Logika Induktif Sebagai Metode Penalaran Hukum Negara Bertipe Common Law (Pertemuan Ketiga)



Logika atau penalaran sebagai cabang filsafat dari epistemologi. Selain logika/ penalaran deduktif juga terdapat penalaran induktif. Penalaran induktif adalah suatu metode penalaran yang konklusinya lebih luas dari premis mayor dan premis minornya.

Contoh I

Premis Mayor: si doni penduduk Gorontalo adalah pedagang

Premis Minor: si buyat penduduk Gorontalo adalah pedagang

Konklusi: semua penduduk Gorontalo adalah pedagang

Jika hal ini diterapkan dalam penalaran hukum maka, yang kelihatan adalah hakim akan mengacu pada putusan hakim yag sebelumnya. Atau dengan kata lain kaidah dasar yang menjadi acuan adalah putusan hakim sebelumnya untuk kasus atau kejahatan yang terjadi pada sekarang.

Misalnya:

Premis Mayor: Ani mencuri sepeda motor maka divonis pidana selama 5 tahun (putusan dimasa lalu)

Premis Minor: Budi mencuri sepeda motor (kasus yang terjadi di masa sekarang)

Konklusi: semua pencuri sepeda motor akan divonis pidana selama lima tahun

Dari penalaran deduktif dan penalaran induktif yang telah dikemukakan pada pertemuan sebelumnya maka Common Law System dengan penalaran induktif dan Civil Law dengan Penalaran Deduktif yang melekat dalam metode penemuan hukum dan penerapannya, maka ciri-ciri atau hal yang memebedakan dari Common Law dan Civil Law sebagai berikut:

Common law system:

1. Kaidah-kaidah yang dihasilkan tertuju secara konkrit kepada penyelesaian suatu kasus tertentu.

2. Pengadilan memegang peranan penting, dimana konsep kaidah hukum berkembang melalui keputusan hakim.

3. Tidak adanya perbedaan prinsipil antara hukum publik dan hukum perdata.

4. Dikembangkan oleh praktisi dan proseduralis.

5. Menekankan pada ciri tradisional hukumnya.

Civil law system:

1. Dipusat kehidupan dan penyelenggaraan hukum terleptak pada konsep orag tentang kaidah atau rule. Kaidah bersifat abstrak dan umum.

2. Sumber hukumnya adalah hukum perundang-undangan atau hukum tertulis. Hukum positif hanya memberikan kerangka bagi pengambilan keputusan bukan berisi kaidah yang komplit.

3. Hakim lebih dominan menggunakan hukum perundang-undangan dan menggunakan yurisprudensi jika ditemukan kaidah yang baik.

4. Konsep dasar yang digunakan bersandarkan atas hukum perdata dan hukum publik.
[Read More...]


ASAS –ASAS PERJANJIAN DAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN (PERTEMUAN KEDUA HUKUM PERIKATAN)



Pertemuan sebelumnya telah dikemukakan jenis-jenis perikatan atau kontrak yang didasarkan pada pasal 1233 BW yakni perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir karena undang-undang. Secara umum asas sering diartikan sebagai jantungnya hukum, atau dengan kata lain asas menjadi akar kuat yang membentuk sehingga aturan itu menjadi ketentuan yang bersifat imperatif.

Secara umum asas hukum yang dapat digunakan dalam klasifikasi hukum seperti hukum perdata, hukum pidana maupun hukum tata negara diantaranya:

1. Lex superior derogate legi inferior (ketentuan hukum yang tinggi mengalahkan hukum yang rendah).

2. Lex posteriori derogate legi priori (ketentuan hukum yang baru lebih diutmakan dari pada ketentuan hukum yang lama)

3. Lex specialist derogate legi generale (ketentuan hukum yang khusus diutamakan dari pada yang ketentuan hukum yang umum.

4. Asas nonretroaktif (hukum tidak bisa berlaku surut).

Asas hukum yang dikemukakan diatas adalah asas hukum yang berlaku secara umum. Berbeda halnya dengan asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian (overeenscomstrecht) diantaranya:

Asas Konsensuil

Konsensuil secara sederhana diartikan sebagai kesepakatan. Dengan tercapainya kesepakatan antara para pihak lahirlah kontrak, meskipun kontrak pada saat itu belum dilaksanakan. Hal ini berarti juga bahwa dengan tercapinya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka yang membuatnya (atau dengan kata lain perjanjian itu bersifat obligatoir). Asas konsensuil dapat dilihat pada Pasal 1320 ayat 1 BW bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Asas Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Itu Mengikat Para Pihak)

Asas pacta sunt servanda biasa juga disebut asas kepastian hukum (certainty). Asas ini bertujuan agar hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan diambil dari Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

Asas Kebebasan Berkontrak

Sebagian sarjana hukum tetap berpatokan pada Pasal 1338 ayat 1 BW perihal asas kebebasan berkontrak. Kebebasan yang dimaksud di sini terbagi dalam beberapa hal yakni:

1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak (yes or no).

2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian (who).

3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian (substance).

4. Bebas menentukan bentuk perjanjian (form)

5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (other freedom).

Asas Iktikad Baik (geode trouw)

Asas iktikad baik diakomodasi melalui Pasal 1338 ayat 3 BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

Kesepakatan atau consensus sebagai syarat utama lahirnya kontrak, masih ada hal lain yang harus diperhatikan yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1320 BW yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Sutu hal tertentu;

4. dan sebab yang halal
[Read More...]


ASAL MULA LOGIKA DAN METODE PENALARAN (PERTEMUAN KEDUA)



Pada pertemuan sebelumnya telah dikemukakan pengertian logika, pengertian hukum dan terminologi hukum terhadap bahasa yang terkait erat dengan logika hukum yaitu law of reasoning, legal reasoning, law and logic. Pada pertemuan kali ini adalah mengkaji asal mula logika atau dimana pertama kali ilmu penalaran itu ada dan dinyatakan sebagai metode dalam cabang filsafat.

Ada tiga cabang atau aspek dari filsafat sebagai induk ilmu yang mengutamakan pada pencarian kebenaran yakni
 
  1. Ontologi (hakikat ilmu) yang mempelajari tentang “ada”. Ada ini dibagi dalam tiga bagian yakni ada dalam pikiran disebut dengan idealisme (rasionalisme); ada dalam pengalaman disebut empirisme; dan ada dalam kemungkinan disebut irasionalime/ nihilisme. 
  2. Epistemologi yang mempelajari tentang metode, dan terbagi atas dua yakni metode deduktif (logika deduktif/ umum-khusus) dan metode/ logika induktif: khusus-umum.
  3. Aksiologi berbicara tentang etika dan estetika. Cabang filsafat inilah yang digunakan kelak sebagai kerangka awal sehingga lahir aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum seperti aliran hukum alam (natural law), positivisme hukum, mazhab sejarah (history), aliran realisme, dan mazhab hukum kritis (critical legal movement).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa logika merupakan salah satu cabang filsafat yang digunakan untuk melakukan penalaran. Penalaran sendiri dapat diartikan analisis terhadap preposisi yang ada dan telah diakui kebenarannya untuk melahirkan preposisi yang baru. Sedangkan premis atau preposisi adalah pernyataan-pernyatan atau peristiwa yang telah terjadi. Kemudian dari hasil penalaran akan melahirkan konklusi atau kesimpulan yang diperoleh dari beberapa pernyataan.

Dari uraian singkat asal mula logika. Jelaslah logika ini terbagi dua yakni logika deduktif dan logika induktif.

Logika deduktif adalah suatu bentuk atau metode penalaran yang konklusinya lebih sempit dari premisnya

Contoh:

Premis mayor: Barang siapa mencuri akan dihukum (A-B-C)

Premis minor: Doni mencuri (A1-B)

Konklusi: Doni akan dihukum (A1- C)

Dari contoh yang dikemukakan di atas menunjukan bahwa ketika ada suatu kejahatan, maka yang pertama kali dilakukan oleh kepolisian sebagai penyelidik, pekerjaan pertama yang dilakukan adalah membuka KUHP, kemudian membuat BAP dan menyatakan seorang sebagai tersangka. Atau dengan bahasa sederhana krakter logika deduktif merupakan karakter negara yang menggunakan sistem hukum civil law. Oleh karena sumber hukum yang utama adalah perundang-undangan. Kalaupun digunakan yurisprudensi, hanya sebagai pendukung dalam memberikan konklusi itu.
[Read More...]


GBPP Mata Kuliah Logika Hukum



1. Identifikasi Mata Kuliah

Mata Kuliah : LOGIKA HUKUM

Tim Pengajar : Damang SH

Status Mata Kuliah : Wajib Institusional (Fakultas)

SKS : 2

2. Diskripsi Mata Kuliah

Substansi mata kuliah Logika Hukum mencakup pengertian ilmu hukum, logika, bahasa, penafsiran hukum (interpretasi), konstruksi hukum dan kesesatan.

Dalam pengertian ilmu hukum akan diuraikan secara gramatikanya yaitu meliputi pengertian dari kata ilmu dan kata hukum termasuk karakter ilmu hukum itu sendiri. Kemudian logika menjelaskan tentang cara berpikir lurus untuk mencapai suatu kebenaran dalam hukum. Bahasa yang digunakan disini yaitu bahasa hukum dan/atau bahasa undang-undang. Dalam penafsiran hukum dapat dibagi menjadi beberapa macam penasiran antara lain penafsiran gramatika, penafsiran autentik, penafsiran sosiologis dan lain-lain. Penafsiran ini dilakukan apabila oleh hakim pengadilan dalam menangani suatu perkara ditemukan adanya norma kabur, sedangkan dalam konflik norma hukum, hakim dapat menggunakan salah satu dari beberapa asas yaitu asas lex specialis derogat legi generali, asas lex superior derogat legi priori dan lex posterior derogat legi inferiori. Kemudian apabila terjadi kekosongan norma maka hakim dapat melakukan konstruksi hukum, hakim pengadilan dapat menempuh beberapa metode untuk menemukan hukum yaitu dengan argumentum a contrario, argumentum per analogiam dan penghalusan hukum dan jika terjadi kesesatan dilakukan dengan beberapa metode.

Pengkajian dalam penalaran hukum ini selain mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan juga mengacu pada hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam menangani suatu perkara apabila hukumnya tidak ada maka hakim dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.



3. Tujuan Mata Kuliah

Adapun tujuan dari mata kuliah ini yaitu mahasiswa diharapkan memahami karakter ilmu hukum, logika hukum, bahasa hukum, penafsiran hukum (interpretasi), konstruksi hukum dan kesesatan dalam hukum. Kemudian setelah memahami hal tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat melakukan pengkajian terhadap hukum yang berlaku melalui kasus-kasus dan fenomena hukum dalam masyarakat dengan menggunakan metode-metode tersebut.


4. Metode dan Strategi Proses Pembelajaran

Metode perkuliahan adalah Problem Base Learning (PBL) pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah belajar (learning) bukan mengajar (teaching).

Strategi pembelajaran : Kombinasi perkuliahan 50% (6 kali pertemuan perkuliahan) dan tutorial 50% (6 kali pertemuan tutorial). Satu kali pertemuan untuk ujian tengah semester dan satu kali pertemuan untuk ujian akhir semester. Jadi jumlah seluruh pertemuan sebanyak 14 kali.


Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial.

Dalam mata kuliah Penalaran dan Argumentasi Hukum direncanakan :

- Perkuliahan berlangsung selama 6 (enam) kali pertemuan yaitu pertemuan ke-1, ke-3, ke-5, ke-7, ke-9 dan ke-11.

- Tutorial enam kali pertemuan yaitu pertemuan ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10, dan ke-12.


Strategi Perkuliahan,

Perkuliahan tentang sub-sub pokok bahasan dipaparkan dengan alat bantu media, seperti white board, power point, dan sebagainya serta penyiapan bahan-bahan bacaan yang dipandang sulit untuk diperoleh atau diakses oleh majasiswa.

Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah mempersiapkan diri mencari bahan/materi, membaca dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan dalam block book. Teknik perkuliahan :

- Pemaparan materi, tanya jawab dan diskusi (proses pembelajaran dua arah).


Strategi Tutorial.

- Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas (discussion task, study task, dan problem task). Sebagai bagian dari self study (20 jam per minggu) untuk kemudian berdiskusi di kelas tutorial presentasi power point.

- Dalam 6 (enam) kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan :

a. Menyetorkan karya tulis berupa paper sesuai dengan topik tutorial.

b. Mempresentasikan tugas tutorial.


5. Ujian dan Penilaian

a. Ujian.

Ujian dilaksanakan 2 (dua) kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).

6. Materi Perkuliahan

1. Pendahuluan. Karakter normatif dari hukum.

2. Kekhasan bahasa hukum.

3. Macam kaidah hukum.

4. Logika.

a. Peristilahan logika.

b. Prinsip dasar logika.

c. Manfaat logika dalam penalaran hukum.

d. Logika dalam penalaran hukum.

5. Penalaran.

a. Pengertian konsep.
b. Pengertian proposisi.
c. Hubungan antara konsep, proposisi dan penalaran.

6. Analisis terhadap konsep-konsep hukum.

7. Tujuan penalaran hukum.
a. Menemukan kebenaran; dan
b. Menemukan keadilan.


8. Penalaran induksi dan deduksi.

a. Pengertian induksi dan deduksi.

b. Penalaran induksi dalam hukum.

 9. Penalaran deduksi dalam hukum.

10. Penyelesaian terhadap inharmonis hukum.

a. Asas preferensi.

b. Penyelesaian berkaitan dengan asas preferensi hukum.

11. Penemuan hukum dan Penafsiran hukum.

12. Kesesatan dalam penalaran hukum.



7. Bacaan.

- Atmadja,I Dewa Gede, 1992, “Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum : Suatu Renungan Filsafat Hukum, dalam Kertha Patrika, Nomor : 58 Tahun XVIII, Maret.
- -------, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum Dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kertha Patrika, Nomor : 62-63 Tahun XIX Maret – Juni.
- -------, Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996.

- -------, 2006, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

- Gie, The Liang, 979, Teori-teori Keadilan, Super, Yogyakarta.

- Hadjon, Philipus M, 1994, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, November-Desember 1994.

- -------, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

- -------, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum , Bali Age, Denpasar, h. 62-65.

- Loudoe, John Z., 1985, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta.

- Marzuki, Peter Mahmud, 2001, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika, Vol. 16, No. 1, Maret-April.

- Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti.

- Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung.

- Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, h. 74-108.

- Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 42-56.

- -------, Pengantar Logika, Refika Aditama, Bandung, 2008.

- Simorangkir, J.C.T., et al., 1980, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta.

- Sumaryono, 1999, Dasar-dasar Logika, Kanisius, Yogyakarta.

- Sutiyoso, Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta.


8. Persiapan Proses Perkuliahan

Mahasiswa diwajibkan untuk memiliki block book mata kuliah Penalaran dan Argumentasi Hukum sebelum perkuliahan dimulai dan sudah mempersiapkan materi sehingga proses perkuliahan dan tutorial dapat terlaksana sesuai dengan tujuannya.

Pertemuan I : Pendahuluan.

Terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli dalam memasukkan ilmu hukum ke dalam suatu kelompok bidang ilmu. Demikian pula adanya keragu-raguan yang disebabkan oleh sifat normatif dari ilmu hukum tersebut bukanlah ilmu empiris. Disamping hukum mempunyai sifat yang normatif hukum juga memiliki fungsi yang normatif pula.

Task 1 : Ilmu hukum dikatakan bersifat preskriptif dengan karakter sui generis, apakah anda setuju atau tidak ?

1. Terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli dalam memasukkan ilmu hukum ke dalam suatu kelompok bidang ilmu.

2. Adanya keraguan yang disebabkan oleh sifat normatif dari ilmu hukum tersebut bukanlah ilmu empiris.

Bacaan :

- Atmadja,I Dewa Gede, 1992, “Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum : Suatu Renungan Filsafat Hukum, dalam Kertha Patrika, Nomor : 58 Tahun XVIII, Maret, h. 64-71.

- -------, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum Dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kertha Patrika, Nomor : 62-63 Tahun XIX Maret – Juni, h. 64-71.

- -------, Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996, h. 33-47.

- -------, 2006, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 22-34.

- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1 – 9.

- Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, h. 74-108.

- Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 42-56.


Pertemuan II : Kekhasan Bahasa Hukum.

Dengan memperhatikan konsep hukum yang khas dengan sendirinya juga bahasa dalam hukum mempunyai kekhasan. Kekhasan bahasa dalam hukum terletak dalam fungsinya yang normatif. Dalam bahasan normatif dirumuskan norma-norma yang berisi : perintah, larangan, izin, dan dispensasi.

Perintah (gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu. Larangan (verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu. Dispensasi (pembebasan, vrijstelling) adalah pembolehan (verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan. Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Task 2 : Study Task.

Antara keempat perintah perilaku ini terdapat berbagai hubungan yang juga dapat memperlihatkan hubungan logikal tertentu.

1. Sebutkan keempat konsep tersebut !

2. Berikan contohnya masing-masing !

Bacaan :

- Atmadja,I Dewa Gede, 2006, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 22-34.

- -------, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum , Bali Age, Denpasar, h. 62-65.

- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1 – 9.

- Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, h. 74-108.

Instruksi Tutor :

1. Membentuk kelompok diskusi

2. Menentukan atau menunjuk pemimpin diskusi dalam kelompok.

3. Selama proses diskusi tutor harus dapat meredam emosi mahasiswa dan mengangkat mahasiswa yang pasif.

4. Membahas masalah tersebut dengan mengacu pada learning goal yaitu :

a. Memahami kekhasan bahasa hukum.

b. Memahami perintah.

c. Memahami larangan.

d. Memahami izin, dan

e. Memahami dispensasi.


5. Masing-masing learning goal dijelaskan dalam waktu 15 menit

6. Terakhir sisakan 25 menit untuk presentasi dari salah satu kelompok melalui ketua kelompok.

7. Menyuruh ketua kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi.

8. Mengumpulkan laporan hasil diskusi.



Pertemuan III : Macam Kaidah Hukum.

Jika ditinjau dari sudut isinya, maka dapatlah dikenal adanya tiga macam kaidah hukum yaitu :

1. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan suruhan (gebod);

2. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan (verbod);

3. Kaidah-kaidah hukum yang berisikan kebolehan (mogen).

Mengenai sifat kaidah hukum dapatlah dibedakan antara :

a. Kaidah-kaidah hukum yang bersifat imperatif.

b. Kaidah-kaidah hukum yang bersifat fakultatif.

Task 3 : Study Task.

1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah hukum yang berisikan suruhan, larangan, dan kebolehan?

2. Berikan masing-masing contoh kaidah-kaidah hukum tersebut dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan !

Bacaan :

- Hadjon, Philipus M, 1994, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, November-Desember 1994.

- -------, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1 – 9.

- Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 42-56.
- Peter Mahmud Marzuki, 2001, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika, Vol. 16, No. 1, Maret-April.

- Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, h. 21-36.

Pertemuan IV : Logika.

Logika adalah bahasa Latin berasal dari kata “logos” yang berarti perkataan atau sabda”. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa “alasannya tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis”. Yang dimaksud dengan “logis” adalah masuk akal dan tidak logis adalah tidak masuk akal. Prof Thaib Thair A.Mu’in membatasi logika sebagai “Ilmu untuk menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran”. Sedangkan Irving M.Copi menyatakan bahwa “Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dengan penalaran yang salah”. Demikian juga dalam buku “Logic and Language of Education” dari George F.Kneller (New York, 1966). Logika disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai “hukum yang memelihara hati nurani dari kesalahan dalam berfikir”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.

Logika berkaitan dengan aktivitas berpikir dan Psikologi juga berkaitan dengan aktivitas berpikir. Oleh karena itu, kita hendaknya berhati-hati melihat persimpangannya dari kedua konsep ini. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar-salah. Sebaliknya urusan benar-salah menjadi masalah pokok dalam logika. Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya tetapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis.

Banyak jalan pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir kelompok, kecenderungan pribadi, pergaulan dan sugesti. Juga banyak pikiran yang diungkapkan sebagai harapan emosi seperti caci maki, kata pujian atau pernyataan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen yang secara selintas kelihatan benar untuk memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar dan bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan.

Task 4 : Study Task.

1. Logika mempelajari tentang kebenaran, apakah yang dimaksud dengan arti benar ?

2. Apakah manfaat dari logika ?

Bacaan :

- Hadjon, Philipus M, 1994, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, November-Desember 1994.

- Peter Mahmud Marzuki, 2001, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika, Vol. 16, No. 1, Maret-April.

- Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, cet. pertama, Mandar Maju, Bandung, 1999.

- -------, Pengantar Logika, Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 1-3.
- Simorangkir, J.C.T., et al., 1980, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta.

- Sumaryono, 1999, Dasar-dasar Logika, Kanisius, Yogyakarta, h. 71 -73.


Pertemuan V : Penalaran.

Dalam hidup ini diliputi oleh berbagai masalah yang merupakan hambatan atau tantangan yang mewajibkan seseorang untuk memecahkannya. Kemampuan untuk memecahkan masalah ini, banyak ditunjang oleh kemampuan menggunakan penalaran, kemampuan dalam hubungan kausal. Penalaran (reasoning) adalah suatu bentuk pemikiran. Selain penalaran, bentuk pemikiran yang lebih sederhana adalah pengertian atau konsep dan proposisi atau pernyataan. “Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi”.


Task 5 : Discussion Task.

1. Buatlah pengertian tentang konsep, proposisi dan penalaran.

2. Berikan contohnya masing-masing.
Instruksi Tutor :

1. Membentuk kelompok diskusi

2. Menentukan atau menunjuk pemimpin diskusi dalam kelompok.

3. Selama proses diskusi tutor harus dapat meredam emosi mahasiswa dan mengangkat mahasiswa yang pasif.

4. Membahas masalah tersebut dengan mengacu pada learning goal yaitu :

a. Memahami tentang konsep.

b. Memahami proposisi.

c. Memahami penalaran dalam hukum.

d. Mampu memberikan contoh-contohnya.

5. Masing-masing learning goal dijelaskan dalam waktu 20 menit

6. Terakhir sisakan 20 menit untuk presentasi dari salah satu kelompok melalui ketua kelompok.

7. Menyuruh ketua kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi.

8. Mengumpulkan laporan hasil diskusi.


Pertemuan VI : Analisis terhadap konsep-konsep hukum.

Tujuan dilakukannya suatu penalaran adalah untuk mencapai kebenaran. Demikian pula dengan hukum, tujuan diadakannya penalaran hukum yakni disesuaikan dengan tujuan hukum itu sendiri. Tujuan hukum mengacu pada ”sasaran yang ingin dicapai oleh fungsi hukum. Tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu yang akhirnya bermuara pada keadilan. Dalam melakukan penalaran, pengertian dan proposisi mempunyai peranan penting karena tanpa adanya pengertian tidak mungkin disusun proposisi dan tanpa adanya proposisi tidak mungkin dilakukan penalaran.


Task 6 : Problem Task

Diskusikan dengan teman-teman anda mengenai pengertian, proposisi dan penalaran. Pengertian sebagai langkah awal dari penalaran harus dilakukan secara benar karena jika pengertian salah maka hasil dari penalaran juga menjadi salah.

Kasus :

- Bedakan pengertian pencurian dengan pengelapan !

- Bedakan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan perbuatan sewenang-wenang.

- Pengertian atau konsep juga sifatnya dinamis. Misalnya dalam perkara Josopandojo, putusan Mahkamah Agung Nomor 838K/Sip/1972.

- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1816 K/Pdt/1989 tentang itikad baik yang dilakukan dengan ceroboh.

Bacaan :

- Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006, h. 74-108.

- The Liang Gie, 1979, Teori-teori Keadilan, Super, Yogyakarta, h. 17-20.
Pertemuan VII : UJIAN TENGAH SEMESTER

Pertemuan VIII : Induksi Dalam Hukum.

Penalaran adalah sebuah proses mental di mana kita (melalui akal budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (hal yang belum kita ketahui). Atau kita bergerak dari pengetahuan yang kita miliki menuju ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan yang telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang tersedia yang kita pergunakan sebagai titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui” yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai premis, evidensi, bukti, dasar bahkan alasan-alasan dari mana hal-hal yang belum diketahui “dapat disimpulkan”. Kesimpulan itu disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif” atau “berpikir untuk menarik kesimpulan”. Penyimpulan ini dilakukan dengan cara “induksi dan deduksi”. Induksi dalam hukum dimulai dengan mengumpulkan fakta-fakta empiris.

Kasus : pada setiap putusan pengadilan negeri (maksudnya putusan mana saja dapat dipakai sebagai bahan analisis).

Task 7 : Problem Task.

Diskusikan dengan teman-teman anda tentang metode penalaran induksi dalam hukum ? Cobalah dicari dalam putusan Pengadilan Negeri !

Bacaan :

- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 20 – 37.

- Atmadja, I Dewa Gede, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation An Introduction), Bali Aga, Agustus 2009, h. 25 – 33.
Pertemuan IX : Deduksi dalam Hukum.

Dalam penanganan perkara atau sengketa hukum langkah awal adalah langkah induksi untuk mengumpulkan fakta. setelah fakta dirumuskan diikuti dengan penerapan hukum. Langkah penerapan hukum adalah langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum dan seringkali dijumpai keadaan aturan hukum seperti : antinomi (konflik norma hukum), kekosongan hukum (leemten in het recht), dan norma yang kabur (vage normen).

Task 8 : Discussion Task.

Diskusikan dengan teman-teman tentang konflik norma hukum, kekosongan norma, dan norma kabur.

Instruksi Tutor :

1. Membentuk kelompok diskusi

2. Menentukan atau menunjuk pemimpin diskusi dalam kelompok.

3. Selama proses diskusi tutor harus dapat meredam emosi mahasiswa dan mengangkat mahasiswa yang pasif.

4. Membahas masalah tersebut dengan mengacu pada learning goal yaitu :

a. Memahami tentang antinomi (konflik norma hukum).

b. Memahami kekosongan hukum.

c. Memahami norma kabur.

d. Mampu menunjukkan contoh-contohnya.

5. Masing-masing learning goal dijelaskan dalam waktu 20 menit

6. Terakhir sisakan 20 menit untuk presentasi dari salah satu kelompok melalui ketua kelompok.

7. Menyuruh ketua kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi.

8. Mengumpulkan laporan hasil diskusi.



Bacaan :

- Atmadja, I Dewa Gede, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation An Introduction), Bali Aga, Agustus 2009, h. 55.

- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 24.


Pertemuan X : Penemuan Hukum

Menurut Paul Scholten, penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvervijning (pengkonkretan hukum). Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa konkret.


Task 9 : Problem Task

Kasus :

- Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2691 K/Pdt/1996 Tanggal 18 september 1998 tentang jual beli secara lisan belum mempunyai akibat hukum.

- Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3045 K/Pdt/1991 tanggal 30 Mei 1996 tentang Jual beli harus dilakukan di hadapan PPAT.

Bacaan :

- Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, h. 4-12.

- Sutiyoso, Bambang, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, h. 28-35.

Pertemuan XI : Penafsiran Hukum

Pada hakikatnya tidak ada perundang-undangan yang sempurna, pasti didalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia. Dengan demikian diperlukanlah penafsiran hukum seperti penafsiran gramatika, penafsiran sejarah undang-undang, penafsiran sejarah hukum, penafsiran sistematis dan penafsiran sosiologis.

Task 8 : Problem Task
- Diskusikan dan pahami konsep penafsiran hukum.

- Buatlah contoh dari masing-masing bentuk penafsiran hukum.

Kasus :
- Putusan Mahkamah Agung No. 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 tentang Kasus Dr. Mochtar Pakpahan,SH.,MA.

Bacaan :

- Loudoe, John Z., 1985, Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta, h. 112-124.

, -------, Atmadja,I Dewa Gede,Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996, h. 33-47.


Pertemuan XII : Kesesatan (Fallacy).

Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Dalam penalaran dapat terjadi kesesatan karena tidak terdapat hubungan logis antara premis dengan kesimpulan. Ada lima model kesesatan dalam penalaran hukum :

1. Argumentum ad ignorantium.

2. Argumentum ad verecundiam.

3. Argumentum ad hominem.

4. Argumentum ad misericordiam.

5. Argumentum ad baculum.

Task 9 : Discussion Task.

- Diskusikan tentang kesesatan.

- Cari contoh masing-masing model kesesatan tersebut.

Instruksi Tutor :

1. Membentuk kelompok diskusi

2. Menentukan atau menunjuk pemimpin diskusi dalam kelompok.

3. Selama proses diskusi tutor harus dapat meredam emosi mahasiswa dan mengangkat mahasiswa yang pasif.

4. Membahas masalah tersebut dengan mengacu pada learning goal yaitu :

a. Memahami tentang kesesatan.

b. Memahami model-model kesesatan.

c. Mampu menunjukkan contoh-contohnya.

5. Masing-masing learning goal dijelaskan dalam waktu 20 menit

6. Terakhir sisakan 40 menit untuk presentasi dari dua kelompok melalui masing-masing ketua kelompoknya.

7. Menyuruh masing-masing ketua kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi.

8. Mengumpulkan laporan hasil diskusi.



Bacaan :

- Atmadja, I Dewa Gede, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation An Introduction), Bali Aga, Agustus 2009, h. 75-77.

- Hadjon, Philipus M, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 15-17.

Pertemuan XIV : UJIAN AKHIR SEMESTER



DAFTAR PUSTAKA


Atmadja,I Dewa Gede, “Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum : Suatu Renungan Filsafat Hukum, dalam Kertha Patrika, Nomor : 58 Tahun XVIII, Maret, 1992.


-------, “Manfaat Filsafat Hukum Dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kertha Patrika, Nomor : 62-63 Tahun XIX Maret – Juni, 1993.


-------, Penafsiran Konstitusialam Rangka Sosialisasi Hukum, Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996.


-------, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar 2006.

Gie, The Liang, Teori-teori Keadilan, Super, Yogyakarta 1979.

Hadjon, Philipus M, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”, dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, November-Desember 1994.
-------, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

-------, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum , Bali Age, Denpasar, 2009.

Loudoe, John Z., Menemukan Hukum melalui Tafsir dan Fakta, Bina Aksara, Jakarta 1985.

Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, dalam Yuridika, Vol. 16, No. 1, Maret-April 2001.

Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti 1993.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung 1979.

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV. Utomo, Bandung, 2006.
Sidharta, Bernard Arief, Refleksi Tentang Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008.

-------, Pengantar Logika, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Simorangkir, J.C.T., et al., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta 1980.
Sumaryono, Dasar-dasar Logika, Kanisius, Yogyakarta 1999.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta 2006.

[Read More...]


Hukum Perikatan (pertemuan Pertama )



HUKUM PERIKATAN
(PERTEMUAN PERTAMA)

Pengertian Hukum Perikatan:
Dalam kitab undang-undang hukum perdata (burgelijk wetboek) “materi atau ketentuan tentang perikatan” diatur dalam buku III perihal perikatan. Disamping terdapat beberapa materi hukum perdata yang lainnya yakni perihal benda, orang, pembuktian dan daluarsa. Ada beberapa peristilahan dalm hukum perikatan, yakni perikatan itu sendiri, perjanjian dan kontrak.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu (Subekti).
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sementara kontrak itu sendiri berarti perjanjian atau persetuuan tertulis.
Namun beda halnya dengan penulis seperti Ahmadi Miru dalam hukum kontrak tidak membedakan apa yang dimaksud perikatan, perjanjian dan kontrak. Oleh karena dalam Pasal 1233 BW menegaskan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang”
Sementara itu sumber perikatan yang berupa undang-undang dapat dibagi atas perikatan yang lahir karena undang-undang saja dan undang-undang karena adanya perbuatan manusia (Pasal 1352 BW)
Sumber perikatan yang bersumber dari undang-undang karena adanya perbuatan manusia, beradasarkan Pasal 1353 juga dapat dibagi perbuatan manusia yang sesuai hukum/ halal dan perbuatan manusia yang melanggar hukum.


Contoh:
1. Perikatan yang lahir karena perjanjian misalnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar menukar, dan perjanjian pijam meminjam.
2. Perikatan yang lahir karena undang-undang saja misalnya kewajiban bagi orang tua untuk saling memberikan nafkah bagi anaknya.
3. Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia yang sesuai hukum misalnya perwakilan sukarela (zaakwarneming) sebagai mana diatur dalam Pasal 1354 BW “jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili uruan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannnya dapat mengerjakan urusan itu.
4. Perikatan yang lahir karena perbuatan yang melanggar hukum misalnya perjanjian untung-untungan seperti perjudian dan pertaruhan (Pasal 1774).
Tidak selamanya suatu perjanjian itu kepentingn para pihak berlawanan melainkan ada yang searah atau hak-haknya sama tanpa ada timbal balik pemenuhan hak dan kewajiban misalnya perjanjain pendirian perseroan Terbatas (PT) dimana para pihak mempunyai kehendak yang sama, yaitu menyetorkan uang sebagai modal saham, dan masing-masing pihak mengharapkan keutungan dari PT tersebut. Dengan demikian perikatan yang didefeniskan oleh Subekti tampaknya tidak dapat lagi dipertahankan walaupun pada dasarnya pengertian itu setidaknya dapat menjadi kerangka awal untuk mengenal unsur –unsur yang terdapat dalam suatu perikatan.
[Read More...]


LOGIKA HUKUM



Pengantar Logika Hukum
Pengertian hukum dan Logika

Dalam terminologi hukum atau bahasa hukum dikenal tiga bahasa yang lazim digunakan yakni law of reasoning (hukum penalaran), legal reasoning (penalaran hukum), dan law and logic (hukum dan logika.
Defenisi hukum yang lengkap dapat mengakomodasi semua aliran dalam hukum penalaran adalah defenisi hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Kusumaatmadja Hukum adalah seperangkat aturan, kaidah-kaidah, asas-asas dan institusi-instutsi serta proses yang mengikat daya keberlakuannya. Sementara logika berasal dari kata logos yng berarti kata, pertimbangan akal, dan percakapan. Atau dengan bahasa yag sederhana logika_logos diartikan suatu pertimbangan perkataan berdasarkan akal yang sehat atau sesuai dengan standar yang normal.
Contoh penggunaan logika hukum: dalam Pasal 362 KUHP menegaskan barang siapa mengambil barang baik sebagian maupun secara keseluruhan secara melawan hukum dengan maksud untuk memiliki diancam dengan pida penjara selama lima tahun atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah.
Unsur dari pasal tersebut:
1. Barang siapa yang dartikan setiap orang.
2. Mengambil barang.
3. Secara melawan hukum.
4. Maksud untuk memiliki.
Jika saja pasal di atas diterapkan pada pencurian barang seperti kendaraan bermotor. Misalnya si A membawa motor si B tanpa sepengatahuan si B, dan kemudian dalam beberapa jam kemudian Motor itu dikembalikan ditempatnya, dan baru si B mengetahuinya. Dengan menerapakan ketentuan Pasal 362 berarti salah satu unsurnya tidak terpenuhi yakni si A tidak memenuhi unsur perbuataannya “dengan maksud memilki Itu”. Maka bukan dalam kategori pencurian.
Namun sebenarnya kalau ditinjau lebih jauh, dari pemakaian kendaraan bermotor tersebut oleh si A, ada barang yang hilang yakni bensin kendaraan bermotor. Berarti pencurian yang terjadi adalah pencurian bensin.
Dengan demikian logika hukum berfungsi untuk menalar hukum, menalar ketentuan pasal-pasal terhadap peristiwa hukum (seperti peristiwa pidana) sehingga penalaran tersebut sesuai dengan alur berpikir sistematis, metodik untuk menghasilkan preposisi hukum yang benar serta imperatif.

Materi Pertemuan Pertama Kelas Reguler Dan Kelas Karyawan

[Read More...]


Hukum Responsif



Perkembangan hukum progresif sulit terlepaskan dari pemikir realisme hukum Nonet dan Selznik. Menurut Nonet dan Selznik (2003: 59) mengemukakan tiga perkembangan tatanan hukum dalam masyarakat yang sudah terorganisir secara politik dalam bentuk negara. Ketiga tipe tatanan hukum itu adalah tatanan hukum represif, tatanan hukum otonomius dan tatanan hukum responsif.
Dalam tipe tatanan hukum represif, hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang beradulat  (pengemban kekuasaan politik) yang memilki kewenangan diskresioner  tanpa batas. Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta politik tidak  terpisah, sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka (dominan lebih menonjol ke permukaan) ketimbang aspek ekspresifnya. Dalam tipe tatanan hukum represif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada istnitusi hukum  sehingga tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi pada “rasion de etre”
2.   Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang memunculkan “perspektif pejabat, yakni perspektif yang memandang keraguan harus menguntungkan sistem dan sangat mementingkan kemudahan admnistratif.
3.   Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.
4.   Rezim hukum ganda mengintitusionalisasi keadilan kelas yang mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5.    Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat menonjolkan legal moralism. (Bernard Arief Sidharta, 2009: 50)

Dalam tipe tatanan hukum otonomius, hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu mengendalikan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tatanan hukum itu berintikan rule of law. Subordinasi putusan pejabat pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka itu institusi hukum serta cara berpikir memiliki batas-batas yang jelas. Dalam tipe ini keadilan prosedural sangat ditonjolkan. Tipe tatanan hukum otonomius memilki ciri-ciri:
1.    Hukum terpisah dari politik yang mengimplikasikan kewenangan kehakiman yang bebas dan separasi fungsi legislatif dan fungsi yudisial.
2.   Tata hukum mengacu model aturan. Dalam kerangka ini, maka aturan membantu penegakan penilaian terhadap pertanggungjawaban pejabat. Selain itu aturan membatasi kreativitas institusi hukum dan persiapan hukum ke dalam wilayah publik.
3.   Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian maka tujuan pertama dan kompetensi utama tata hukum adalah regularitas dan kelayakan.
4.   Loyalitas pada hukum yang mengharuskan kepatuhan semua pihak pada aturan hukum positif. Kritik gerhadap aturan hukum positif harus dilaksankan melalui proses politik.
    (Bernard Arief Sidharta, 2009: 51)


Dalam tipe tatanan hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respon atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Padangan ini mengimplikasikan pada dua hal. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional. Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan (Bernard Arief Sidharta, 2009: 50). Dalam tipe ini, aspek ekspresif dari hukum lebih mengemuka ketimbang dua tipe lainnya dan keadilan substantif juga dipentingkan disamping keadilan prosedural.
Melalui tipe hukum yang responsif. Oleh Satjipto Rahrdjo  (2007: 228) tipe hukum ini dianggap sebagai tipe hukum yang ideal, sebagai tipe hukum yang memperjuangkan keadilan prosedural dan keadilan substantif. Sehingga muncul istilah hukum progresif.
Hukum yang progresif menganggap bahwa hukum bukanlah aturan yang kebal kritik, sehinga muncul gerakan dalam aliran pemikiran ilmu hukum yaitu critical legal study  (Robert M. Unger). Hukum tidak selamanya sebagai hukum yang formal dan prosedural. Hukum yang terabstraksi adalam aturan-aturan adalah untuk kepentingan manusia itu. Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law the making dan tidak pernah bersifat final sepanjang manusia itu ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat.
Dalam hukum progresif, juga selalau melekat etika dan moralitas kemanusiaan, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya.
Selain Nonet dan dan Selznik yang dapat dijadikan acuan sebagai dasar lahirnya hukum progresif, juga dapat diamati pendapat Roscue pound _ law as a tool social enginering, yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai law as a tool of development. Hukum setelah diselidiki fakta-fakta atau gejalanya, karena hukum  untuk manusia (aliran history/  Carl V. Savigni), terbentuklah hukum yang baru (pembaharuan hukum) dan memihak pada kepentingan manusia. Inilah yang disebut hukum pembangunan oleh Kusumaatmadja (mazhab hukum Unpad)

[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors