APLIKASI PSIKOLOGI SOSIAL DALAM BIDANG HUKUM ***




Hukum merupakan hal yang bisa dikatakan mempunyai pengaruh yang dominan dalam kehidupan manusia untuk mengarahkan kehidupannnya ke arah yan lebih baik. Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi peran psikologi dalam bidang hukum: psychology in law, psychology and law, psychology of law.
a.       Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.
b.      Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa.
c.       Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak,  hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.
Pandangan di atas sesuai dengan pendapat Mark Constanzo (2006) bahwa peran psikolog/psikologi dalam bidang hukum:
• Sebagai penasehat
• Sebagai evaluator
• Sebagai pembaharu
Isu-isu yang berkaitan dengan kajian aplikasi psikologi dalam bidang hukum berkenaan dengan persepsi keadilan (bagaimana sesuatu putusan dikatakan adil, kenapa orang berbuat kejahatan, bagaimana mengubah perilaku orang untuk tidak berbuat kejahatan). Aplikasi secara detail dalam bidang ini antara lain: forensik, kriminalitas, pengadilan (hakim, jaksa, terdakwa, saksi, dll), pemenjaraan, dan yang berkaitan dengan penegakan hukum seperti kepolisian, dan lain-lain.
Kejahatan:
- terencana
- Tidak terencana : reaksi cepat, emosional
Macam Perilaku Kejahatan:
1.      Kriminal biasa : mencuri, mencopet, dll
2.      Kriminal Konvensional: untuk jalan hidup.
3.      Kriminal Profesional: dengan keahlian.
4.      Kriminal dengan kekerasan: pembunuhan, perkosaan.
5.      Kriminal ‘public order’: tidak ada korban, tetapi secara etika melanggar.
6.      Kriminal politik: menentang pemerintah yg berkuasa.
7.      Kriminal occupasional: malpraktek
8.      Kriminal bisnis: manipulasi bisnis, dan  menipu konsumen.
9.      Yang terorganisasi: mafia, narkoba, dll.





Kenapa orang berbuat kejahatan ?
1. Pendekatan Tipologi Fisik dalam Kepribadian
·         Tokoh yang mempopulerkan pendekatan ini adalah Sheldon dan Kretchmer. Kretchmer mengajukan teori konstitusi dalam kepribadian yang artinya adalah mencari hubungan antara tipe tubuh fisiologis dengan tipe kepribadian seseorang. Menurut Kretchmer ada tiga tipe jaringan embrionik dalam tubuh, yaitu:
a.       Endoderm berupa sistem digestif (pencernaan)
b.      Ectoderm berupa sistem kulit dan syaraf
c.       Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot.
·         Menurut Kretchmer orang yang normal itu memiliki perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian.
·         William Shldon (1949), dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe.
a.       Endomorf: Gemuk (Obese), lembut (soft), and rounded people, menyenangkan dan sociabel.
b.      Mesomorf : berotot (muscular), atletis (athletic people), asertif, vigorous, and bold.
c.       Ektomorf : tinggi (Tall), kurus (thin), and otak berkembang dengan baik (well developed brain), Introverted, sensitive, and nervous.
·         Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal.
·         Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond hair), dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/ dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itu disimpulkan.
2. Pendekatan Teori Trait Kepribadian
·         Pendekatan ini menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian
·         Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli.
Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara bersama-sama.
Pendekatan Psikoanalisis
1.      Freud melihat bahwa perilaku kriminal merupakan representasi dari Id yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang. Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya.
2.      Penjelasan lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya.
3.      Psikoanalist lain (Bowlby: 1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.
Pendekatan Teori Belajar Sosial
Teori ini dimotori oleh Albert Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur tertentu (gang) merupakan contoh baik untuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain. Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut. Ada dua cara observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara tidak langsung (melalui vicarious reinforcement).
Pendekatan Teori Kognitif
Penelitian Yochelson & Samenow (1976, 1984) mencoba mengetahui tentang gaya kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana memproses informasi. Para peneliiti ini yakin bahwa pola berpikir lebih penting daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan. Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi.(master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bias mengendalikan dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola piker pelaku kriminal itu memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas.
Faktor penyebab perilaku kriminalitas dapat dijabarkan menjadi:
a.       Faktor Demografik, yaitu antara lain usia muda, jenis kelamin dan status sosial rendah
b.      Faktor Keluarga, yaitu antara lain kelahiran diluar nikah, ketidakmampuan orang tua memberi pengasuhan, penyaalahgunaan anak atau pengabaian anak, akibat kehamilan yang tidak diharapkan dan kurangnya kelekatan dengan orang tua
c.       Faktor pekerjaan atau sekolah
d.      Faktor kepribadian, yang meliputi antara lain kepribadian sensation seeking atau risk taking yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti berbohong, impulsive dan kesulitan menunda kepuasan, locus of control eksternal, kebiasaan mengkonsumsi alcohol dan penyalahgunaan obat.
e.       Faktor yang berkaitan dengan riwayat seksual, seperti usia saat melakukan hubungan seksual pertama kali, jumlah pasangan seksual dan usia saat melakukan pernikahan pertama.
f.       Gangguan klinis yang diderita
Refrence:
Ancok, , Djamaluddin.  Nuansa Psikologi Pembangunan
Bartol,  Curt. 1983.  Psychology In American Law
Constanzo, Mark. 2006. Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum
Damang. 2010. Aplikasi Psikologi Hukum dalam Hak Asuh Anak
Damang. 2011. Psikologi hukum (suatu pengantar)
Kapardis, Andreas. 1996. Psychology and Law
www. Psycho-legal. Blogspot.com oleh damang averous al-khawarizmi
****(catatan singkat materi kuliah psikologi kriminal oleh….. damang averous al-khawarizmi ) adalah peneliti psycho-legal (FH- Unhas),,,,, email: damang.legalpsychology@gmail.com

[Read More...]


social psychology and law



Psikologi sosial mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu:
  1. studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya: studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat).
  2. studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain.
  3. studi tentang interaksi kelompok, misalnya: kepemimpinan, komunikasi hubungan kekuasaan, kerjasama, persaingan, konflik.
  • Bidang Hukum
Contoh aplikasi psikologi sosial di bawah ini terkait dengan hal psikologi forensik. Berikut adalah contoh dari aplikasi psikologi sosial dalam bidang hukum :
Psikologi Sosial Dalam Proses Investigasi Kasus Tindak Pidana
Menurut DR. Yusti Probowati (dari FPSI Univ.Surabaya, beliau adalah Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia – HIMPSI,  Asosiasi ini baru dibentuk pada bulan Desember 2007 ), Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban, dan tersangka. Karena baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi, jaksa, dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan karena banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini dibutuhkan ketrampilan. Disinilah psikologi forensik diperlukan untuk memberikan pelatihan keterampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun dan menekan.
Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum, maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang: psychology in lawpsychologi and law,psychology of lawPsychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidangpsycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. Pendapat DR. Yusti Probowati di atas merupakan salah satu kajian psikologi hukum pada bidang psychology and law, karena psikologi berusaha menjelaskan proses pencarian kebenaran dalam investigasi perkara pidana.
DR. Yusti Probowati, dalam pembahasan “Memahami Proses Kognitif Manusia”, mengemukakan salah satu hal yang menarik bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses retrieval adalah Stereotipe. Masalah stereotipe, diteliti oleh Probowati (2005) dan menemukan bahwa hakim Indonesia yang pribumi memiliki steretipe negatif terhadap terdakwa etnis Tionghoa. Zubaidah, Probowati, & Sutrisno (2007) menemukan hakim (baik laki-laki dan perempuan) memiliki stereotipe negatif terhadap terdakwa perempuan dengan memberikan hukuman yang lebih berat. Stereotipe juga terjadi pada saksi.
Psikologi Sosial Dalam Dunia Peradilan
Prof. Adrianus Meliala, Ph.D. (dari Departemen Kriminologi FISIP UI, beliau adalah Board Member Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia-HIMPSI) berpendapat bahwa Psikolog dapat amat membantu kepolisian dalam rangka membangun database terkait psychological profilling dari para calon tersangka atau menginterpretasikan sesuatu yang ditemukan di tempat kejadian perkara secara psikologis sehingga dapat menjadi barang bukti (psychological evidences).
Dalam rangka peran psikolog selaku hakim ad-hoc, terkait kasus-kasus dengan muatan psikologik yang berat, sudah sepantasnya psikolog tidak hanya hadir sebagai saksi ahli tetapi menjadi hakim itu sendiri.
Psikologi juga memiliki kemampuan untuk menjadikan hakim kembali humanis dan peka dengan permasalahan-permasalahan kepribadian dan kemanusiaan pada umumnya. Bisa dibayangkan, akan terdapat peningkatan kualitas persidangan apabila psikologi berkesempatan memfokuskan diri pada hakim mengingat pada diri hakim terdapat kewenangan besar untuk mengendalikan percakapan, menginterogasi sekaligus memutus perkara.
[Read More...]


DIBALIK VONIS NAZRIEL ILHAM (Damang averous al-khawarizmi)*





Masih segar semua di ingatan kita. Baru sekian pecan, terhitung hari, Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan divonis  dalam putusan yang telah melalui due process of law yang amat panjang. Publik terkesan arogan dengan vonis yang dibacakan di Pengadilan Negeri Bandung oleh Ketua Hakim Majelis Singgih Budi Prakoso. Hasil akhir dari amar putusan tersebut menggiring pada pro dan kontra perihal sanksi yang dilimpahkan kepada Ariel (lih; Pasal 10 KUHP). Vonis itu mengakhiri penantian panjang sang vokalis Ariel Peterpan sebagai terdakwa dalam menanti putusan bebas, lepas atau terpidana dari segala tuntutan hukum.
Nyatanya, sang hakim yang mengadili perkara pornografi berbicara lain. Nasriel Ilham justru dijatuhi pidana pemenjaraan 3 Tahun 6 Bulan dan denda  Rp. 250 juta. Kurang dua tahun dari apa yang dicantumkan dalam tuntutan Sang Jaksa Penuntut Umum.
Masyarkat dalam arti sebagai publik yang melimpahkan kepercayaan (believe) pada hukum tidak boleh terseret pada komentar aktor-aktor penilai putusan hakim. Putusan hakim adalah kepercayaan yang harus kita junjung. Masyarakat dalam institusi negara tak semestinya mengembalikan (set back) diri pada hukum rimba. Hukum tak dipercaya. Hukum yang ada bagi hukum rimba, adalah yang kuat akan menjadi pihak pemenang (homo homuni lupus). Tak mungkin mindset kita di putar haluan pada keterbelakangan paradigma otoritarian. Apalagi hakim yang menjatuhkan putusan atas vonis Ariel diharapkan tidak cenderung otoritarian dan kebablasan.
Sekalipun hakim misalnya memberikan putusan bebas pada Ariel atau sebaliknya. Publik harus tetap menerima dengan legowo putusan tersebut. Komentar yang mengatakan “Putusan Ariel oleh hakim itu tidak adil bukanlah suatu pernyataan yang tepat”. Oleh karena cara pandang psikologi keadilan (Faturrohman: 2000 dan Constanzo: 2002) sebagai keadilan semula adalah ‘keadilan yang tidak sesuai dengan perasaan keadilan saya.” “Maka tak mungkin tepat statement putusan hakim atas kasus Ariel adalah mencederai rasa keadilan. Tepatnya ‘Mencederai rasa keadilan yang mengidolakan Ariel” seperti fans berat Ariel apalagi Luna Maya, sang kekasih Ariel maka wajar-wajar saja merasa ada ketidak adilan. Tapi sekali lagi itu adalah privasi rasa keadilan.
Tidak mungkin juga dapat dipandang dengan terbuktinya Ariel sebagai ikut serta (deelneming) dengan lalai menyimpan alat yang digunakan untuk menyimpan video syur dirinya. Hakim salah dalam menerapkan, menafsirkan, menemukan ataukah merekonstruksi hukum dalam dalil kumpulan pasal-pasal. Apalagi Komnas HAM dengan lantang mengatakan bahwa vonis Ariel tersebut melanggar HAM. Siapa yang sesungguhnya melanggar HAM ? apakah hakim yang mengadili perkara tersebut yang telah melanggar HAM.
Seorang hakim yang menjalankan kewenangannya. Sebagai institusi judicial tak dapat dikatakan sebagai pelanggar HAM. Putusan hakim adalah kewenagan penuh (full power) untuk menjatuhkan putusan sedemikan, yang diyakininya setelah memperhatikan dan menimbang alat bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Komnas HAM, termasuk Aliansi Islam yang melakukan demonstrasi di ruang pengadilan benar-benar telah melecehkan peradilan (Contempt of court). Nampaknya komnas HAM  telah melupakan pameo dalam Hukum  Acara Pidana “under the law, it is better than ten guilty person escape, than that one innocent man suffer” (di dalam hukum adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang bersalah).
Dari sini hakim jelasnya mengetahui pameo tersebut. Putusan yang ditimbang-timbang oleh hakim Budi Prakoso adalah putusan yang yang telah melalui pra ajudikasi, ajudikasi dan post ajudikasi. Oleh karena itu putusannya harus dianggap sebagai putusan yang adil dari ruang persidangan. Putusan yang dipertimbangkan berdasarkan beyond reasonable duobt. Artinya putusan itu bukan hanya terikat dengan alat bukti yang sah, melainkan juga harus ditambah dengan keyakinan hakim.
Merupakan suatu kekeliruan jika opini, kepentingan dan keinginan setiap orang dipaksakan agar dituangkan dalam putusan hakim, walaupun mengobrak-abrik prosedur hukum dan tatanan hukum yang harus dihormati di setiap negara hukum (recht staat).
Secara kasat mata kelompok penekan (pleasure group) mungkin dipandang telah puas dengan putusan hakim atas vonis Ariel dalam kasus pornografi (berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008). Tapi jangan salah, memang sudah cukup puas, tapi masih ada dari kelompok lain seperti Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat dan Wakil Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta menghimbau agar Jaksa Penuntut Umum dengan segera (dalam waktu 14 hari) agar mengajukan  memori banding.
Dibalik Vonis Ariel tampak, bahwa tidak mesti yang nyata-nyatanya merasa dirugikan dengan putusan itu masih merasa tidak puas. Pihak yang proputusan bersalah (guilty) atas Ariel masih menunjukan tajinya untuk melihat Ariel mendapat hukuman setimpal. Namun di sisi lain O.C Kaligis belum mengajukan banding sebagai kuasa hukum Ariel.
Maka tak pelak, untuk memaksakan kepentingan publik, kepentingan mayoritas, kepentingan minoritas untuk menjadi milik keadilan pada kesakralan putusan yang dibacakan dalam ruang sidang pengadilan.
Masih ada ruang bagi Ariel atau kuasa hukumnya juga Jaksa Penuntut Umum jika merasa tidak puas dengan penerapan Pasal-pasal yang menjerat Ariel. Pengadilan yang diatasnya tersedia ruang untuk menilai benar salahnya penerapan hukumnya (judex juris). Artinya Komnas HAM yang menuduh Budi Prakoso melanggar HAM adalah cara berpikir yang 100 % salah total. Bahkan masih ada senjata terkhir untuk melakukan peninjauan kembali jika terbukti ada novum atas perkara tersebut.

Dibalik Vonis Singgih Budi Prakoso
Dibalik vonis sang Budi Prakoso setelah putusan itu dibacakan (ex post) dalam ruang sidang yang hikmat masih menyisakan pro dan konta, tangis air mata, duka lara, rasa ketidakadilan, disparitas, dan diskriminasi, terlebih Ariel adalah figer public yang dielu-elukan. Banyak yang menilai vonis itu seakan dipaksakan.
Vonis itu dicoba untuk dibanding-bandingkan dengan kasus gayus, dibandingkan dengan vonis penyebarnya, hanya dihukum 2 tahun. Memangnya  penerpan pasal-pasal, unsur-unsur tindak pidana dan undang-undangnya kasus tersebut dapat diterapkan pada kasus yang berbeda !
Maka penting untuk diperhatikan bahwa sistem hukum kita bukan sistem common law (the binding force of precedent), civi law (eropa kontinental). Melainkan adalah sistem hukum campuran (mix). Di dalamnya ada metode civi law, metode common law, sistem hukum Islam, bahkan dengan legal costumer.
Tentunya, dengan cara yang demikian tidak mutlak untuk mengatakan putusan hakim itu tidak adil dan tidak fair (imparsial). Sang hakim akan mempertimbangkan banyak peraturan-peraturan (dasar yuridis), nilai yang ada di masyarakat (dasar sosiologis) dan nilai-nilai tertinggi pada keadilan (dasar filsufis).
 Maka tepat apa yang dikumandangkan oleh Werner Menski (2002) “bahwa keseluruhan unsur yang berasal dari negara, atau berasal dari masyarakat dan moralitas, semuanya sangat plural. kapan dan di mana pun di dunia ini, tidak ada keragaman absolut hukum dan keadilan.”
Dalam hal ini hukum yang digunakn (use) oleh sang hakim adalah hukum negara yang telah menyesuaikan diri dengan hukum agama, hukum kebiasaan, ataukah hukum moral yang telah diakui oleh masyarakat. Namun harus diingat khusus untuk kasus Ariel masalah yang sedemikan ditafsir dalam keterpaksaan bahwa ia dihukum dengan kata-kata “apa boleh buat” (meminjam istilah O.C. Kaligis), membawa kita untuk berpikir ulang bahwa betapa beratnya hukum-hukum atau dalil-dali agama yang sifatnya teleologis untuk melebur dalam substansi sebagai salah satu elemen hukum yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk memutus salah atau tidaknya Ariel sebagai pelaku tindak pidana pornografi ataukah sebagai pelaku delik kesusilaan.
Penting, bagi publik untuk tidak gampang melihat benar salah seorang dengan cara pencitraan media. Media tidak mungkin menjadi sarana kendali atas hukum yang demikian beribu-ribu, bahkan berjuta-juta masalah yang diakomodasi dalam satu nama yaitu hukum (lex). Maka jalan terbaik adalah menghidupkan keadilan  (justice) dengan memberikan kepercayaan pada semua institusi hukum (struktur), menciptakan check and balance antara berbagai institusi. Tidak mencekoki partisipan hukum dengan saling mengkriminalkan institusi. Institusi hukum di negara ini sudah sedemikan rapi. Tinggal kita menjalankan kewenangan itu secara tepat dan arif. Sekiranya. Wallahu Wa’lam Bissowab.


*Penulis adalah Peneliti Psyco-Legal (Fakultas Hukum Unhas)
No hp: 082188142188

[Read More...]


Psychology and Law in The Investigation of Criminal Offenses




Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik ?

The committee on ethical Guidelines for forensic psychology (Putwain & Sammons, 2002) mendefinisikan psikologi hukum sebagai semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Bartol & Bartol (dalam Wrightsman, 2001) menyatakan psikologi hukum dapat dibedakan menjadi :
1. Kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum (seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan juri/hakim, perilaku criminal).
2. Profesi psikologi yang memberikan bantuan berkaitan dengan hukum. Profesi ini di Amerika sudah sedemikian berkembangnya, seperti Theodore Blau, ia merupakan ahli psikologi klinis yang merupakan konsultan Kepolisian. Spealisasinya adalah menentukan penyebab kematian seseorang karena dibunuh atau bunuh diri. Ericka B. Gray, ia seorang psikolog yang bertugas melakukan mediasi terutama pada perkara perdata. Sebelum perkara masuk ke pengadilan, hakim biasanya menyuruh orang yang berperkara ke Gray untuk dapat memediasi perkara mereka. John Stap adalah seorang psikolog social, ia bekerja pada pengacara. Tugasnya adalah sebagai konsultan peradilan, ia akan merancang hal-hal yang akan dilakukan pengacara maupun kliennya agar dapat memenangkan perkara. Richard Frederic, adalah seorang ahli rehabilitasi narapidana. Dengan mengamati profesi-profesi tersebut, kita dapat membayangkan betapa psikolog berperan penting dalam sistem hukum di Amerika.

Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis,1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang, psychology in law, psychology and law, psychology of law. Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Tulisan ini merupakan salah satu kajian psikologi hukum pada bidang psychology and law, karena psikologi berusaha menjelaskan proses pencarian kebenaran dalam investigasi perkara pidana
[Read More...]


Peran Kesaksian Psikolog atas Saksi di Pengadilan (suatu tinjauan psikologi hukum) (Damang)



Aku tidak yakin, ketika presiden Bill Clinton
menyangkali perselingkuhannya dengan Monica Lawensky,
dihadapan publik ia begitu menahan napas agak lama,
dan terlihat dari katup bibirnya bahwa ia berbohong,
ia berkata isu itu tidak benar.
(dikutip dari seorang psikolog Amerika)

Siapa yang pernah menyangka bahwa kehidupan pribadi sang presiden akan diintervensi. Dan bisa saja pemaknaan psikolog tersebut benar. Beberapa hari sebelum Jose Walker Buss menjalankan misinya menyerang irak dengan alasan senjata pemusna massal, banyak dari kalangan psikolog Amerika yang memberikan komentar, “bahwa pernyataan Buss itu tidak benar, aku bisa melihat dari cara mengucapkan kata-katanya, ketulusannya tidak nampak” jikalau ia tersenyum senyumnya itu bukan senyum tulus, jangan lihat senyumnya pada bibirnya, jangan lihat senyumnya pada mukanya, tapi lihatlah senyumnya yang terlihat di bawah kelopak matanya. Beberapa juga pengalaman psikolog dalam dunia politik (pemilihan presiden) kalangan psikolog menyimpulkan ada kelebihan yang dimiliki oleh seorang presiden jika presidennya dari kalangan perempuan (ia memilki kerendahan hati dalam berbicara di hadapan publik).
Perhatian psikolog seperti negara Amerika sudah amat maju, seorang pakar/ahli dari kalangan psikologpun bisa memberikan komentar yang ilmiah seperti ilmiahnya prediksi seorang pengamat politik terhadap pemilihan presiden, juga kebijakan presiden. Sementara di negara Indonesia jangankan peran psikolog untuk bidang politik , dalam dunia penegakan hukum masih sangat minim, bahkan jarang kita jumpai.
Sekian banyak peran psikolog dalam hukum tidak bisa dimanfaatkan, disebabkan negara kita konon belum maju, belum kuat data statistik penduduknya. sehingga jika ada pelaku kejahatan, sering saja salah tangkap , aparat penegak hukum kita masih kurang dana dan kecerdasan penegak hukum masih rendah (lih: Penelitian Musakkir, 2004).
Sudah saatnya penegak hukum dilengkapi dengan pengetahuan psikologi seperti kompetensi hakim dalam menentukan perwalian anak, realibitas kesaksian (psikolog mesti dihadirkan untuk menilai benar salahnya kesaksian), dan pengetahuan penggalian alat bukti oleh kalangan kepolisian terhadap tersangka, beserta cara pengambilan keputusan polisi secara diskresi.
Alat bukti kesaksian menjadi salah satu alat bukti yang amat dipercaya oleh hakim di pengadilan (hasil penelitian Damang (2008) menunjukan bahwa hakim rata-rata menaruh kepercayaan kepada saksi 75 % -80 %) ditambah dengan keyakinan hakim (pembuktian minimum). Padahal saksi baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata bisa saja mengungkapkan kesaksian tidak seperti apa yang pernah terjadi. Kesaksian yang diberikan dalam waktu intervalnya amat jauh dengan peristiwanya bisa menyebabkan peristiwa itu tidak sempurna lagi urutan kejadiannya.
Memori untuk menyimpan peristiwa tersebut, akan dipengaruhi oleh beberapa masukan peristiwa-peristiwa yang lain, sehingga peristiwa yang diceritakan di pengadilan bisa berbeda dengan kejadian yang sebenarnya. Menurut Loftus dan Ketchman (dalam Kapardis, 1997) memori manusia merupakan ciptaan yang amat rapuh dan misterius. Ini dapat dilengkapi direstrukturisasi secara parsial, atau bahkan sepenuhnya diubah dengan input-input pascaperistiwa. Memori rawan terhadap kekuatan sepatah kata sederhana. Ini tidak berarti bahwa semua memori diubah dan tidak ada memori yang asli yang tetap utuh.
Kesaksian/pengakuan seorang/korban tentang bersalahnya seorang terdakwa, tidak dapat juga dijadikan sebagai alat bukti yang sudah pasti benarnya (saksi kunci) . Mesti juga membutuhkan peran psikolog seperti psikolog forensic. Di sebuah Negara bagian tepatnya di North Carolina pernah terjadi kasus kesaksian yang salah dari korban terhadap pelaku pemerkosaan (Ronald Cotton case), kejadiannya sebagai berikut:
Jeniffer Thompon seorang mahasiswi yang tinggal di Carolina, berumur 21 tahun. Tepatnya jam 2 malam, seorang laki-laki menerobos masuk ke Apartemennya, meletakkan pisau dilehernya dan memperkosanya. Beberapa kejadian setelah itu Jennifer sempat di izinkan untuk pergi ke wc, ia sempat menyalakan lampu dan mempelajari muka pemerkosa itu. Ia bahkan diberi kesempatan untuk mengambil air minum ketika ia merasa haus. Ketika Jennifer mengambil air minum , ia melihat pintu dapur masih terbuka dan ia berhasil melarikan diri melewati pintu dapur. Tapi beberapa saat kemudian pelaku pemerkosa itu masih sempat melanjutkan kejahatannya beberapa mil dari apartemen Jennifer.
Jennifer melaporkan di kepolisian dan diperlihatkan beberapa sketsa wajah. Jennifer berhasil menhidentifikasi dan berkata “kami rasa, mungkin inilah orangnya” Ciri-ciri orang itu berambut pendek, umur 20-30 tahun, berdagu tipis. Gambar itu disebarkan oleh polisi dan akhirnya ia menerima beberapa telepon dari orang yang mengenal tersangka. Tersangka itu bernama Ronald cotton (seorang pelayan restoran makanan laut). Anehnya dipersidangan Jenifer begitu yakin menunjuk Ronald Cotton sebagai dialah orang yang betul-betul pemerkosanya, sehingga Ronald cotton dihukum seumur hidup
Dua tahun kemudian, seorang teman Ronald Cotton , mengungkapkan kepadanya bahwa pelaku pemerkosaan itu sebenarnya seorang Boby Poole yang telah mengakuinya. Dipersidangan yang kedua kalinya malahan saksi Jennifer dan korban pemerkosaan yang kedua begitu amat yakin bahwa Ronald cottonlah pelakunya.
Sampai delapan tahun, Ronald cotton menulis surat kepada siapapun. Seorang pengacara Richard Rossen menelaah kembali kasusnya. Rossen melakukan penyelidikan dan menemukan bukti biologis terhadap kasus cotton (air mani) masih tersimpan baik di fasilitas penyimpanan kepolisian. Sepuluh tahun kemudian , tes DNA mengalami perkembangan yang mampu mengidentifikasi bukti biologis pelaku kejahatan. Ternyata air mani tersebut bukan milik Cotton, tetapi milik Bobby Poole. Akhirnya Boby Poole dijebloskan ke penjara atas kedua pemerkosaan itu. (dikutip dari conztanzo: Psychology Applied to Law, 2002).
Ada beberapa tragedi yang terkait dengan kasus di atas. Jennifer masih sering mengalami mimpi buruk dan sulit menghilangkan wajah Ronald Cotton, ia merasa takut untuk membuka pintu di malam hari. Cotton yang menderita selama 11 tahun meringkuk dipenjara. Dan ada beberapa tindak pidana pemerkosaan yang lain yang mestinya dapat dicegah jika Bobby Poole ditangkap dan dinyatakan bersalah setelah memperkosa Jennifer. Kasus ini mengilustrasikan betapa pentingnya kesaksian psikolog (argumen psikolog) terhadap pembuktian di persidangan.
Proses peradilan pidana sangat menggantungkan pada hasil investigasi pada saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Brigham dan Wolfskeil (dalam Brigham, 1991) meneliti bahwa hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias (Sanders & Warnick dikutip oleh Sanders & Simmons, 1983; Goodman, Hahn, Loftus, & Yarmey dikutip oleh Fisher, dkk, 1989). Penrod & Culter (dalam Costanzo, 2002) setiap tahun di Amerika terjadi hampir 4500 kesalahan kesaksian. Bagaimanapun saksi adalah manusia biasa, maka banyak hal yang mempengaruhi ketidaksesuaian antara kesaksian yang diberikan dengan fakta yang sebenarnya.
Salah satu sumber informasi yang dibutuhkan dalm proses peradilan adalah saksi (eyewitness). Informasi yang diberikan oleh saksi sangat penting kedudukannya dalam proses peradilan. Apakah seorang terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, sangat ditentukan sejauh mana persepsi si hakim terhadap kesaksian yang diberikan oleh saksi, yakni apakah saksi dapat dipercaya atau tidak .
Oleh karena saksi adalah manusia biasa, maka banyak hal yang mempengaruhi kesesuaian antara kesaksian yang diberikan dan fakta yang sebenarnya terjadi. Ketidaksesuaian ini bersumber pada tiga hal, yakni (Ancok, 1995): (a) Keterbatasan kemampuan otak si saksi dalam mengolah, merekam, dan mengingat informasi;(b) Bias yang terjadi dalam persepsi hakim di dalam menilai kebenaran kesaksian, dan; (c) Cara penggalian informasi di ruang pengadilan..
Oleh karena itu berdasarkan riset psico-legal (Conztanzo: 2002) terhadap pengadilan dalam kaitannya dengan kesaksian menekankan lima factor yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi kesaksian saksi mata: (a) kesempatan yang dimiliki oleh saksi mata untuk mengamati perilaku; (b) level perhatian saksi; (c)keakuratan diskripsi mengenai penyerang yang sebelumnya pernah diberikan oleh saksi; (d) tingkat kepastian yang diperlihatkan oleh saksi; (e) Jarak waktu antara saat menyaksikan kejadian dan saat melakukan identifikasi. Namun dalam penerapannya, kriteria ini masih bertentangan dengan beberapa hasil penelitian. Sulit menentukan apakah korban/saksi betul-betul memperhatikan wajah korban, atau hanya melihat sepintas lalu seperti kejahatan perampokan di bank. Korban/saksi juga biasanya sulit menyimpan memori peristiwa secara utuh jika dalam situasi stress dan lebih focus pada penggunaan senjata oleh pelaku kejahatan .
Persoalan tentang seberapa akurat keterangan yang diberikan oleh saksi di persidangan dipengaruhi oleh perhatian, persepsi dan memori. Seorang saksi tidak hanya melihat peristiwa pada kejahatan dan menyimpan begitu saja di memorinya. Krakteristik sipelaku dan kejadian yang turut menyertai kejahatan tersebut akan mempengaruhi kognisi saksi. Kegiatan untuk menyeleksi informasi disebut perhatian. Solso (1991) menyatakan bahwa ada dua model teori tentang perhatian (attention), yaitu model saklar yang dikemukakan oleh Broadbent menyatakan bahwa informasi yang datang akan diseleksi. Yang terseleksi akan diproses, sementara yang tidak akan dibuang. Model kedua adalah yang dikemukakan oleh Treisman, yaitu attenuator model. Semua informasi yang masuk akan diproses, hanya saja ada yang diperhatikan dan ada yang tidak. Kedua model perhatian ini memiliki kesamaan yaitu informasi akan diseleksi ketika masuk ke dalam kognisi, hanya saja bedanya pada informasi yang tidak lolos seleksi. jika model saklar akan dibuang, jika model attenuator akan dilemahkan. Kemudian informasi yang masuk tersebut akan diberikan pemaknaan oleh seorang saksi melalui persepsi-persepsi yang diberikan oleh saksi atas peristiwa kejahatan yang disaksikan dipengaruhi oleh latarbelakang budaya, usia, harapan, emosi, dan pengetahuan yang dimiliki oleh saksi (Kapardis, 1997).
Proses/cara kerja ingatan dalam mendskripsikan sebuah kejahatan baik itu dalam penyelidikan ketika seorang korban menunjuk seorang tersangka yang di tempatkan di lineup maupun ketika memberikan keterangan di persidangan. Para psikolog mengelompokkan tiga komponen cara kerja ingatan (constanzo: 2002). Pertama encoding, proses mendapatkan informasi dan mengubahnya dalam bentuk yang dapat disimpan di ingatan. Kedua storage, proses dalam menyimpan informasi dimana telah diberi kode di dalam otak. Ketiga retrival, proses pengaksesan dan mengeluarkan informasi yang tersimpan di waktu mendatang.
Ketiga tahap cara kerja ingatan tersebut sering terjadi kesalahan karena dipengaruhi oleh faktor diluar kerja otak yang menyimpan kejadian melalui proses kognitif.
Pada fase kerja encoding, tidak semua informasi akan ditangkap secara lengkap. Banyak informasi yang hilang akan dibiarkan begitu saja, padahal informasi yang hilang penting untuk pembuktian siapa pelaku kejahatan (Hasti & Kumar dikutip oleh Brigham, 1991). Diantara faktor yang berpengaruh terhadap encoding (Bartol: 1994; saks: 1999; kapardis: 1997; Constanzo: 2002) antara lain:(a) Tingkat stres saksi/korban. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres dapat meningkatkan dan menurunkan ingatan saksi. Penelitian Yuille & Cutshall (dalam Milne & Bull, 2000) menunjukkan saksi pembunuhan (stres tinggi) memiliki kebenaran kesaksian 93 % ketika diinterview 2 hari setelah kejadian. 4 bulan kemudian memorinya menurun menjadi 88 %. Kehadiran senjata (pistol, sajam lainnya) yang digunakan pelaku juga menimbulkan stress dan mengurangi ketepatan memori saksi, khususnya terhadap pelaku yang membawa senjata (Kramer, Buckhout, Eigino dalam Milne & Bull, 2000). Penelitian lain, Yuille & Cutshall; Courage & Peterson (dalam Milne & Bull, 2000) menemukan sebaliknya. Kejadian yang menimbulkan stres membuat peningkatan memori saksi, karena peristiwa yang traumatik menyebabkan saksi/korban memfokuskan perhatian pada kejadian. Bagaimanapun terjadi perbedaan individual pada saksi, misalnya perbedaan kemampuan menghadapi masalah (coping style) tiap saksi akan memberikan perbedaan kebenaran kesaksian; (b) Peristiwa kekerasan. Clifford & Scott (dalam Milne & Bull, 2000) menemukan bahwa memori saksi akan lebih baik pada peristiwa yang bukan kekerasan dibanding peristiwa kekerasan; (c) Perhatian. Telah disinggung di atas, bahwa informasi masuk melalui seleksi. Tidak semua informasi diproses dalam kognitif. Informasi yang lolos seleksi ini yang akan di encoding. Informasi yang di encoding ini yang akan dapat dimunculkan kembali. Perhatian dipengaruhi oleh pengetahuan, harapan, sikap, pengalaman, minat dan menentukan informasi mana yang diproses atau tidak (Milne & Bull, 2000).
Pada tahap storage, Proses penyimpanan (proses ini bisa berlangsung lama tergantung berapa lama jarak kejadian perkara dengan saat saksi memberikan kesaksian). Semakin lama proses penyimpanan suatu memori maka biasanya akan cenderung dilupakan. Tulving (dalam Solso, 1991) juga menyatakan bahwa memori dapat dibedakan menjadi episodic memory dan semantic memory. Episodic memory merupakan ingatan yang berisi tentang informasi-informasi dan hal-hal yang terkait dengan kejadian. Semantic memory merupakan ingatan tentang kata-kata, konsep, aturan dan ide yang abstrak. Ingatan kesaksian merupakan ingatan episodik, dan menurut Tulving, jenis ingatan ini mudah hilang dengan masuknya informasi baru. Semakin lama dilakukan investigasi kesaksian, maka semakin banyak informasi baru yang hadir dalam memori saksi dan ini membuat menurunnya akurasi kesaksian.
Pada fase retrival, ketika informasi itu kemudian diungkap atau dihadirkan kembali, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (a) Ingatan itu bersifat konstruktif. Jika seseorang melihat sebuah peristiwa maka informasi yang di encoded adalah peristiwa tersebut ditambahkan dengan informasi umum yang sebelumnya telah dimiliki oleh individu tersebut. Oleh karena itu tidak aneh jika informasi umum yang telah dimiliki oleh individu akan memberikan pengaruh pada individu saat memberi kesaksian (Milne & Bull, 2000); (b) Penarikan kesimpulan. Dalam memberikan kesaksian, saksi sering memberikan kesimpulan terhadap suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian Loftus dan Palmer (dalam Milne & Bull, 2000) membuktikan hal itu. Sekelompok orang ditunjukkan kejadian kecelakaan melalui media film. Setelah itu ditanyakan kata kerja yang paling tepat menggambarkan kondisi yang dilihatnya. Hampir 2/3 subjek memilih kata kerja “bertabrakan” dan subjek ini ketika seminggu kemudian ditanyakan tentang kejadian kecelakaan tersebut dan peneliti mengingatkan bahwa minggu lalu mereka menggunakan kata bertabrakan untuk menggambarkan situasi tersebut (Constanzo: 2002) . Hasilnya mereka menyatakan bahwa “ada kaca yang pecah” padahal kenyataannya tidak ada kaca yang pecah. Hal ini menunjukkan bahwa saksi sering memberikan penyimpulan terhadap kata kerja bertabrakan yang dimunculkannya sendiri. Sementara pada kelompok subjek yang memberikan deskripsi kata kerja “menumbuk”, tidak muncul “ada kaca pecah” pada interview kedua. Oleh karena itu pertanyaan investigator berperan penting karena dapat mempengaruhi saksi; (c) Stereotipe. Dalam memahami lingkungannya, individu sering melakukan kategorisasi (walau kategorisasi ini belum tentu benar). Kategorisasi tentang orang sering kali didasarkan pada pengelompokan usia, jenis kelamin, ras, penampilan (Baron & Byrne, 1991; Brigham, 1991). Misal perempuan sering dinilai lemah lembut, tidak mandiri, tidak antusias (Zubaidah, Probowati, Sutrisno, 2007). Dalam budaya, orang Madura sering dinilai kasar dan agresif. Kategorisasi ini akan mempengaruhi kesaksian saksi. Di Amerika yang terjadi banyak stereotype negatif terhadap kelompok kulit hitam, banyak saksi yang bias dengan memberikan kesaksian negatif terhadap terhadap tersangka kulit hitam. Masalah stereotype, diteliti oleh Probowati (2005) dan menemukan bahwa hakim Indonesia yang pribumi memiliki stereotype negatif terhadap terdakwa etnis Tionghoa. Zubaidah, Probowati, Sutrisno (2007) menemukan hakim (baik laki-laki dan perempuan) memiliki stereotype negatif terhadap terdakwa perempuan dengan memberikan hukuman yang lebih berat. Stereotipe juga terjadi pada saksi. Kondisi Emosi. Kondisi emosi subjek selain berpengaruh dalam penyimpanan memori (encoding) juga berdampak pada retrieval. Kita sering mengalami bahwa dalam kondisi cemas menghadapi ujian maka banyak materi yang terlupakan (Holmes dalam Milne & Bull, 2000). Yerkes – Dodson (dalam Brigham, 1991) menyatakan bahwa saksi dalam kondisi emosi (takut, cemas, marah) maka ketepatan kesaksiannya akan menurun.
Tekhnik penyegaran ingatan saksi
“Di sana anda tahu, apakah hari siang atau malam adalah dari penyiksaan
Penyiksaan itu hamper selalu dilakukan di malam hari
Ketika tidak terdapat seberkas cahaya apapun
Dan anda mulai mendengar jeritan wanita
Itulah yang menjadikan anda tahu bahwa malam telah tiba”
(La Noche de Los Lapices, 1984: 113)
Kutipan di atas adalah kesaksian Pablo Dias, korban Junta militer Argentina 1976 yang dibacakan pada komisi desaparecidos yang didirikan setelah berakhirnya kediktatoran militer. Peran psikologi hukum tidak hanya berfokus pada partisipan hukum sebagai penegak hukum yang mempengaruhi bekerjanya sistem hukum . Peran yang dimainkan para psikolog selain kriminalitas, tindak pidana, juga menggali tentang pertanggungjawaban (tanggung jawab komando, tanggung jawab individu, tangggung jawab Negara) kejahatan perang, korban perang dan penegakan hokum perang. Seorang peneliti psikologi akan merekonstruksi ulang kejadian perang, baik dalam bentuk rekaman video pembantaian, maupun penyegaran ingatan kesaksian. Psikolog bahkan sering diminta bantuannya untuk merehabilitasi anak-anak korban perang yang mengalami peristiwa traumatik akibat perang yang melukai anak-anak, bahkan merenggut maut kedua orang tuanya.
Perkembangan metode penggalian alat bukti keterangan ahli , utamanya psikolog dapat menjadi saksi ahli tentang tindak pidana, juga saksi ahli atas realibitas kesaksian oleh saksi mata merupakan kontribusi psikologi hukum dalam dunia peradilan (psychology in court).
Keterangan yang diberikan oleh saksi tidak dapat dijamin kebenarannya 100 %. Penyimpanan kejadian/peristiwa dan pemunculan kembali peristiwa tersebut dalam bentuk informasi kesaksian di pengadilan rentan tidak seperti kejadian yang sebenarnya. Untuk mengurangi kerentanan memori kesaksian, psikologi hukum menggunakan tekhnik penyegaran ingatan (Kapardis, 1997; Milne & Bull, 2000, Costanzo, 2002) diantaranya:
1) hypnosis
Walaupun hipnosis banyak digunakan untuk menyegarkan ingatan saksi, tetapi di kalangan psikolog dan penegak hokum masih terjadi perbedaaan pendapat tentang keakuratan dari kesaksian. Hypnosis pertama kali digunakan oleh James Braind dengan meminjam nama Hypnos (dewa tidur bangsa Yunani). Di dalam sistem hukum penerapan utamanya untuk meningkatkan ingatan saksi maupun korban. Sikap skeptis dari psikologi dan hokum terhadap hypnosis dilatari bahwa ingatan yang dimunculkan oleh saksi/korban sudah dipenuhi oleh fantasi dan elaborasi imajinatif.
Cara penyegaran ingatan melalui hypnosis yaitu meminta saksi/korban untuk membiarkan dirinya dalam keadaan rileks, men “zoom in” dan memutar ulang bagian-bagian yang penting dalam kejadian. Dalam keadaan terhipnotis maka saksi/korban akan mengingat lebih banyak informasi (hypnotic hypernesia). Salah satu kelebihan yang dimiliki cara ini, juga dapat “menyelamatkan muka” saksi korban. Saksi/korban dalam keadaan sadar bisa saja enggan, takut, dan malu mengatakan kondisi sebenarnya. Saksi mungkin takut balas dendam karena kesaksiannya, sehingga hipnosis memberikan ruang tanpa rasa tertekan untuk memberikan informasi yang sederhana. Keberhasilan hipnosis dibuktikan dengan kasus pada tahun 1976 di Chowchilia, dimana terjadi penyanderaan bus sekolah oleh sekelompok orang bertopeng, dan kemudian melepaskan korban setelah mendapatkan uang. Saksi-saksi yang ada (supir bus dan 26 anak) tidak memberikan informasi yang berarti tentang kejadian sehingga tidak dapat dilacak pelaku kejadian ini. Ketika dilakukan teknik hipnotis pada supir bus, ia dapat mengingat nomor plat kendaraan pelaku. Dan ketika dilacak pihak kepolisian ternyata benar.
Sebagian psikolog juga memandang bahwa yang diberikan saksi dalam keadaan terhipnotis tidak meningkatkan informasi yang akurat (Steblay dan Bothwell, 1994). Seorang saksi memilki keyakinan yang lebih bahwa ingatannya sudah pasti benar, jika dihipnosis, padahal hypnosis membuat ingatan saksi terpecah, terjadi kesenjangan antara di dalam ingatan dengan detil-detil yang masuk akal dengan yang fiktif. Kondisi demikian meyebabkan tekhnik hipnosis pernah diabaikan oleh pengadilan tinggi California (1980) dalam kasus Minnesota v. Mack. Pengadilan tersebut memutuskan bahwa seorang korban dalam kasus penyerangan tidak boleh memberikan kesaksian terhadap informasi yang baru diingat jikalau dalam keadaan terhipnotis.
Tekhnik hipnosis yang bias. Masih terjadi kerancuan atas keterangan yang diberikan. Ingatan yang diperoleh dalam keadaan terhipnotis memuncunkan informasi yang keliru. Memperbesar cara bertanya yang sugestif. Informasinya-pun belum tentu benar karena muncul dalam kesadaran yang tidak normal. Dengan demikian tekhnik hipnosis sulit digunakan sebagai tekhnik investigasi, karena yang dibutuhkan dalam investigasi yaitu ingatan yang kuat tanpa memunculkan persepsi yang keliru yang disebabkan oleh fantasi dan imajinasi.



2) Wawancara kognitif
Pada tahun 1992 Rohn Fisher mengembangkan cognitif interview. Tekhnik ini membuat saksi dalam memberikan informasi terasa santai. Ia dikembalikan secara mental pada peristiwa kejahatan yang dilihatnya. Disamping saksi meningkatkan perolehan kembali informasi, tekhnik ini juga mengurangi sugestibilitas seperti yang ditimbulkan oleh tekhnik hipnosis.
Fisher (dalam Costanzo, 2002) dan Milne & Bull (2000) menyatakan bahwa ada 5 tahap dalam wawancara kognitif. Tahap tersebut adalah : (a) Tahap I, adalah tahap menjalin rapport (pendekatan) terhadap saksi/korban agar ia tidak cemas, merasa nyaman, membuat saksi/korban juga menjadi lebih konsentrasi. Pada tahap awal ini, ia diminta bercerita tentang kejadian tanpa dipotong oleh pewawancara. Tujuannya adalah tidak ada efek sugesti dari pewawancara; (b)Tahap II, event interview similarity, adalah mengembalikan ingatan saksi pada kejadian yang dialaminya. Ia diminta menutup mata dan membayangkan kejadian yang dialaminya. Ia diminta untuk membayangkan apa yang dilihat, didengar, pikiran dan perasaannya (yang relevan) pada saat itu; (c) Tahap III, melakukan probing (penggalian informasi secara lebih detail) pada gambaran dan hal-hal yang disampaikan oleh saksi. Tujuannya agar diperoleh keyakinan atas hal-hal yang relevan terkait dengan peristiwa yang dialami oleh saksi. Kemudian peristiwa itu di recall (diceritakan kembali) dengan urutan yang berbeda, pertama dari awal sampai akhir. Kemudian dari akhir hingga awal. (d) Tahap IV. Saksi diminta melihat peristiwa itu dari perspektif yang beda. Misal dari perspektif pelaku atau perspektif korban. Hasil ini direkam dan dicek ulang lagi pada saksi jika mungkin ada yang dirasa keliru atau tidak tepat; (d) Tahap V. Saksi diminta untuk mengingat kembali informasi baru lain yang mungkin belum dimunculkan. Bisa distimulasi dengan pertanyaan detail tentang wajah, baju, logat, mobil. Misal wajah pelaku mirip siapa jika menurutmu ? jawaban saksi mungkin menyebut nama orang terkenal, misal Nicola saputra atau Ahmad Dani. Sebenarnya bukan itu yang penting, namun saksi perlu ditanya lebih detail. Mengapa mirip Nicola Saputra ? apa ada cirri-ciri khusus ? apa ada kesan khusus yang kau tangkap ? Dengan cara ini saksi akan diminta mengingat kembali informasi lebih detail tentang pelaku yang mungkin belum dilakukannya.
Wawancara kognitif menekankan pada saksi/korban yang relaks. Tidak menjadikan saksi sebagai objek yang ditekan dan dituntun. Salah satu kesulitan dari tekhnik wawancara kognitif yaitu pihak kepolisian yang mencari keterangan masih kental dengan gaya interogasi yang koersif dan direktif. Sehingga amatlah sulit untuk mengorek keterengan yang akurat, jika dalam tahap penyelidikan sudah menanamkan cara koersif ketika mewawancarai saksi, yang bukan tersangka. Padahal menurut Geiselman (dalam Fisher, Geiselman, Amador, 1989) menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Mantwill, Kohnken & Ascermann (1995) menemukan wawancara kognitif lebih menghasilkan banyak informasi dibanding wawancara terstruktur. Tekhnik wawancara kognitif dikalangan kepolisian, sudah digalakkan melalui pelatihan di kepolisian England dan Wales.
Wawancara kognitif sebagai salah satu tekhnik investigasi perannya sangat penting. Dapat digunakan untuk mengurangi kesaksian yang tidak benar, yang kemungkinan akan menyeret pelaku yang tidak bersalah. Hakim dan pengacara yang menaruh keyakinan yang besar terhadap kesaksian, juga harus dilengkapai dengan hasil penelitian dari psikolog dan kesaksian psikolog sebagai keterangan ahli untuk menggali ingatan saksi. Apalagi ingatan tersebut ingin dimunculkan (bisa dibaca: diakses kembali) setelah berpuluh-puluh tahun kemudian. Penelitian psikologi dalam kasus seperti itu bisa memunculkan ingat yang cermat dan tepat.







Daftar Bacaan
Alex sobur. 2003. psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia.
Ancok, D. 1995. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Atkinson, Rita L., et.al. 1983. pengantar psikologi. terj. Nurdjannah Taufiq. Jakarta: Erlangga.
Bartol, C.R.; Bartol, A.M. 1994. Psychology and Law. Pasicif Grove, California : Brooks/Cole Publishing Company.
Costanzo, M. 2002. Psychology Applied to Law. Singapore : Thomson Wadsworth.
Fisher, R.P., Amador, M., & Geiselman, R.E. 1989. Field Test of The Cognitive Interview : Enhancing the Recollection of Actual Victims & Witnesses of Crime. Journal of Applied Psychology, 74 (5), 722 – 727.
Kapardis, A. 1997. Psychology and Law. Cambridge: Cambridge University Press.
Monks, F.J. 1984. Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Diterjemahkan oleh Nijmegan. Yogyakarta: Gaja Mada university Press.
Mantwill, M., Kohnken, G., Aschermann, E. 1995. Effect of Cognitive Interview on The Recall of Familiar and Unfamiliar Events. Journal of Applied Psychology , Vol. 80 (1), 68 – 78.
Milne, R. & Bull, R. 2000. Investigative Interviewing. Psychology and Practice. Singapore : John wiley & Sons. LTD.
Probowati, Y. 2005. Dibalik Putusan Hakim. Kajian Psikologis Hukum dalam Perkara Pidana. Surabaya : Srikandi.
Putwain & Sammons, 2002. Psychology and Crime. New York : Routledge.
Sanders, G.S., & Simmons, W.L. 1983. Use of Hypnosis to Enhance Eyewitness Testimony : Does it Work ? Journal of Applied Psychology, vol. 68 (1), 70-77.
Wrightsman, L.S. 2001. Forensic Psychology. Singapore : Wadworth Thomson Learning.
Zubaidah, J., Probowati, Y., Sutrisno. 2007. Effect of Sex Defendant on Judge Decision Making. Presented on Psychology and Law Conference, Adelaide, Australia.
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors