Soe Hok Gie



Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi, aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal, dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendalawangi.
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang.

Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini, sayangku.

Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah kehilangan apa-apa.

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan.
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda.
Dan yang tersial adalah berumur tua.
Berbahagialah mereka yang mati muda.
Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada.
Berbahagialah dalam ketiadaanmu.

[Read More...]


Pemisahan Kekuasaan & Pembagaian Kekuasaan



Merunut perkembangan sejarah ketatanegaraan kata pemisahan kekuasaan. Pertama kali dicetuskan oleh John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government” (1689), yang membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara meliputi: fungsi legislative, fungsi Eksekutif, dan fungsi federatif.

Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan lebih lanjut setengah abad kemudian dalam abad ke XVIII oleh Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1668-1748) dalam karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws).

Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Tegasnya Montesquieu mengeatakan, kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya. Konsepsi ini lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica

Oleh karena Jonhn Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord. Maka sangat kental pendapatnya memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Sementara Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon

Hanya dalam bidang federatif dan judikatif kedua pendapat antara Lock dan Montesquieu sebenarnya nampak perbedaan yang mencolok. Dalam bidang legislative kedua pendapat sarjana tersebut mirip. John Lock mengutamakan fungsi legislative sedangkan Montesquie lebih menguatamakan fungsi kekuasaan kehakiman atau judicial.

Oleh sebab itu yang dianggap penting oleh Locke adalah funsi federative karena penjelamaan funsi defencie  baru timbul apabila fungsi terbukti gagal. Dan untuk fungsi judicial bagi Locke cukup dimasukkan saja dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu yang terkait dengan pelaksanaan hukum. 

Namun bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negerilah (diplomasi) merupakan funsi eksekutif sehingga fungsi federative tidak perlu lagi berdiri sendiri. Lalu yang dianggap penting bagi Montesquieu adalah fungsi judicial atau kekuasaan kehakiman. Kalau dilihat sejarah atau awal perkembangan teori John Locke sebenarnya juga sangat mengakui Hak asasi manusia. Hal itu dapat dilacak dari teori perjanjiannya puctum iunionis yang menyatakan ada hak dasar manusia yang tidak dapat diserhak secara total kepada kehendak yang berkuasa. Malah pendapat John Locke disempurnakan bahwa keberadaan lembaga kehakimanlah yang dapat menjamin realisasi dari pada hak asasi manusia tersebut yang diperoleh secara adikodrati.

Van Vollenhoven juga melakukan pembagian kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan politie. Pembagian keempat kekuasaan negara Volenhoven dikenal dengan teori “Catur Praja”.

Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. perbedaan dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara.

Dalam studi ilmu hukum administrasi Negara dikenal pula adanya pembagian kekuasaan yang dibagi dalam dua fungsi yaitu fungsi pembuatan kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function). Semua pembagian kekuasaan ini tidak lain bertujuan sebagai telah dikemukakan dalam awal tulisan ini yaitu untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan oleh penguasa. Maka dalam istilah hukum itu pula sehingga kata kekuasaan kemudian direduksi menjadi kewenangan. Sebagaimana dikenalnya asas dalam hukum tata Negara: tidak ada kekuasaan tanpa kewenangan, dan tidak ada kewenangan tanpa undang-undang yang memberikannya.

Ide yang dikemukakan oleh Montesquieu yang hendak memisahkan kekuasaan Negara berdasarkan fungsinya tanpa adanya intervensi kekuasaan yang lain. Banyak mendapat kritikan, sangggahan, kecaman sebagai gagasan yang tidak sesuai dengan kondisi pemerintahan Inggris. Bukankah katanya  pada waktu itu (1732) malah terdapat banyak kebebasan dibandingkan dengan negara lainnya.

Sir Ivor  Jennings dalam The Law and Constitution mengecam habis pendapat Montesquieu dengan memperbaharui gagasan Separation Of Power, yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan dalam arti materil. Sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formil diartikan sebagai pembagian kekuasaan, atau yang lazim dikenal sebagai Division Of Power.

Dalam praktik ketatanegaraan dunia, tidak ada Negara yang murni melaksanakan Separation of Power dengan tiga serangkai (trias politica). Bahkan Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya Negara yang ingin menjalankan teori trias politica. Dalam kenyataannya memeraktikan sistem saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan Negara.

Penggunaaan istilah divison of power jika dicermati cikal bakal pembentukannya. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan doktrin pemisahan kekuasaan. Yakni untuk melakukan pembatasan kekuasaan terhadap lembaga- lembaga Negara yang sedang menjalankan fungsi kekuasaannya. Bahkan ada beberapa sarjan hukum tata Negara mengatakan bahwa separation of power merupakan genus, sedangkan distribution of power adalah spesiesnya.

Dari segi istilah saja penggunaan  kata division of power, separation of power, distribution of power, dan  allocation of power memiliki nuansa yang sebanding dengan pembagian kekuasaan, pemisahan kekuasaan, pemilhan kekuasaan, dan distribusi kekuasaan.

Doktrin pembagian kekuasaan ini setidaknya dapat juga dilacak dari UUD 1945 sebelum amandemen yang menganut division of power. Sebagaimana yang diakui oleh Soepomo yang mengatakan bahwa prinsip yang dianut dalam undang-undang dasar yang sedang disusun tidaklah didasrkan ajaran Trias politca Montesquieu yang memisahkan secara tegas antara-antara cabang kekuasaan legislative, eksekutif dan judikatif. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen yang menegaskan “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” ini berarti bahwa pemegang kekuasaan legislative itu pada pokoknya adalah Presiden, asalkan rancangannya dibahas bersama untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPR.

Kasus yang lain juga dapat diamati pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR sebagai lembaga tinggi Negara. MPR yang merupakan jelmaan rakyat di sini mendudukan Presiden tunduk dan bertanggung jawab terhadap Negara sebagai cirri dari pada pembagian kekuasaan yang berlaku masa itu.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsep separation of power dari trias politica sebelumnya sulit terlaksana dalam perkembangan ketatanegaraan modern saat ini. Oleh karena sulit memeraktikan hingga ketiga lembaga Negara itu benar-benar terpisah satu sama lainnya. Tidak dapat dipraktikan secara murni maka menyandingkan keduanya adalah lebih tepat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jimli Asshiddiqie bahwa “konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieau jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.

Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.

Teori separation of power dan distribution of power atau division of power digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik kemudian juga dilatari oleh perkembangan praktik ketatanegaraan. Bahwa  tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain.

Bahkan dalam pandangan John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan “separation of functions”. Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam Teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali.

Disamping itu sarjana lain yang mengidentikan separation of power dengan distribution of power juga diperkuat oleh O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang mengatakan, the question whether the separtion of power (i.e. the distribution of power of the various powers of government among different organs). Oleh karena itu, kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.

Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan checks and balances. Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch” Strauss menjelaskan: “Unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue.”

Pendapat yang menengahi juga hadir dari Artur Mass yang membedakan pengertian kekuasaan ke dalam dua pengertian yaitu; capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.

Sebagai llustrasi kasus bahwa tidak dapatnya separation of power dianut secara murni yakni apa yang terjadi di Amerika Serikat. Istilah separation of power yang digunakan dalam pembagian kekuasaan di tingkat pemerintahan federal yaitu antara legislature, the executive, dan judiciary. Sedenagkan untuk system division of power digunakan dalam system pembagain Negara federal dengan Negara bagian.

Di Negara Indonesia pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945. Meskipun Jimli Asshiddiqie mengatakan bahwa saat ini kita menganut system separation power yang menganut prinsip check and balance. Juga pada kenyataannya kita tetap menganut antara separation of power dengan distribution of power. Dengan berpatokan pada pembagian  pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Arthur Mass Di tingkat horizontal hubungan antara eksekutif, legislative dan judikatif tetap terjadi pemisahan dari segi kewenangan masing-masing. Sedangkan istilah pembagian kekuasaan berlaku dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah merupakan konteks pengertian yang bersifat vertical sebagimana yang ditegaskan dalam pasal 18 UUD NRI tahun 1945.

Dengan tetap dianutnya pemisahan kekuasaan serta pembagian kekuasaan. Yang mengikuti perkembangan ketatanegaraan. Dimana terbentuknya lembaga-lembaga Negara yang baru, bukan hanya lembaga sebagaimana yang pernah disebutkan oleh Montesquieu maupun John Locke. Untuk mengefektifkan kekuasaan itu dalam ranah tetap efektif dalam pembatasan kekuasaan. G Marshal kemudian  membdedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) itu kedalam lima aspek:. Differentiation; Legal incompatibilty of office holdin; Isolation, immunity, independence; Checks and balances; Co-ordinate state and lack of accountability.

 Dari kelima krakteristik pemisahan kekuasaan yang diutarakan oleh G. Marshal yang penting untuk digarisbawahi adalah ciri keempat prinsip check and balance. Yakni setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan kekuatan cabang-cabang kekuasan yang lain. Hemat penulis dari krakteristik inilah sebenarnya hingga Jimli Asshiddiqie mengakui kalau pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 menganut sistem pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balace.



Link: http://www.negarahukum.com/hukum/pemisahan-kekuasan-vs-pembagian-kekuasaan.html
[Read More...]


Hikmah Hujan



Pantaskah kita membalas kehangatan itu dengan dinginnya hati ditambah cuaca yang mendukung keangkuhan wajah kita merespon tangan-tangan kecil yang sedang asyiknya menikmati pekerjaan kecilnya itu? Walau sekiranya tak ada buah tangan yang mereka nikmati sebagai imbalan usaha mereka, bukankah senyum sudah cukup membayar keriuhan mereka

Untuk mengetahui seberapa besar sebuah tanggung jawab, mungkin sebagian dari kita akan merasa tidak harus melaksanakan kewajiban di kala hujan. Namun, sekadar perlu untuk diketahui ada berapa banyak amalan pekerjaan yang mesti terlewatkan hanya disebabkan oleh hujan. Dan ada berapa orang yang kita rugikan disebabkan karena hujan pula, padahal hujan di negeri yang kita cintai ini, sudah menjadi fenomena alam yang biasa terjadi. Seperti halnya badai gurun di Timur Tengah atau hujan salju di wilayah utara bumi.

Bukankah hujan hanya mampu mengguyur tapi tidak untuk menahan. Ini respon penulis melihat sekelompok kaum urban tangguh yang melaksanakan kewajibannya di kala hujan badai membanjiri kotanya.
    
Penulis mencoba menyentuh nurani di tengah rasa dingin yang menyelimuti kota ini. Seberapa besar rasa toleransi kita untuk miris melihat reaksi sebagian dari saudara kita dengan teganya selalu mau menang sendiri di saat hujan mendera. Contoh konkret yang tampak adalah para pengguna transportasi, baik beroda empat maupun dua.

Mereka berlomba-lomba mencari sisi jalan yang cukup melanggengkan perjalanannya untuk tiba di tujuan tanpa harus terjebak oleh banjir yang menghalangi. Akhirnya bahu jalan atau selokan pun menjadi alternatif para pengguna jalan yang kesurupan dan kehilangan kesabarannya.

Tapi perlu diketahui perilaku seperti itu dapat menimbulkan dampak yang sangat parah di jalan. Kemacetan dikarenakan semua pengguna kendaraan tidak ada yang mau mengalah, dan dampak lain yang lebih parah adalah potensi menambah angka kecelakaan transportasi di jalan semakin meningkat. Ini adalah respon penulis menyaksikan langsung kecelakaan di Maros beberapa waktu laludan menanggapi kemacetan lalu lintas dari lokasi bandara Mandai-Maros.


Tenggang Rasa
Untuk menguji besarnya tenggang rasa kita. Apakah pengguna transportasi sudah kehilangan rasa berbagi dengan tidak menghargai keberadaan para pejalan kaki ataupun penumpang mikrolet, yang di Makassar dikenal dengan nama pete-pete itu. Wajarlah memang, kita kerap menggunakan kendaraan dengan sangat laju di waktu hujan, apalagi jika berkendara roda dua.

Kita tak ingin pakaian yang sudah separuh basah itu semakin basah. Rasa dingin yang sudah menusuk tulang itu harus segera diakhiri dengan secepatnya tiba di lokasi tujuan kita. Tapi kita jarang mengamati genangan air di jalan. Apakah air yang membanjiri ruas jalanan itu menciprati para pejalan kaki ataupun penumpang pete-pete yang sedang asyik duduk menikmati hujan di pinggiran pintu pete-pete? Ini respon penulis sebagai seorang pengguna jasa pete-pete, sekaligus juga mewakili pejalan kaki di Kota Makassar.

Untuk mengetahui seberapa pekanya kita. Di perjalanan Maros di pagi hari, mungkin ini adalah pemandangan yang sangat biasa melihat adik-adik kecil yang mengamen di lampu merah entah itu terik atau hujan. Akhir-akhir ini hujan mungkin memang sangat tidak dapat ditolerir tapi mereka masih tertawa. Masih ada canda di tiap dendangan lagu mereka.

Pantaskah kita membalas kehangatan itu dengan dinginnya hati ditambah cuaca yang mendukung keangkuhan wajah kita merespon tangan-tangan kecil yang sedang asyiknya menikmati pekerjaan kecilnya itu? Walau sekiranya tak ada buah tangan yang mereka nikmati sebagai imbalan usaha mereka, bukankah senyum sudah cukup membayar keriuhan mereka. Ini respon penulis sebagai penikmat seni jalanan.

Sebagai tempat berbagi, mestinya kita tahu berapa banyak tangis Ibu di malam ini karena memikirkan keadaan anaknya yang kedinginan karena cuaca malam? Adakah terbersik di hati kita berapa banyak rumah yang berubah menjadi perahu karena deras hujan pagi tadi? Apakah terpikir di benak kita berapa banyak lelaki yang keluar di malam hari bukan sebagai peronda melainkan sebagai tim SAR dadakan di lingkungannya?

Hati dan Senyum
Sebagai manusia, tenaga dan doa baiknya dilayangkan untuk menyentuh mereka dengan membantu melengkapi kebutuhan mereka yang sedang dilanda musibah atau sekedar menghapus keringat dan air mata yang membasahi muka mereka yang banjir bersama guyurah hujan sepanjang hari. Ini adalah respon saya sebagai seorang penumpang pete-pete yang menyaksikan beberapa bukit dadakan alias atap rumah yang berjejeran tanpa dinding karena tertutupi oleh genangan air.

Untuk menyadari seberapa bersyukurnya kita, ini adalah poin utama yang sering terabaikan oleh kita. Apabila terik, sontak kita mengeluh ke"panas"an seperti gerah, kulit jadi hitam, sumber keringat, kemarau panjang, berdebu dan lain-lain. Namun apabila memasuki musim hujan dengan sekenanya kita mengeluh ke"basah"an Contohnya basah, hujan, banjir, selokan tergenang, kedinginan , dan seterusnya.

Memang pada hakikatnya manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Tapi bukankah Tuhan telah menjanjikan kita bahwa setiap keadaan itu bermakna dan berfaedah. Mari coba melihat sekeliling kita dengan hati dan senyum. Syukurilah apa yang ada seperti lagu D massive yang populer itu. respon saya sebagai seorang penikmat hujan yang ingin meresapi keagungan-Nya.***





Catatan: Sebagai pemilik Blog sengaja saya mengcopas Tulisan Oleh; Fithrah Auliya Ansar Shum Mahasiswa Pascasarjana Unhas Prodi Linguistik, karena saya mengganggap opini beliau adalah opini yang berangkat dari hasil perenungan melihat realitas sosial hari ini. jika penulis keberatan mohon maaf sebelumnya,  silahkan menghubumgi saya lewat kontak di web saya: negarahukum.com. Tulisan ini akan dihapus jika penuis tidak berkenan saya kopas tulisannya. Trims
[Read More...]


SOAL UAS PIH, HAN. HAPA, HAPTUN, PIP HUKUM LAUT




Catatan: berikut ini hanya sebagian soal yang saya sengaja masukkan di blog dari semua jumlah soal yang akan naik di soal UAS. Soal ini sudah pasti masuk di soal UAS nanti, jadi tolong dipelajari baik-baik semua soal ini. Adapun jumlah soal dari semua mata kuliah yang saya menjadi penanggung jawab yaitu PIH; 15 Nomor. HAN; 9 Nomor. HAPA: 9 Nomor. HAPTUN: 7 Nomor dan hukum laut 6 Nomor. Trims sebelumnya dan Selamat belajar. Semoga sukses selalu dan kita tetap dalam lindungan-Nya. AMIN


SOAL PIH:
  1. Sebutkan apa saja yang merupakan sumber hukum formil ?
  2. Sebutkan salah satu contoh kasus yang dapat ditarik menjadi fakta hukum dan bagaimana pengaturannya dalam undang-undang ?
  3. Apa yang anda ketahui tentang pendapat HC Kelman tentang teori ketaatan hukum ?
  4. Sebutkan tiga lapisan ilmu hukum menurut Mewissen ?
  5. Sebutkan dan jelaskan tiga elemen hukum menurut Lawrence M. Friedman ?
  6. Bagaimanakah cara anda membedakan antara hukum publik dan hukum privat, berikan contoh?
  7. Jelaskan apa yang dimaksud hak ?
  8. Jelaskan dengan contoh cara anda membedakan antara moral right dengan legal right?

SOAL HAN:
  1. Sebutkan empat syarat sahnya ketetapanmenurut Van Der Poot ?
  2. Kemukakan perbedaan izin, dispensasi, lisensi dan konsensi ?
  3. Kapan suatu ketetapan sehingga dikatakan terjadi cacat yuridis ?
  4. Berbicara tentang ketetapan/ keputusan, bagaimana pendapat anda tentang keputusan pemberian grasi Presiden terhadap Nola yang ternyata di kemudian hari keputusan tersebut dinyatakan cacat yuridis, karena terbukti bahwa Nola bukan seorang kurir melainkan seorang gembong. Apakah keputusan grasi tersebut dapat di cabut atau tidak melalui Pengadilan Tata Usaha Negara ?
  5. Apa alasannya sehingga sengketa kewenangan yang terjadi antara Kapolri dan KPK tidak dapat diselesaiakan melalui MK ?



SOAL HAPA:

  1. Sebutkan tata cara terjadinya sumpah li’an ?
  2. Apakah sah suatu perkawinan yang telah memenuhi syarat materil (Pasal 2 ayat 1 UUP) tanpa pencatatan di KUA/ PPN, berikan alasannya ?
  3. Kapan suatu perkawinan dikatakan dalam kategori kawin siri, jelaskan ?
  4. Bagaimana pendapat anda tentang status anak luar kawin (anak zinah, anak sumbang) pasca putusan MK yang merevisi Pasal 43 ayat 1 UUP (Undang-Undang Perkawinan) melalui putusan No. 46/ PUU-VII/ 2010 atas permohonan uji materil HJ. Aisyah Muchtar Alias Machica binti Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan Moerdiono ?


SOAL HAPTUN:
  1. Bagaimanakah prosedur pemeriksaan acara singkat di PTUN ?
  2. Apakah tujuan dilakukannya rapat permusyawaratan dalam acara pemeriksaan biasa pada waktu mengajukan gugatan ke PTUN ?
  3. Kemukakan pendapat anda tentang alasan yang menyebabkan sehingga keputusan grasi Presiden terhadap Nola tidak dapat digugat melalui PTUN (bukan kompetensi PTUN) ?

SOAL HUKUM LAUT:

  1. Bagaimana cara anda membedakan antara laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan laut bebas ?
  2. Sebutkan empat turunan konvensi (Lengkap Dengan Bahasa Asingnya) yang dilahirkan dari konvensi Jenewa tahun 1958 (Geneva Convention On The Law Of The Sea)?
  3. Sebutkan kebebasan apa saja yang dapat dimiliki oleh warga asing terhadap daerah zona tambahan ?




































[Read More...]


Memaknai Sebuah Pilihan Hidup



Tulisan ini merupakan cerita dari penggalan kisah dan pengalaman saya selama menjadi seorang   tenaga pengajar di Provinsi Gorontalo. Sengaja saya menarasikan dalam bentuk opini supaya saya dan pembaca dapat saling berbagi memaknai kehidupan, memaknai sebuah pilihan demi konsistensi pada prinsip hidup.

Pagi sekali, waktu itu saya mengirim kalimat SMS kepada salah satu teman kolumnis harian Gorontalo Post, namanya Basri Amin. Beliau juga adalah Dosen di Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Menariknya karena orang yang saya sebut itu, hingga hari ini saya belum pernah ketemu dengan orang tersebut. Nomor HP-nya saja saya dapat melalui E-mailnya. Karena saya pernah mengubunginya lewat E-mail dan meminta Nomor HP beliau.

Saya mengirim SMS kepada beliau seperti ini: “pagi yang cerah ini saya merasa bahagia setelah memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesi saya demi melanjutkan studi saya S2, entah di mana. Saya belum tentukan”. Cepat gegas beliau menjawab SMS itu yang kira-kira nada jawabannya seperti ini: ” Anda harus bangga dan berdiri tegak disaat anda berani membuat pilihan hidup, karena banyak orang justru terjebak, vakum dalam sebuah idealisme dan kebenaran.”

Namun di saat yang sama. Saya juga mendapat banyak SMS keluhan dari mahasiswa yang mengetahui perihal kemunduran saya. Waktu itu sebagai manusia biasa. Saya bukan seorang “nabi” yang menunggu wahyu dan dapat meminta petunjuk dari Tuhan. Maka Saya teringat dengan segala keluh kesah Ibu saya beberapa hari sebelumya. Ketika menelphon saya.  Agar saya, katanya jangan  terlalu lama mengadu nasib dan menanggung “derita” kehidupan. Sulit ketemu dengan dirinya. Seorang ibu yang telah membesarkan saya dari bayi  hingga dewasa. Hingga seperti sekarang.  Saya mengagumi Ibu saya adalah Ibu yang paling hebat. Dalam kondisinya yang single parent mampu menyekelohkan saya. Hingga katanya bisa berguna (kalau toh saya sudah berguna untuknya).

Memang sungguh  masih berat menentukan pilihan. Jika ada kata selain dilema, Ya …!!! mungkin kata itu saja yang lebih tepat. Antara tanggung jawab, amanah yang harus saya dahulukan atau jeritan tangis orang tua saya. Orang tua yang mengharap saya pulang dan menanggalkan jabatan saat ini sebagai tenaga pengajar. Maka pada saat itu saya balas SMS mahasiswa yang pernah saya ajar: “ada banyak generasi yang lebih baik dari pada saya dan kalau alasan saya mundur itu murni  adalah karena saya mendengar dua dalam kehidupan ini. Yakni, ibu saya dan suara hati saya. Maka saya bertindak bukan semata karena gegabah dan tidak memikirkan nasib dan masa depan kalian.”

Sebuah pilihan jelas kadang ada yang diuntungkan. Kadang ada yang dirugikan. Tetapi sejauh mana kerugian itu lebih besar menimpa kita. Maka saatnya kita pantas meninggalkan sebuah pekerjaan yang kita lakoni. Jangan kita mau terpenjara dalam pekerjaan yang membuat kita mengalami efek kerugian yang berkepanjangan. Kata orang bijak “buat apa menjalani sebuah profesi jika itu membuat kita tidak bahagia”. Artinya carilah pekerjaan dimana anda bahagia dan tidak merasa tertekan dengan pekerjaan yang anda perankan.

Jika saya ditanyapun, kenapa anda meninggalkan pekerjaan anda sebagai tenaga pengajar. Padahal masih banyak yang membutuhkan out put pekerjaanmu ?  Adalah sungguh pertanyaan yang susah juga saya jawab. Karena berat sekali melihat generasi penerus bangsa ini. Disaat calon-calon anak zaman pencerah ini masih membutuhkan kehadiran saya. Kemudian ditinggalkan begitu saja. Kadang sistem memang susah dan teramat berat untuk dilawan. Maka cara melawannya adalah keluar dari lingkaran sistem itu. Agar kita tidak terjebak dalam pusaran yang melanggengkan kekuasaan individual. Kita jangan menambah kerumitan dan malah mengokohkan kepentingan satu orang saja. Padahal ada banyak orang yang dirugikan dari hegemoni kekuasaan individual itu.

Sungguh sebuah perasaan hati sembilu yang miris. Jika kita memang meninggalkan orang yang masih membutuhkan kinerja dan kemampuan yang kita miliki. Namun rasa iba yang nyata-nyata menggunakan  kekuatan emosi saat itu harus ditanggal oleh logika dan nalar sehat kita.  Ada sebuah cerita yang menarik dan saya sengaja akan mengutip di dalam tulisan ini. Ceritanya begini: “Ada sebuah kisah, seorang Ibu yang sangat menyayangi kedua anaknya, yang pertama adalah anak laki lakinya berjualan minuman dingin, sedangkan yang kedua adalah anak perempuannya berjualan payung. Setiap hari Ibu ini selalu dirundung kesedihan yang sangat mendalam, karena di muka jendela rumahnya ia selalu merenungi keadaan hidup kedua anaknya, bila hari sedang panas terik, Ibu ini selalu sedih memikirkan anak perempuannya, karena hasil penjualan payungnya akan turun drastis, dan keesokan harinya bila hari hujan lebat Ibu ini selalu sedih juga karena memikirkan anak laki lakinya yang akan merugi akibat penjualanan minuman Es-nya tidak laku.”

Apa yang dapat dipetik dari kisah diatas? Ya…, Ibu ini melihat arti ‘hidup’ dari sudut pandang kesedihan, sehingga yang datang kepada Ibu ini adalah kemurungan, dan kesedihan. Tapi coba kalau kita ubah cara pandangnya Ibu ini menjadi, bila hari sedang panas terik, ibu ini memikirkan anak laki lakinya, dengan semua keuntungan yang diperoleh anaknya dari hasil penjualanan minuman Es-nya, maka Ibu ini akan bahagia, dan datang kepada Tuhan dengan mengucapkan rasa syukur, dan bila hari sedang hujan lebat, Ibu ini memikirkan anak perempuannya dengan segala keuntungan yang diperoleh anaknya dari hasil penjualan payungnya, maka Ibu ini akan bahagia, dan datang kepada Tuhan dengan mengucapkan rasa syukur. Jadi kesimpulannya proses memaknai sebuah kehidupan adalah tergantung dari sudut dan konteks kita memandangnya. Cara kita menyikapi situasi dan kondisi yang datang menimpa kita. Sepanjang kita sendiri yang memilih pilihan itu, jadi apapun takdir yang digariskan oleh Tuhan maka kita tidak mungkin memaknainya sebagai sebuah laknat tetapi itulah ujian. Dan bukankah para Ulama, Khatib Jum’at selalu juga mengulang-ulang bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya apa yang tidak dapat ditanggungnya.

Ilustrasi lain juga dapat diamati sebagaimana filsuf eksistensialis Fredrich Nietzche. Juga pernah berujar kepada adik perempuannya. Saat ia tiba-tiba terjatuh di sebuah kota Turin karena penyakit epilepsy yang begitu lama menggerogoti tubuhnya. Adik perempuannya pada waktu itu merintih melihat keadaan kakaknya. Tetapi jawaban yang aneh. Keluar dari celotehan Nietzche, “adikku, bukankah kita masih bahagia.”

Kembali kepada masalah tulisan ini. Saya kembali ingin menegaskan bahwa “suara hati” jauh lebih hebat meluluhlantahkan semangat kehidupan kita. Hati tidak pernah berbohong untuk mengoreksi laku, perbuatan, tutur kata, dan tindakan kita. Sekalipun itu ada banyak yang dikorbankan dengan menanggalkan jabatan yang kita miliki. Tetapi ketika suara hati mampu berbicara dan kita berusaha menginterpretasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada saat itu kita akan merenggut kebahagiaan yang kita impikan. Janganlah kita selalu membiarkan suara dan niat baik hati terpenjara dengan kepentingan fisik atau kemauan raga kita. Tuhan menciptakan kita jauh lebih hebat dari makhluk lainnya adalah karena kita memiliki kekuatan jiwa. Kalau hanya dengan nafsu, hasrat, akal tanpa jiwa maka tidak ada yang bisa melakukan koreksi diri. Maka pantas dan wajib kita mensyukuri mendapat peluang untuk menjadi hamba yang paling mulia di sisi-Nya.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini. Esok lusa, tahun akan berganti. Selamat menanti Tahun baru. Untuk mahasiswaku, (kali ini perkenankan saya menyebut kalian adalah masih mahasiswa saya). Saya banyak berutang budi setelah kalian rela menerima saya berceloteh, menebarkan apa yang saya ketahui untuk kalian di sebuah ruangan kelas. Karena hasil bacaan dan usaha saya selama ini untuk tahu banyak hal. Sesungguhnya pengetahuan dan materi kuliah yang saya sampaikan adalah menyimpan banyak penyakit, yang kadang membuat kepala saya terasa pening. Maka sangat beruntung saya, bisa memuntahkan apa-apa saja yang saya ketahui kepada kalian. Jadi kalian adalah obat mujaran dari apa-apa saya yang saya ketahui. Teruslah keluarkan gelora, semangat dan jiwa Mahasiswa kalian. Jangan pernah kita pelit dan kikir untuk berbagi ilmu. Jangan pernah kita takut ketika orang lebih hebat dengan kita. Seorang yang bijak adalah tidak pernah membiarkan muridnya kerdil. Laksana pisang yang tidak pernah membiarkan anaknya tumbuh besar sebelum ia lekas mati.

Untuk semua Mahasiswa yang pernah mengenal saya. Saya  akan bahagia dan tersenyum suatu waktu dan menepuk dada. Mengangkat topi untuk kalian, mengacungkan jempol untuk kalian. Saat Melihat kalian sukses dan hebat di atas posisi saya. Karena hanya itulah yang saya harapkan dan impikan hingga hari ini dan sampai kapanpun, karena pernah mengenal kalian. Semoga sukses selalu dan kita tetap dalam lindungan-Nya. Fastabiqul Khairat Katziraan.***
[Read More...]


Return to top of page Copyright © 2011 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors