Menjemput Kepalsuan



Selamat datang di dunia kepalsuan, sembari mengacungkan jempol dan melempar senyuman mari bersama-sama menjemput kepalsuan yang kini datang menyapa lalu menidurkan kita dalam keterlenaan.

Palsu adalah dunia yang berhasil menjungkirbalikan puing-puing realitas. Bahkan tak segan membunuh nilai “keotentikan” demi pemuasan hasrat semata. Tak berujung dan tak bertepi kini kepalsuan berhasil mengekspansi panggung manusia dalam maujud aslinya.

Diri manusia yang dijajah bukan hanya sebatas rasa, emosi dan citra; namun secara perlahan “fisik-pun” akan dilenyapkan pada waktunya, tinggal menunggu waktu saja. Manusia yang pernah “digdaya” menyatu jiwa dan fisiknya, saatnya dijemput satu persatu dalam simulacra, agar tidak lagi “senang” berhuni bumi.

Menoleransi Kepalsuan

Kasarnya, walaupun kita juga tak pernah menghendaki dunia foto kopi, dunia banal, dunia tipu-tipu, segala simulasi itu masih bisa ditoleransi dalam batas-batas tertentu. Tetapi ketika telah mengancam “nyawa” jutaan manusia, terpaksa harus mengonsumsi “beras palsu alias beras sintetik” maka hal demikian menjadi kekejaman yang lebih bengis dari segala bentuk model dan rupa perang pembasmian ummat manusia.

Kepalsuan bukanlah pertama kalinya hadir dicicipi oleh kita semua. Berkali-kali mungkin kita tidak pernah sadar merasa bahagia, seolah kehidupan telah mencapai pada taraf yang sempurna.

Hukum konon katanya menjanjikan keadilan. Padahal mendekati sifat “equal” saja, kelihatan mustahil terjadi. Seorang nenek tua rentah tak pernah dipeduli oleh negara, ketika mengambil manfaat dari lahannya sendiri, justru “atas nama keadilan” malah mengantarnya ke balik jeruji besi.

Demokrasi tak mau ketinggalan juga sudah memberi “janji bopeng kepalsuan” berkali-kali akan melimpahkan kesejahteraan. Tapi apa yang kita peroleh; kalau bukan “sekedar” mendengar, menonton dan membaca, keluh kesah para elit yang saling menyalahkan lalu “dibumbui” apologi kami bekerja “semua atas nama rakyat.”

Simaklah konflik tak berkesudahan dua institusi hukum, antara KPK dan Polri selain menimbulkan kerancuan di atas kerancuan, situasinya juga sudah menggiring publik untuk “melupakan” janji sang pemimpin di negeri ini dalam pemberantasan korupsi. KPK yang dulunya begitu dipuja-puja, sangat dipercaya, dengan sekonyong-konyong menggeser kepercayaan publik “tak ada malikat dan manusia setengah dewa” di lembaga super body itu.

Pertanyaannya, kira-kira apa yang ada dibalik motif “sedang mengadu domba” dua institusi hukum tersebut? Apakah dibalik kejayaan dan kelumpuhan KPK tergantung pada siapa yang memegang kendali dan kuasa di negeri ini? Dan pertanyaan yang sama bisa ditujukan untuk Kepolisian, apakah ini masanya institusi Tribrata akan menikmati kejayaannya?

Cukuplah menjadi jawaban untuk semuanya, penegakan hukum dangan maxim aqual justice under law, hanya bergerak dalam dimensi ruang penampakan, sekedar menakuti-nakuti, horor, agar orang kecil tak berani mengkritik mereka yang memiliki kuasa.

Persoalan hukum dan keadilan nyatanya disimulasikan dalam berita tertentu, kegagalan mendamaikan KPK dan Polri tiba-tiba bermutasi dengan isu lain, diantaranya: isu hukuman mati untuk terpidana Narkotika, isu kenaikan BBM, isu partai yang dilanda kisruh, hingga isu munculnya beras plastik.

Segala persoalan kebangsaan tak ada yang tuntas, justru setiap problematik kenegaraan dijadikan lahan empuk untuk “mendramatisir” menjadi negara “seolah-olah” ada untuk rakyatnya, kapan dan dimanapun.

Untunglah, rakyat di negeri ini adalah orang-orang yang bersabar. Rakyat yang dihuni oleh kumpulan manusia-manusia tak pernah bosan menjemput harapan, walau pada akhirnya hanya menjemput kepalsuan.

Hukum yang tampak dengan kemilau keadilannya, tak menjadi beban baginya untuk selalu menancapkan rasa nasionalime bagi negaranya. Dengan semangat itu bahkan tak berani lagi menagih janji pertanggungjawaban negara, kalau kemerdekaan, hak-hak dasari, dan hak hidup dirampas oleh kepalsuan dalam maujud asalinya. Toh beras sintetik sungguh tetap enak dikunya, ditelan dan menambah gizi, kendati akan mengantar mereka dalam keranda-keranda mayat.

Demokrasi Palsu

Menanti penghujung tahun ini guna menjemput siluet matahari demokrasi, tak lupa jutaan rakyat juga akan menjemput asa. Tapi lagi-lagi semunya dalam serba kesemuan. Inilah demokrasi palsu ketika kandidat dan pemilih ibarat dua sejoli sedang membangun altar cinta, lalu kemudian “patah” di tengah jalan. Dan pada akhirnya terbersitlah hujatan dari pemilih terhadap kandidat terpilih “kita pernah sedekat nadi walau kini sejauh matahari”.

Pada asalinya demokrasi palsu selalu menampakan diri dalam momentum kampanye, ada yang merasa dekat dengan rakyat, ada kandidat tiba-tiba menjadi peduli pada anak yang putus sekolah, ada lagi yang rela jatuh dalam pelukan manusia yang bajunya dipenuhi pelu. Bahkan ada yang rela turun dalam “kubungan lumpur” bersama dengan petani, untuk membantu negeri ini menuju swasembada pangan.

Cukuplah kepalsuan itu merampas jiwa dan asa kita. Tapi jangan karena kecintaan pada dunia, justru menciptakan produk sintetik yang bisa merenggut nyawa sesama. Bahwa dunia yang tak lagi di huni manusia apalah artinya. Bukankah itu sama halnya dengan dunia yang sudah di landa kiamat.

Kalau semua bisa dihadirkan dengan kepalsuan, kini apa lagi yang tersisa? Jawabannya; Tuhan. Semoga Tuhan tetap dalam asalinya, sebab hanya Tuhan yang akan mengembalikan kita semua dalam adikodarti yang sesungguhnya.*
Sumber Gambar: borneonews.co.id





Responses

0 Respones to "Menjemput Kepalsuan "

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors