Mengembalikan “Jati Diri” Penelitian Hukum



Tulisan ini hadir sebagai bahagian dari kegelisahan penulis sendiri. Tidak ada maksud lain selain pencerahan keilmuan hukum itu sendiri. Terutama mengembalikan jati diri penelitian hukum.

Sejak awal, nampaknya hampir semua Perguruan Tinggi mengkerangkeng keilmuwan calon-calon sarjana hukum. Di tempat penulis sendiri mengabdi masih banyak sisi keilmuan ini  dikerangkeng dengan penelitian-penelitian ilmu sosial yang dipaksakan untuk metode penelitian hukum
.

Lebih ironisnya lagi calon-calon sarjana hukum, dari semua judul yang diajukan melalui KPJ, mayoritas diloloskan, padahal semua rumusan masalah dari penelitian-penelitain itu meneliti gejala-gejala sosial semata. Malah semua permasalahan hukum diarahkan agar meneliti faktor-faktor yang menyebabkan sehingga konon katanya hukum itu tidak tegak sebagaimana mestinya. Namun pada dasarnya penelitian demikian lagi-lagi saya mengatakan adalah penelitian dari kalangan ilmu sosial. Calon sarjana ilmu sosial.
Penting di sini penulis menguraikan, agar saat ini jangan lagi terjadi pelacuran-pelacuran akademik. Terutama calon-calon sarjana hukum. Apalagi Dosen yang tanpa mempedulikan misi pendidikan hukum menyambut tawaran hibah, tawaran penelitian. Demi kenaikan pangkat atau memperoleh pangkat akademik. Padahal kalau ditelisik lebih jauh ternyata proporsal penelitian yang telah dibuat oleh mereka. Rupanya penelitian sosial yang hanya menuruti keinginan penyandang dana. Di sinilah kejujuran akademik itu dipertahankan, demi untuk meraih dana dan mengejar kenaikan pangkat, rata-rata diantara mereka mengorbankan hakikat keilmuwan mereka dan berpaling kepada ilmu lain, yaitu ilmu sosial.
Sebelum penulis memaparkan lebih jauh, ada baiknya kita melihat dulu arti sesungguhnya dari terminology ilmu hukum (legal science) itu sendiri. Dilihat dari segi etimologis kata legal dalam bahasa Inggris berasal dari kata lex. Di dalam bahasa inggris kata law mempunyai dua pengertian, Pertama, merupakan sekumpulan preskripsi, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan. Kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Yang pertama, dalam bahasa latin disebut ius, dalam bahasa Perancis disebut droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut recht dan dalam bahasa Indonesia “hukum.” Sedangkan yang kedua dalam bahasa latin disebut lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman gesetz dan bahasa Indonesia undang-undang.
Kata law dalam bahasa Inggris ternyata bersal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh raja-raja Anglo-saxon yang telah dikodifikasikan. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Jika kita mengikuti pendapat ini, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Berangkat dari asal muasal terminology hukum tersebut sama sekali tidak ada yang mengaitkan hukum itu sebagai “gejala-gejala sosial” maka terpatahkanlah pendapat jika kita mengatakan bahwa ilmu hukum itu adalah bagian dari ilmu sosial.
Diandaikan seperti ini dalam sebuah analog kasus air mendidih 100  derajat celcius. Tanpa perlu dikomando, jika temperature sudah mencapai 100 derajat celcius air itu pasti mendidih. Begitupula tidak ada seorang yang dapat melarang air dapat mendidih apabila temperatur telah mencapai 100 derajat celcius. Pernyataan dalam suatu ilmu deskriptif (seperti ilmu sosial) tidaklah jauh berbeda dengan analog semacam ini. Karena merupakan pernyataan tentang fakta. Artinya baik ilmu alamiah maupun ilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati secara empiris. Yang ingin dicapai oleh ilmu-ilmu deskriptif adalah keniscayaan (truth).
Berbeda halnya untuk penelitian hukum yang menganut sistem nilai yaitu sesuatu yang seharusnya atau seyogianya (should atau ought). Artinya  mustahillah ilmu hukum yang bersifat perskriptif itu masuk dalam klasifikasi ilmu sosial maupun ilmu alamiah.
Hard Chand (dalam Peter Mahmud Marzuki: 2009) secara tepat membandingkan apa yang dipelajari oleh mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang mereka masing-masing. Ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi tubuh manusia, juga harus belajar kepala, telinga, mata, dan semua bagian yang lain serta faal. Sama halnya mahasiswa hukum yang mempelajari hukum seharusnya juga mempelajari konsep hukum, gagasan yang ada di belakang hukum, struktur dan fungsi hukum. Lebih lanjut lagi ia mengemukakan bahwa di samping mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, mahasiswa kedokteran juga mempelajari faktor-faktor eksternal yang ada kaitannya dengan tubuh manusia, seperti apakah pengaruh panas, dingin, air, kuman, dan lain-lain, terhadap tubuh manusia. Begitu juga mahasiswa hukum perlu mempelajari faktor-faktor eksternal nonhukum yang mempengaruhi hukum seperti masalah-masalh sosial, situasi politik,  budaya, kondisi ekonomi dan sistem nilai.
Akan tetapi sebagaimana mahasiswa kedokteran yang mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh manusia tidak mungkin mampu mendiagnosis penyakit tanpa menguasai keahlian, tekhnik, dan prosedur diagnosis, demikian juga mahasiswa hukum tidak akan mampu melakukan telaah hukum tanpa memiliki standar nilai-nilai, keahlian dan tekhnik hukum, gagasan hukum, metode yang harus diikuti, yang semuanya merupakan kajian ilmu hukum.
Pertanyaan kemudian yang terbangun, mengapa hingga semakin hari di tengah banyak alumni sarjana hukum namun tidak ada sarjana yang terampil ? Adalah tidak lain karena para calon-calon sarjana hukum ditugas akhir  mereka, layaknya semua menjadi pengamat, karena bangunan penelitian hukum meraka adalah bangunan penelitian ilmu-ilmu sosial. Untuk mengisi peradilan, kejaksaan, dan institusi hukum lainnya semua otaknya “lumpuh” dalam menerapkan kedispilian keilmuwan mereka untuk dikatakan terampil hukum. Di lembaga yudikatifnya misalnya mereka tidak mampu menyusun naskah akademik rancangan undang-undang dengan baik, karena keterampilan hukumnya disandera oleh kepentingan kampus yang kabur pemahamannya terhadap penelitian hukum yang memang mestinya normatif.
Jika hal itu tidak kita inginkan terjadi berlarut-larut. Penulis mengharapkan kepada semua pembaca, kiranya bagi dosen-dosen yang berkecimpung di fakultas hukum agar membaca buku penelitian hukum yang ditulis oleh Prof Peter Mahmud Marzuki (guru besar Universitas Airlangga), penulis sendiri memakai buku tersebut sebagai kitab untuk penelitian hukum, agar kesesatan dalam penelitian hukum ini tidak lama berlarut-larut. Dengan harapan kawan-kawan yang juga seprofesi dengan saya, tidak terbelenggu lagi dengan penelitian-penelitian ilmu sosial.
Penting juga saya tegaskan bahwa Jati diri penelitian hukum itu memang harus perskriptif. Tidak memaparkan gejala-gejala sosial. Jika menggunakan kaca mata sosial maka hukum itu sebagai objek kajian. Jadi  pada saat peneliti menggunakan rumusan masalah “apa faktor-faktor…. ?” saya berani mengatakan bahwa penelitian itu adalah penelitian mahasiswa calon sarjana ilmu sosial, bukan calon sarjana hukum.
Sama halnya ketika penulis di saat memberikan kuliah Hukum Acara Peradilan TUN, tidak sengaja seorang mahasiswa bertanya apakah politik hukum itu kajian hukum atau bukan, padahal saya tidak mengajarkan mata kuliah politik hukum, entah angin  apa yang menyeret sehingga mahasiswa tersebut bertanya yang sama sekali tidak ada hubunganya dengan mata kuliah yang saya bawakan waktu itu. Dengan tersenyum saya menjawab. Meski saya adalah dosen yang mengajarkan tekhnis peradilan, keterampilan beracara, saya menjawab bahwa politik hukum adalah bidang kajian politik, bidang kajian ilmu sosial. Mewissen dalam bukunya “Teori Hukum, Filsafat Hukum & pengembanan Hukum” menyebut bidang kajian seperti ini adalah ilmu empirik yang berobjekkan hukum, jadi ilmu sosial yang memandang “hukum” sebagai variabelnya.
Terakhir saya ingin sampaikan, bahwa calon-calon sarjana hukum mulai sekarang dalam perencanaan pembuatan proporsal penelitian sudah harus mengacu pada perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, studi perbandingan hukum, kajian konseptual hukum untuk mengkaidahi tindakan-tindakan dan beberapa peristiwa hukum. Calon-calon sarjana hukum tidak bisa direcoki dengan kalangan ilmu lain, ilmu sosial, ilmu politik, apalagi ilmu ekonomi jika kita ingin melahirkan sarjana yang mahir kelak, entah akan menjadi seorang juris atau praktisi. Kita berikan saja kepada kalangan ilmuwan social untuk menjadi pengamat hukum, jangan kita ikut-ikutan menjadi pengamat (observer).
Suatu kejanggalan lagi, pelecehan ilmu terhadap calon-calon juris jika pedoman penelitian kita dipaksakan atau dirancang oleh yang tidak mengerti hukum sama sekali. Sebuah penistaan ilmu, pemerkosaan ilmu. Yang tidak tahu menahu penelitian hukum kadang dipaksa ingin dikuantitatifkan.
Bagaimana mungkin mengkuantitatifkan suatu ilmu hokum yang memang  sifatnya bertujuan untuk mengkaidahi, mengatur, membentuk prinsip-prinsip hukum. Jangankan metode penelitian kuantitatif, metode penelitian kualitatif saja tidak perlu dinyatakan dalam bab tersendiri sebenarnya dalam penulisan penelitian hukum. Sudara-saudara seprofesi saya kalau tidak percaya silahkan mengecek penelitian hukum di Belanda, di Inggris, di Amerika (yang jelas-jelas kelahiran realisme hukum di sana) di Australia, di Malaysia. Di samping penelitiannya diarahkan pada sifat aslinya hukum (sui generis) yakni perskriptif tidak perlu mencantumkan bahwa penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian kualitatif. Prof. Peter Mahmud Marzuki bahkan mengatakan bahwa tanpa menegaskan metode tersebut, di hasil pembahasan nanti juga jika benar-benar penelitian hukum murni, peneliti hukum sudah dianggap pasti tahu yang namanya penelitian kualitatif.



Responses

0 Respones to "Mengembalikan “Jati Diri” Penelitian Hukum"

Posting Komentar

Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors