Merayakan Kematian Demokrasi



(Artikel Ini Juga Muat diharian Fajar Edisi 1 Oktober 2014)
Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.


Dini hari, menjelang subuh, riuh dari gedung Senayan terus bergemuruh. Anak-anak kala itu yang akan menjadi penerus bangsa di negeri ini masih pada tertidur. Hanya sebagian orang yang mungkin peduli dengan bangsa ini, sedang menahan kantuk mereka, guna menanti putusan akhir sang wakil rakyat yang mereka masih percaya.

Dan tibalah masa pada waktunya, saat Fraksi Partai Demokrat yang diharapkan mengunci “kemenangan’ Pilkada langsung ternyata memilih bermanuver, fraksi Demokrat Walk Out dari rapat paripurna.

Kemudian bersamaan dengan itu, bukan hanya suasana gedung senayan menjadi gaduh, tetapi kita yang ikut menyaksikan pentas demokrasi Senayan, sontak hati langsung menjadi gundah-gulana. Harapanpun kemudian menjadi “ciut”, bahwa mustahil opsi Pilkada langsung akan “menang”. Lima fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) mereka kuat dan tangguh untuk dikalahkan.

Benar demikian, kubu pendukung Pilkada langsung hanya memperoleh 135 suara. Sementara kubu pendukung Pilkada via DPRD berhasil memperoleh suara jauh selisihnya dibanding kubu pendukung Pilkada langsung, yaitu 226 suara.

Kematian Demokrasi

Di kala malam merangkak fajar, atas kabar kemenangan yang didendangkan oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Itu bukan kemenangan yang pantas dirayakan. Namun kematian yang harus dikabarkan, sebagai kematian demokrasi yang telah digembok, diamputasi, disunat, dirampas, bahkan dibunuh oleh wakil terhormat kita.

Lalu rakyat di seluruh pelosok tanah air, berduka. Mereka tidak sungkan meluangkan waktu, datang berduyun-duyun di depan gedung Senayan, hanya untuk melampiaskan duka dan tangisan mereka. Ini adalah kematian, tidak ada salahnya jika air mata turut meleleh, saat menyaksikan demokrasi yang telah diperjuangkan “berdarah-darah” kini menemui ajalnya.

Aksi mereka tidak berhenti sampai di situ saja, sekumpulan orang di depan gedung Senayan, masing-masing meletakan rangkaian bunga. Dan gedung parlemenpun, akhirnya menjadi “nisan” kematian demokrasi.

Ironisnya, kematian itu tidak semua orang berempati. Di tempat yang berbeda, ada pula segerombolan pembunuh demokrasi justru merayakannya.

Diantara mereka, ada hadir golongan suci yang membawa misi kenabian, hadir pula golongan reformis yang telah mempertaruhkan banyak “nyawa” melayang, karena dahulu kala pernah memperjuangkan “demokrasi”. Tetapi kini oknum bersangkutan malah membunuhnya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka pada bersorak-sorak, menggelar pesta-pora “kemenangan”, merayakan kematian demokrasi, saat banyak rakyat yang merintih, karena hak-hak mereka telah di rampas, dan karena “daulat ” miliknya telah dibunuh.

Di saat yang sama pula, ketika rakyat banyak berharap pada satu “dewa penolong”. Apa lacur “sang dewa” pun bermuka durja. Alih-alh diharapkan menjadi “juru selamat” justru dialah “pemubunuh berdarah dingin”.

Ketika demokrasi mati, tewas di parlemen, justru dia sedang “cuci tangan”. Dengan pembelaan diri, tidak turut serta dan tidak turut melakukan pembantuan dalam peristiwa kematian demokrasi. Seperti pembunuh yang berusaha mengelak, dengan menampilkan kesedihan dan berurai air mata, agar gelagatnya tidak terbongkar. Benar-benar drama panggung pembunuhan yang cukup sempurna, dia telah melakonkannya dengan baik.

Lalu ia berkelakar, akan melakukan pembelaan terhadap korban pembunuhan demokrasi. Di garda terdepan ia akan berdiri tegak memperjuangkan hak-hak para korban dari pemubunuh demokrasi tersebut.

Ini patut diwaspadai oleh rakyat kita, karena alih-alih diharapkan sebagai tim pembela, justru nantinya akan menjadi “musuh dalam selimut”. Maka dari itu mulailah waspada dari sekarang.

Kematian Banal

Selain itu, ada hal yang ganjil dari kematian demokrasi pada “jumat keramat” dini hari kemarin. Di dalamnya ada kematian demokrasi, tetapi kenapa ada segelintir orang yang merayakannya?

Mereka pada tertawa terbahak-bahak, sedang melampiaskan kebencian dan rasa dendam yang berlipat-lipat. Ada apa sesungguhnya? Inikah balasan terhadap rakyat yang “menjatuhkan” mereka dari mimpi untuk meraih panggung kekuasaan, tetapi apa daya justru mereka “terperosok” dalam jurang kekalahan?

Kalau benar demikian, inilah kebencian yang tidak akan ada juntrungnya. Dan terus akan membawa “petaka” krisis kemanusiaan di negeri ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Gunn (Yasraf Amir Piliang: 2007, P. 335) bahwa kebencian terjadi karena ikatan positif atau perekat (sosial, kultural, spiritual) dalam bentuk cinta, persahabatan, kasih sayang, dan saling pengertain telah hancur. Bahwa hancurnnya ikatan-ikatan itu, kelak akan menggiring masyarakat ke arah sifat-sifat kebencian (hatred), atau kemarahan yang akhirnya membawa masyarakat ke arah budaya kekerasan atau kekejaman.

Jika ada yang bertanya, benarkah sekarang terjadi kekerasan demikian, sebagai imbas terbunuhnya “demokrasi”. Jawabannya; benar terjadi. Secara kasat mata memang kekerasan itu tidak nampak, tetapi dalam ruang-ruang virtual, tidak sengaja mungkin kita telah melakukannya.

Karena gejolak kesedihan atas kematian demokrasi. Ada banyak orang “melampiaskan” amarahnya di jejaring sosial. Kata-kata, caci-maki, kebencian, hingga ancaman pembunuhan dihantarkan dalam jutaan bit-bit informasi. Ada pembunuhan karakter terhadap aktor-aktor yang ditengarai terlibat dalam pembunuhan demokrasi, ada rekayasa wajah terhadap tokoh-tokoh yang sedang mereka benci. Bahkan ada perkumpulan di media sosial, yang tidak ada seorangpun bisa membendungnya melalui hastek #shameonyouSBY.

Ini semua penting dimaknai, bahwa merayakan kematian demokrasi. Akan melahirkan perayaan-perayaan baru, melalui media sosial. Pembunuhan bukan hanya terjadi dalam wajah dan fisik semata, tetapi karakterpun bisa dibunuh berkali-kali. Kesimpulannya; kematian demokrasi akan melahirkan kematian-kematian baru.

Bahkan kematian kemudian menjadi peristiwa banal sebagai sesuatu yang gampang, ringan, dan sesuatu yang murah. Kematian menjadi strategi yang disebut Baudrillard di dalam “Fatal Strategies” sebagai strategi kesia-siaan (banal strategi), sebagai kematian yang ringan.

Pada saat itu, mereka tidak mau ambil pusing lagi, dengan makna kemanusiaan dibalik kematian; mereka tidak mau tahu dengan hikmah yang dapat ditarik di balik peristiwa kematian; mereka tidak mau peduli dengan kebenaran yang ada dibalik kematian. Kematian telah tercerabut sama sekali dari konteks moral; kematian telah terlepas sama sekali dari konteks kemanusiaan. Kematian telah menjadi “objek kematian” seperti sikat gigi atau sabun mandi. Demikianlah peringatan kematian yang dipesankan oleh Octavio Paz sebagaimana diceritakan ulang oleh Yasraf Amiri Piliang dalam bukunya “Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-tuhan Digital”. Semoga ini dapat menjadi renungan kita bersama, di tengah gemuruhnya demokrasi, telah dibabat habis oleh penguasa yang bertindak lalim, keji, dan kejam terhadap demokrasi itu sendiri. (*)










Responses

0 Respones to "Merayakan Kematian Demokrasi"

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors