum itu tegak hanya pada orang tak berdaya, tegak pada kelompok yang miskin. Mereka tidak memiliki ratusan ribu atau lembaran jutaan rupiah untuk mengaburkan Pasal-Pasal yang dikenakan pada pelaku tindak pidana yang tak berpunya. Tidak ada bargaining position antara jaksa dan penyidik, untuk mengulur waktu melalui P19,  dan P21.
Alat bukti pasti sudah lengkap, dan berproses di pengadilan. Ironisnya hakim juga hanya menjadi corong undang-undang. Hakim layaknya mesin undang-undang. Pelaku tindak pidana yang keburu mencuri karena kelaparan semuanya disikat dengan Pasal 362 dengan sanksi pidana penjara maksimal lima  Tahun. Hukum bukan alat pembaharu. Hukum bukan melindungi pihak yang lemah. Oleh karena kekuatan penegakan hukum tercipta melalui power dan uang (baca:ekonomi). Jangan heran kalau publik selalu menciptakan pengadilan jalanan. Pencuri sandal akan dihakimi massa, kemudian mati terbaring tak berdaya di rumah sakit.
Aparat penegak hukum akan dihadapkan pada dimensi antara memilih law enforncement atau gratifikasi (penyogokan uang dengan iming-iming kebebasan).  Penyidik, penuntut, hakim tinggal memilih menerapkan Pasal-Pasal yang mana, Pasal yang lebih menjamin kebebasan tersangka, terdakwa, atau terpidana, keadilan yang menjadi tujuan (goal) hukum secara kasat mata tercapai dalam keadilan normatif. Keadilan yang dimaksud adalah bukan keadilan hati nurani. Bukan keadilan yang terejawantahkan sebagai penegak hukum yang menjalankan peraturan sebagai kecerdasan representasi ketuhanan.
Keadilan yang diharapkan oleh publik bukanlah keadilan bagai sarang laba-laba. Yang hanya mampu menjangkau dan menindas mereka yang tak berdaya, mereka yang lemah, meraka yang tidak mapan. Keadilan bagaikan sarang laba-laba akan terkoyak (sobek) oleh kelompok yang punya daya saing ekonomi yang kuat.
Roda penegakan hukum yang pada awalnya bebas dipengaruhi oleh stratifikasi sosial menjelma menjadi kekuatan perputaran alat produksi ekonomi seperti ramalan Karl Marx. Brigham (2000) pernah mengemukakan opini publik dan media sebagai salah satu elemen yang mempengaruhi penegakan hukum, terutama hasil putusan oleh hakim di pengadilan. Setidaknya penting untuk juga melihat pada intervensi partai politik yang berkuasa, partai politik yang dominan di parlemen (legislatif). Betulkah pengadilan menjadi institusi mandiri, tanpa campur tangan eksekutif? Tidakkah kasus Gayus di gerakkan oleh kaum pemilik modal yang besar, sehingga disinyalir ada 149 perusahaan pernah menyetor uang kas kerekeningnya dalam rangka penggelembungan jumlah pajak yang harus dibayar oleh tiap perusahaan tersebut. Sampai sekarang perkara Gayus belum juga ada satu perusahaan yang terseret ke pengadilan. Apakah pemerintah takut pada pemilik modal yang menjadi pondasi negara kita yang pada akhirnya akan terkena imbas krisis ekonomi tahap kedua?
Sanksi Pidana dan Penegakan Hukum
Penegakan hukum tidak dapat terlepas dari  adanya sanksi tindak pidana (Pasal 10 KUHP). Ulah Gayus yang menyogok aparat penegak hukum. Setidaknya menjadi pukulan telak bahwa Gayus tak pernah insaf karena hanya dijatuhi sanksi pidana yang ringan.
Belum lagi kasus korupsi yang lain, hanya di jatuhi pidana setahun atau dua tahun beserta remisi-remisnya. Maka terlalu dini untuk mengatakan bahwa sanksi pidana mati tidak sesuai dengan tuntutan kemanusiaan. Pidana mati melanggar HAM. Apakah negara kita berani dari lembagaa yudikatif, untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi yang melakukan korupsi hingga batas miliaran rupiah? Sampai sekarangpun tidak ada perkara korupsi, yang membawa terpidananya pada hukuman mati. Lalu dari beberapa LSM mengatakan kalau pidana mati tidak akan mungkin mengurangi bibit kejahatan.
Bagi penulis sendiri, jika beberapa kejahatan Gayus terbukti memenuhi unsur tindak pidana. Kejahatan korupsi, pencucian uang, penyogokan. Maka Gayus merupakan pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan dalam jumlah banyak (concursus).
Penegak hukum mulai dari institusi kepolisian sampai pengadilan tidak pelak untuk mentoleril tindak pidananya yang terus berlanjut. Pantas bagi pengadilan untuk menjatuhkan pidana yang berat. Kalau perlu tepat yang diusulkan oleh Mahfud untuk memiskinkan Gayus atas ulahnya yang terus menyogok institusi penegak hukum.
Nampaknya negara kita tidak akan mampu menegakkan hukum. Terlebih mengembalikan keperrcayaan publik pada institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Bukan perkara muda jikalau pemerintah (presiden) selalu mengatakan tidak ingin mengintervensi kepolisian dan kejaksaan, padahal kepolisian dan kejaksaan adalah juga lembaga eksekutif yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif (pemerintah).
Sudah sepantasnya presiden mengundang Kapolri untuk memberikan instruksi bahwa dalam waktu 1 kali 24 jam, anda harus menyelesaikan perkara penyogokan di institusi tersebut, kalau tidak maka anda sebagai pejabat Kapolri patut di ganti. Presiden sebagai lembaga eksekutif harus berani menyapu bersih semua aktor mafia yang ada di lingkungan institusi hukum.
Mafia pajak yang di gerakkan oleh Gayus harus sedemikan kuat diusahakan oleh presiden pada kepolisian, kejaksaan untuk membongkar seluruh mafia yang masih terselubung.
Pengadilan juga ke depan, hakim jangan menjadi penegak hukum yang lembek di hadapan publik. Tangan keadilan ada di tangan para hakim yang mengadili kasus Gayus. Publik seakan menaruh harapan tangan keadilan berdimensi ketuhanan pada ketok palu anda. Hukum Gayus seberat-beratnya jika terbukti bersalah (guilty). Tegakkan prosedur hukum yang transparan (tidak imparsial). Sanksi pidana yang berat bagi Gayus adalah cermin penegakan hukum yang sesungguhnya. Agar tidak lahir esok lusa bibit penjahat sekelas Gayus. Negara ini sudah lama menderita virus kemiskinan karena korupsi terus di lindungi.


Responses

1 Respones to "GAYUS, ANTARA PENEGAKAN HUKUM ATAU UANG"

Unknown mengatakan...

HANYA ADA 1 DISERIBU ORANG YG GX AMBIL KESEMPATAN DIDALAM KESEMPITAN ASAL BISA SALING MENGUNTUNGKAN KENAPA GX.? LO PUAS GUA BEBAS, "HUKUM HANYA TOPENG UNTUK MENCARI UANG",,!


18 September 2016 pukul 20.56

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors